BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejarah tidak
bisa lepas dari kehidupan manusia. karena itu adalah catatan memori kehidupan.
baik itu yang berjalan dengan lurus, maupun dengan berliku. begitu beragam
jalan kehidupan manusia, ada yang beruntung ada pula yang buntung. mereka yang
beruntunglah yang selalu di naungi dengan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah
SWT. Dan mereka yang buntung yang jalannya selalu di naungi oleh setan-setan
yang terkutuk. Begitu pula dengan nabi Muhammad SAW. banyak cobaan dan halangan
yang menyertai kehidpuan beliau, mulai dari kecil sampai dewasa banyak halang
rintang yang menyertai hehidupan beliau.
Muhammad kecil
kehidupannya amat berliku. dari kecil muhammad sudah di tinggal oleh ayahnya
beliau hidup bersama ibu dan kakeknya.
Ketika
muhammad saw menginjak usia 25 tahun, beliau di suruh pergi ke syam oleh
pamannya untuk mendagangkan dagangan seorang janda kaya yang bernama Khadijah
binti Khuwailid. Tanpa disangka dagangan yang di jual oleh Muhammad saw laku
keras hingga mendapatkan untung yang sangat besar, dan Khadijah sangat terkagum
dengan keadaan itu. Dengan hal itu lah Khadijah terpikat oleh muhammad saw
sehingga beliau ingin di nikahi oleh muhammad saw.
Dengan
duapuluh ekor unta muda sebagai mas kawin Muhammad melangsungkan perkawinannya
itu dengan Khadijah. Ia pindah ke rumah Khadijah dalam memulai hidup barunya
itu, hidup suami-isteri dan ibu-bapa, saling mencintai cinta sebagai pemuda
berumur duapuluh lima tahun. Ia tidak mengenal nafsu muda yang tak
terkendalikan, juga ia tidak mengenal cinta buta yang dimulai seolah nyala api
yang melonjak-lonjak untuk kemudian padam kembali. Dari perkawinannya itu ia
beroleh beberapa orang anak, laki-laki dan perempuan.
BAB II
PEMBAHASAN
PERKAWINAN
SAMPAI KERASULAN NABI MUHAMMAD SAW
A.
Perjalanan ke Syam
yang kedua (595 M)
Ketika
Muhammad saw berusia 25 tahun, Abu Thalib berkata kepadanya : “Aku ini orang
yang tidak berharta. Sekarang kita sedang mengalami kesulitan. Tapi ini ada
khalifah kaummu yang akan segera berangkat ke Syam. Khadijah binti Khuwailid
mengirim beberapa orang dari kaummu untuk mengurus barang-barang dagangannya.
Kalau kamu datang kepadanya menawarkan diri, niscaya dia akan menerima kamu.”
Pembicaraan Abu Thalib kepada kemenakannya itu di dengar
oleh Khadijah. Maka dia menyuruh seseorang memanggilnya, lalu dia katakan
kepadanya: “Aku beri engkau dua kali lipat dari yang kuberikan kepada orang
lain dari kaummu.”
Syahdan,
berangkatlah Muhammad saw ditemani pembantu Khadijah, Maisarah namanya, setelah
paman-pamannya menitipkan dirinya kepada semua peserta rombongan.
Demikianlah,
sehingga manakala mereka tiba di Bushra, sebuah kota di wilayah Syam yang
terletak di jalan menuju Damaskus, mereka singgah disana, sementara Muhammad
saw dan temannya berteduh dibawah sebatang pohon. Melihat itu, seorang rahib
bernama Nasthur berkata: “Tidaklah berteduh dibawah pohon ini, melainkan
seorang nabi.”
Nasthur
bertanya kepada Maisarah: “apakah di kedua matanya ada warna kemerahan?”
“Ya,” jawab
Maisarah, “warna merah itu tidak pernah hilang darinya.”
“Dia adalah
nabi terakhir,” tegas sang rahib.
Selama dalam
perjalanan, apabila cuaca amat panas ditengah hari, Maisarah melihat dua orang malaikat menaungi Muhammad
saw dari terik matahari. Maisarah menyadari
itu semua.
Di Syam mereka
menjual barang dagangan mereka dan memperoleh keuntungan berlipat dibanding
orang-orang lain. Sekembalinya dari perjalanan itu, Maisarah menceritakan
kepada Khadijah ada yang dikatakan rahib nasthur, dan ketika khadijah melihat
keuntungan yang begitu besar, dia memberi upah kepada Muhammad saw berlipat
dari apa yang telah dia janjikan.
Ketika
menceritakan perjalan ini, Mr. Muir berkata: “kapan pun saja sebenarnya
Muhammad saw tak pernah menginginkan kekayaan. Usaha yang dia lakukan tak lain
adalah untuk orang lain. Andaikan dia hanya memikirkan dirinya sendiri, niscaya
dia memilih hidup tenang dan damai, puas menerima apa adanya, dan tidak perlu
berpikir untuk melakukan perjalanan seperti ini. Akan tetapi, ketika pamannya
menawarkan kepadanya perjalanan tersebut, maka jiwanya yang mulia pun
tersentuh. Dia merasakan pentingnya mengatasi kesulitan yang dialami pamannya,
maka dia pun memnuhi permintaan pamannya dengan senang hati.”
B.
Pernikahan
Muhammad saw dengan Khadijah ra.
Khadijah binti
Khuwalid bin Asad bin ‘Abdul ‘Uzza bin Qushay adalah seorang wanita yang
berwatak teguh, tangguh, terhormat, kaya, dan cantik, dari keluarga Qushay yang
mulia nasabnya dan luhur derajatnya. Semasa zaman jahiliyyah dia disebut
Ath-Thahirah dan Sayyidatu Quraisy.
Sebagai
seorang janda, banyaklah lelaki yang
melamarnya, tetapi dia selalu menolak. Namun sepulang Muhammad saw. dari
perjalanan ke Syam, Khadijah menyuruh seseorang supaya datang kepadanya dan
menganjurkannya menikah. Konon, Khadijah menyuruh saudara perempuannya, dan ada
pula yang mengatakan, dia menyuruh seorang mantan budaknya, Nafisah.
“Aku tidak
punya apa-apa untuk menikah,” jawab SAW ketika itu.
Kata Nafisah :
“Kalau ada yang tidak meminta apa-apa kepadamu, bahkan dia mengajakmu berumah
tangga, orangnya kaya, cantik, terhormat, dan memadai, tidakkah engkau mau?”
“Siapa
dia?”tanya Muhammad saw,
Dijawabnya :
“Khadijah.”
“Baiklah, aku
mau, “kata Muhammad saw
Dengan jawaban
itu, wanita suruhan Khadijah itu segara pergi menemuinya, lalu mengabarkan
kepadanya kesedaiaan Muhammad SAW. Selanjutnya, Khadijah mengirim seseorang
kepada lelaki pujaannya itu agar datang pada waktu tertentu, sementara dia
mengirim pula seseorang untuk menemui pamannya, ‘Amr bin Asad, supaya
menikahkannya.
Maka datanglah
Muhammad saw ke rumah Khadijah bersama paman-pamannya. Salah seorang dari
mereka kemudian menikahkan beliau. Saat itu ‘Amr bin Asad berkata : “Sang
jagoan ini benar-benar hebat.”
Muhammad SAW
menikahi Khadijah saat berusia 25 tahun, sedangkan Khadijah saat itu berusia 40
tahun. Penikahan dilaksanakan dua bulan sekembalinya dari Syam. Akad pernikahan
tersebut dihadiri para pemimpin Mudhar, dan juga Abu Bakar ra. Seusai akad
nikah Abu Thalib berkhutbah :
“Segala puji
bagi Allah, yang telah menjadikan kami keturunan Ibrahim, tanaman Isma’il,
bersumber dari Ma’ad, dan berasal dari Mudhar. Dia telah menjadikan kita
pemelihara bait-Nya dan penjaga Tanah Haram-Nya, menjadikan untuk kita sebuah
rumah yang selalu dikunjungi orang dan Tanah Haram yang aman, dan menjadikan
kita pemerintah atas sekalian manusia.
Amma ba’du,
sesungguhnya kemenakanku ini, Muhammad bin ‘Abdullah, tidak bisa dibandingkan
dengan siapa pun, melainkan dia lebih unggul kemuliaannya, derajatnya,
keutamaannya, dan akal pikirannya, meskipun dalam soal harta dia miskin. Tapi
harta hanyalah bayang-bayang yang akan lenyap dan perkara yang akan sirna.
Muhammad adalah oarng yang telah kalian ketahui kekerabatannya. Dia telah melamar Khadijah binti
Khuwailid dan memberinya maskawin yang dia tangguhkan dan dia segerakan sejumlah sekian. Tapi sesudah ini, demi
Allah, dia akan membuat sesuatu berita besar dan perkara penting yang luar
biasa.
Setelah Abu
Thalib mengakhiri khutbahnya, Waraqah bin Naufal, sepupu Khadijah, beerkata :
“Segala puji
bagi Allah yang menjadikan kita sebagaimana yang engkau katakan, dan melebihkan
kita atas apa yang engkau bilang tadi. Kita adalah para pembesar dan pemimpin
Arab, dan engkau sekalian pantaslah disebut demikian. Tidak ada satu keluarga
pun yang mengingkari keutamaan kalian. Tidak ada seorang manusia pun yang tidak
mengakui kebesaran dan kemuliaan kalian. Kami senang menyambung tali dan
kemuliaan kalian. Maka saksikanlah, wahai sekalian orang-orang Quraisy, bahwa
aku telah menikahkan Khadijah binti Khuwailid dengan Muhammad bin ‘Abdullah
dengan maskawin sekian.”
Sesudah itu
diam.
Abu Thalib
berkata : “Saya ingin pamannya juga ikut berbicara.”
Maka
berkatalah ‘Amr bin Asad, paman Khadijah : “Saksikanlah, wahai sekalian
orang-orang Quraisy, bahwa saya telah menikahkan Muhammad bin ‘Abdullah dengan
Khadijah binti Khuwailid.”
Maka Muhammad
saw pun menerima pernikahan itu, disaksikan para pembesar Quraisy.
Muhammad saw
kemudian mengadakan walimah. Dia menyembelih se ekor unta. Ada juga yang
mengatakan, dua ekor unta. Dia hidangkan makanan kepada orang-orang, sementara
Khadijah menyuruh budak-budak perempuannya menari dan menabuh rebana. Abu
Thalib sangat gembira dan berkata : “Segala puji bagi Allah, yang telah menghilangkan
kesulitan dari kami dan melenyapkan kesusahan dari kami.”
Ini adalah
walimah yang pertama-tama diadakan Muhammad saw.
Kata
Al-Waqidi, ada pula sebagian ahli sejarah mengatakan, bahwa Khadijah mengirim
seseorang kepada Muhammad saw, mengajaknya untuk menikahi dirinya. Dia adalah
wanita mulia. Setiap oarng Quraisy ingin sekali menikahinya dan bersedia
mengeluarkan banyak harta untuk melaksanakan keinginan mereka.
Tapi akhirnya
Khadijah memanggil ayahnya dan menghidangkan kepadanya khamr sampai mabuk. Dia
menyembelih pula seekor sapi, lalu mengharumi ayahnya itu dengan wewangian, dan
mendandaninya dengan pakaian indah. Sesudah itu, dia kirim seseorang kepada
Muhammad saw, menyuruhnya datang bersama pamannya. Maka mereka datang menemui
ayah Khadijah, lalu dia menikahkan Muhammad saw dengan putrinya.
Ketika ayah
Khadijah sadar, dia berkata : “Sembelihan apa ini, bau apa ini, dan pakaian apa
ini?”
Khadijah
berkata : “Engkau telah menikahkan aku dengan Muhammad bin ‘Abdullah.”
“Aku tidak
melakukan itu,” kata orang tua itu. “ Bagaimana mungkin aku melakukannya?
Bukankah kamu telah dilamar para pembesar Quraisy, itu pun aku tidak mau
melakukannya.”
Kata Al-Waqidi
: “Itu semua salah. Yang benar dan mahfuzh menurut kami adalah cerita dari
Muhammad bin ‘Abdulllah bin Muslim, dari ayahnya, dari Muhammad bin Jubair bin
Muth’im, dan cerita dari Abu Zanad, dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, dari
‘Aisyah, dan cerita dari Ibnu Abi Habibah, dari Dawud bin Al-Hushain, dari
‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas, “bahwa Khadijah dinikahkan oleh pamannya, ‘Amr bin
Asad, dengan Rasulullah. Adapun ayahnya, Khuwailid bin Asad, telah meninggal
dunia sebelum terjadinya Perang Fijar.”
Sebelum
menikah dengan Muhammad saw, Khadijah telah menikah terlebih dahulu semasa
gadisnya dengan Atiq bin A’idz bin ‘Abdullah bin ‘Amr bin Makhzum, kemudian dia
meninggal. Setelah itu Khadijah menikah lagi dengan Abu Halah An-Nabasy bin
Zarrarah.
Dari
pernikahannya dengan Atiq, Khadijah melahirkan Hindun binti Atiq, dan dari
perkawinannya dengan Abu Halah, Khadijah melahirkan Hindun binti Abu Halah dan
Halah bin Abu Halah. Semua anak-anak itu adalah saudara-saudara seibu dengan
anak-anak Rasulullah dari Khadijah.
Setelah
menikah dengan Khadijah, Muhammad saw tidak pernah bepergian lagi untuk
berniaga. Dia tetep tinggal d Makkah, sampai hijrah ke Madinah.
Dari
pernikahannya dengan Muhammad saw, Khadijah melahirkan semua anak-anak beliau,
kecuali Ibrahim, karena dia lahir dari Mariyah Al-Qibthiyah. Anak tertua beliau
adalah Al-Qasim. Oleh karenanya, beliau diberi kunyah Abul Qasim. Sesudah
Al-Qasim, lahirlah Ath-Thayib, kemudian Ath-Thahir, kemudian Ruqayyah, kemudian
Zainab, lalu Ummu Kultsum, lalu Fathimah.
Kata Al-Waqidi
: “Saya lihat sahabat-sahabat kami tidak menyatakan adanya putra Rasulullah
yang bernama Ath-Thayib. Mereka katakan, dia adalah Ath-Thahir.”
C.
Perawakan dan
Sifat-sifat Muhammad
Dengan duapuluh
ekor unta muda sebagai mas kawin Muhammad melangsungkan perkawinannya itu
dengan Khadijah. Ia pindah ke rumah Khadijah dalam memulai hidup barunya itu, hidup
suami-isteri dan ibu-bapak, saling mencintai. cinta sebagai pemuda berumur
duapuluh lima tahun. Ia tidak mengenal nafsu muda yang tak terkendalikan, juga
ia tidak mengenal cinta buta yang dimulai seolah nyala api yang melonjak-lonjak
untuk kemudian padam kembali. Dari perkawinannya itu ia beroleh beberapa orang
anak, laki-laki dan perempuan. Kematian kedua anaknya, al-Qasim dan Abdullah
at-Tahir at-Tayyib[1]
telah menimbulkan rasa duka yang dalam sekali. Anak-anak yang masih hidup semua
perempuan. Bijaksana sekali ia terhadap anak-anaknya dan sangat lemah-lembut.
Merekapun sangat setia dan hormat kepadanya.
Paras mukanya
manis dan indah, Perawakannya sedang, tidak terlampau tinggi, juga tidak
pendek, dengan bentuk kepala yang besar, berambut hitam sekali antara keriting
dan lurus. Dahinya lebar dan rata di atas sepasang alis yang lengkung lebat dan
bertaut, sepasang matanya lebar dan hitam, di tepi-tepi putih matanya agak ke
merah-merahan, tampak lebih menarik dan kuat. pandangan matanya tajam, dengan
bulu-mata yang hitam-pekat. Hidungnya halus dan merata dengan barisan gigi yang
bercelah-celah. Cambangnya lebar sekali, berleher panjang dan indah. Dadanya
lebar dengan kedua bahu yang bidang. Warna kulitnya terang dan jernih dengan
kedua telapak tangan dan kakinya yang tebal.
Bila berjalan
badannya agak condong kedepan, melangkah cepat-cepat dan pasti. Air mukanya
membayangkan renungan dan penuh pikiran, pandangan matanya menunjukkan kewibawaan,
membuat orang patuh kepadanya.
Dengan
sifatnya yang demikian itu tidak heran bila Khadijah cinta dan patuh kepadanya,
dan tidak pula mengherankan bila Muhammad dibebaskan mengurus hartanya dan dia
sendiri yang memegangnya seperti keadaannya semula dan membiarkannya
menggunakan waktu untuk berpikir dan berenung.
Muhammad yang
telah mendapat karunia Tuhan dalam perkawinannya dengan Khadijah itu berada
dalam kedudukan yang tinggi dan harta yang cukup. Seluruh penduduk Mekah
memandangnya dengan rasa gembira dan hormat. Mereka melihat karunia Tuhan yang
diberikan kepadanya serta harapan akan membawa turunan yang baik dengan
Khadijah. Tetapi semua itu tidak mengurangi pergaulannya dengan mereka. Dalam
hidup hari-hari dengan mereka partisipasinya tetap seperti sediakala. Bahkan ia
lebih dihormati lagi di tengah-tengah mereka itu. Sifatnya yang sangat rendah
hati lebih kentara lagi. Bila ada yang mengajaknya bicara ia mendengarkan
hati-hati sekali tanpa menoleh kepada orang lain. Tidak saja mendengarkan
kepada yang mengajaknya bicara, bahkan ia rnemutarkan seluruh badannya.
Bicaranya sedikit sekali, lebih banyak ia mendengarkan. Bila bicara selalu
bersungguh-sungguh, tapi sungguhpun begitu iapun tidak melupakan ikut membuat
humor dan bersenda-gurau, tapi yang dikatakannya itu selalu yang sebenarnya.
Kadang ia tertawa sampai terlihat gerahamnya. Bila ia marah tidak pernah sampai
tampak kemarahannya, hanya antara kedua keningnya tampak sedikit berkeringat.
Ini disebabkan ia menahan rasa amarah dan tidak mau menampakkannya keluar.
Semua itu terbawa oleh kodratnya yang selalu lapang dada, berkemauan baik dan
menghargai orang lain. Bijaksana ia, murah hati dan mudah bergaul. Tapi juga ia
mempunyai tujuan pasti, berkemauan keras, tegas dan tak pernah ragu-ragu dalam
tujuannya. Sifat-sifat demikian ini berpadu dalam dirinya dan meninggalkan
pengaruh yang dalam sekali pada orang-orang yang bergaul dengan dia. Bagi orang
yang melihatnya tiba-tiba, sekaligus akan timbul rasa hormat, dan bagi orang
yang bergaul dengan dia akan timbul rasa cinta kepadanya.
Alangkah
besarnya pengaruh yang terjalin dalam hidup kasih-sayang antara dia dengan
Khadijah sebagai isteri yang sungguh setia itu.
D.
Penduduk Mekah
Membangun Ka'bah
Pergaulan
Muhammad dengan penduduk Mekah tidak terputus, juga partisipasinya dalam
kehidupan masyarakat hari-hari. Pada waktu itu masyarakat sedang sibuk karena
bencana banjir besar yang turun dari gunung, pernah menimpa dan meretakkan
dinding-dinding Ka'bah yang memang sudah rapuk. Sebelum itupun pihak Quraisy
memang sudah memikirkannya. Tempat yang tidak beratap itu menjadi sasaran
pencuri mengambil barang-barang berharga di dalamnya. Hanya saja Quraisy merasa
takut kalau bangunannya diperkuat, pintunya ditinggikan dan diberi beratap,
dewa Ka'bah yang suci itu akan menurunkan bencana kepada mereka. Sepanjang
zaman Jahiliyah keadaan mereka diliputi oleh pelbagai macam legenda yang
mengancam barangsiapa yang berani mengadakan sesuatu perubahan. Dengan demikian
perbuatan itu dianggap tidak umum.
Tetapi sesudah
mengalami bencana banjir tindakan demikian itu adalah suatu keharusan, walaupun
masih serba takut-takut dan ragu-ragu. Suatu peristiwa kebetulan telah terjadi
sebuah kapal milik seorang pedagang Rumawi bernama Baqum[2]
yang datang dari Mesir terhempas di laut dan pecah. Sebenarnya Baqum ini
seorang ahli bangunan yang mengetahui juga soal-soal perdagangan. Sesudah
Quraisy mengetahui hal ini, maka berangkatlah al-Walid bin'l-Mughira dengan
beberapa orang dari Quraisy ke Jidah. Kapal itu dibelinya dari pemiliknya, yang
sekalian diajaknya berunding supaya sama-sama datang ke Mekah guna membantu
mereka membangun Ka'bah kembali. Baqum menyetujui permintaan itu. Pada waktu
itu di Mekah ada seorang Kopti yang mempunyai keahlian sebagai tukang kayu.
Persetujuan tercapai bahwa diapun akan bekerja dengan mendapat bantuan Baqum.
Sudut-sudut
Ka'bah itu oleh Quraisy dibagi empat bagian tiap kabilah mendapat satu sudut
yang harus dirombak dan dibangun kembali. Sebelum bertindak melakukan
perombakan itu mereka masih ragu-ragu, kuatir akan mendapat bencana. Kemudian
al-Walid bin'l-Mughira tampil ke depan dengan sedikit takut-takut. Setelah ia
berdoa kepada dewa-dewanya mulai ia merombak bagian sudut selatan.[3]
Tinggal lagi orang menunggu-nunggu apa yang akan dilakukan Tuhan nanti terhadap
al-Walid. Tetapi setelah ternyata sampai pagi tak terjadi apa-apa, merekapun
ramai-ramai merombaknya dan memindahkan batu-batu yang ada. Dan Muhammad ikut
pula membawa batu itu.
Setelah mereka
berusaha membongkar batu hijau yang terdapat di situ dengan pacul tidak
berhasil, dibiarkannya batu itu sebagai fondasi bangunan. Dan gunung-gunung
sekitar tempat itu sekarang orang-orang Quraisy mulai mengangkuti batu-batu
granit berwarna biru, dan pembangunanpun segera dimulai. Sesudah bangunan itu
setinggi orang berdiri dan tiba saatnya meletakkan Hajar Aswad yang disucikan
di tempatnya semula di sudut timur, maka timbullah perselisihan di kalangan
Quraisy, siapa yang seharusnya mendapat kehormatan meletakkan batu itu di tempatnya.
Demikian memuncaknya perselisihan itu sehingga hampir saja timbul perang
saudara karenanya. Keluarga Abd'd-Dar dan keluarga 'Adi bersepakat takkan
membiarkan kabilah yang manapun campur tangan dalam kehormatan yang besar ini.
Untuk itu mereka mengangkat sumpah bersama. Keluarga Abd'd-Dar membawa sebuah
baki berisi darah. Tangan mereka dimasukkan ke dalam baki itu guna memperkuat
sumpah mereka. Karena itu lalu diberi nama La'aqat'd-Dam, yakni 'jilatan
darah.'
Abu Umayya
bin'l-Mughira dari Banu Makhzum, adalah orang yang tertua di antara mereka,
dihormati dan dipatuhi. Setelah melihat keadaan serupa itu ia berkata kepada
mereka:
"Serahkanlah
putusan kamu ini di tangan orang yang pertama sekali memasuki pintu Shafa
ini."
E.
Putusan Muhammad
Tentang Hajar Aswad
Tatkala mereka
melihat Muhammad adalah orang pertama memasuki tempat itu, mereka berseru:
"Ini al-Amin, kami dapat menerima keputusannya."
Lalu mereka
menceritakan peristiwa itu kepadanya. Ia pun mendengarkan dan sudah melihat di
mata mereka betapa berkobarnya api permusuhan itu. Ia berpikir sebentar, lalu
katanya: "Kemarikan sehelai kain," katanya. Setelah kain dibawakan
dihamparkannya dan diambilnya batu itu lalu diletakkannya dengan tangannya
sendiri, kemudian katanya; "Hendaknya setiap ketua kabilah memegang ujung
kain ini."
Mereka
bersama-sama membawa kain tersebut ke tempat batu itu akan diletakkan. Lalu
Muhammad mengeluarkan batu itu dari kain dan meletakkannya di tempatnya. Dengan
demikian perselisihan itu berakhir dan bencana dapat dihindarkan.
Quraisy
menyelesaikan bangunan Ka'bah sampai setinggi delapanbelas hasta (± 11 meter),
dan ditinggikan dari tanah sedemikian rupa, sehingga mereka dapat menyuruh atau
melarang orang masuk. Di dalam itu mereka membuat enam batang tiang dalam dua
deretan dan di sudut barat sebelah dalam dipasang sebuah tangga naik sampai ke
teras di atas lalu meletakkan Hubal di dalam Ka'bah. Juga di tempat itu
diletakkan barang-barang berharga lainnya, yang sebelum dibangun dan diberi
beratap menjadi sasaran pencurian.
Mengenai umur
Muhammad waktu membina Ka'bah dan memberikan keputusannya tentang batu itu,
masih terdapat perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan berumur duapuluh lima
tahun. Ibn Ishaq berpendapat umurnya tigapuluh lima tahun. Kedua pendapat itu baik
yang pertama atau yang kemudian, sama saja tapi yang jelas cepatnya Quraisy
menerima ketentuan orang yang pertama memasuki pintu Shafa, disusul dengan
tindakannya mengambil batu dan diletakkan di atas kain lalu mengambilnya dari
kain dan diletakkan di tempatnya dalam Ka'bah, menunjukkan betapa tingginya
kedudukannya dimata penduduk Mekah, betapa besarnya penghargaan mereka
kepadanya sebagai orang yang berjiwa besar.
Adanya
pertentangan antar kabilah, adanya persepakatan La'aqat'd-Dam ('Jilatan
Darah'), dan menyerahkan putusan kepada barangsiapa mula-mula memasuki pintu
Shafa, menunjukkan bahwa kekuasaan di Mekah sebenarnya sudah jatuh.
Kekuasaan yang
dulu ada pada Qushayy, Hasyim dan Abd'l-Muttalib sekarang sudah tak ada lagi.
Adanya pertentangan kekuasaan antara keluarga Hasyim dan keluarga Umayya
sesudah matinya Abd'l-Muttalib besar sekali pengaruhnya.
F.
Putera-puteri
Muhammad
Selama
bertahun-tahun Muhammad tetap bersama-sama penduduk Mekah dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari. Ia menemukan dalam diri Khadijah teladan wanita
terbaik; wanita yang subur dan penuh kasih, menyerahkan seluruh dirinya
kepadanya, dan telah melahirkan anak-anak seperti: al-Qasim dan Abdullah yang
dijuluki at-Tahir dan at-Tayyib, serta puteri-puteri seperti Zainab, Ruqayya,
Umm Kulthum dan Fatimah. Tentang al-Qasim dan Abdullah tidak banyak yang
diketahui, kecuali disebutkan bahwa mereka mati kecil pada zaman Jahiliah dan
tak ada meninggalkan sesuatu yang patut dicatat. Tetapi yang pasti kematian itu
meninggalkan bekas yang dalam pada orangtua mereka. Demikian juga pada diri
Khadijah terasa sangat memedihkan hatinya.
G.
Kematian
putera-puterinya
Pada tiap
kematian itu dalam zaman Jahiliyah tentu Khadijah pergi menghadap sang berhala
menanyakannya, kenapa berhalanya itu tidak memberikan kasih-sayangnya, kenapa
berhala itu tidak melimpahkan rasa kasihan, sehingga dia mendapat kemalangan,
ditimpa kesedihan berulang-ulang? Perasaan sedih karena kematian anak demikian
sudah tentu dirasakan juga oleh suaminya. Rasa sedih ini selalu melecut
hatinya, yang hidup terbayang pada isterinya, terlihat setiap ia pulang ke
rumah duduk-duduk di sampingnya.
Tidak begitu
sulit bagi kita akan menduga betapa dalamnya rasa sedih demikian itu, pada
suatu zaman yang membenarkan anak-anak perempuan dikubur hidup-hidup dan
menjaga keturunan laki-laki sama dengan menjaga suatu keharusan hidup, bahkan
lebih lagi dan itu. Cukuplah jadi contoh betapa besarnya kesedihan itu,
Muhammad tak dapat menahan diri atas kehilangan tersebut, sehingga ketika Zaid
b. Haritha didatangkan dimintanya kepada Khadijah supaya dibelinya kemudian
dimerdekakannya. Waktu itu orang menyebutnya Zaid bin Muhammad. Keadaan ini
tetap demikian hingga akhirnya ia menjadi pengikut dan sahabatnya yang
terpilih. Juga Muhammad merasa sedih sekali ketika kemudian anaknya, Ibrahim
meninggal pula. Kesedihan demikian ini timbul juga sesudah Islam mengharamkan menguburkan
anak perempuan hidup-hidup, dan sesudah menentukan bahwa sorga berada di bawah
telapak kaki ibu.
Sudah tentu malapetaka yang menimpa Muhammad
dengan kematian kedua anaknya berpengaruh juga dalam kehidupan dan
pemikirannya. Sudah tentu pula pikiran dan perhatiannya tertuju pada kemalangan
yang datang satu demi satu itu menimpa, yang oleh Khadijah dilakukan dengan
membawakan sesajen buat berhala-berhala dalam Ka'bah, menyembelih hewan buat
Hubal, Lat, 'Uzza dan Manat, ketiga yang terakhir[4].
Ia ingin
menebus bencana kesedihan yang menimpanya. Akan tetapi, semua kurban-kurban dan
penyembelihan itu tidak berguna sama sekali.
H.
Perkawinan
Puteri-puterinya
Terhadap
anak-anaknya yang perempuan juga Muhammad memberikan perhatian, dengan
mengawinkan mereka kepada yang dianggapnya memenuhi syarat (kufu'). Zainab yang
sulung dikawinkan dengan Abu'l-'Ash bin'r-Rabi' b.'Abd Syams - ibunya masih
bersaudara dengan Khadijah seorang
pemuda yang dihargai masyarakat karena kejujuran dan suksesnya dalam dunia
perdagangan. Perkawinan ini serasi juga, sekalipun kemudian sesudah datangnya
Islam. ketika Zainab akan hijrah dan
Mekah ke Medinah mereka terpisah,
seperti yang akan kita lihat lebih terperinci nanti. Ruqayya dan Umm Kulthum
dikawinkan dengan 'Utba dan 'Utaiba anak-anak Abu Lahab, pamannya. Kedua isteri
ini sesudah Islam terpisah dari suami mereka, karena Abu Lahab menyuruh kedua
anaknya itu menceraikan isteri mereka, yang kemudian berturut-turut menjadi
isteri Usman.[5]
Ketika itu
Fatimah masih kecil dan perkawinannya dengan Ali baru sesudah datangnya Islam.
Kehidupan
Muhammad dalam usia demikian itu ternyata tenteram adanya. Kalau tidak karena
kehilangan kedua anaknya itu tentu itulah hidup yang sungguh nikmat dirasakan
bersama Khadijah, yang setia dan penuh kasih, hidup sebagai ayah-bunda yang
bahagia dan rela. Oleh karena itu wajar sekali apabila Muhammad membiarkan
dirinya berjalan sesuai dengan bawaannya, bawaan berpikir dan bermenung, dengan
mendengarkan percakapan masyarakatnya tentang berhala-berhala, serta apa pula
yang dikatakan orang-orang Nasrani dan Yahudi tentang diri mereka itu. Ia
berpikir dan merenungkan. Di kalangan masyarakatnya dialah orang yang paling
banyak berpikir dan merenung. Jiwa yang kuat dan berbakat ini, jiwa yang sudah
mempunyai persiapan kelak akan menyampaikan risalah Tuhan kepada umat manusia,
serta mengantarkannya kepada kehidupan rohani yang hakiki, jiwa demikian tidak
mungkin berdiam diri saja melihat manusia yang sudah hanyut ke dalam lembah
kesesatan. Sudah seharusnya ia mencari petunjuk dalam alam semesta ini,
sehingga Tuhan nanti menentukannya sebagai orang yang akan menerima risalahNya.
Begitu besar dan kuatnya kecenderungan rohani yang ada padanya, ia tidak ingin
menjadikan dirinya sebangsa dukun atau ingin menempatkan diri sebagai ahli
pikir seperti dilakukan oleh Waraqa b. Naufal dan sebangsanya. Yang dicarinya
hanyalah kebenaran semata. Pikirannya penuh untuk itu, banyak sekali ia
bermenung. Pikiran dan renungan yang berkecamuk dalam hatinya itu sedikit
sekali dinyatakan kepada orang lain.
I.
Kecenderungan
Muhammad Menyendiri
Sudah menjadi
kebiasaan orang-orang Arab masa itu bahwa golongan berpikir mereka selama
beberapa waktu tiap tahun menjauhkan diri dari keramaian orang, berkhalwat dan
mendekatkan diri kepada tuhan-tuhan mereka dengan bertapa dan berdoa,
mengharapkan diberi rejeki dan pengetahuan. Pengasingan untuk beribadat semacam
ini mereka namakan tahannuf dan tahannuth.[6]
Di tempat ini
rupanya Muhammad mendapat tempat yang paling baik guna mendalami pikiran dan
renungan yang berkecamuk dalam dirinya. Juga di tempat ini ia mendapatkan
ketenangan dalam dirinya serta obat penawar hasrat hati yang ingin menyendiri,
ingin mencari jalan memenuhi kerinduannya yang selalu makin besar, ingin
mencapai ma'rifat serta mengetahui rahasia alam semesta.
J.
Menjauhi Dosa
ke Gua Hira
Di puncak Gunung
Hira, sejauh dua farsakh[7]
sebelah utara Mekah terletak sebuah gua yang baik sekali buat tempat menyendiri
dan tahannuth. Sepanjang bulan Ramadan tiap tahun ia pergi ke sana dan berdiam
di tempat itu, cukup hanya dengan bekal sedikit yang dibawanya. Ia tekun dalam
renungan dan ibadat, jauh dari segala kesibukan hidup dan keributan manusia. Ia
mencari Kebenaran, dan hanya kebenaran semata.
Demikian
kuatnya ia merenung mencari hakikat kebenaran itu, sehingga lupa ia akan
dirinya, lupa makan, lupa segala yang ada dalam hidup ini. Sebab, segala yang
dilihatnya dalam kehidupan manusia sekitarnya, bukanlah suatu kebenaran. Di
situ ia mengungkapkan dalam kesadaran batinnya segala yang disadarinya. Tambah
tidak suka lagi ia akan segala prasangka yang pernah dikejar-kejar orang.
Ia tidak
berharap kebenaran yang dicarinya itu akan terdapat dalam kisah-kisah lama atau
dalam tulisan-tulisan para pendeta, melainkan dalam alam sekitarnya: dalam
luasan langit dan bintang-bintang, dalam bulan dan matahari, dalam padang pasir
di kala panas membakar di bawah sinar matahari yang berkilauan. Atau di kala
langit yang jernih dan indah, bermandikan cahaya bulan dan bintang yang sedap
dan lembut, atau dalam laut dan deburan ombak, dan dalam segala yang ada di
balik itu, yang ada hubungannya dengan wujud ini, serta diliputi seluruh
kesatuan wujud. Dalam alam itulah ia mencari Hakekat Tertinggi. Dalam usaha
mencapai itu, pada saat-saat ia menyendiri demikian jiwanya membubung tinggi
akan mencapai hubungan dengan alam semesta ini, menembusi tabir yang menyimpan
semua rahasia. Ia tidak memerlukan permenungan yang panjang guna mengetahui
bahwa apa yang oleh masyarakatnya dipraktekkan dalam soal-soal hidup dan apa
yang disajikan sebagai kurban-kurban untuk tuhan-tuhan mereka itu, tidak
membawa kebenaran sama sekali. Berhala-berhala yang tidak berguna, tidak
menciptakan dan tidak pula mendatangkan rejeki, tak dapat memberi perlindungan
kepada siapapun yang ditimpa bahaya. Hubal, Lat dan 'Uzza, dan semua
patung-patung dan berhala-berhala yang terpancang di dalam dan di sekitar
Ka'bah, tak pernah menciptakan, sekalipun seekor lalat, atau akan mendatangkan
suatu kebaikan bagi Mekah.
Tetapi! Ah, di
mana gerangan kebenaran itu! Gerangan di mana kebenaran dalam alam semesta yang
luas ini, luas dengan buminya, dengan lapisan-lapisan langit dan
bintang-bintangnya? Adakah barangkali dalam bintang yang berkelip-kelip, yang
memancarkan cahaya dan kehangatan kepada manusia, dari sana pula hujan
diturunkan, sehingga karenanya manusia dan semua makhluk yang ada di muka bumi
ini hidup dari air, dari cahaya dan kehangatan udara? Tidak! Bintang-bintang
itu tidak lain adalah benda-benda langit seperti bumi ini juga. Atau barangkali
di balik benda-benda itu terdapat eter yang tak terbatas, tak berkesudahan?
Tetapi apa
eter itu? Apa hidup yamg kita alami sekarang, dan besok akan berkesudahan? Apa
asalnya, dan apa sumbernya? Kebetulan sajakah bumi ini dijadikan dan dijadikan
pula kita di dalamnya? Tetapi, baik bumi atau hidup ini sudah mempunyai
ketentuan yang pasti yang tak berubah-ubah, dan tidak mungkin bila dasarnya
hanya kebetulan saja. Apa yang dialami manusia, kebaikan atau keburukan, datang
atas kehendak manusia sendiri, ataukah itu sudah bawaannya sendiri pula
sehingga tak kuasa ia memilih yang lain?
Masalah-masalah
kejiwaan dan kerohanian serupa itu, itu juga yang dipikirkan Muhammad selama ia
mengasingkan diri dan bertekun dalam Gua Hira'. Ia ingin melihat Kebenaran itu
dan melihat hidup itu seluruhnya. Pemikirannya itu memenuhi jiwanya, memenuhi
jantungnya, pribadinya dan seluruh wujudnya. Siang dan malam hal ini menderanya
terus menerus. Bilamana bulan Ramadan sudah berlalu dan ia kembali kepada
Khadijah, pengaruh pikiran yang masih membekas padanya membuat Khadijah
menanyakannya selalu, karena diapun ingin lega hatinya bila sudah diketahuinya
ia dalam sehat dan afiat.
Dalam
melakukan ibadat selama dalam tahannuth itu adakah Muhammad menganut sesuatu
syariat tertentu? Dalam hal ini ulama-ulama berlainan pendapat. Dalam
Tarikh-nya Ibn Kathir menceritakan sedikit tentang pendapat-pendapat mereka
mengenai syariat yang digunakannya melakukan ibadat itu: Ada yang mengatakan
menurut syariat Nuh, ada yang mengatakan menurut Ibrahim, yang lain berkata
menurut syariat Musa, ada yang mengatakan menurut Isa dan ada pula yang
mengatakan, yang lebih dapat dipastikan, bahwa ia menganut sesuatu syariat dan
diamalkannya. Barangkali pendapat yang terakhir ini lebih tepat daripada yang
sebelumnya. Ini adalah sesuai dengan dasar renungan dan pemikiran yang menjadi kedambaan
Muhammad.
Tahun telah
berganti tahun dan kini telah tiba pula bulan Ramadan. Ia pergi ke Hira', ia
kembali bermenung, sedikit demi sedikit ia bertambah matang, jiwanyapun semakin
penuh. Sesudah beberapa tahun jiwa yang terbawa oleh Kebenaran Tertinggi itu
dalam tidurnya bertemu dengan mimpi hakiki yang memancarkan cahaya kebenaran
yang selama ini dicarinya Bersamaan dengan itu pula dilihatnya hidup yang
sia-sia, hidup tipu-daya dengan segala macam kemewahan yang tiada berguna.
Ketika itulah
ia percaya bahwa masyarakatnya telah sesat dari jalan yang benar, dan hidup
kerohanian mereka telah rusak karena tunduk kepada khayal berhala-berhala serta
kepercayaan-kepercayaan semacamnya yang tidak kurang pula sesatnya. Semua yang
sudah pernah disebutkan oleh kaum Yahudi dan kaum Nasrani tak dapat menolong
mereka dari kesesatan itu. Apa yang disebutkan mereka itu masing masing memang
benar; tapi masih mengandung bermacam-macam takhayul dan pelbagai macam cara
paganisma, yang tidak mungkin sejalan dengan kebenaran sejati, kebenaran mutlak
yang sederhana, tidak mengenal segala macam spekulasi perdebatan kosong, yang
menjadi pusat perhatian kedua golongan Ahli Kitab itu. Dan Kebenaran itu ialah
Allah, Khalik seluruh alam, tak ada tuhan selain Dia. Kebenaran itu ialah Allah
Pemelihara semesta alam. Dialah Maha Rahman dan Maha Rahim. Kebenaran itu ialah
bahwa manusia dinilai berdasarkan perbuatannya. "Barangsiapa mengerjakan
kebaikan seberat atompun akan dilihatNya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan
seberat atompun akan dilihatNya pula." (Qur'an, 99:7-8) Dan bahwa surga
itu benar adanya dan nerakapun benar adanya. Mereka yang menyembah tuhan selain
Allah mereka itulah menghuni neraka, tempat tinggal dan kediaman yang paling
durhaka.
K.
Mimpi
Hakiki
Muhammad sudah
menjelang usia empatpuluh tahun. Pergi ia ke Hira' melakukan tahannuth. Jiwanya
sudah penuh iman atas segala apa yang telah dilihatnya dalam mimpi hakiki itu.
Ia telah membebaskan diri dari segala kebatilan. Tuhan telah mendidiknya, dan
didikannya baik sekali. Dengan sepenuh kalbu ia menghadapkan diri ke jalan
lurus, kepada Kebenaran yang Abadi. Ia telah menghadapkan diri kepada Allah
dengan seluruh jiwanya agar dapat memberikan hidayah dan bimbingan kepada
masyarakatnya yang sedang hanyut dalam lembah kesesatan.
Dalam
hasratnya menghadapkan diri itu ia bangun tengah malam, kalbu dan kesadarannya
dinyalakan. Lama sekali ia berpuasa, dengan begitu renungannya dihidupkan.
Kemudian ia turun dari gua itu, melangkah ke jalan-jalan di sahara. Lalu ia
kembali ke tempatnya berkhalwat, hendak menguji apa gerangan yang berkecamuk
dalam perasaannya itu, apa gerangan yang terlihat dalam mimpi itu? Hal serupa
itu berjalan selama enam bulan, sampai-sampai ia merasa khawatir akan membawa
akibat lain terhadap dirinya. Oleh karena itu ia menyatakan rasa kekhawatirannya
itu kepada Khadijah dan menceritakan apa yang telah dilihatnya. Ia kuatir
kalau-kalau itu adalah gangguan jin.
Tetapi isteri
yang setia itu dapat menenteramkan hatinya. Dikatakannya bahwa dia adalah
al-Amin, tidak mungkin jin akan mendekatinya, sekalipun memang tidak terlintas
dalam pikiran isteri atau dalam pikiran suami itu, bahwa Allah telah
mempersiapkan pilihan-Nya itu dengan memberikan latihan rohani sedemikian rupa
guna menghadapi saat yang dahsyat, berita yang dahsyat, yaitu saat datangnya
wahyu pertama. Dengan itu ia dipersiapkan untuk membawakan pesan dan risalah
yang besar.
L.
Wahyu
Pertama
Tatkala ia
sedang dalam keadaan tidur dalam gua itu, ketika itulah datang malaikat membawa
sehelai lembaran seraya berkata kepadanya: "Bacalah!" Dengan terkejut
Muhammad menjawab: "Saya tak dapat membaca". Ia merasa seolah
malaikat itu mencekiknya, kemudian dilepaskan lagi seraya katanya lagi:
"Bacalah!" Masih dalam ketakutan akan dicekik lagi Muhammad menjawab:
"Apa yang akan saya baca." Seterusnya malaikat itu berkata:
"Bacalah! Dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan. Menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah. Dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan
Pena. Mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya ..." ( Qur'an
surah [96]: 1-5)
Lalu ia
mengucapkan bacaan itu. Malaikat pun pergi, setelah kata-kata itu terpateri
dalam kalbunya.[8]
Tetapi
kemudian ia terbangun ketakutan, sambil bertanya-tanya kepada dirinya: Gerangan
apakah yang dilihatnya? Ataukah kesurupan yang ditakutinya itu kini telah
menimpanya? Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi tak melihat apa-apa. Ia diam
sebentar, gemetar ketakutan. Khawatir ia akan apa yang terjadi dalam gua itu.
Ia lari dari tempat itu. Semuanya serba membingungkan. Tak dapat ia menafsirkan
apa yang telah dilihatnya itu.
Cepat-cepat ia
pergi menyusuri celah-celah gunung, sambil bertanya-tanya dalam hatinya, siapa
gerangan yang menyuruhnya membaca itu? Yang pernah dilihatnya sampai saat itu
sementara dia dalam tahannuth, ialah mimpi hakiki yang memancar dari sela-sela
renungannya, memenuhi dadanya, membuat jalan yang di hadapannya jadi
terang-benderang, menunjukkan kepadanya, di mana kebenaran itu. Tirai gelap
yang selama itu menjerumuskan masyarakat Quraisy ke dalam lembah paganisma dan
penyembahan berhala, jadi terbuka.
Sinar
terang-benderang yang memancar di hadapannya dan kebenaran yang telah
menunjukkan jalan kepadanya itu, ialah Yang Tunggal Maha Esa. Tetapi siapakah
yang telah memberi peringatan tentang itu, dan bahwa Dia yang menciptakan
manusia dan bahwa Dia Yang Maha Pemurah, Yang mengajarkan kepada manusia dengan
pena, mengajarkan apa yang belum diketahuinya?
Ia memasuki
pegunungan itu masih dalam ketakutan, masih bertanya-tanya. Tiba-tiba ia
mendengar ada suara memanggilnya. Dahsyat sekali terasa. Ia melihat ke
permukaan langit. Tiba-tiba yang terlihat adalah malaikat dalam bentuk manusia.
Dialah yang memanggilnya. Ia makin ketakutan sehingga tertegun ia di tempatnya.
Ia memalingkan muka dari yang dilihatnya itu. Tetapi dia masih juga melihatnya
di seluruh ufuk langit. Sebentar melangkah maju ia, sebentar mundur, tapi rupa
malaikat yang sangat indah itu tidak juga lalu dari depannya. Seketika lamanya
ia dalam keadaan demikian. Dalam pada itu Khadijah telah mengutus orang
mencarinya ke dalam gua tapi tidak menjumpainya.
Setelah rupa
malaikat itu menghilang Muhammad pulang sudah berisi wahyu yang disampaikan
kepadanya. Jantungnya berdenyut, hatinya berdebar-debar ketakutan. Dijumpainya
Khadijah sambil ia berkata: "Selimuti aku!" Ia segera diselimuti.
Tubuhnya menggigil seperti dalam demam. Setelah rasa ketakutan itu berangsur
reda dipandangnya isterinya dengan pandangan mata ingin mendapat kekuatan.
"Khadijah,
kenapa aku?" katanya. Kemudian diceritakannya apa yang telah dilihatnya,
dan dinyatakannya rasa kekuatirannya akan teperdaya oleh kata hatinya atau akan
jadi seperti juru nujum saja.
Seperti juga
ketika dalam suasana tahannuth dan dalam suasana ketakutannya akan kesurupan
Khadijah yang penuh rasa kasih-sayang, adalah tempat ia melimpahkan rasa damai
dan tenteram ke dalam hati yang besar itu, hati yang sedang dalam kekuatiran
dan dalam gelisah. Ia tidak memperlihatkan rasa kuatir atau rasa curiga. Bahkan
dilihatnya ia dengan pandangan penuh hormat, seraya berkata:
"O putera
pamanku.[9]
Bergembiralah, dan tabahkan hatimu. Demi Dia Yang memegang hidup Khadijah,[10]
aku berharap kiranya engkau akan menjadi Nabi atas umat ini. Samasekali Allah
takkan mencemoohkan kau; sebab engkaulah yang mempererat tali kekeluargaan,
jujur dalam kata-kata, kau yang mau memikul beban orang lain dan menghormati
tamu dan menolong mereka yang dalam kesulitan atas jalan yang benar."
Muhammad sudah
merasa tenang kembali. Dipandangnya Khadijah dengan mata penuh terimakasih dan
rasa kasih. Sekujur badannya sekarang terasa sangat letih dan perlu sekali ia
tidur. Ia pun tidur, tidur untuk kemudian bangun kembali membawa suatu
kehidupan rohani yang kuat, yang luar biasa kuatnya. Suatu kellidupan yang
sungguh dahsyat dan mempesonakan. Tetapi kehidupan yang penuh pengorbanan, yang
tulus-ikhlas semata untuk Allah, untuk kebenaran dan untuk perikemanusiaan.
Itulah Risalah Tuhan yang akan diteruskan dan disampaikan kepada umat manusia
dengan cara yang lebih baik, sehingga sempurnalah cahaya Allah, sekalipun oleh
orang-orang kafir tidak disukai.
M.
Nabi Muhammad
SAW Menjadi Rasul
Nabi Muhammad
saw diutus kepada seluruh umat manusia,dengan membawa syari’at yang menghapus
syari’at-syari’at sebelumnya. Demikian pertanyaan Allah ta’ala dalam firman-Nya
:
!$tBur y7»oYù=yör& wÎ) Zp©ù!$2 Ĩ$¨Y=Ïj9 #Zϱo0 #\ÉtRur £`Å3»s9ur usYò2r& Ĩ$¨Z9$# w cqßJn=ôèt ÇËÑÈ
“Dan
kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai
pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan
manusia tiada Mengetahui”. (QS. Saba’ [34]: 28).
x8u$t6s? Ï%©!$# tA¨tR tb$s%öàÿø9$# 4n?tã ¾ÍnÏö6tã tbqä3uÏ9 úüÏJn=»yèù=Ï9 #·ÉtR ÇÊÈ
“Maha Suci Allah yang Telah menurunkan Al
Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada
seluruh alam”.[11] (QS. Al-furqan
[25]: 1).
Kabar gembira
tentang bakal diutusnya Nabi Muhammad saw sebenarnya telah tercantum dalam
Taurat, Injil, dan Zabur.
Sebagai
contoh, Yohanes menceritakan bahwa Al-Masih as antara lain pernah mengatakan :
“Jikalau kamu
mengasihi aku, kamu akan menuruti segala perintahku. Aku akan minta kepada
bapa, dan Dia akan memberikan kepadamu seorang Paraklet yang lain, supaya dia
menyertai kamu selama-lamanya, yaitu Roh Kebenaran. Dunia tidak dapat menerima
dia, sebab dunia tidak melihat dia dan tidak mengenal dia,tetepi kamu mengenal
dia, sebab dia menyertai kamu, dan akan diam di tengah kamu.” (Yohanes,
14:15-17)
Al-Masih as
juga berkata pada ayat lain :
“Tetapi
sekarang aku pergi kepada Dia yang mengutus aku, dan tiada seorang pun di
antara kamu yang bertanya kepadaku: ‘Ke mana engkau pergi?’ Tetapi karena aku
mengatakan itu kepadamu, sebab itu hatimu berduka cita. Namun benar yang
kukatakan kepadamu ini. Adalah lebih berguna bagi kamu, jika aku pergi. Sebab
jikalau aku tidak pergi, Paraklet itu tidak akan datang kepadamu. Tetapi
jikalau aku pergi aku akan mengutus dia kepadamu. Dan kalau dia datang, daia akan menginsafkan dunia akan dosa,
kebenaran, dan penghakiman. Akan dosa, karena mereka tetap tidak percaya
kepadaku. Akan kebenaran, karena aku pergi kepada Bapa dan kamu tidak melihat
aku lagi. Akan penghakiman, karena penguasa dunia ini telah dihukum.”
“Masih banyak
hal yang harus kukatakan kepada kamu, tetapi sekarang kamu belum dapat
menanggungnya. Tetapi apabila dia datang, yaitu Ruh Kebenaran, dia akan
memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran. Sebab, dia tidak akan berkata-kata
dari dirinya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengarnya itulah yang akan
dikatakannya, dan dia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang. Dia
akan memuliakan aku, sebab dia akan memberitakan kepadamu apa yang diterimanya
daripadaku.” (Yohanes 16: 5-14)
“Paraklet”
jika diterjemahkan ke dalam bahasa Arab ialah “Ahmad”, sebagaimana difirmankan
oleh Allah ta’ala dalam Al-Qur’an al-karim bahwa Al-Masih as berkata :
#MÅe³t6ãBur 5AqßtÎ/ ÎAù't .`ÏB Ï÷èt/ ÿ¼çmèÿô$# ßuH÷qr& ( $¬Hs>sù Nèduä!%y` ÏM»oYÉit6ø9$$Î/ (#qä9$s% #x»yd ÖósÅ ×ûüÎ7B ÇÏÈ
“......dan
memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang
sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)." Maka tatkala Rasul itu datang
kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: "Ini
adalah sihir yang nyata.” (QS. Ash-Shaff [61]: 6).
Agaknya para
penerjemah telah keliru dalam menerjemahkan kata “Paraklet” ini. Terkadang
terjemahan itu mereka kutip begitu saja dari tiga bahasa asalnya, Ibrani,
Kaldan, dan Yunani: “penghibur”, atau diterjemahkan “juru selamat” atau mereka
tulis apa adanya, yaitu Paraklet.
Akan tetapi,
bagi orang yang membaca nash-nash tersebut di atas dan meneliti arti dan
tujuannya dengan seksama, dia akan mengerti bahwa Nabi ‘Isa as sebenarnya
memberi kabar gembira tentang bakal diutusnya Nabi kita, Muhammad saw, lalu dia
sebut “Paraklet yang lain”, maksudnya rasul selain dirinya, yang syar’atnya
akan abadi sampai hari Kiamat, dan sesudahnya tidak ada lagi nabi maupun rasul
yang lain.
Al-Masih as
mengatakan : “Jikalau aku tidak pergi, Paraklet itu tidak akan datang
kepadamu...” dst. Kenyataanya memang demikian, bahwa Nabi Muhammad saw telah
menginsafkan kaum Yahudi dan Nasrani yang semula mengingkari kenabian Al-Masih,
berbuat jahat terhadapnya,dan mengubah agamanya. Nabi Muhammad saw telah
memimpin seluruh umat manusia kepada kebenaran. Beliau tiadak berkata-kata dari
dirinya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengarnya itulah yang dia
katakan, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an :
$tBur ß,ÏÜZt Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd wÎ) ÖÓórur 4Óyrqã ÇÍÈ
3.
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa
nafsunya.
4. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya). (QS. An-Najm [53]: 3-4).
Seain itu
telah diriwayatkan pula secara tsabit (otentik) bahwasanya banyak hal-hal yang
akan datang yang beliau katakan, dan
ternyata benar, apa-apa yang beliau katakan semuanya benar-benar terjadi.
Beliau juga mengagungkan Nabi ‘Isa as .
Di antara
ayat-ayat Al-Qur’an banyaklah yang menunjukkan apa-apa yang tercantum dalam
Injil. Dengan demikian, benarlah bahwa Nabi Muhammad saw adalah “Paraklet” yang
datang sesudah ‘Isa as.
Memasuki usia 40 tahun, Nabi Muhammad SAW
sering berkhalwat (berdiam diri dengan merenungkan segala sesuatu dan memohon
petunjuk kepaai Allah), hal tersebut dilakukan seiring dengan berbagai masalah
yang dihadapi terutama berkaitan dengan situasi masyarakat Mekah pada saat itu.
Dalam
berkhalwat nabi Muhammad SAW lebih sering memilih tempat yang jauh dari
keramaian, dengan harapan lebih tenang dan dapat berpikir secara jernih dan
lebih khusyuk dalam berzikir kepada Allah. Salah satu tempat yang digunakan
untuk berkhalwat adalah di Gua Hira', di tempat inilah Nabi Muhammad SAW
menerima wahyu pertama kali dari Allah. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal
17 Ramadan bertepatan dengan tanggal 6 Agustus tahun 610 M.
Dalam catatan
sejarah diterangkan bahwa ketika Nabi Muhammad sedang berkhalwat di Gua Hira',
beliau didatangi Malaikat Jibril dengan membawa wahyu dari Allah dan menyuruh
Nabi Muhammad SAW untuk membacanya. Malaikat berkata, "Bacalah."
Kemudian beliau menjawab, "Aku tidak dapat membaca', hal tersebut
diulang-ulang sampai tiga kali. Nabi Muhammad tetap menjawab " Aku tidak
dapat membaca". Dan akhirnya Nabi bertanya, "Apa yang kubaca?"
Selanjutnya Malaikat Jibril membacakan wahyu Allah tersebut, sebagaimana
kutipan ayat berikut:
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ ù&tø%$# y7/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷èt ÇÎÈ
Artinya:
"Bacalah
dengan menyebut nama Tuhanmu. Yang menciptakan. Yangmenjadikan manusia dari
segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu teramat Mulia. Yang mengajarkan dengan
pena(tulis baca). Mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya."
(Q.S. Al-'AIaq: 1-5)
Setelah
Malaikat Jibril membacakan ayat tersebut, lalu Nabi Muhammad SAW menirukannya,
sesaat kemudian Malaikat Jibril meninggalkan Nabi Muhammad SAW. Dengan diterima
wahyu Allah tersebut resmilah Muhammad ditetapkan oleh Allah sebagai rasul yang
bertugas untuk menyampaikan risalah kepada umatnya.
Pada saat
menerima wahyu yang pertama tersebut usia Nabi Muhammad SAW 40 tahun 6 bulan 8
hari (menurut perhitungan tahun Masehi), atau 39 tahun 3 bulan 8 hari (menurut
perhitungan tahun Hijriah). Setelah menerima wahyu dari Allah, Nabi Muhammad
SAW buru-buru pulang meninggalkan Gua Hira' dalam keadaan gemetar, sehingga
meminta istrinya untuk menyelimuti badannya.
N.
Misi Nabi
Muhammad SAW untuk Umat Islam
Untuk
menjalankan misinya para Rasul Allah SWT dibekali dengan empat sifat, yaitu
"Sidiq, amanah, tabliq, dan fatanah"'. Empat sifat tersebut merupakan
keistimewaan yang dimiliki oleh para rasul sekaligus yang, membedakan dengan
manusia pada umumnya, begitu pula Nabi Muhammad SAW juga memiliki empat sifat
tersebut.
Pertama, Sidiq
artinya benar. Seorang rasul senantiasa benar dalam perkataan, perbuatan maupun
sikapnya. Sebab manusia diwajibkan untuk mengikuti segala sesuatu yang datang
dari rasul, sehingga mustahil kalau seorang rasul dusta dalam segala perkataan,
tindakan dan sikapnya.
Kedua, amanah
artinya dapat dipercaya. Dalam segala hal seorang rasul senantiasa dapat
dipercaya, sehingga mustahil kalau ia berkhianat. Begitu pula Nabi Muhammad SAW
memiliki sifat amanah dalam segala hal, termasuk menjalankan misinya sebagai
rasul yang bertugas membimbing umat manusia.
Ketiga,
tabtliq artinya menyampaikan. Maksudnya adalah menyampaikan wahyu dari Allah
SWT kepada umat manusia. Tidak mungkin seorang rasul menyembunyikan kebenaran
yang datangnya dari wahyu Allah SWT.
Keempat,
fatanah artinya cerdas. Maksudnya adalah Nabi Muhammad SAW memiliki kecerdasan
luar biasa, sehingga dalam menjalankan misinya dibekali oleh Allah SWT dengan
kemampuan dan kecerdasan luar biasa sebagai sarana untuk mengatasi berbagai
persoalan yang dihadapinya.
Adapun misi
Nabi Muhammad SAW adalah sebagai berikut:
a. Membawa ajaran Islam
Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi rasul saat
berusia 40 tahun. Selama kerasulannya kurang lebih 23 tahun beliau menyampaikan
ajaran Islam. Selama itu pula ajaran Islam telah disampaikan secara utuh dan
sempurna, sekaligus ditetapkan Allah sebagai agama yang paling sempurna.
Firman Allah
SWT:
ôtPöquø9$# àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYÏ àMôJoÿøCr&ur öNä3øn=tæ ÓÉLyJ÷èÏR àMÅÊuur ãNä3s9 zN»n=óM}$# $YYÏ 4 ....
Artinya:
"...Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagimu." (Q.S.
Al-Ma'idah 5: 3).
b. Menyampaikan
ajaran dari Allah SWT kepada umat manusia
Ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW bersumber
dari Al-Qur'an maupun Hadis, yang berisi tentang akidah, syariah, ibadah, dan
muamalah. Seluruh ajaran tersebut disampaikan kepada umatnya agar menjadi hamba
Allah yang baik, yakni senantiasa beribadah dan berbuat baik kepada sesamanya,
misalnya senantiasa rajin salat dan mampu menjaga diri untuk tidak berbuat
buruk, begitu pula kepada sesamanya senantiasa menghindari hal-hal yang
menimbulkan keburukan dan susahnya orang lain.
c. Memberi
kabar gembira dan peringatan kepada umat manusia
Kabar gembira yang berupa nilai-nilai yang
terkandung dalam ajaran Islam dan imbalan yang diberikan Allah kepada hamba-Nya
yang rajin ibadah, begitu pula sebaliknya bagi hamba-Nya yang tidak mau
beribadah kepada-Nya tentu akan diberi peringatan dan balasan yang sangat
menyedihkan, baik di dunia maupun kelak di kemudian hari.
Firman Allah
SWT :
$tBur ã@ÅöçR tûüÎ=yößJø9$# wÎ) tûïÎÅe³u;ãB z`ÍÉZãBur ( ô`yJsù z`tB#uä yxn=ô¹r&ur xsù ì$öqyz öNÍkön=tã wur öNèd tbqçRtøts ÇÍÑÈ
Artinya:
" Dan
tidaklah kami mengutus para rasul itu melainkan untuk memberi kabar gembira dan
memberi peringatan. Barangsiapa yang beriman dan mengadakan perbaikan, maka tak
ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati."
(Q.S. Al-An'am, [6]: 48)
d. Menyempurnakan akhlak manusia
Manusia pada dasarnya baik, namun karena
sesuatu sebab sehingga bersikap dan berbuat yang tidak baik. Oleh karena itu
misi Rasulullah SAW salah satunya adalah menyempurnakan akhlak manusia agar
menjadi baik.
Hadits Rasulullah
SAW:
انمابعثت
لاتمما مكارم الاخلاق
Artinya:
"
Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak." (H.R. Bukhari dan
Muslim)
Pernyataan hadis di atas mengingatkan kepada
kita pada awal sejarah kelahiran Rasulullah SAW terhadap keburukan akhlak
bangsa Arab pada masa jahiliah, hingga kelak dewasanya Rasulullah bertugas
membimbing akhlak manusia menuju akhlak yang baik sesuai dengan ajaran
Al-Qur'an. Untuk menjalankan tugas tersebut Allah SWT membekali Nabi Muhammad
dengan kesempurnaan sifat dan akhlak sehingga dalam dirinya penuh dengan
teladan yang bisa dijadikan panutan, baik dalam bertutur kata, bersikap maupun
bertindak.
Firman Allah
SWT:
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_öt ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sur ©!$# #ZÏVx. ÇËÊÈ
Artinya:
"Sesungguhnya
telah ada pada diri Rasulullah SAW suri teladan yang baik bagi kamu sekalian,
(yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
akhir dan dia banyak menyebut Allah yang banyak." (Q.S. Al-Ahzab, [33]:
21)
Misi Nabi
Muhammad SAW untuk Seluruh Umat Manusia dan Bangsa
Nabi atau
rasul sebelum Nabi Muhammad SAW hanya diutus sesuai dengan umat dan zamannya
dan silih berganti sampai diutusnya Nabi Muhammad SAW sebagai rasul yang
terakhir dan penutup para nabi. Nabi Muhammad SAW diutus sebagai rasul untuk
seluruh umat manusia di dunia ini.
Alasan yang
menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW sebagai rasul yang terakhir, misi dan
tugasnya ditujukan untuk seluruh umat manusia dan bangsa adalah:
a)
Para nabi sebelum Nabi Muhammad SAW
diutus hanya untuk kaum dan bangsa tertentu. Contoh Nabi Nuh AS diutus hanya
untuk kaum Nabi Nuh dan berakhir setelah datang nabi/rasul berikutnya.
b)
Ajaran para nabi/rasul sebelum Nabi
Muhammad SAW sifatnya sangat terbatas, hanya untuk kaum dan masa tertentu,
sehingga diperlukan penyempurnaan dengan mengutus rasul baru yang ajarannya
lebih sempurna dan berlaku untuk seluruh umat manusia sepanjang masa.
c)
Nabi Muhammad SAW adalah rasul
terakhir.
Firman Allah SWT :
$¨B tb%x. î£JptèC !$t/r& 7tnr& `ÏiB öNä3Ï9%y`Íh `Å3»s9ur tAqߧ «!$# zOs?$yzur z`¿ÍhÎ;¨Y9$# 3 tb%x.ur ª!$# Èe@ä3Î/ >äóÓx« $VJÎ=tã ÇÍÉÈ
Artinya:
"Muhammad itu sekali-kali
bukanlah bapak seorang laki-laki di atara kamu, melainkan dia adalah Rasulullah
dan penutup para nabi. Dan Allah Mengetahui segala sesuatu." (Q.S.
Al-Ahzab, [33]: 40)
d)
Nabi Muhammad SAW adalah nabi/rasul
untuk seluruh umat manusia sedunia. (Lihat Q.S. Al-A'raf, [7]: 18)
e)
Seluruh ajaran yang dibawanya
adalah untuk kesejahteraan seluruh alam semesta dan penghuninya.
Firman Allah SWT :
!$tBur »oYù=yör& wÎ) ZptHôqy úüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
Artinya:
"Tiada Kami utus engkau
(Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam" (Q.S.
Al-Anbiya', [21]: 107)
f)
Nabi Muhammad SAW adalah rasul
pembawa ajaran dan berita gembira bagi seluruh umat manusia.
Firman Allah SWT:
!$tBur y7»oYù=yör& wÎ) Zp©ù!$2 Ĩ$¨Y=Ïj9 #Zϱo0 #\ÉtRur £`Å3»s9ur usYò2r& Ĩ$¨Z9$# w cqßJn=ôèt ÇËÑÈ
Artinya:
"Tiada Kami utus engkau
(Muhammad) melainkan untuk seluruh manusia guna memberikan berita gembira dan
berita peringatan." (Q.S. Saba', 34: 28)
g)
Dari beberapa alasan dan ayat di
atas dapat dipahami bahwa keterangan yang menjelaskan bahwa "Nabi Muhammad
SAW adalah rasul akhir zaman, sebagai nabi yang terakhir, rasul yang diutus
untuk seluruh umat manusia dan bangsa" adalah benar adanya. Sangat tidak
beralasan jika ada orang yang meragukan kebenaran rasul Muhammad SAW, apalagi
tidak meyakininya.
BAB III
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
1.
Nabi Muhammad saw menikah dengan
Khadijah pada umur 25 tahun dan Khadijah berumur 40 tahun.
2.
Dengan duapuluh ekor unta muda
sebagai mas kawin Muhammad melangsungkan perkawinannya dengan Khadijah.
3.
Anak-anak nabi Muhammad saw dengan
Khadijah adalah al-Qasim dan Abdullah yang dijuluki at-Tahir dan at-Tayyib,
serta puteri-puteri seperti Zainab, Ruqayya, Umm Kulthum dan Fatimah.
4.
Turunnya wahyu pertama di gua hira
surat al-alaq ayat 1-5.
5.
Adapun misi Nabi Muhammad SAW
adalah sebagai berikut:
a.
Membawa ajaran Islam.
b.
Menyampaikan ajaran dari Allah SWT
kepada umat manusia.
c.
Memberi kabar gembira dan
peringatan kepada umat manusia.
d.
Menyempurnakan akhlak manusia.
[1] Berdasarkan pada sebagian besar ahli
genekologi, bahwa putera-putera Nabi s.a.w. dari Khadijah dua orang: al-Qasim
dan Abdullah, yang diberi julukan at-Tahir dan at-Tayyib. Ada juga yang
mengatakan tiga, ada pula yang mengatakan empat orang.
[3] Bangunan itu terdiri dari empat sudut dikenal
dengan nama-nama sudut utara, ar-Rukn'l-Iraqi (Irak), sudut selatan,
ar-Rukn'l-Yamani, sudut barat, ar-Rukn'l-Syami dan sudut timur, ar-Rukn'l-Aswad
[4] Hubal, Lat, 'Uzza dan Manat adalah
berhala-berhala sembahan Arab pagan. Konon kabarnya Hubal berhala terbesar yang
tinggal dalam Ka'bah, dibuat dari batu akik dalam bentuk manusia.
Keterangan tentang tuhan-tuhan
wanita Lat, 'Uzza dan Manat berbeda-beda mengenai bentuknya. Katanya Lat dalam
bentuk manusia juga, 'Uzza berhala kaum Thaqif. 'Uzza pada mulanya adalah pohon
suci, terletak di antara Mekah dengan Ta'if. Manat merupakan batu putih,
berhala kaum Hudhail dan Khuza'a. Ketiga-tiganya itu berbentuk wanita.
[5] Usman b. 'Affan, Khalifah ketiga. Setelah
Ruqayya diceraikan oleh 'Utba diambil isteri oleh Usman b. 'Affan. Setelah Umm
Kulthum dewasa kawin dengan 'Utaiba, lalu diceraikan pula. Sesudah dalam tahun
ke-2 H. Ruqayya wafat, Usman kawin dengan Umm Kulthum. Ia meninggal dalam tahun
ke-9 H. di Medinah
[6] Tahannuf atau tahannafa, mungkin asal katanya
seakar dengan hanif, yang berarti 'cenderung kepada kebenaran' 'meninggalkan
berhala dan beribadat kepada Allah' (LA) atau sebaliknya dari perbuatan syirik.
(Bandingkan Qur'an, 2: 135; 10: 105). Tahannuth atau tahannatha, beribadat dan
menjauhi dosa; mendekatkan diri kepada Tuhan' (N). 'Beribadat dan menjauhi
berhala, seperti tahannatha (LA). Dalam terjemahan selanjutnya kedua kata ini
tidak diterjemahkan.
[8] Demikian buku-buku sejarah yang mula-mula
menceritakan. Ibn Ishaq juga ke sana dasarnya. Demikian juga yang datang
kemudian banyak yang menceritakan begitu. Hanya saja sebagian mereka
berpendapat bahwa permulaan wahyu itu datang ia dalam keadaan jaga dan di waktu
siang, dengan menyebutkan sebuah keterangan melalui Jibril yang menenteramkan
hati Muhammad ketika dilihatnya dalam ketakutan. Ibn Kathir dalam Tarikh-nya
menyebutkan sumber yang dibawa oleh al-Hafiz Abu Na'im al-Ashbahani dalam
bukunya Dala'il'n-Nubawa dari 'Alqama bin Qais, bahwa "Yang mula-mula
didatangkan kepada para nabi itu mereka dalam keadaan tidur (dengan maksud)
supaya hati mereka tenteram. Sesudah itu kemudian wahyu turun. Dan ditambahkan:
"Ini yang dikatakan 'Alqama ibn Qais sendiri, suatu keterangan yang baik,
diperkuat oleh yang datang sebelum dan sesudahnya."
[9] Suatu kebiasaan orang Arab memanggil orang
yang dianggap seturunan. Muhammad dan Khadijah dari nenek moyang yang sama,
yakni Qushayy.