Pengertian
Terjemah
Terjemahan didefinisikan secara beragam rupa
dengan sepenuhnya bergantung pada pandangan yang diemban oleh sang pemberi
definisi. Orang mungkin memberi definisi berdasar pada pengalihan bentuk-bentuk
dari suatu bahasa ke dalam bahasa lain. Mungkin pula orang memberi definisi
dengan menekankan terjemahan sebagai pengalihan arti dan pesan dari suatu
bahasa sumber (BSu) kedalam bahasa sasaran (BSa), atau bahkan berdasar
pandangan yang mengusung terjemahan sebagai suatu proses tranfer budaya.
Berikut merupakan petikan beberapa pendapat ahli bahasa tentang definisi
terjemahan yang kerap menjadi rujukan para pelaku dan pemerhati terjemahan.
Catford (1965:20), dalam bukunya A linguistic
Theory of Translation, mendefinisikan terjemahan sebagai pengalihan wacana
dalam bahasa sumber (BSu) dengan wacana padanannya dalam bahasa sasaran (BSa).
Di sini, Catford menekankan bahwa wacana alihan haruslah sepadan dengan wacana
aslinya. Karena padanan merupakan kata kunci dalam proses terjemahan, dengan
sendirinya pesan dalam wacana alihan akan sebanding dengan pesan pada wacana
asli. Sebaliknya, jika wacana alihan dan wacana asli tidak sepadan, wacana alihan
tidaklah dianggap sebagai suatu terjemahan.
Terjemahan yang baik, baik dalam bentuk lisan
maupun tulisan, akan memberi penekanan lebih pada makna atau pesan yang
disampaikan. Apakah hasil terjemahan patuh patuh atau tidak pada bentuk bahasa
sumbernya bukanlah hal yang fundamental, hal terpenting adalah hasil terjemahan
memiliki maksud dan makna yang sama persis dengan pesan pada bahasa sumbernya.
Jadi terdapat kesejalan dan kesamaan antara pesan dalam bahasa sumber dan
bahasa sasaran, dimana pesan terkonstruksi dalam bahasa sasaran tertera secara
wajar untuk diterima oleh pengguna bahasa sasaran, pesan dalam bahasa sasaran
tidak diukur oleh pengguna bahasa sumber.
Proses
Penerjemahan
Proses penerjemahan adalah rangkaian tindakan
dimana penterjemahan mencurahkan pengetahuan, keterampilan, kemampuan, dan
kebiasaannya untuk mengalihkan pesan dari Bsu ke dalam Bsa. Nida and Taber
(1969:33) membagi proses penerjemahan kedalam tiga tahap:
1.
Menganalisa
pesan Bsu
2.
Pengalihan,
and
3.
Merekontruksi
ulang pesan dalam Bsa
Newmark
menjelaskan 8 jenis penerjemahan diantaranya:
1.
Penerjemahan
kata demi kata
Penerjemahan
kata demi kata pada dasarnya terikat pada tataran kata. Susunan kata dalam
kalimat BSu dipertahankan dan kosakatanya diterjemahkan satu demi satu, dengan
arti yang paling umum, tanpa mempertimbangkan konteks. Kosakata kultural
diterjemahkan secara harfiah. Penggunaan utama penerjemahan ini untuk memahami
cara penyusunan (struktur) BSu, atau untuk menafsirkan teks yang sukar sebagai
proses awal penerjemahan.
Contoh:
I
go to school.
Saya pergi ke sekolah.
2.
Penerjemahan
harfiah
Dalam terjemahan
ini, kostruksi tata bahasa diubah sedekat mungkin dengan padanannya dalam Bsa,
tetapi kata-katanya diterjemahkan satu demi satu tanpa memprtimbangkan konteks.
Ini digunakan dalam proses awal penerjemhan untuk menunjukkan masalah yang
harus dipecahkan.
Contoh:
The thief was sent
to the prison.
Pencuri itu dikirim
ke penjara.
3.
Penerjemahan
setia
Penerjemahan
setia berusaha menghsilkan makna kontekstual yang tepat pada teks asal dengan
keterbatasan struktur tata bahasa BSu. Dalam penerjemahan ini, kosakata
kultural ‘dialihkan’ dan tingkat ‘abnormalitas’ gramatikal dan leksikal
dipertahankan. Penerjemahan diusahakan agar betul-betul setia pada maksud dan
realisasi teks dari penulis BSu. Jadi cara ini cenderung untuk sejauh mungkin
mempertahankan atau setia pada isi dan bentuk BSu.
Contoh:
Born without arms, he was sent to
special schools.
Lahir tanpa lengan, dia dikirim ke
sekolah khusus. (harfiah)
Karena dilahirkan tanpa lengan, dia
bersekolah di sekolah khusus.
(Bukan ‘karena lahir
...disekolahkan’)
4.
Penerjemahan
semantik
Penerjemahan
semantik berbeda dari penerjemahan setia hanya karena penerjemahan semantik
lebih mempertahankan nilai estetika (bunyi yang indah dan alamiah) teks Bsu dan
menyesuaikan ‘makna’ bilamana perlu supaya irama kata, penggunaan dan
pengulangan kata tidak mengganggu dalam versi terjemahan. Dalam penerjemahan
ini, kata-kata kultural yang kurang penting diterjemahkan tidak dengan istilah
kultural, tetapi dengan istilah fungsional atau yang netral secara
kultural. Juga dalam terjemahan ini
mungkin ada penyesuaian-penyesuaian dengan khalayak pembaca.
Perbedaan antara penerjemahan
‘setia’ dengan penerjemahan ‘semantik’ adalah bahwa yang pertama tidak
menyesuaikan diri dan dogmatik, sedangkan yang kedua lebih lentur dan
membolehkan kreatifitas dengan tak mengikuti 100% kesetiaan pada teks BSu.
5.
Adaptasi
Ini merupakan
bentuk penerjemahan yang paling ‘bebas’ dan terutama digunakan dalam
penerjemahan drama (komedi) dan puisi. Tema dan karakter, dan alur biasanya
dipertahankan, tetapi kultur BSu diubah ke dalam kultur Bsa dan teksnya ditulis
kembali.
6.
Penerjemahan
bebas
Penerjemahan bebas memproduksi masalah (matter)
tanpa cara (manner), atau isi tanpa bentuk asli. Biasanya terjemahan ini
merupakan parafrase yang jauh lebih panjang dari bahan aslinya, yang jugga
disebut ‘penerjemahan intrabahasa’, sering bertele-tele, berlebihan dan bahkan
bukan terjemahan sama sekali.
7.
Penerjemahan
idiomatis
Penerjemahan idiomatis memproduksi
‘pesan’ asli tetapi cenderung mengubah nuansa arti dengan lebih banyak
menggunakan bahasa sehari-hari (kolokual) dan idiom yang tidak ada dalam BSu.
8.
Penerjemahan
komunikatif
Penerjemahan
komunikatif berusaha mengalihkan makna kontekstual yang tepat dari teks BSu
sedemikian rupa sehingga baik isi maupun bahasanya mudah diterima dan dapat
dipahami oleh pembaca.
Dari sekian
paparan para ahli yang dikutip di atas, terlihat jelas bahwa terdapat satu
garis kesamaan yakni pada dasarnya proses penerjemahan mencakup 3 bagian besar,
yakni: kata demi kata, harfiah, dan bebas yang masing-masing ragam ini memiliki
peruntukkannya sendiri terlepas dari kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Contoh dalam
penerjemahan dalam paragraf
HALAL and
HARAM DEFINED
The concept of
Halal and Haram in Islam are are very important in the life of every practicing
Muslim. In this chapter, these concept are defined, explained and correlated to
foods, diets, ann nutrition. The concepts of Mash-booh (suspected),
Makrooh (discouraged or hated) and Zabiha (slaughtering
according to Islamic laws) are also included.
A.
Halal
Halal is an
Arabic word which means alloowed or lawful. In the case of diets and foods,
most of them are considered to be Halal unless they are specified or mentioned
in the Qur’an or Hadith (sayings of
Prophet Muhammad (pbuh)). Human beings cannot change the unlawful (Haram)
unlawful to make the lawful as unlawful.
The other name
of Halal meat would be Zabiha. Please refer to “Zabiha” at the
end of this chapter. The word “Halal” is a Qur’anic term and is used several
times in differerent concepts. Some of them are related to foods. In this
respect, Allah SWT says the following about Halal foods in the Qur’an in Surah
Al-Ma’idah: 87-88
B.
Haram.
Haram is an Arabic word which, in general,
means prohibited or unlawful. In Islam, haram foods are meant unlawful. They
are:
1.
Pork and its
by products
2.
Alcohol
3.
Meat of dead
animals
4.
Animals
slaughtered in aname other than Allah
5.
Blood
6.
Intoxicating
drugs, etc.
If a Muslim
uses any of the above listed Haram products, he would be sinful.
In some
exceptional cases a Muslim may use the Haram foods in the following
circumstances:
1.
By mistake, or
2.
If he is in
danger
When there is no other food
available except the one which is Haram, then he is given the permission to use
it to survive only. In this respect Allah says the following in the Qur’an in
Surah Al-Baqarah: 173
DEFINISI
HALAL DAN HARAM
Konsep
halal dan haram dalam Islam sangat penting bagi kehidupan setiap muslim. Pada
bab ini, konsep konsep ini didefinisikan, dijelaskan dan dikaitkan dengan
makanan, diet, dn nutrisi. Masuk pula konsep Masbuh (antara halal dan haram),
Makruh (dibenci), dan Zabiha ( penyembelihan berdasarkan hukum Islam) dalam bahasan ini.
A.
Halal
Halal berasal dari
bahasa Arab yang berarti diijinkan atau sah secara hukum. Untuk makanan yang mengandung sedikit lemak
dan makanan lainnya, betul-betul perlu dipertimbangkan kehalalannya baik secara
spesifik ataupun disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Manusia tidak bisa
menukar yang haram kepada yang halal. Begitu pula yang halal bila ditukar
sebagaimana yang haram maka hukumnya akan haram pula.
Adapun
nama lain untuk daging yang halal adalah Zabiha. Rujuklah pembahasan “zabiha”
di akhir bab ini. Kata “Halal” adalah
istilah dalam Al-Qur’an yang digunakan dibeberapa konsep yang berbeda. Sebagian besar dihubungkan dengan makanan. Dalam hal ini, Allah berfirman berkaitan dengan makanan
halal didalam Al-Qur’an surah Al-Maidah :
B.
Haram
Haram berasal dari bahasa Arab umumnya
diartikan yang dilarang atau tidak sah secara hukum. Dalam Islam, makanan haram
berarti tidak sah secara hukum. Seperti:
1.
Daging
babi dan produk dari dagung babi
2.
Alkohol
3.
Bangkai
4.
Binatang
yang disembelih selain namaq Allah SWT
5.
Darah
6.
Obat-obatan
yang memabukan, dll.
Bila mana makanan haram
yang terdaftar diatas digunakan oleh seorang Muslim, maka ia akan berdosa.s
Seorang muslim boleh
menggunakan makanan haram dibeberapa keadaan sebagai pengecualian, yakni:
1.
Karena
Kesalahan, atau
2.
Dalam
keadaan terdesak.
Ketika tidak adanya makanan yang lain kecuali
hanya makanan haram. Kemudian makanan
haram digunakannya untuk sekedar bertahan hidup. Dalam hal ini, Allah berfirman
di dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah: 173
Tidak ada komentar:
Posting Komentar