Selasa, 02 April 2013

Takhrij Hadits Menggunakan Harta Anak Yatim


A. Pendahuluan
1. Definisi Takhrij
            Takhrij artinya menampakkan, mengluarkan, menerbitkan, menyebutkan dan menumbuhkan. Maksudnya menampakkan sesuatu yang masih tersembunyi, tidak kelihatan dan masih samar. Menurut ulama hadits, takhrij adalah menyebutan seorang penyusun bahwa hadits itu dengan sanadnya terdapat dalam kitabnya. Menurut ulama hadits pada umumnya takhrij adalah hadits ini dengan sanadnya disebutkan fulan dalam kitabnya. beberapa tujuan pentakhrijan hadits adalah
  1. Mengetahui referensi beberapa buku hadits
  2. Menghimpun jumlah sanad hadits
  3. Mengetahui keadaan sanad yang bersambung dan yang terputus dan mengetahui kadar kemampuan perawi dalam mengingt hadits serta kejujuran dalam periwayatan
  4. Mengetahui satus suatu hadits
  5. Meningkatkan suatu hadits yang dha’if dan hasan menjadi hasan li ghayrihi dan shahih lighayrihi
  6. Mengetahui bagaimana para imam hadits menilai suatu kualitas hadits dan bagaimana kritikan yang disampaikan
  7. Seseorang yang melakukan takhrij dapat mengehimpun beberapa sanad dan matan suatu hadits
2. Pengertian yatim
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah (Majmu Fatawa wa Rasa’il 9/503) menyebutkan bahwa yatim ialah anak yang ditinggal mati ayahnya sebelum baliqh, baik laki-laki maupun perempuan. Adapun anak yang tinggal mati ibunya sebelum baliqh maka bukanlah anak yatim, tidak menurut bahasa apalagi menurut syariat. Sebab kata yatim terambil dari kata yatmu yang artinya terpisah dan sendiri. Maksudnya, terpisah dari orang yang mencarikan (penghidupan) buatnya. Sebab ayahnyalah yang mengusahakan (penghidupan) baginya. Hal semisal juga yang dikatakan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
Ahmad Mushthofâ al-Marâghiy dalam tafsirnya menyebutkan pengertian yatim, yakni seseorang yang ditinggal mati ayahnya secara mutlak (baik selagi masih kecil atau setelah dewasa). Tetapi  lanjutnya  menurut tradisi adalah khusus untuk orang yang belum mencapai usia dewasa.
            Dari beberapa definisi di atas, dapat diambil suatu pemahaman bahwa yang dimaksud dengan anak yatim adalah anak kecil yang belum dewasa yang ditinggal mati ayahnya, sementara ia masih belum mampu mewujudkan kemashlahatan yang akan menjamin masa depannya.oleh karena itu perwalian/pengurusan anak yatim diserahkan kepada kerabat dekat atau wali yang berhak mengurusnya. tentang cara menggunakan harta anak yatim, terlebih yatim yang memiliki harta baik itu sedikit ataupun banyak akan dipaparkan dalam makalah ini.
            Dalam makalah berikut akan dipaparkan sebuah hadits yang berhubungan dengan menggunakan harta anak yatim. lalu mentakhrij haditsnya dan kualitasnya seperti apa.
  
B. pembahasan
Hadits tentang menggunakan harta anak yatim
artinya:  Dari Muhammad bin Ismail al-farisy, dari Yahya bin Abi Thalib, dari Abdul Wahhab, dari Ibnu Abi Aun dari Shakhra bin Juwairiyah dari nafi, sesungguhnya ibnu Umar memiliki/mengurus harta anak yatim, ia meminjam harta tersebut bahkan terkadang harta  tersebut dijadikan jaminan, dan harta tersebut dizakatkannya apabila sudah mencapai nishab.
            Hadits tersebut diambil dari kitab sunan daruqutni juz 3 hal 7 bab wujuubu al-Zakat fi maali sobiy wa al-yatim.
            Hadits di atas merupakan hadits Mauquf, karena disandarkan kepada shahabat yaitu ibnu umar, nama aslinya adalah Abdullah bin umar bin khatab al-Qursyi Abu Abdirrahman Al-Maki al-Madani. ia merupakan sahabat tabaqah ke 1 yang wafat pada tahun 73 H.
            Hadits di atas diriwayatkan dari Muhammad bin Ismail al-farisy, dari Yahya  bin Abi Thalib, dari Abdul Wahhab, dari Ibnu Abi Aun dari Shakhra bin Juwairiyah dari nafi.
            Menurut Ibnu Hibban bahwa Muhammad bin Ismail al-Farisy adalah orang yang Tsiqah. Yahya bin Abi Thalib menurut Ibnu Sai’id : soduq, Ibnu Syahin menyatakan  Tsiqah, Hasan bin sufyan: Tsiqah. Namun Maimun beranggapan bahwa yahya itu Dhaif, tapi ia tidak mengatakan alasan kedhoifannya. Abdul Wahab bin ‘atha al- khaffaf Anu Nasr Al-‘Ajali. beberapa ulama berkomentar tentang Abdul Wahab. salah satunya Ibnu Hajar, ia berkata shaduq, namun para ulama mengingkari haditsnya tentang abbas. Ibnu Muin mengatakan ia Tsiqah,Bukhori: laisa bil qowi “tidak begitu kuat (hafalannya)”Yahya bin Mu,in: Laisa bihi Ba’sun (tidak apa-apa) Zakariya bin yahya as-saaji: soduq, laisa bil qowi.

            Ahmad dan adz-Dzahabi menyatakan Tsiqah kepada Shakhra bin juwairiyah al-Bashari ibnu Nafi Maula Bani Tamim. Ibnu Hajar juga berkomentar Tsiqah kepada Nafi abu Abdillah al-Madani (ada yang mengatakan naisabur).

            Menurut pemakalah dari data perawi di atas dapat disimpulkan bahwa hadits tersebut dari segi sanad shahih, sekalipun Maimun beranggapan bahwa Yahya itu dhoif. karena ia tidak mengatakan alasan kedhaifannya.
Urutan periwayatan
1.      Muhammad bin Ismail al-Farisy
2.      Yahya bin Abi Thalib
3.      Abdul Wahab
4.      ibnu Abi Aun
5.      Sakhrun bin juwairiyah
6.      Nafi’
7.      Ibnu Umar

data singkat para periwayat

no
Perawi
komentar
1.
Muhammad bin Ismail al-Farisy

Ibnu Hiban :Tsiqah[1]

2.
Yahya bin Abi Thalib
Wafat :204
Ibnu Sai’id : “soduq”
Ibnu Syahin : Tsiqah
Maimun: Dhaif
Hasan bin sufyan: Tsiqah
3.







4.
Abdul Wahab bin ‘atha al- khaffaf Anu Nasr Al-‘Ajali
Tabaqah 9, Shigar atba”utabiin
Wafat 204, namun ada juga yang mengatakan  206
Tinggal dan meninggal di Baghdad


Ibnu abi Aun (Abdullah bin Aun al-Arthaban)
Ibnu Hajar :shaduq, terkadang munkar, terkadang tadlis
Ibnu Muin : Tsiqah
Bukhori: laisa bil qowi “tidak kuat lumayan”
Yahya bin Mu,in: Laisa bihi Ba’sun (lumayan)
Zakariya bin yahya as-saaji: soduq laisa bil qowi
Ibnu Sa’id : Tsiqah
5.

Shakhra bin juwairiyah al-Bashari ibnu Nafi Maula Bani Tamim
Tabaqah 7: kibar atbauttabi’in


Ahmad: Tsiqah
Adz-Dzahabi: Tsiqah
6.

Nafi abu Abdillah al-Madani (ada yang mengatakan naisabur)
Thabaqah 3,: Ausatu tabi’in
Wafat : 117
Ibnu Hajar :Tsiqah

7.

Abdullah bin umar bin khatab al-Qursyi Abu Abdirrahman Al-Maki al-Madani (ibnu Umar)
Thabaqah 1: sahabat
Wafat 73/74
Ibnu Hajar: sahabat


Ayat Alquran yang berhubungan dengan menjaga harta anak yatim
QS. an-Nisa [4]:2
            Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.
            Tentang bagaimana seorang washi atau wali mempergunakan harta anak yatim, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il, 7/301-302) menjelaskan, ”Mempergunakan harta anak yatim ada tiga tingkatan, buruk, baik, tidak buruk juga tidak baik. Orang yang mempergunakan harta anak yatim dengan cara yang buruk hukumnya haram. Yaitu, seandainya seseorang ingin membeli sesuatu dengan harta anak yatim sedangkan orang tersebut tahu bahwa sesuatu itu jelas merugikan, maka hal itu haram, sebab tidak diragukan bahwa ini merupakan keburukan bagi si yatim.
            Dan apabila sesorang mempergunakan harta tersebut untuk sesuatu yang memang tidak tahu apakah baik atau justru buruk. Maka ini pun hukumnya haram, sebab Allah Ta’ala berfirman (artinya) :
Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat. (QS. Al-An’am [6] : 152)
Jadi, wajib bagi wali anak yatim yang mengurusi harta mereka agar tidak mempergunakannya selain dengan cara yang lebih baik. Dari sini kita bisa ambil kaidah, yaitu bahwa setiap wali siapa saja dan dalam apa saja, agar tidak mengusahakan sesuatu (pada hal yang diurusi) selain (dengan) yang lebih baik.”



[1] lisanul mizan hal 566  juz 6