Selasa, 02 April 2013

Takhrij Hadits Menggunakan Harta Anak Yatim


A. Pendahuluan
1. Definisi Takhrij
            Takhrij artinya menampakkan, mengluarkan, menerbitkan, menyebutkan dan menumbuhkan. Maksudnya menampakkan sesuatu yang masih tersembunyi, tidak kelihatan dan masih samar. Menurut ulama hadits, takhrij adalah menyebutan seorang penyusun bahwa hadits itu dengan sanadnya terdapat dalam kitabnya. Menurut ulama hadits pada umumnya takhrij adalah hadits ini dengan sanadnya disebutkan fulan dalam kitabnya. beberapa tujuan pentakhrijan hadits adalah
  1. Mengetahui referensi beberapa buku hadits
  2. Menghimpun jumlah sanad hadits
  3. Mengetahui keadaan sanad yang bersambung dan yang terputus dan mengetahui kadar kemampuan perawi dalam mengingt hadits serta kejujuran dalam periwayatan
  4. Mengetahui satus suatu hadits
  5. Meningkatkan suatu hadits yang dha’if dan hasan menjadi hasan li ghayrihi dan shahih lighayrihi
  6. Mengetahui bagaimana para imam hadits menilai suatu kualitas hadits dan bagaimana kritikan yang disampaikan
  7. Seseorang yang melakukan takhrij dapat mengehimpun beberapa sanad dan matan suatu hadits
2. Pengertian yatim
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah (Majmu Fatawa wa Rasa’il 9/503) menyebutkan bahwa yatim ialah anak yang ditinggal mati ayahnya sebelum baliqh, baik laki-laki maupun perempuan. Adapun anak yang tinggal mati ibunya sebelum baliqh maka bukanlah anak yatim, tidak menurut bahasa apalagi menurut syariat. Sebab kata yatim terambil dari kata yatmu yang artinya terpisah dan sendiri. Maksudnya, terpisah dari orang yang mencarikan (penghidupan) buatnya. Sebab ayahnyalah yang mengusahakan (penghidupan) baginya. Hal semisal juga yang dikatakan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
Ahmad Mushthofâ al-Marâghiy dalam tafsirnya menyebutkan pengertian yatim, yakni seseorang yang ditinggal mati ayahnya secara mutlak (baik selagi masih kecil atau setelah dewasa). Tetapi  lanjutnya  menurut tradisi adalah khusus untuk orang yang belum mencapai usia dewasa.
            Dari beberapa definisi di atas, dapat diambil suatu pemahaman bahwa yang dimaksud dengan anak yatim adalah anak kecil yang belum dewasa yang ditinggal mati ayahnya, sementara ia masih belum mampu mewujudkan kemashlahatan yang akan menjamin masa depannya.oleh karena itu perwalian/pengurusan anak yatim diserahkan kepada kerabat dekat atau wali yang berhak mengurusnya. tentang cara menggunakan harta anak yatim, terlebih yatim yang memiliki harta baik itu sedikit ataupun banyak akan dipaparkan dalam makalah ini.
            Dalam makalah berikut akan dipaparkan sebuah hadits yang berhubungan dengan menggunakan harta anak yatim. lalu mentakhrij haditsnya dan kualitasnya seperti apa.
  
B. pembahasan
Hadits tentang menggunakan harta anak yatim
artinya:  Dari Muhammad bin Ismail al-farisy, dari Yahya bin Abi Thalib, dari Abdul Wahhab, dari Ibnu Abi Aun dari Shakhra bin Juwairiyah dari nafi, sesungguhnya ibnu Umar memiliki/mengurus harta anak yatim, ia meminjam harta tersebut bahkan terkadang harta  tersebut dijadikan jaminan, dan harta tersebut dizakatkannya apabila sudah mencapai nishab.
            Hadits tersebut diambil dari kitab sunan daruqutni juz 3 hal 7 bab wujuubu al-Zakat fi maali sobiy wa al-yatim.
            Hadits di atas merupakan hadits Mauquf, karena disandarkan kepada shahabat yaitu ibnu umar, nama aslinya adalah Abdullah bin umar bin khatab al-Qursyi Abu Abdirrahman Al-Maki al-Madani. ia merupakan sahabat tabaqah ke 1 yang wafat pada tahun 73 H.
            Hadits di atas diriwayatkan dari Muhammad bin Ismail al-farisy, dari Yahya  bin Abi Thalib, dari Abdul Wahhab, dari Ibnu Abi Aun dari Shakhra bin Juwairiyah dari nafi.
            Menurut Ibnu Hibban bahwa Muhammad bin Ismail al-Farisy adalah orang yang Tsiqah. Yahya bin Abi Thalib menurut Ibnu Sai’id : soduq, Ibnu Syahin menyatakan  Tsiqah, Hasan bin sufyan: Tsiqah. Namun Maimun beranggapan bahwa yahya itu Dhaif, tapi ia tidak mengatakan alasan kedhoifannya. Abdul Wahab bin ‘atha al- khaffaf Anu Nasr Al-‘Ajali. beberapa ulama berkomentar tentang Abdul Wahab. salah satunya Ibnu Hajar, ia berkata shaduq, namun para ulama mengingkari haditsnya tentang abbas. Ibnu Muin mengatakan ia Tsiqah,Bukhori: laisa bil qowi “tidak begitu kuat (hafalannya)”Yahya bin Mu,in: Laisa bihi Ba’sun (tidak apa-apa) Zakariya bin yahya as-saaji: soduq, laisa bil qowi.

            Ahmad dan adz-Dzahabi menyatakan Tsiqah kepada Shakhra bin juwairiyah al-Bashari ibnu Nafi Maula Bani Tamim. Ibnu Hajar juga berkomentar Tsiqah kepada Nafi abu Abdillah al-Madani (ada yang mengatakan naisabur).

            Menurut pemakalah dari data perawi di atas dapat disimpulkan bahwa hadits tersebut dari segi sanad shahih, sekalipun Maimun beranggapan bahwa Yahya itu dhoif. karena ia tidak mengatakan alasan kedhaifannya.
Urutan periwayatan
1.      Muhammad bin Ismail al-Farisy
2.      Yahya bin Abi Thalib
3.      Abdul Wahab
4.      ibnu Abi Aun
5.      Sakhrun bin juwairiyah
6.      Nafi’
7.      Ibnu Umar

data singkat para periwayat

no
Perawi
komentar
1.
Muhammad bin Ismail al-Farisy

Ibnu Hiban :Tsiqah[1]

2.
Yahya bin Abi Thalib
Wafat :204
Ibnu Sai’id : “soduq”
Ibnu Syahin : Tsiqah
Maimun: Dhaif
Hasan bin sufyan: Tsiqah
3.







4.
Abdul Wahab bin ‘atha al- khaffaf Anu Nasr Al-‘Ajali
Tabaqah 9, Shigar atba”utabiin
Wafat 204, namun ada juga yang mengatakan  206
Tinggal dan meninggal di Baghdad


Ibnu abi Aun (Abdullah bin Aun al-Arthaban)
Ibnu Hajar :shaduq, terkadang munkar, terkadang tadlis
Ibnu Muin : Tsiqah
Bukhori: laisa bil qowi “tidak kuat lumayan”
Yahya bin Mu,in: Laisa bihi Ba’sun (lumayan)
Zakariya bin yahya as-saaji: soduq laisa bil qowi
Ibnu Sa’id : Tsiqah
5.

Shakhra bin juwairiyah al-Bashari ibnu Nafi Maula Bani Tamim
Tabaqah 7: kibar atbauttabi’in


Ahmad: Tsiqah
Adz-Dzahabi: Tsiqah
6.

Nafi abu Abdillah al-Madani (ada yang mengatakan naisabur)
Thabaqah 3,: Ausatu tabi’in
Wafat : 117
Ibnu Hajar :Tsiqah

7.

Abdullah bin umar bin khatab al-Qursyi Abu Abdirrahman Al-Maki al-Madani (ibnu Umar)
Thabaqah 1: sahabat
Wafat 73/74
Ibnu Hajar: sahabat


Ayat Alquran yang berhubungan dengan menjaga harta anak yatim
QS. an-Nisa [4]:2
            Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.
            Tentang bagaimana seorang washi atau wali mempergunakan harta anak yatim, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il, 7/301-302) menjelaskan, ”Mempergunakan harta anak yatim ada tiga tingkatan, buruk, baik, tidak buruk juga tidak baik. Orang yang mempergunakan harta anak yatim dengan cara yang buruk hukumnya haram. Yaitu, seandainya seseorang ingin membeli sesuatu dengan harta anak yatim sedangkan orang tersebut tahu bahwa sesuatu itu jelas merugikan, maka hal itu haram, sebab tidak diragukan bahwa ini merupakan keburukan bagi si yatim.
            Dan apabila sesorang mempergunakan harta tersebut untuk sesuatu yang memang tidak tahu apakah baik atau justru buruk. Maka ini pun hukumnya haram, sebab Allah Ta’ala berfirman (artinya) :
Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat. (QS. Al-An’am [6] : 152)
Jadi, wajib bagi wali anak yatim yang mengurusi harta mereka agar tidak mempergunakannya selain dengan cara yang lebih baik. Dari sini kita bisa ambil kaidah, yaitu bahwa setiap wali siapa saja dan dalam apa saja, agar tidak mengusahakan sesuatu (pada hal yang diurusi) selain (dengan) yang lebih baik.”



[1] lisanul mizan hal 566  juz 6

Minggu, 17 Februari 2013

PERKAWINAN SAMPAI KERASULAN NABI MUHAMMAD SAW


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Sejarah tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. karena itu adalah catatan memori kehidupan. baik itu yang berjalan dengan lurus, maupun dengan berliku. begitu beragam jalan kehidupan manusia, ada yang beruntung ada pula yang buntung. mereka yang beruntunglah yang selalu di naungi dengan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Dan mereka yang buntung yang jalannya selalu di naungi oleh setan-setan yang terkutuk. Begitu pula dengan nabi Muhammad SAW. banyak cobaan dan halangan yang menyertai kehidpuan beliau, mulai dari kecil sampai dewasa banyak halang rintang yang menyertai hehidupan beliau.
Muhammad kecil kehidupannya amat berliku. dari kecil muhammad sudah di tinggal oleh ayahnya beliau hidup  bersama ibu dan kakeknya.
Ketika muhammad saw menginjak usia 25 tahun, beliau di suruh pergi ke syam oleh pamannya untuk mendagangkan dagangan seorang janda kaya yang bernama Khadijah binti Khuwailid. Tanpa disangka dagangan yang di jual oleh Muhammad saw laku keras hingga mendapatkan untung yang sangat besar, dan Khadijah sangat terkagum dengan keadaan itu. Dengan hal itu lah Khadijah terpikat oleh muhammad saw sehingga beliau ingin di nikahi oleh muhammad saw.
Dengan duapuluh ekor unta muda sebagai mas kawin Muhammad melangsungkan perkawinannya itu dengan Khadijah. Ia pindah ke rumah Khadijah dalam memulai hidup barunya itu, hidup suami-isteri dan ibu-bapa, saling mencintai cinta sebagai pemuda berumur duapuluh lima tahun. Ia tidak mengenal nafsu muda yang tak terkendalikan, juga ia tidak mengenal cinta buta yang dimulai seolah nyala api yang melonjak-lonjak untuk kemudian padam kembali. Dari perkawinannya itu ia beroleh beberapa orang anak, laki-laki dan perempuan. 

BAB II
PEMBAHASAN
PERKAWINAN SAMPAI KERASULAN NABI MUHAMMAD SAW
A.    Perjalanan ke Syam yang kedua (595 M)
Ketika Muhammad saw berusia 25 tahun, Abu Thalib berkata kepadanya : “Aku ini orang yang tidak berharta. Sekarang kita sedang mengalami kesulitan. Tapi ini ada khalifah kaummu yang akan segera berangkat ke Syam. Khadijah binti Khuwailid mengirim beberapa orang dari kaummu untuk mengurus barang-barang dagangannya. Kalau kamu datang kepadanya menawarkan diri, niscaya dia akan menerima kamu.”
Pembicaraan  Abu Thalib kepada kemenakannya itu di dengar oleh Khadijah. Maka dia menyuruh seseorang memanggilnya, lalu dia katakan kepadanya: “Aku beri engkau dua kali lipat dari yang kuberikan kepada orang lain dari kaummu.”
Syahdan, berangkatlah Muhammad saw ditemani pembantu Khadijah, Maisarah namanya, setelah paman-pamannya menitipkan dirinya kepada semua peserta rombongan.
Demikianlah, sehingga manakala mereka tiba di Bushra, sebuah kota di wilayah Syam yang terletak di jalan menuju Damaskus, mereka singgah disana, sementara Muhammad saw dan temannya berteduh dibawah sebatang pohon. Melihat itu, seorang rahib bernama Nasthur berkata: “Tidaklah berteduh dibawah pohon ini, melainkan seorang nabi.”
Nasthur bertanya kepada Maisarah: “apakah di kedua matanya ada warna kemerahan?”
“Ya,” jawab Maisarah, “warna merah itu tidak pernah hilang darinya.”
“Dia adalah nabi terakhir,” tegas sang rahib.
Selama dalam perjalanan, apabila cuaca amat panas ditengah hari, Maisarah  melihat dua orang malaikat menaungi Muhammad saw dari terik matahari. Maisarah  menyadari itu semua.
Di Syam mereka menjual barang dagangan mereka dan memperoleh keuntungan berlipat dibanding orang-orang lain. Sekembalinya dari perjalanan itu, Maisarah menceritakan kepada Khadijah ada yang dikatakan rahib nasthur, dan ketika khadijah melihat keuntungan yang begitu besar, dia memberi upah kepada Muhammad saw berlipat dari apa yang telah dia janjikan.
Ketika menceritakan perjalan ini, Mr. Muir berkata: “kapan pun saja sebenarnya Muhammad saw tak pernah menginginkan kekayaan. Usaha yang dia lakukan tak lain adalah untuk orang lain. Andaikan dia hanya memikirkan dirinya sendiri, niscaya dia memilih hidup tenang dan damai, puas menerima apa adanya, dan tidak perlu berpikir untuk melakukan perjalanan seperti ini. Akan tetapi, ketika pamannya menawarkan kepadanya perjalanan tersebut, maka jiwanya yang mulia pun tersentuh. Dia merasakan pentingnya mengatasi kesulitan yang dialami pamannya, maka dia pun memnuhi permintaan pamannya dengan senang hati.”
B.     Pernikahan Muhammad saw dengan Khadijah ra.
Khadijah binti Khuwalid bin Asad bin ‘Abdul ‘Uzza bin Qushay adalah seorang wanita yang berwatak teguh, tangguh, terhormat, kaya, dan cantik, dari keluarga Qushay yang mulia nasabnya dan luhur derajatnya. Semasa zaman jahiliyyah dia disebut Ath-Thahirah dan Sayyidatu Quraisy.
Sebagai seorang  janda, banyaklah lelaki yang melamarnya, tetapi dia selalu menolak. Namun sepulang Muhammad saw. dari perjalanan ke Syam, Khadijah menyuruh seseorang supaya datang kepadanya dan menganjurkannya menikah. Konon, Khadijah menyuruh saudara perempuannya, dan ada pula yang mengatakan, dia menyuruh seorang mantan budaknya, Nafisah.
“Aku tidak punya apa-apa untuk menikah,” jawab SAW ketika itu.
Kata Nafisah : “Kalau ada yang tidak meminta apa-apa kepadamu, bahkan dia mengajakmu berumah tangga, orangnya kaya, cantik, terhormat, dan memadai, tidakkah engkau mau?”
“Siapa dia?”tanya Muhammad saw,
Dijawabnya : “Khadijah.”
“Baiklah, aku mau, “kata Muhammad saw
Dengan jawaban itu, wanita suruhan Khadijah itu segara pergi menemuinya, lalu mengabarkan kepadanya kesedaiaan Muhammad SAW. Selanjutnya, Khadijah mengirim seseorang kepada lelaki pujaannya itu agar datang pada waktu tertentu, sementara dia mengirim pula seseorang untuk menemui pamannya, ‘Amr bin Asad, supaya menikahkannya.
Maka datanglah Muhammad saw ke rumah Khadijah bersama paman-pamannya. Salah seorang dari mereka kemudian menikahkan beliau. Saat itu ‘Amr bin Asad berkata : “Sang jagoan ini benar-benar hebat.”
Muhammad SAW menikahi Khadijah saat berusia 25 tahun, sedangkan Khadijah saat itu berusia 40 tahun. Penikahan dilaksanakan dua bulan sekembalinya dari Syam. Akad pernikahan tersebut dihadiri para pemimpin Mudhar, dan juga Abu Bakar ra. Seusai akad nikah Abu Thalib berkhutbah :
“Segala puji bagi Allah, yang telah menjadikan kami keturunan Ibrahim, tanaman Isma’il, bersumber dari Ma’ad, dan berasal dari Mudhar. Dia telah menjadikan kita pemelihara bait-Nya dan penjaga Tanah Haram-Nya, menjadikan untuk kita sebuah rumah yang selalu dikunjungi orang dan Tanah Haram yang aman, dan menjadikan kita pemerintah atas sekalian manusia.
Amma ba’du, sesungguhnya kemenakanku ini, Muhammad bin ‘Abdullah, tidak bisa dibandingkan dengan siapa pun, melainkan dia lebih unggul kemuliaannya, derajatnya, keutamaannya, dan akal pikirannya, meskipun dalam soal harta dia miskin. Tapi harta hanyalah bayang-bayang yang akan lenyap dan perkara yang akan sirna. Muhammad adalah oarng yang telah kalian ketahui kekerabatannya. Dia telah melamar Khadijah binti Khuwailid dan memberinya maskawin yang dia tangguhkan dan dia segerakan sejumlah sekian. Tapi sesudah ini, demi Allah, dia akan membuat sesuatu berita besar dan perkara penting yang luar biasa.
Setelah Abu Thalib mengakhiri khutbahnya, Waraqah bin Naufal, sepupu Khadijah, beerkata :
“Segala puji bagi Allah yang menjadikan kita sebagaimana yang engkau katakan, dan melebihkan kita atas apa yang engkau bilang tadi. Kita adalah para pembesar dan pemimpin Arab, dan engkau sekalian pantaslah disebut demikian. Tidak ada satu keluarga pun yang mengingkari keutamaan kalian. Tidak ada seorang manusia pun yang tidak mengakui kebesaran dan kemuliaan kalian. Kami senang menyambung tali dan kemuliaan kalian. Maka saksikanlah, wahai sekalian orang-orang Quraisy, bahwa aku telah menikahkan Khadijah binti Khuwailid dengan Muhammad bin ‘Abdullah dengan maskawin sekian.”
Sesudah itu diam.
Abu Thalib berkata : “Saya ingin pamannya juga ikut berbicara.”
Maka berkatalah ‘Amr bin Asad, paman Khadijah : “Saksikanlah, wahai sekalian orang-orang Quraisy, bahwa saya telah menikahkan Muhammad bin ‘Abdullah dengan Khadijah binti Khuwailid.”
Maka Muhammad saw pun menerima pernikahan itu, disaksikan para pembesar Quraisy.
Muhammad saw kemudian mengadakan walimah. Dia menyembelih se ekor unta. Ada juga yang mengatakan, dua ekor unta. Dia hidangkan makanan kepada orang-orang, sementara Khadijah menyuruh budak-budak perempuannya menari dan menabuh rebana. Abu Thalib sangat gembira dan berkata : “Segala puji bagi Allah, yang telah menghilangkan kesulitan dari kami dan melenyapkan kesusahan dari kami.”
Ini adalah walimah yang pertama-tama diadakan Muhammad saw.
Kata Al-Waqidi, ada pula sebagian ahli sejarah mengatakan, bahwa Khadijah mengirim seseorang kepada Muhammad saw, mengajaknya untuk menikahi dirinya. Dia adalah wanita mulia. Setiap oarng Quraisy ingin sekali menikahinya dan bersedia mengeluarkan banyak harta untuk melaksanakan keinginan mereka.
Tapi akhirnya Khadijah memanggil ayahnya dan menghidangkan kepadanya khamr sampai mabuk. Dia menyembelih pula seekor sapi, lalu mengharumi ayahnya itu dengan wewangian, dan mendandaninya dengan pakaian indah. Sesudah itu, dia kirim seseorang kepada Muhammad saw, menyuruhnya datang bersama pamannya. Maka mereka datang menemui ayah Khadijah, lalu dia menikahkan Muhammad saw dengan putrinya.
Ketika ayah Khadijah sadar, dia berkata : “Sembelihan apa ini, bau apa ini, dan pakaian apa ini?”
Khadijah berkata : “Engkau telah menikahkan aku dengan Muhammad bin ‘Abdullah.”
“Aku tidak melakukan itu,” kata orang tua itu. “ Bagaimana mungkin aku melakukannya? Bukankah kamu telah dilamar para pembesar Quraisy, itu pun aku tidak mau melakukannya.”
Kata Al-Waqidi : “Itu semua salah. Yang benar dan mahfuzh menurut kami adalah cerita dari Muhammad bin ‘Abdulllah bin Muslim, dari ayahnya, dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im, dan cerita dari Abu Zanad, dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, dari ‘Aisyah, dan cerita dari Ibnu Abi Habibah, dari Dawud bin Al-Hushain, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas, “bahwa Khadijah dinikahkan oleh pamannya, ‘Amr bin Asad, dengan Rasulullah. Adapun ayahnya, Khuwailid bin Asad, telah meninggal dunia sebelum terjadinya Perang Fijar.”
Sebelum menikah dengan Muhammad saw, Khadijah telah menikah terlebih dahulu semasa gadisnya dengan Atiq bin A’idz bin ‘Abdullah bin ‘Amr bin Makhzum, kemudian dia meninggal. Setelah itu Khadijah menikah lagi dengan Abu Halah An-Nabasy bin Zarrarah.
Dari pernikahannya dengan Atiq, Khadijah melahirkan Hindun binti Atiq, dan dari perkawinannya dengan Abu Halah, Khadijah melahirkan Hindun binti Abu Halah dan Halah bin Abu Halah. Semua anak-anak itu adalah saudara-saudara seibu dengan anak-anak Rasulullah dari Khadijah.
Setelah menikah dengan Khadijah, Muhammad saw tidak pernah bepergian lagi untuk berniaga. Dia tetep tinggal d Makkah, sampai hijrah ke Madinah.
Dari pernikahannya dengan Muhammad saw, Khadijah melahirkan semua anak-anak beliau, kecuali Ibrahim, karena dia lahir dari Mariyah Al-Qibthiyah. Anak tertua beliau adalah Al-Qasim. Oleh karenanya, beliau diberi kunyah Abul Qasim. Sesudah Al-Qasim, lahirlah Ath-Thayib, kemudian Ath-Thahir, kemudian Ruqayyah, kemudian Zainab, lalu Ummu Kultsum, lalu Fathimah.
Kata Al-Waqidi : “Saya lihat sahabat-sahabat kami tidak menyatakan adanya putra Rasulullah yang bernama Ath-Thayib. Mereka katakan, dia adalah Ath-Thahir.”
C.    Perawakan dan Sifat-sifat Muhammad
Dengan duapuluh ekor unta muda sebagai mas kawin Muhammad melangsungkan perkawinannya itu dengan Khadijah. Ia pindah ke rumah Khadijah dalam memulai hidup barunya itu, hidup suami-isteri dan ibu-bapak, saling mencintai. cinta sebagai pemuda berumur duapuluh lima tahun. Ia tidak mengenal nafsu muda yang tak terkendalikan, juga ia tidak mengenal cinta buta yang dimulai seolah nyala api yang melonjak-lonjak untuk kemudian padam kembali. Dari perkawinannya itu ia beroleh beberapa orang anak, laki-laki dan perempuan. Kematian kedua anaknya, al-Qasim dan Abdullah at-Tahir at-Tayyib[1] telah menimbulkan rasa duka yang dalam sekali. Anak-anak yang masih hidup semua perempuan. Bijaksana sekali ia terhadap anak-anaknya dan sangat lemah-lembut. Merekapun sangat setia dan hormat kepadanya.
Paras mukanya manis dan indah, Perawakannya sedang, tidak terlampau tinggi, juga tidak pendek, dengan bentuk kepala yang besar, berambut hitam sekali antara keriting dan lurus. Dahinya lebar dan rata di atas sepasang alis yang lengkung lebat dan bertaut, sepasang matanya lebar dan hitam, di tepi-tepi putih matanya agak ke merah-merahan, tampak lebih menarik dan kuat. pandangan matanya tajam, dengan bulu-mata yang hitam-pekat. Hidungnya halus dan merata dengan barisan gigi yang bercelah-celah. Cambangnya lebar sekali, berleher panjang dan indah. Dadanya lebar dengan kedua bahu yang bidang. Warna kulitnya terang dan jernih dengan kedua telapak tangan dan kakinya yang tebal.
Bila berjalan badannya agak condong kedepan, melangkah cepat-cepat dan pasti. Air mukanya membayangkan renungan dan penuh pikiran, pandangan matanya menunjukkan kewibawaan, membuat orang patuh kepadanya.
Dengan sifatnya yang demikian itu tidak heran bila Khadijah cinta dan patuh kepadanya, dan tidak pula mengherankan bila Muhammad dibebaskan mengurus hartanya dan dia sendiri yang memegangnya seperti keadaannya semula dan membiarkannya menggunakan waktu untuk berpikir dan berenung.
Muhammad yang telah mendapat karunia Tuhan dalam perkawinannya dengan Khadijah itu berada dalam kedudukan yang tinggi dan harta yang cukup. Seluruh penduduk Mekah memandangnya dengan rasa gembira dan hormat. Mereka melihat karunia Tuhan yang diberikan kepadanya serta harapan akan membawa turunan yang baik dengan Khadijah. Tetapi semua itu tidak mengurangi pergaulannya dengan mereka. Dalam hidup hari-hari dengan mereka partisipasinya tetap seperti sediakala. Bahkan ia lebih dihormati lagi di tengah-tengah mereka itu. Sifatnya yang sangat rendah hati lebih kentara lagi. Bila ada yang mengajaknya bicara ia mendengarkan hati-hati sekali tanpa menoleh kepada orang lain. Tidak saja mendengarkan kepada yang mengajaknya bicara, bahkan ia rnemutarkan seluruh badannya. Bicaranya sedikit sekali, lebih banyak ia mendengarkan. Bila bicara selalu bersungguh-sungguh, tapi sungguhpun begitu iapun tidak melupakan ikut membuat humor dan bersenda-gurau, tapi yang dikatakannya itu selalu yang sebenarnya. Kadang ia tertawa sampai terlihat gerahamnya. Bila ia marah tidak pernah sampai tampak kemarahannya, hanya antara kedua keningnya tampak sedikit berkeringat. Ini disebabkan ia menahan rasa amarah dan tidak mau menampakkannya keluar. Semua itu terbawa oleh kodratnya yang selalu lapang dada, berkemauan baik dan menghargai orang lain. Bijaksana ia, murah hati dan mudah bergaul. Tapi juga ia mempunyai tujuan pasti, berkemauan keras, tegas dan tak pernah ragu-ragu dalam tujuannya. Sifat-sifat demikian ini berpadu dalam dirinya dan meninggalkan pengaruh yang dalam sekali pada orang-orang yang bergaul dengan dia. Bagi orang yang melihatnya tiba-tiba, sekaligus akan timbul rasa hormat, dan bagi orang yang bergaul dengan dia akan timbul rasa cinta kepadanya.
Alangkah besarnya pengaruh yang terjalin dalam hidup kasih-sayang antara dia dengan Khadijah sebagai isteri yang sungguh setia itu.
D.  Penduduk Mekah Membangun Ka'bah          
Pergaulan Muhammad dengan penduduk Mekah tidak terputus, juga partisipasinya dalam kehidupan masyarakat hari-hari. Pada waktu itu masyarakat sedang sibuk karena bencana banjir besar yang turun dari gunung, pernah menimpa dan meretakkan dinding-dinding Ka'bah yang memang sudah rapuk. Sebelum itupun pihak Quraisy memang sudah memikirkannya. Tempat yang tidak beratap itu menjadi sasaran pencuri mengambil barang-barang berharga di dalamnya. Hanya saja Quraisy merasa takut kalau bangunannya diperkuat, pintunya ditinggikan dan diberi beratap, dewa Ka'bah yang suci itu akan menurunkan bencana kepada mereka. Sepanjang zaman Jahiliyah keadaan mereka diliputi oleh pelbagai macam legenda yang mengancam barangsiapa yang berani mengadakan sesuatu perubahan. Dengan demikian perbuatan itu dianggap tidak umum.
Tetapi sesudah mengalami bencana banjir tindakan demikian itu adalah suatu keharusan, walaupun masih serba takut-takut dan ragu-ragu. Suatu peristiwa kebetulan telah terjadi sebuah kapal milik seorang pedagang Rumawi bernama Baqum[2] yang datang dari Mesir terhempas di laut dan pecah. Sebenarnya Baqum ini seorang ahli bangunan yang mengetahui juga soal-soal perdagangan. Sesudah Quraisy mengetahui hal ini, maka berangkatlah al-Walid bin'l-Mughira dengan beberapa orang dari Quraisy ke Jidah. Kapal itu dibelinya dari pemiliknya, yang sekalian diajaknya berunding supaya sama-sama datang ke Mekah guna membantu mereka membangun Ka'bah kembali. Baqum menyetujui permintaan itu. Pada waktu itu di Mekah ada seorang Kopti yang mempunyai keahlian sebagai tukang kayu. Persetujuan tercapai bahwa diapun akan bekerja dengan mendapat bantuan Baqum.
Sudut-sudut Ka'bah itu oleh Quraisy dibagi empat bagian tiap kabilah mendapat satu sudut yang harus dirombak dan dibangun kembali. Sebelum bertindak melakukan perombakan itu mereka masih ragu-ragu, kuatir akan mendapat bencana. Kemudian al-Walid bin'l-Mughira tampil ke depan dengan sedikit takut-takut. Setelah ia berdoa kepada dewa-dewanya mulai ia merombak bagian sudut selatan.[3] Tinggal lagi orang menunggu-nunggu apa yang akan dilakukan Tuhan nanti terhadap al-Walid. Tetapi setelah ternyata sampai pagi tak terjadi apa-apa, merekapun ramai-ramai merombaknya dan memindahkan batu-batu yang ada. Dan Muhammad ikut pula membawa batu itu.
Setelah mereka berusaha membongkar batu hijau yang terdapat di situ dengan pacul tidak berhasil, dibiarkannya batu itu sebagai fondasi bangunan. Dan gunung-gunung sekitar tempat itu sekarang orang-orang Quraisy mulai mengangkuti batu-batu granit berwarna biru, dan pembangunanpun segera dimulai. Sesudah bangunan itu setinggi orang berdiri dan tiba saatnya meletakkan Hajar Aswad yang disucikan di tempatnya semula di sudut timur, maka timbullah perselisihan di kalangan Quraisy, siapa yang seharusnya mendapat kehormatan meletakkan batu itu di tempatnya. Demikian memuncaknya perselisihan itu sehingga hampir saja timbul perang saudara karenanya. Keluarga Abd'd-Dar dan keluarga 'Adi bersepakat takkan membiarkan kabilah yang manapun campur tangan dalam kehormatan yang besar ini. Untuk itu mereka mengangkat sumpah bersama. Keluarga Abd'd-Dar membawa sebuah baki berisi darah. Tangan mereka dimasukkan ke dalam baki itu guna memperkuat sumpah mereka. Karena itu lalu diberi nama La'aqat'd-Dam, yakni 'jilatan darah.'
Abu Umayya bin'l-Mughira dari Banu Makhzum, adalah orang yang tertua di antara mereka, dihormati dan dipatuhi. Setelah melihat keadaan serupa itu ia berkata kepada mereka:
"Serahkanlah putusan kamu ini di tangan orang yang pertama sekali memasuki pintu Shafa ini."
E.     Putusan Muhammad Tentang Hajar Aswad  
Tatkala mereka melihat Muhammad adalah orang pertama memasuki tempat itu, mereka berseru: "Ini al-Amin, kami dapat menerima keputusannya."
Lalu mereka menceritakan peristiwa itu kepadanya. Ia pun mendengarkan dan sudah melihat di mata mereka betapa berkobarnya api permusuhan itu. Ia berpikir sebentar, lalu katanya: "Kemarikan sehelai kain," katanya. Setelah kain dibawakan dihamparkannya dan diambilnya batu itu lalu diletakkannya dengan tangannya sendiri, kemudian katanya; "Hendaknya setiap ketua kabilah memegang ujung kain ini."
Mereka bersama-sama membawa kain tersebut ke tempat batu itu akan diletakkan. Lalu Muhammad mengeluarkan batu itu dari kain dan meletakkannya di tempatnya. Dengan demikian perselisihan itu berakhir dan bencana dapat dihindarkan.
Quraisy menyelesaikan bangunan Ka'bah sampai setinggi delapanbelas hasta (± 11 meter), dan ditinggikan dari tanah sedemikian rupa, sehingga mereka dapat menyuruh atau melarang orang masuk. Di dalam itu mereka membuat enam batang tiang dalam dua deretan dan di sudut barat sebelah dalam dipasang sebuah tangga naik sampai ke teras di atas lalu meletakkan Hubal di dalam Ka'bah. Juga di tempat itu diletakkan barang-barang berharga lainnya, yang sebelum dibangun dan diberi beratap menjadi sasaran pencurian.
Mengenai umur Muhammad waktu membina Ka'bah dan memberikan keputusannya tentang batu itu, masih terdapat perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan berumur duapuluh lima tahun. Ibn Ishaq berpendapat umurnya tigapuluh lima tahun. Kedua pendapat itu baik yang pertama atau yang kemudian, sama saja tapi yang jelas cepatnya Quraisy menerima ketentuan orang yang pertama memasuki pintu Shafa, disusul dengan tindakannya mengambil batu dan diletakkan di atas kain lalu mengambilnya dari kain dan diletakkan di tempatnya dalam Ka'bah, menunjukkan betapa tingginya kedudukannya dimata penduduk Mekah, betapa besarnya penghargaan mereka kepadanya sebagai orang yang berjiwa besar.
Adanya pertentangan antar kabilah, adanya persepakatan La'aqat'd-Dam ('Jilatan Darah'), dan menyerahkan putusan kepada barangsiapa mula-mula memasuki pintu Shafa, menunjukkan bahwa kekuasaan di Mekah sebenarnya sudah jatuh.
Kekuasaan yang dulu ada pada Qushayy, Hasyim dan Abd'l-Muttalib sekarang sudah tak ada lagi. Adanya pertentangan kekuasaan antara keluarga Hasyim dan keluarga Umayya sesudah matinya Abd'l-Muttalib besar sekali pengaruhnya.
F.     Putera-puteri Muhammad         
Selama bertahun-tahun Muhammad tetap bersama-sama penduduk Mekah dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Ia menemukan dalam diri Khadijah teladan wanita terbaik; wanita yang subur dan penuh kasih, menyerahkan seluruh dirinya kepadanya, dan telah melahirkan anak-anak seperti: al-Qasim dan Abdullah yang dijuluki at-Tahir dan at-Tayyib, serta puteri-puteri seperti Zainab, Ruqayya, Umm Kulthum dan Fatimah. Tentang al-Qasim dan Abdullah tidak banyak yang diketahui, kecuali disebutkan bahwa mereka mati kecil pada zaman Jahiliah dan tak ada meninggalkan sesuatu yang patut dicatat. Tetapi yang pasti kematian itu meninggalkan bekas yang dalam pada orangtua mereka. Demikian juga pada diri Khadijah terasa sangat memedihkan hatinya.
G.    Kematian putera-puterinya          
Pada tiap kematian itu dalam zaman Jahiliyah tentu Khadijah pergi menghadap sang berhala menanyakannya, kenapa berhalanya itu tidak memberikan kasih-sayangnya, kenapa berhala itu tidak melimpahkan rasa kasihan, sehingga dia mendapat kemalangan, ditimpa kesedihan berulang-ulang? Perasaan sedih karena kematian anak demikian sudah tentu dirasakan juga oleh suaminya. Rasa sedih ini selalu melecut hatinya, yang hidup terbayang pada isterinya, terlihat setiap ia pulang ke rumah duduk-duduk di sampingnya.
Tidak begitu sulit bagi kita akan menduga betapa dalamnya rasa sedih demikian itu, pada suatu zaman yang membenarkan anak-anak perempuan dikubur hidup-hidup dan menjaga keturunan laki-laki sama dengan menjaga suatu keharusan hidup, bahkan lebih lagi dan itu. Cukuplah jadi contoh betapa besarnya kesedihan itu, Muhammad tak dapat menahan diri atas kehilangan tersebut, sehingga ketika Zaid b. Haritha didatangkan dimintanya kepada Khadijah supaya dibelinya kemudian dimerdekakannya. Waktu itu orang menyebutnya Zaid bin Muhammad. Keadaan ini tetap demikian hingga akhirnya ia menjadi pengikut dan sahabatnya yang terpilih. Juga Muhammad merasa sedih sekali ketika kemudian anaknya, Ibrahim meninggal pula. Kesedihan demikian ini timbul juga sesudah Islam mengharamkan menguburkan anak perempuan hidup-hidup, dan sesudah menentukan bahwa sorga berada di bawah telapak kaki ibu.
 Sudah tentu malapetaka yang menimpa Muhammad dengan kematian kedua anaknya berpengaruh juga dalam kehidupan dan pemikirannya. Sudah tentu pula pikiran dan perhatiannya tertuju pada kemalangan yang datang satu demi satu itu menimpa, yang oleh Khadijah dilakukan dengan membawakan sesajen buat berhala-berhala dalam Ka'bah, menyembelih hewan buat Hubal, Lat, 'Uzza dan Manat, ketiga yang terakhir[4].
Ia ingin menebus bencana kesedihan yang menimpanya. Akan tetapi, semua kurban-kurban dan penyembelihan itu tidak berguna sama sekali.
H.    Perkawinan Puteri-puterinya         
Terhadap anak-anaknya yang perempuan juga Muhammad memberikan perhatian, dengan mengawinkan mereka kepada yang dianggapnya memenuhi syarat (kufu'). Zainab yang sulung dikawinkan dengan Abu'l-'Ash bin'r-Rabi' b.'Abd Syams - ibunya masih bersaudara dengan Khadijah  seorang pemuda yang dihargai masyarakat karena kejujuran dan suksesnya dalam dunia perdagangan. Perkawinan ini serasi juga, sekalipun kemudian sesudah datangnya Islam.  ketika Zainab akan hijrah dan Mekah ke Medinah  mereka terpisah, seperti yang akan kita lihat lebih terperinci nanti. Ruqayya dan Umm Kulthum dikawinkan dengan 'Utba dan 'Utaiba anak-anak Abu Lahab, pamannya. Kedua isteri ini sesudah Islam terpisah dari suami mereka, karena Abu Lahab menyuruh kedua anaknya itu menceraikan isteri mereka, yang kemudian berturut-turut menjadi isteri Usman.[5]
Ketika itu Fatimah masih kecil dan perkawinannya dengan Ali baru sesudah datangnya Islam.
Kehidupan Muhammad dalam usia demikian itu ternyata tenteram adanya. Kalau tidak karena kehilangan kedua anaknya itu tentu itulah hidup yang sungguh nikmat dirasakan bersama Khadijah, yang setia dan penuh kasih, hidup sebagai ayah-bunda yang bahagia dan rela. Oleh karena itu wajar sekali apabila Muhammad membiarkan dirinya berjalan sesuai dengan bawaannya, bawaan berpikir dan bermenung, dengan mendengarkan percakapan masyarakatnya tentang berhala-berhala, serta apa pula yang dikatakan orang-orang Nasrani dan Yahudi tentang diri mereka itu. Ia berpikir dan merenungkan. Di kalangan masyarakatnya dialah orang yang paling banyak berpikir dan merenung. Jiwa yang kuat dan berbakat ini, jiwa yang sudah mempunyai persiapan kelak akan menyampaikan risalah Tuhan kepada umat manusia, serta mengantarkannya kepada kehidupan rohani yang hakiki, jiwa demikian tidak mungkin berdiam diri saja melihat manusia yang sudah hanyut ke dalam lembah kesesatan. Sudah seharusnya ia mencari petunjuk dalam alam semesta ini, sehingga Tuhan nanti menentukannya sebagai orang yang akan menerima risalahNya. Begitu besar dan kuatnya kecenderungan rohani yang ada padanya, ia tidak ingin menjadikan dirinya sebangsa dukun atau ingin menempatkan diri sebagai ahli pikir seperti dilakukan oleh Waraqa b. Naufal dan sebangsanya. Yang dicarinya hanyalah kebenaran semata. Pikirannya penuh untuk itu, banyak sekali ia bermenung. Pikiran dan renungan yang berkecamuk dalam hatinya itu sedikit sekali dinyatakan kepada orang lain.
I.       Kecenderungan Muhammad Menyendiri         
Sudah menjadi kebiasaan orang-orang Arab masa itu bahwa golongan berpikir mereka selama beberapa waktu tiap tahun menjauhkan diri dari keramaian orang, berkhalwat dan mendekatkan diri kepada tuhan-tuhan mereka dengan bertapa dan berdoa, mengharapkan diberi rejeki dan pengetahuan. Pengasingan untuk beribadat semacam ini mereka namakan tahannuf dan tahannuth.[6]
Di tempat ini rupanya Muhammad mendapat tempat yang paling baik guna mendalami pikiran dan renungan yang berkecamuk dalam dirinya. Juga di tempat ini ia mendapatkan ketenangan dalam dirinya serta obat penawar hasrat hati yang ingin menyendiri, ingin mencari jalan memenuhi kerinduannya yang selalu makin besar, ingin mencapai ma'rifat serta mengetahui rahasia alam semesta.
J.      Menjauhi Dosa ke Gua Hira         
Di puncak Gunung Hira, sejauh dua farsakh[7] sebelah utara Mekah terletak sebuah gua yang baik sekali buat tempat menyendiri dan tahannuth. Sepanjang bulan Ramadan tiap tahun ia pergi ke sana dan berdiam di tempat itu, cukup hanya dengan bekal sedikit yang dibawanya. Ia tekun dalam renungan dan ibadat, jauh dari segala kesibukan hidup dan keributan manusia. Ia mencari Kebenaran, dan hanya kebenaran semata.
Demikian kuatnya ia merenung mencari hakikat kebenaran itu, sehingga lupa ia akan dirinya, lupa makan, lupa segala yang ada dalam hidup ini. Sebab, segala yang dilihatnya dalam kehidupan manusia sekitarnya, bukanlah suatu kebenaran. Di situ ia mengungkapkan dalam kesadaran batinnya segala yang disadarinya. Tambah tidak suka lagi ia akan segala prasangka yang pernah dikejar-kejar orang.
Ia tidak berharap kebenaran yang dicarinya itu akan terdapat dalam kisah-kisah lama atau dalam tulisan-tulisan para pendeta, melainkan dalam alam sekitarnya: dalam luasan langit dan bintang-bintang, dalam bulan dan matahari, dalam padang pasir di kala panas membakar di bawah sinar matahari yang berkilauan. Atau di kala langit yang jernih dan indah, bermandikan cahaya bulan dan bintang yang sedap dan lembut, atau dalam laut dan deburan ombak, dan dalam segala yang ada di balik itu, yang ada hubungannya dengan wujud ini, serta diliputi seluruh kesatuan wujud. Dalam alam itulah ia mencari Hakekat Tertinggi. Dalam usaha mencapai itu, pada saat-saat ia menyendiri demikian jiwanya membubung tinggi akan mencapai hubungan dengan alam semesta ini, menembusi tabir yang menyimpan semua rahasia. Ia tidak memerlukan permenungan yang panjang guna mengetahui bahwa apa yang oleh masyarakatnya dipraktekkan dalam soal-soal hidup dan apa yang disajikan sebagai kurban-kurban untuk tuhan-tuhan mereka itu, tidak membawa kebenaran sama sekali. Berhala-berhala yang tidak berguna, tidak menciptakan dan tidak pula mendatangkan rejeki, tak dapat memberi perlindungan kepada siapapun yang ditimpa bahaya. Hubal, Lat dan 'Uzza, dan semua patung-patung dan berhala-berhala yang terpancang di dalam dan di sekitar Ka'bah, tak pernah menciptakan, sekalipun seekor lalat, atau akan mendatangkan suatu kebaikan bagi Mekah.
Tetapi! Ah, di mana gerangan kebenaran itu! Gerangan di mana kebenaran dalam alam semesta yang luas ini, luas dengan buminya, dengan lapisan-lapisan langit dan bintang-bintangnya? Adakah barangkali dalam bintang yang berkelip-kelip, yang memancarkan cahaya dan kehangatan kepada manusia, dari sana pula hujan diturunkan, sehingga karenanya manusia dan semua makhluk yang ada di muka bumi ini hidup dari air, dari cahaya dan kehangatan udara? Tidak! Bintang-bintang itu tidak lain adalah benda-benda langit seperti bumi ini juga. Atau barangkali di balik benda-benda itu terdapat eter yang tak terbatas, tak berkesudahan?
Tetapi apa eter itu? Apa hidup yamg kita alami sekarang, dan besok akan berkesudahan? Apa asalnya, dan apa sumbernya? Kebetulan sajakah bumi ini dijadikan dan dijadikan pula kita di dalamnya? Tetapi, baik bumi atau hidup ini sudah mempunyai ketentuan yang pasti yang tak berubah-ubah, dan tidak mungkin bila dasarnya hanya kebetulan saja. Apa yang dialami manusia, kebaikan atau keburukan, datang atas kehendak manusia sendiri, ataukah itu sudah bawaannya sendiri pula sehingga tak kuasa ia memilih yang lain?
Masalah-masalah kejiwaan dan kerohanian serupa itu, itu juga yang dipikirkan Muhammad selama ia mengasingkan diri dan bertekun dalam Gua Hira'. Ia ingin melihat Kebenaran itu dan melihat hidup itu seluruhnya. Pemikirannya itu memenuhi jiwanya, memenuhi jantungnya, pribadinya dan seluruh wujudnya. Siang dan malam hal ini menderanya terus menerus. Bilamana bulan Ramadan sudah berlalu dan ia kembali kepada Khadijah, pengaruh pikiran yang masih membekas padanya membuat Khadijah menanyakannya selalu, karena diapun ingin lega hatinya bila sudah diketahuinya ia dalam sehat dan afiat.
Dalam melakukan ibadat selama dalam tahannuth itu adakah Muhammad menganut sesuatu syariat tertentu? Dalam hal ini ulama-ulama berlainan pendapat. Dalam Tarikh-nya Ibn Kathir menceritakan sedikit tentang pendapat-pendapat mereka mengenai syariat yang digunakannya melakukan ibadat itu: Ada yang mengatakan menurut syariat Nuh, ada yang mengatakan menurut Ibrahim, yang lain berkata menurut syariat Musa, ada yang mengatakan menurut Isa dan ada pula yang mengatakan, yang lebih dapat dipastikan, bahwa ia menganut sesuatu syariat dan diamalkannya. Barangkali pendapat yang terakhir ini lebih tepat daripada yang sebelumnya. Ini adalah sesuai dengan dasar renungan dan pemikiran yang menjadi kedambaan Muhammad.
Tahun telah berganti tahun dan kini telah tiba pula bulan Ramadan. Ia pergi ke Hira', ia kembali bermenung, sedikit demi sedikit ia bertambah matang, jiwanyapun semakin penuh. Sesudah beberapa tahun jiwa yang terbawa oleh Kebenaran Tertinggi itu dalam tidurnya bertemu dengan mimpi hakiki yang memancarkan cahaya kebenaran yang selama ini dicarinya Bersamaan dengan itu pula dilihatnya hidup yang sia-sia, hidup tipu-daya dengan segala macam kemewahan yang tiada berguna.
Ketika itulah ia percaya bahwa masyarakatnya telah sesat dari jalan yang benar, dan hidup kerohanian mereka telah rusak karena tunduk kepada khayal berhala-berhala serta kepercayaan-kepercayaan semacamnya yang tidak kurang pula sesatnya. Semua yang sudah pernah disebutkan oleh kaum Yahudi dan kaum Nasrani tak dapat menolong mereka dari kesesatan itu. Apa yang disebutkan mereka itu masing masing memang benar; tapi masih mengandung bermacam-macam takhayul dan pelbagai macam cara paganisma, yang tidak mungkin sejalan dengan kebenaran sejati, kebenaran mutlak yang sederhana, tidak mengenal segala macam spekulasi perdebatan kosong, yang menjadi pusat perhatian kedua golongan Ahli Kitab itu. Dan Kebenaran itu ialah Allah, Khalik seluruh alam, tak ada tuhan selain Dia. Kebenaran itu ialah Allah Pemelihara semesta alam. Dialah Maha Rahman dan Maha Rahim. Kebenaran itu ialah bahwa manusia dinilai berdasarkan perbuatannya. "Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat atompun akan dilihatNya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat atompun akan dilihatNya pula." (Qur'an, 99:7-8) Dan bahwa surga itu benar adanya dan nerakapun benar adanya. Mereka yang menyembah tuhan selain Allah mereka itulah menghuni neraka, tempat tinggal dan kediaman yang paling durhaka.
K.    Mimpi Hakiki         
Muhammad sudah menjelang usia empatpuluh tahun. Pergi ia ke Hira' melakukan tahannuth. Jiwanya sudah penuh iman atas segala apa yang telah dilihatnya dalam mimpi hakiki itu. Ia telah membebaskan diri dari segala kebatilan. Tuhan telah mendidiknya, dan didikannya baik sekali. Dengan sepenuh kalbu ia menghadapkan diri ke jalan lurus, kepada Kebenaran yang Abadi. Ia telah menghadapkan diri kepada Allah dengan seluruh jiwanya agar dapat memberikan hidayah dan bimbingan kepada masyarakatnya yang sedang hanyut dalam lembah kesesatan.
Dalam hasratnya menghadapkan diri itu ia bangun tengah malam, kalbu dan kesadarannya dinyalakan. Lama sekali ia berpuasa, dengan begitu renungannya dihidupkan. Kemudian ia turun dari gua itu, melangkah ke jalan-jalan di sahara. Lalu ia kembali ke tempatnya berkhalwat, hendak menguji apa gerangan yang berkecamuk dalam perasaannya itu, apa gerangan yang terlihat dalam mimpi itu? Hal serupa itu berjalan selama enam bulan, sampai-sampai ia merasa khawatir akan membawa akibat lain terhadap dirinya. Oleh karena itu ia menyatakan rasa kekhawatirannya itu kepada Khadijah dan menceritakan apa yang telah dilihatnya. Ia kuatir kalau-kalau itu adalah gangguan jin.
Tetapi isteri yang setia itu dapat menenteramkan hatinya. Dikatakannya bahwa dia adalah al-Amin, tidak mungkin jin akan mendekatinya, sekalipun memang tidak terlintas dalam pikiran isteri atau dalam pikiran suami itu, bahwa Allah telah mempersiapkan pilihan-Nya itu dengan memberikan latihan rohani sedemikian rupa guna menghadapi saat yang dahsyat, berita yang dahsyat, yaitu saat datangnya wahyu pertama. Dengan itu ia dipersiapkan untuk membawakan pesan dan risalah yang besar.
L.     Wahyu Pertama        
Tatkala ia sedang dalam keadaan tidur dalam gua itu, ketika itulah datang malaikat membawa sehelai lembaran seraya berkata kepadanya: "Bacalah!" Dengan terkejut Muhammad menjawab: "Saya tak dapat membaca". Ia merasa seolah malaikat itu mencekiknya, kemudian dilepaskan lagi seraya katanya lagi: "Bacalah!" Masih dalam ketakutan akan dicekik lagi Muhammad menjawab: "Apa yang akan saya baca." Seterusnya malaikat itu berkata: "Bacalah! Dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. Dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan Pena. Mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya ..." ( Qur'an surah [96]: 1-5)
Lalu ia mengucapkan bacaan itu. Malaikat pun pergi, setelah kata-kata itu terpateri dalam kalbunya.[8]
Tetapi kemudian ia terbangun ketakutan, sambil bertanya-tanya kepada dirinya: Gerangan apakah yang dilihatnya? Ataukah kesurupan yang ditakutinya itu kini telah menimpanya? Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi tak melihat apa-apa. Ia diam sebentar, gemetar ketakutan. Khawatir ia akan apa yang terjadi dalam gua itu. Ia lari dari tempat itu. Semuanya serba membingungkan. Tak dapat ia menafsirkan apa yang telah dilihatnya itu.
Cepat-cepat ia pergi menyusuri celah-celah gunung, sambil bertanya-tanya dalam hatinya, siapa gerangan yang menyuruhnya membaca itu? Yang pernah dilihatnya sampai saat itu sementara dia dalam tahannuth, ialah mimpi hakiki yang memancar dari sela-sela renungannya, memenuhi dadanya, membuat jalan yang di hadapannya jadi terang-benderang, menunjukkan kepadanya, di mana kebenaran itu. Tirai gelap yang selama itu menjerumuskan masyarakat Quraisy ke dalam lembah paganisma dan penyembahan berhala, jadi terbuka.
Sinar terang-benderang yang memancar di hadapannya dan kebenaran yang telah menunjukkan jalan kepadanya itu, ialah Yang Tunggal Maha Esa. Tetapi siapakah yang telah memberi peringatan tentang itu, dan bahwa Dia yang menciptakan manusia dan bahwa Dia Yang Maha Pemurah, Yang mengajarkan kepada manusia dengan pena, mengajarkan apa yang belum diketahuinya?
Ia memasuki pegunungan itu masih dalam ketakutan, masih bertanya-tanya. Tiba-tiba ia mendengar ada suara memanggilnya. Dahsyat sekali terasa. Ia melihat ke permukaan langit. Tiba-tiba yang terlihat adalah malaikat dalam bentuk manusia. Dialah yang memanggilnya. Ia makin ketakutan sehingga tertegun ia di tempatnya. Ia memalingkan muka dari yang dilihatnya itu. Tetapi dia masih juga melihatnya di seluruh ufuk langit. Sebentar melangkah maju ia, sebentar mundur, tapi rupa malaikat yang sangat indah itu tidak juga lalu dari depannya. Seketika lamanya ia dalam keadaan demikian. Dalam pada itu Khadijah telah mengutus orang mencarinya ke dalam gua tapi tidak menjumpainya.
Setelah rupa malaikat itu menghilang Muhammad pulang sudah berisi wahyu yang disampaikan kepadanya. Jantungnya berdenyut, hatinya berdebar-debar ketakutan. Dijumpainya Khadijah sambil ia berkata: "Selimuti aku!" Ia segera diselimuti. Tubuhnya menggigil seperti dalam demam. Setelah rasa ketakutan itu berangsur reda dipandangnya isterinya dengan pandangan mata ingin mendapat kekuatan.
"Khadijah, kenapa aku?" katanya. Kemudian diceritakannya apa yang telah dilihatnya, dan dinyatakannya rasa kekuatirannya akan teperdaya oleh kata hatinya atau akan jadi seperti juru nujum saja.
Seperti juga ketika dalam suasana tahannuth dan dalam suasana ketakutannya akan kesurupan Khadijah yang penuh rasa kasih-sayang, adalah tempat ia melimpahkan rasa damai dan tenteram ke dalam hati yang besar itu, hati yang sedang dalam kekuatiran dan dalam gelisah. Ia tidak memperlihatkan rasa kuatir atau rasa curiga. Bahkan dilihatnya ia dengan pandangan penuh hormat, seraya berkata:
"O putera pamanku.[9] Bergembiralah, dan tabahkan hatimu. Demi Dia Yang memegang hidup Khadijah,[10] aku berharap kiranya engkau akan menjadi Nabi atas umat ini. Samasekali Allah takkan mencemoohkan kau; sebab engkaulah yang mempererat tali kekeluargaan, jujur dalam kata-kata, kau yang mau memikul beban orang lain dan menghormati tamu dan menolong mereka yang dalam kesulitan atas jalan yang benar."
Muhammad sudah merasa tenang kembali. Dipandangnya Khadijah dengan mata penuh terimakasih dan rasa kasih. Sekujur badannya sekarang terasa sangat letih dan perlu sekali ia tidur. Ia pun tidur, tidur untuk kemudian bangun kembali membawa suatu kehidupan rohani yang kuat, yang luar biasa kuatnya. Suatu kellidupan yang sungguh dahsyat dan mempesonakan. Tetapi kehidupan yang penuh pengorbanan, yang tulus-ikhlas semata untuk Allah, untuk kebenaran dan untuk perikemanusiaan. Itulah Risalah Tuhan yang akan diteruskan dan disampaikan kepada umat manusia dengan cara yang lebih baik, sehingga sempurnalah cahaya Allah, sekalipun oleh orang-orang kafir tidak disukai.
M.     Nabi Muhammad SAW Menjadi Rasul
Nabi Muhammad saw diutus kepada seluruh umat manusia,dengan membawa syari’at yang menghapus syari’at-syari’at sebelumnya. Demikian pertanyaan Allah ta’ala dalam firman-Nya :
!$tBur y7»oYù=yör& žwÎ) Zp©ù!$Ÿ2 Ĩ$¨Y=Ïj9 #ZŽÏ±o0 #\ƒÉtRur £`Å3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw šcqßJn=ôètƒ ÇËÑÈ
“Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada Mengetahui”. (QS. Saba’ [34]: 28).
x8u$t6s? Ï%©!$# tA¨tR tb$s%öàÿø9$# 4n?tã ¾ÍnÏö6tã tbqä3uÏ9 šúüÏJn=»yèù=Ï9 #·ƒÉtR ÇÊÈ
“Maha Suci Allah yang Telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam”.[11] (QS. Al-furqan [25]: 1).
Kabar gembira tentang bakal diutusnya Nabi Muhammad saw sebenarnya telah tercantum dalam Taurat, Injil, dan Zabur.
Sebagai contoh, Yohanes menceritakan bahwa Al-Masih as antara lain pernah mengatakan :
“Jikalau kamu mengasihi aku, kamu akan menuruti segala perintahku. Aku akan minta kepada bapa, dan Dia akan memberikan kepadamu seorang Paraklet yang lain, supaya dia menyertai kamu selama-lamanya, yaitu Roh Kebenaran. Dunia tidak dapat menerima dia, sebab dunia tidak melihat dia dan tidak mengenal dia,tetepi kamu mengenal dia, sebab dia menyertai kamu, dan akan diam di tengah kamu.” (Yohanes, 14:15-17)
Al-Masih as juga berkata pada ayat lain :
“Tetapi sekarang aku pergi kepada Dia yang mengutus aku, dan tiada seorang pun di antara kamu yang bertanya kepadaku: ‘Ke mana engkau pergi?’ Tetapi karena aku mengatakan itu kepadamu, sebab itu hatimu berduka cita. Namun benar yang kukatakan kepadamu ini. Adalah lebih berguna bagi kamu, jika aku pergi. Sebab jikalau aku tidak pergi, Paraklet itu tidak akan datang kepadamu. Tetapi jikalau aku pergi aku akan mengutus dia kepadamu. Dan kalau dia datang,  daia akan menginsafkan dunia akan dosa, kebenaran, dan penghakiman. Akan dosa, karena mereka tetap tidak percaya kepadaku. Akan kebenaran, karena aku pergi kepada Bapa dan kamu tidak melihat aku lagi. Akan penghakiman, karena penguasa dunia ini telah dihukum.”
“Masih banyak hal yang harus kukatakan kepada kamu, tetapi sekarang kamu belum dapat menanggungnya. Tetapi apabila dia datang, yaitu Ruh Kebenaran, dia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran. Sebab, dia tidak akan berkata-kata dari dirinya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengarnya itulah yang akan dikatakannya, dan dia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang. Dia akan memuliakan aku, sebab dia akan memberitakan kepadamu apa yang diterimanya daripadaku.” (Yohanes 16: 5-14)
“Paraklet” jika diterjemahkan ke dalam bahasa Arab ialah “Ahmad”, sebagaimana difirmankan oleh Allah ta’ala dalam Al-Qur’an al-karim bahwa Al-Masih as berkata :
#MŽÅe³t6ãBur 5AqßtÎ/ ÎAù'tƒ .`ÏB Ï÷èt/ ÿ¼çmèÿôœ$# ßuH÷qr& ( $¬Hs>sù Nèduä!%y` ÏM»oYÉit6ø9$$Î/ (#qä9$s% #x»yd ֍ósÅ ×ûüÎ7B ÇÏÈ
“......dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)." Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata.” (QS. Ash-Shaff [61]: 6).
Agaknya para penerjemah telah keliru dalam menerjemahkan kata “Paraklet” ini. Terkadang terjemahan itu mereka kutip begitu saja dari tiga bahasa asalnya, Ibrani, Kaldan, dan Yunani: “penghibur”, atau diterjemahkan “juru selamat” atau mereka tulis apa adanya, yaitu Paraklet.
Akan tetapi, bagi orang yang membaca nash-nash tersebut di atas dan meneliti arti dan tujuannya dengan seksama, dia akan mengerti bahwa Nabi ‘Isa as sebenarnya memberi kabar gembira tentang bakal diutusnya Nabi kita, Muhammad saw, lalu dia sebut “Paraklet yang lain”, maksudnya rasul selain dirinya, yang syar’atnya akan abadi sampai hari Kiamat, dan sesudahnya tidak ada lagi nabi maupun rasul yang lain.
Al-Masih as mengatakan : “Jikalau aku tidak pergi, Paraklet itu tidak akan datang kepadamu...” dst. Kenyataanya memang demikian, bahwa Nabi Muhammad saw telah menginsafkan kaum Yahudi dan Nasrani yang semula mengingkari kenabian Al-Masih, berbuat jahat terhadapnya,dan mengubah agamanya. Nabi Muhammad saw telah memimpin seluruh umat manusia kepada kebenaran. Beliau tiadak berkata-kata dari dirinya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengarnya itulah yang dia katakan, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an :
$tBur ß,ÏÜZtƒ Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd žwÎ) ÖÓórur 4ÓyrqムÇÍÈ
3.  Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
4.  Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS. An-Najm [53]: 3-4).
Seain itu telah diriwayatkan pula secara tsabit (otentik) bahwasanya banyak hal-hal yang akan datang yang  beliau katakan, dan ternyata benar, apa-apa yang beliau katakan semuanya benar-benar terjadi. Beliau juga mengagungkan Nabi ‘Isa as .
Di antara ayat-ayat Al-Qur’an banyaklah yang menunjukkan apa-apa yang tercantum dalam Injil. Dengan demikian, benarlah bahwa Nabi Muhammad saw adalah “Paraklet” yang datang sesudah ‘Isa as.
  Memasuki usia 40 tahun, Nabi Muhammad SAW sering berkhalwat (berdiam diri dengan merenungkan segala sesuatu dan memohon petunjuk kepaai Allah), hal tersebut dilakukan seiring dengan berbagai masalah yang dihadapi terutama berkaitan dengan situasi masyarakat Mekah pada saat itu.
Dalam berkhalwat nabi Muhammad SAW lebih sering memilih tempat yang jauh dari keramaian, dengan harapan lebih tenang dan dapat berpikir secara jernih dan lebih khusyuk dalam berzikir kepada Allah. Salah satu tempat yang digunakan untuk berkhalwat adalah di Gua Hira', di tempat inilah Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama kali dari Allah. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 17 Ramadan bertepatan dengan tanggal 6 Agustus tahun 610 M.
Dalam catatan sejarah diterangkan bahwa ketika Nabi Muhammad sedang berkhalwat di Gua Hira', beliau didatangi Malaikat Jibril dengan membawa wahyu dari Allah dan menyuruh Nabi Muhammad SAW untuk membacanya. Malaikat berkata, "Bacalah." Kemudian beliau menjawab, "Aku tidak dapat membaca', hal tersebut diulang-ulang sampai tiga kali. Nabi Muhammad tetap menjawab " Aku tidak dapat membaca". Dan akhirnya Nabi bertanya, "Apa yang kubaca?" Selanjutnya Malaikat Jibril membacakan wahyu Allah tersebut, sebagaimana kutipan ayat berikut:
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ ù&tø%$# y7š/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷ètƒ ÇÎÈ
Artinya:
"Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu. Yang menciptakan. Yangmenjadikan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu teramat Mulia. Yang mengajarkan dengan pena(tulis baca). Mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." (Q.S. Al-'AIaq: 1-5)
Setelah Malaikat Jibril membacakan ayat tersebut, lalu Nabi Muhammad SAW menirukannya, sesaat kemudian Malaikat Jibril meninggalkan Nabi Muhammad SAW. Dengan diterima wahyu Allah tersebut resmilah Muhammad ditetapkan oleh Allah sebagai rasul yang bertugas untuk menyampaikan risalah kepada umatnya.
Pada saat menerima wahyu yang pertama tersebut usia Nabi Mu­hammad SAW 40 tahun 6 bulan 8 hari (menurut perhitungan tahun Masehi), atau 39 tahun 3 bulan 8 hari (menurut perhitungan tahun Hijriah). Setelah menerima wahyu dari Allah, Nabi Muhammad SAW buru-buru pulang meninggalkan Gua Hira' dalam keadaan gemetar, sehingga meminta istrinya untuk menyelimuti badannya.
N.  Misi Nabi Muhammad SAW untuk Umat Islam
Untuk menjalankan misinya para Rasul Allah SWT dibekali dengan empat sifat, yaitu "Sidiq, amanah, tabliq, dan fatanah"'. Empat sifat tersebut merupakan keistimewaan yang dimiliki oleh para rasul sekaligus yang, membedakan dengan manusia pada umumnya, begitu pula Nabi Muham­mad SAW juga memiliki empat sifat tersebut.
Pertama, Sidiq artinya benar. Seorang rasul senantiasa benar dalam perkataan, perbuatan maupun sikapnya. Sebab manusia diwajibkan untuk mengikuti segala sesuatu yang datang dari rasul, sehingga mustahil kalau seorang rasul dusta dalam segala perkataan, tindakan dan sikapnya.
Kedua, amanah artinya dapat dipercaya. Dalam segala hal seorang rasul senantiasa dapat dipercaya, sehingga mustahil kalau ia berkhianat. Begitu pula Nabi Muhammad SAW memiliki sifat amanah dalam segala hal, termasuk menjalankan misinya sebagai rasul yang bertugas membimbing umat manusia.
Ketiga, tabtliq artinya menyampaikan. Maksudnya adalah menyampai­kan wahyu dari Allah SWT kepada umat manusia. Tidak mungkin seorang rasul menyembunyikan kebenaran yang datangnya dari wahyu Allah SWT.
Keempat, fatanah artinya cerdas. Maksudnya adalah Nabi Muhammad SAW memiliki kecerdasan luar biasa, sehingga dalam menjalankan misinya dibekali oleh Allah SWT dengan kemampuan dan kecerdasan luar biasa sebagai sarana untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapinya.
Adapun misi Nabi Muhammad SAW adalah sebagai berikut:
a. Membawa ajaran Islam
Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi rasul saat berusia 40 tahun. Selama kerasulannya kurang lebih 23 tahun beliau menyampaikan ajaran Islam. Selama itu pula ajaran Islam telah disampaikan secara utuh dan sempurna, sekaligus ditetapkan Allah sebagai agama yang paling sempurna.
Firman Allah SWT:
ôtPöquø9$# àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYƒÏŠ àMôJoÿøCr&ur öNä3øn=tæ ÓÉLyJ÷èÏR àMŠÅÊuur ãNä3s9 zN»n=óM}$# $YYƒÏŠ 4 ....
Artinya:
"...Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagimu." (Q.S. Al-Ma'idah 5: 3).
b.  Menyampaikan ajaran dari Allah SWT kepada umat manusia
Ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW bersumber dari Al-Qur'an maupun Hadis, yang berisi tentang akidah, syariah, ibadah, dan muamalah. Seluruh ajaran tersebut disampaikan kepada umatnya agar menjadi hamba Allah yang baik, yakni senantiasa beribadah dan berbuat baik kepada sesamanya, misalnya senantiasa rajin salat dan mampu menjaga diri untuk tidak berbuat buruk, begitu pula kepada sesamanya senantiasa menghindari hal-hal yang menimbulkan keburukan dan susahnya orang lain.
c.  Memberi kabar gembira dan peringatan kepada umat manusia
Kabar gembira yang berupa nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam dan imbalan yang diberikan Allah kepada hamba-Nya yang rajin ibadah, begitu pula sebaliknya bagi hamba-Nya yang tidak mau beribadah kepada-Nya tentu akan diberi peringatan dan balasan yang sangat menyedihkan, baik di dunia maupun kelak di kemudian hari.
Firman Allah SWT :
$tBur ã@ÅöçR tûüÎ=yößJø9$# žwÎ) tûïÎŽÅe³u;ãB z`ƒÍÉZãBur ( ô`yJsù z`tB#uä yxn=ô¹r&ur Ÿxsù ì$öqyz öNÍköŽn=tã Ÿwur öNèd tbqçRtøts ÇÍÑÈ
Artinya:
" Dan tidaklah kami mengutus para rasul itu melainkan untuk memberi kabar gembira dan memberi peringatan. Barangsiapa yang beriman dan mengadakan perbaikan, maka tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (Q.S. Al-An'am, [6]: 48)
d. Menyempurnakan akhlak manusia
Manusia pada dasarnya baik, namun karena sesuatu sebab sehingga bersikap dan berbuat yang tidak baik. Oleh karena itu misi Rasulullah SAW salah satunya adalah menyempurnakan akhlak manusia agar menjadi baik.
Hadits Rasulullah SAW:
انمابعثت لاتمما مكارم الاخلاق
Artinya:
" Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak." (H.R. Bukhari dan Muslim)
Pernyataan hadis di atas mengingatkan kepada kita pada awal sejarah kelahiran Rasulullah SAW terhadap keburukan akhlak bangsa Arab pada masa jahiliah, hingga kelak dewasanya Rasulullah bertugas membimbing akhlak manusia menuju akhlak yang baik sesuai dengan ajaran Al-Qur'an. Untuk menjalankan tugas tersebut Allah SWT membekali Nabi Muhammad dengan kesempurnaan sifat dan akhlak sehingga dalam dirinya penuh dengan teladan yang bisa dijadikan panutan, baik dalam bertutur kata, bersikap maupun bertindak.
Firman Allah SWT:
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_ötƒ ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sŒur ©!$# #ZŽÏVx. ÇËÊÈ


Artinya:
"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah SAW suri teladan yang baik bagi kamu sekalian, (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari akhir dan dia banyak menyebut Allah yang banyak." (Q.S. Al-Ahzab, [33]: 21)
Misi Nabi Muhammad SAW untuk Seluruh Umat Manusia dan Bangsa
Nabi atau rasul sebelum Nabi Muhammad SAW hanya diutus sesuai dengan umat dan zamannya dan silih berganti sampai diutusnya Nabi Muhammad SAW sebagai rasul yang terakhir dan penutup para nabi. Nabi Muhammad SAW diutus sebagai rasul untuk seluruh umat manusia di dunia ini.
Alasan yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW sebagai rasul yang terakhir, misi dan tugasnya ditujukan untuk seluruh umat manusia dan bangsa adalah:
a)      Para nabi sebelum Nabi Muhammad SAW diutus hanya untuk kaum dan bangsa tertentu. Contoh Nabi Nuh AS diutus hanya untuk kaum Nabi Nuh dan berakhir setelah datang nabi/rasul berikutnya.
b)      Ajaran para nabi/rasul sebelum Nabi Muhammad SAW sifatnya sangat terbatas, hanya untuk kaum dan masa tertentu, sehingga diperlukan penyempurnaan dengan mengutus rasul baru yang ajarannya lebih sempurna dan berlaku untuk seluruh umat manusia sepanjang masa.
c)      Nabi Muhammad SAW adalah rasul terakhir.
Firman Allah SWT :
$¨B tb%x. î£JptèC !$t/r& 7tnr& `ÏiB öNä3Ï9%y`Íh `Å3»s9ur tAqߧ «!$# zOs?$yzur z`¿ÍhŠÎ;¨Y9$# 3 tb%x.ur ª!$# Èe@ä3Î/ >äóÓx« $VJŠÎ=tã ÇÍÉÈ
Artinya:
"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak seorang laki-laki di atara kamu, melainkan dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi. Dan Allah Mengetahui segala sesuatu." (Q.S. Al-Ahzab, [33]: 40)
d)     Nabi Muhammad SAW adalah nabi/rasul untuk seluruh umat manusia sedunia. (Lihat Q.S. Al-A'raf, [7]: 18)
e)      Seluruh ajaran yang dibawanya adalah untuk kesejahteraan seluruh alam semesta dan penghuninya.
Firman Allah SWT :
!$tBur š»oYù=yör& žwÎ) ZptHôqy šúüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
Artinya:
"Tiada Kami utus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam" (Q.S. Al-Anbiya', [21]: 107)
f)       Nabi Muhammad SAW adalah rasul pembawa ajaran dan berita gembira bagi seluruh umat manusia.
Firman Allah SWT:
!$tBur y7»oYù=yör& žwÎ) Zp©ù!$Ÿ2 Ĩ$¨Y=Ïj9 #ZŽÏ±o0 #\ƒÉtRur £`Å3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw šcqßJn=ôètƒ ÇËÑÈ
Artinya:
"Tiada Kami utus engkau (Muhammad) melainkan untuk seluruh manusia guna memberikan berita gembira dan berita peringatan." (Q.S. Saba', 34: 28)
g)      Dari beberapa alasan dan ayat di atas dapat dipahami bahwa keterangan yang menjelaskan bahwa "Nabi Muhammad SAW adalah rasul akhir zaman, sebagai nabi yang terakhir, rasul yang diutus untuk seluruh umat manusia dan bangsa" adalah benar adanya. Sangat tidak beralasan jika ada orang yang meragukan kebenaran rasul Muhammad SAW, apalagi tidak meyakininya.


BAB III
KESIMPULAN
A.    Kesimpulan
1.      Nabi Muhammad saw menikah dengan Khadijah pada umur 25 tahun dan Khadijah berumur 40 tahun.
2.      Dengan duapuluh ekor unta muda sebagai mas kawin Muhammad melangsungkan perkawinannya dengan Khadijah.
3.      Anak-anak nabi Muhammad saw dengan Khadijah adalah al-Qasim dan Abdullah yang dijuluki at-Tahir dan at-Tayyib, serta puteri-puteri seperti Zainab, Ruqayya, Umm Kulthum dan Fatimah.
4.      Turunnya wahyu pertama di gua hira surat al-alaq ayat 1-5.
5.      Adapun misi Nabi Muhammad SAW adalah sebagai berikut:
a.       Membawa ajaran Islam.
b.      Menyampaikan ajaran dari Allah SWT kepada umat manusia.
c.       Memberi kabar gembira dan peringatan kepada umat manusia.
d.      Menyempurnakan akhlak manusia.


[1] Berdasarkan pada sebagian besar ahli genekologi, bahwa putera-putera Nabi s.a.w. dari Khadijah dua orang: al-Qasim dan Abdullah, yang diberi julukan at-Tahir dan at-Tayyib. Ada juga yang mengatakan tiga, ada pula yang mengatakan empat orang.
[2] Mungkin nama ini sudah diarabkan
[3] Bangunan itu terdiri dari empat sudut dikenal dengan nama-nama sudut utara, ar-Rukn'l-Iraqi (Irak), sudut selatan, ar-Rukn'l-Yamani, sudut barat, ar-Rukn'l-Syami dan sudut timur, ar-Rukn'l-Aswad
[4] Hubal, Lat, 'Uzza dan Manat adalah berhala-berhala sembahan Arab pagan. Konon kabarnya Hubal berhala terbesar yang tinggal dalam Ka'bah, dibuat dari batu akik dalam bentuk manusia.
Keterangan tentang tuhan-tuhan wanita Lat, 'Uzza dan Manat berbeda-beda mengenai bentuknya. Katanya Lat dalam bentuk manusia juga, 'Uzza berhala kaum Thaqif. 'Uzza pada mulanya adalah pohon suci, terletak di antara Mekah dengan Ta'if. Manat merupakan batu putih, berhala kaum Hudhail dan Khuza'a. Ketiga-tiganya itu berbentuk wanita.
[5] Usman b. 'Affan, Khalifah ketiga. Setelah Ruqayya diceraikan oleh 'Utba diambil isteri oleh Usman b. 'Affan. Setelah Umm Kulthum dewasa kawin dengan 'Utaiba, lalu diceraikan pula. Sesudah dalam tahun ke-2 H. Ruqayya wafat, Usman kawin dengan Umm Kulthum. Ia meninggal dalam tahun ke-9 H. di Medinah
[6] Tahannuf atau tahannafa, mungkin asal katanya seakar dengan hanif, yang berarti 'cenderung kepada kebenaran' 'meninggalkan berhala dan beribadat kepada Allah' (LA) atau sebaliknya dari perbuatan syirik. (Bandingkan Qur'an, 2: 135; 10: 105). Tahannuth atau tahannatha, beribadat dan menjauhi dosa; mendekatkan diri kepada Tuhan' (N). 'Beribadat dan menjauhi berhala, seperti tahannatha (LA). Dalam terjemahan selanjutnya kedua kata ini tidak diterjemahkan.
[7] Bahasa Persia, parsang, ukuran panjang dahulu kala, kira-kira 3.5 mil atau hampir 6 km.
[8] Demikian buku-buku sejarah yang mula-mula menceritakan. Ibn Ishaq juga ke sana dasarnya. Demikian juga yang datang kemudian banyak yang menceritakan begitu. Hanya saja sebagian mereka berpendapat bahwa permulaan wahyu itu datang ia dalam keadaan jaga dan di waktu siang, dengan menyebutkan sebuah keterangan melalui Jibril yang menenteramkan hati Muhammad ketika dilihatnya dalam ketakutan. Ibn Kathir dalam Tarikh-nya menyebutkan sumber yang dibawa oleh al-Hafiz Abu Na'im al-Ashbahani dalam bukunya Dala'il'n-Nubawa dari 'Alqama bin Qais, bahwa "Yang mula-mula didatangkan kepada para nabi itu mereka dalam keadaan tidur (dengan maksud) supaya hati mereka tenteram. Sesudah itu kemudian wahyu turun. Dan ditambahkan: "Ini yang dikatakan 'Alqama ibn Qais sendiri, suatu keterangan yang baik, diperkuat oleh yang datang sebelum dan sesudahnya."
[9] Suatu kebiasaan orang Arab memanggil orang yang dianggap seturunan. Muhammad dan Khadijah dari nenek moyang yang sama, yakni Qushayy.
[10] Suatu pernyataan sumpah yang biasa diucapkan pada masa itu, maksudnya "Demi Allah"
[11] maksudnya jin dan manusia.