Selain di kalangan ulama dan teolog,
psikologi juga dikembangkan dikalangan para sufi. Tetapi di dunia tasawuf,
psikologi tidak dikembangkan terutama untuk tujuan teoritis, melainkan untuk
melakukan transformasi jiwa. Karena bagi para sufi transformasi jiwa adalah
yang terpenting dalam menuntut sebuah ilmu. Ilmu yang tidak menghasilkan sebuah
transformasi jiwa akan dipandang rendah, betapapun canggihnya ia secara
teoritis. J. Rumi (w. 1273) pernah mengeritik teologi dan fiqih yang karena
kecenderungannya pada formalisme, gagal dalam melakukan transformasi jiwa.
Hanya tasawuflah, menurutnya, yang
akan mampu melakukan transformasi jiwa seseorang.
Sebenarnya banyak teori psikologi
yang telah dikembangkan, disepanjang sejarah panjang pemikiran tasawuf, oleh
para sufi, dengan penggunaan istilah-istilah yang berbeda-beda. Sehingga tidak
menjadi semacam kesepakatan bahwa psikologi sufi, seperti yang disinyalir oleh
Robert Frager saja, yang mana berkisar
pada tiga konsep dasar kejiwaan, yaitu hati, diri (nafs) dan jiwa (ruh).
Konsep Dasar Psikologi Sufi Hati, Diri, dan Jiwa
Menurut Robert Frager terdapat 3
konsep dasar rsikologi sufi, yakni Hati, Diri, dan Jiwa. Hati, diri, dan jiwa
memiliki istilah teknis dan sejumlah konotasi berbeda dalam kegunaannya
sehari-hari. Masing-masing istilah menyertakan penekanan makna dari Alquran,
serta kajian sufi berabad-abad silam. Ketiga konsep ini berasal dari tradisi
berusia ribuan tahun.
• Hati
Maksudnya adalah hati spritual (bukan organ). Contohnya: kita biasa
menyebut seseorang yang baik hati, tulus dan penuh belas kasihan sebagai orang
yang "memiliki hati". Sebaliknya orang yang kejam adalah orang yang
"tidak memiliki hati".
Menurut psikologi sufi, hati menyimpan kecerdasan dan kearifan kita yang
terdalam. Ia lokus makrifat, gnosis, atau pengetahuan spiritual. Cita-cita para
sufi adalah menumbuhkan hati yang lembut dan penuh kasih sayang. Dan yang tak
kalah pentingnya, adalah menumbuhkan kecerdasan hati. Ini kecerdasan yang lebih
mendalam dan mendasar dari pada kecerdasan akal kita.
• Diri
Dalam psikologi sufi, diri atau nafs
adalah sebuah aspek psikis yang pertama sebagai musuh terburuk kita. Namun, ia
dapat tumbuh menjadi alat yang tak terhingga nilainya. Tingkat terendah adalah
nafs tirani. Ia adalah seluruh kekuatan dalam diri yang menjauhkan kita dari
jalan spiritual. Kekuatan-kekuatan ini mengakibatkan rasa sakit dan penderitaan
yang dahsyat, dan mendorong kita untuk menyakiti orang-orang yang kita cintai.
Nafs terdiri dari beberapa tingkatan.
Salah satunya adalah nafs tirani yang selalu menyuruh kita kepada kejahatan.
Kecenderungan negatif ini dapat mendominasi kehidupan kita. Pada akarnya
terdapat dorongan-dorongan egoistis yang kerap tidak kita sadari. Di sisi lain,
tingkat tertinggi nafs dikenal sebagai nafs yang suci. Transformasi akhir ini
adalah pencapaian yang sangat langka, hanya terdapat pada diri Nabi dan orang
suci lainnya.
• Jiwa
Psikologi sufi mencakup sebuah model
jiwa manusia yang didasari oleh prinsip evolusi. Jiwa memiliki 7 aspek atau
dimensi. Adapun ketujuh jiwa tersebut adalah: (1) jiwa mineral (ma’dani),
tumbuhan (nabati), hewan (hewani), personal (nafsani), kemanusiaan (insani),
rahasia (sirri) dan maha rahasia (sirr al-asrar). Masing-masing memiliki 7
tingkat kesadaran. Tasawuf bekerja agar 7 tingkat ini dapat bekerja secara
seimbang dan selaras. Didalam tasawuf, keseimbangan emosi dan hubungan yang
sehat dan menyehatkan adalah sama pentingnya dengan kesehatan spiritual dan jasmani.
Tujuannya adalah hidup sepenuhnya di dunia tanpa merasa terikat kepadanya atau
melupakan sifat dasar dan tujuan spiritual.
.
Adapun menurt al-Gazali mengenai hal
ini, Al-Ghazali menyebut jiwa (ruh) dengan hati. Dalam Kimia-yi Sa’adat ia
mengatakan: “Sedangkan mengenai realitas hati – benda apakah itu dan apakah
sifat-sifat khususnya – hukum wahyu tidak memberikan izin [untuk membahas ini].
Itulah sebabnya Rasulullah tidak menjelaskannya, sebagaimana firman Tuhan,
“Mereka bertanya padamu tentang ruh. Katakanlah, “Ruh itu adalah urusan
Tuhanku.”
Jadi jelas bahwa hati yang dimaksud
di sini adalah ruh. Ada juga yang menyatakan bahwa jiwa itu saja, meiliki
fungsi yang berbeda-beda sehingga diberi nama yang berbeda-beda pula. Misalnya
ketika jiwa mengarahkan dirinya kepada Tuhan maka ia disebut ruh. Ketika ia
melakukan perenungan atau kontemplasi maka ia disebut akal. Ketika ia menerima
iluminasi serta ilham atau mukasyafah, maka ia disebut hati, dan ketika ia
ingin berhubungan, atau mengarahkan dirinya pada badan, maka ia disebut nafsu.
Sedangkan menurut para filosof jiwa atau
ruh itu tidak lain dari pada akal, yang didefinisikan sebagai jiwa manusia atau
jiwa rasional.
Tetapi dari semua penjelasan
teoritis tasawuf tentang jiwa manusia, penjelasan ‘Abd al-Razzaq Kasyani (w.
1335) adalah yang paling jelas menerangkan struktur jiwa manusia dan saling
berhubungan diantara mereka. Bagi Kasyani unsur-unsur yang paling fundamental
dan orisinal dalam diri manusia adalah dua: tanah (turab) dan ruh (jiwa). Namun
karena keduanya merupakan dua substansi yang sangat berlainan sifat dasarnya
maka keduanya tidak bisa saling berhubungan. Dan karena itu maka Tuhan
menciptakan unsur ketiga yang dapat mempertemukan keduanya yang disebut nafs
(jiwa), dan karena itu berada tepat diantara keduanya. Dalam bukunya Istilahat
al-Shufiyyah, Kasyani menjelaskan definisi serta kedudukan hati sebagai
berikut:
Hati adalah substansi yang bercahaya
dan terpisah (terletak) antara ruh dan jiwa (nafs). Melalui hatilah kemanusiaan
yang sejati (al-insaniyyah) terealisir (tahaqquq). Para filosof mangacu padanya
sebagai “jiwa rasional.” Ruh adalah dimensi batinnya, sedangkan jiwa hewan
(nafs) adalah tunggangannya serta dimensi lahirnya. Nafsu (jiwa) ini terletak
antara ia (hati) dan badan.
Dengan demikian kita bisa melihat
kedudukan hati (qalb) yang berada pada posisi tengah antara jiwa (ruh) dan diri
atau (nafs). Di bawah nafs terdapat badan, dan di atas ruh ada Tuhan. Selain
itu al-Kasyani juga berbicara tentang akal, yang diletakkan antara ruh dan
hati, dan shudur (dada) yang terletak antara hati dan nafs (diri). Jadi
struktur jiwa (psikologis) manusia menurut al-Kasyani, kira-kira sebagai
berikut:
- Allah
- ruh
- akal
- HATI
- Shudur
- Diri (nafs)
- Badan
Di sini terlihat betapa hati (qalb)
terletak persis ditengah-tengah. Dan karena kedudukannya yang sentral ini, maka
hati manusia berada di bawah pengaruh atau tarikan. Sachiko Murata mengatakan
keduanya (ruh dan nafs) kadang-kadang ditarik menuju cahaya dan kebahagiaan,
kadang-kadang menuju kegelapan dan kesengsaraan. Jika ia naik menuju ruh, ia
akan mencapai kesempurnaannya sebagai jiwa rasional (bela-akal). Jika ia turun
menuju jiwa yang dikuasai oleh batasan-batasan badan (nafs), ia akan terputus
dari cahaya itu.” Kasyani sendiri mengatakan:
“Hendaklah kamu ketahui bahwa wajah
hati yang dipalingkan pada ruh mendapat cahaya dari cahaya ruh dan disebut
“akal.” Ia mendorong menuju kebaikan dan merupakan tempat ke mana ilham
malaikat dapat masuk. Wajah hati yang dipalingkan ke arah nafsu itu menjadi
gelap melalui kegelapan dari sifat-sifatnya, dan itu dinamakan shudur atau
“dada”. Itulah tempat setan berbisik, seperti difirmankan Tuhan, “Dia yang
berbisikbisik di dada orang-orang” (QS: 114: 5)
Perbedaan Konsep Psikologi Sufi dan
Psikologi Sekuler
Konsep psikologi sufi berbeda dengan
psikologi sekuler yang dapat dikatakan menggunakan semata-mata kemampuan
intelektual untuk menemukan dan mengungkapkan asas-asas kejiwaan.
Psikologi tradisional (sekuler)
berasumsi bahwa alam semesta secara keseluruhan bersifat materi, tanpa makna
dan tujuan. Menurut psikologi sufi, alam semesta diciptakan berdasarkan
kehendak Tuhan, dan mencerminkan eksisitensi-Nya. Al-Qur’an berkata: “bahwa
milik Allah-lah timur dan barat, kemanapun kamu menghadap, disitulah wajah
Tuhan berada” (Qs. Al-Baqarah [2]:115).
Menurut psikologi sekuler, bahwa
manusia tidak lebih dari organisma tubuh, pikiran berkembang dan berasal dari
sistem syaraf tubuh; tidak mengakui dimensi spiritual. Sebaliknya dalam
psikologi sufi, elemen terpenting dalam diri manusia adalah “hati spiritual”,
tempat institusi batiniyah dan kearifan.
Penggambaran tentang sifat manusia
dalam psikologi barat, hanya memusatkan perhatiaannya pada keterbatan manusia
dan tendensi-tendensi neurotik, seperti yang diungkapkan oleh psikologi klinis,
atau pandangan psikologi humanistik tentang keperibadian manusia hanya didekati
melalui nilai-nilai kebaikan lahiriyah dan sifat positif dasar manusia, sedangkan
psiklogi sufi menganggap manusia punya dua potensi yakni potensi tinggi yang
jauh melebihi malaikat dan potensi rendah yang jauh lebih rendah dari binatang.
Oleh karenanya, perlu metode untuk meningkatkan derajat spiritual kita, yaitu
meniti jalan perang suci batiniyah dan riyadhah batiniyah dengan mengendalikan
nafsu tirani menuju puncak jalan sufi.
Psikologi
barat beranggapan bahwa puncak keahlian manusia, jalan memperoleh pengetahuan
dan kearifan, dapat diperoleh dengan nalar logika; hampir segenap pengetahuan
hanya dapat dikemukakan lewat sistimatika rasional yang ditata secara logis.
Psikologi sufi memahami bahwa sistimatika kalimat-kalimat rasional bersifat
terbatas, kondisi spiritual-lah yang melampaui penjelasan rasional.
Konsep iman menurut psikologi barat
adalah tidak mempunyai realita dan sebuah ide (gagasan) yang tidak mempunyai
bukti yang kuat. Bagi psikologi sufi, iman berarti meyakini kebenaran yang
berada dibalik beragam penampakan benda material. Iman menjadi dasar tempat
berpijak seseorang dalam hubungannya yang benar dengan alam semesta dan Tuhan.
Psikologi sufi mengandung kearifan
dari pengalaman dan petunjuk berabad-abad lamanya, yang melahirkan bermacam
ragam gaya bersenandung meditasi, gerakan tubuh dan disiplin spiritual lainnya,
telah tumbuh ditengah-tengah berbagai ras dan budaya yang berbeda.
Tasauf adalah tradisi multikultural bagi semua
orang, ia tidak menjadi spiritualitas elitis. Banyak para sufi besar buta
huruf, tetapi punya kualitas ruhani. Jadi yang dinilai bukan pakain luar yang
bersifat eksoteris, tetapi yang terpenting adalah punya kualitas hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar