BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Secara
etimologis, kata nikah berasal dari bahasa Arab al – nikah ia adalah
bentuk masdar dari kata kerja makaha, yankilu, nikaahan, yang berarti al
– dham (bergabung)dan al – jam (berkumpul). Rumusan definisi diatas menjelaskan
bahwa pernikahan dipandang sebagai sebuah ‘aqad, yaitu transaksi atau
perjanjian yang dibuat oleh laki –laki dan perempuan untuk mencapai tujuan
bersamadidalam sebuah pernikahan.
Mengingat
perkawinan merupakan salah satu bagian terpenting dalam menciptakan keluarga
dan masyarakat yang dirdhai Allah SWT maka dalam memilih calon istri atau
suami, Islam menganjurkan agar mendasarkan segala sesuatunya atas norma Agama,
sehingga pendamping hidup nantinya mempunyai akhlak / moral terpuji.
Untuk kita kita
perlu mengetahui lebih jelas tentang pernikahan. Berikut adalah pembahasan
pernikahan mengenai rukun nikah yang terdiri wali, dua orang saksi, sighat,
selain itu kita juga akan membahas tentang mahar, hukumnikah, hikmah dalam
pernikahan, serta wanita yang halal dan haram untuk dinikahi.
2.
Tujuan
Adapun tujuan
penulisan makalah tentang penikahan adalah menjelaskan hal – hal yang berkaitan
dengan rukun nikah, mahar, hukum nikah, hikmah nikah, wanita yang halal dan
haram untuk dinikahi sehingga para pembaca yang awalnya kurang mengetahui
menjadi mengetahuinya. Setelah membahas dan memahami makalah ini
diharapkan para pembaca mampu memahami dan mangambil ilmu dan pengetahuan dalam
baik dalam acara persentai maupun dalam membaca makalah ini.
Berangkat dari latar belakang dan tujuan di
atas maka dalam makalah ini kami
membahas beberapa pokok masalah, diantaranya:
1.
Memahami rukun nikah
Ø
Wali
Ø
Susunan wali
Ø
Dua orang saksi
Ø
Sighat
2.
Mahar nikah
3.
Hukum nikah
4.
Hikmah nikah
5.
Wanita yang halal dan haram
untuk dinikahi
BAB II
PEMBAHASAN
Rukun Nikah
1.
Sigat (akad), yaitu
perkataan dari pihak wali perempuan, seperti kata wali “ Saya nikahkan engkau
dengan anak saya bernama …..” Jawab mempelai laki – laki, “ Saya terima
menikahi….” Boleh juga didahului oleh perkataan dari pihak mempelai, seperti:
“Nikahkanlah saya dengan anakmu.” Jawab wali, “Saya nikahkan engkau dengan anak
saya ….”karena maksudnya sama. Tidak sah akad nikah kecuali dengan lafaz nikah,
tazwiz,atau terjemahan dari keduanya. Seperti yang dikatakan dalam
hadits yang artinya: “Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan.
Sesungguhnya kamu ambil mereka dengan kepercayaan Allah, dan kamu halalkan
kehormatan mereka dengan kalimat Allah.” (Riwayat Muslim)
Yang di maksud
“kalimat Allah” dalam hadis ialah Al – Qur’an, dan dalam Al – Qur’an tidak
disebutkan selain dua kalimat itu ( nikah dan tajwij), maka harus dituruti agar
tidak salah. Pendat yang lain mengatakan bahwa akad sah dengan lafaz yang lain,
asal maknanya sama dengan kedua lafaz tersebut ma’qul makna,tidak semata
– mata ta’abudi.
2.
Wali (wali
perempuan). Keterangannya adalah sabda Nabi Saw: “Barang siapa diantara
perempuan yang menikah tidak dengan izin walinya, maka pernikahannya batal.”(Riwayat
empat orang ahli hadis, kecuali Nasai)
3.
Dua orang saksi.
Rasulullah Saw
bersabda yang artinya: “Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua saksi
yang adil.”( Riwayat Ahmad)
Susunan Wali
Yang dianggap
sah untuk menjadi wali mempelai perempuan ialah menurut susunan yang akan
diuraikan dibawah ini, karena wali – wali itu memang telah diketahui oleh orang
yang ada pada turun ayat : Janganlah kamu menghalangi mereka menikah.” (Al –
Baqarah :232). Begitu juga hadis Ummu
Salamah yang telah berkata kepada Rasulullah,”Wali saya tidak ada seorangpun
yang dekat”.
Semua itu menjadi
tanda bahwa wali – wali itu telah diketahui (dkenal), yaitu:
·
Bapaknya
·
Kakeknya (bapak dari bapak
mempelai perempuan).
·
Saudara laki – laki yang
seibu sebapak dengannya.
·
Saudara laki – laki yang
sebapak saja dengannya.
·
Anak laki – laki dari
saudara laki –laki yang seibu sebapak dengannya.
·
Anak laki – laki dari
saudara laki – laki yang sebapak saja dengannya.
·
Saudara bapak yang laki –
laki (paman dari pihak bapak).
·
Anak laki- laki pamannya
dari pihak bapaknya.
·
Hakim.
Macam – Macam Wali Nikah
Wali nikah
merupakan rukun nikah yang harus dipenuhi oleh calon mempelai wanita, yang
bertindak untuk menikahkannya. Wali nikah terbagi menjadi tiga macam, yaitu
sebagai berikut;
a.
Wali nasab
Wali nasab ialah
nikah yang didasarkan pada keturnan dimana mempelai wanita dilahirkan menurut
garis ayahnya. Wali nasab terdiri dari empat kelompok berdasarkan urutan
kedudukan dan kedekatan kekerabatan mereka dengan calon memepelai wanita.
Keempat kelompok itu adalah ;
1)
Kelompok ayah dan segaris
lurus keatas yakni dari kakek ayanh dan seterusnya;
2)
Kelompok saudara laki –
laki kandung, atau seayah dari keturunan laki- laki mereka;
3)
Kelompok paman; yakni
saudara laki – laki kandung ayah, atau seayah dan keturunan laki – laki mereka;
4)
Kelompok saudara laki –
laki kandung kakek seayah kakek dan keturunan laki- laki mereka.
b.
Wali hakim
Jika kelompok
empat wali nasab tersebut semuanya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah,
atau oleh karena wali nasab itu menderita tuna wicara, tuba rubgu, sudah uzur,
dan tidak ada wali lain yang dapat menggantikannya, atau tidak mungkin
menghadirkannya, dan tidak diketahui tempat tinggalnya maka wali hakim dapat
bertindak sebagai wali nikah. Jadi, wali hakim ialah seorang pejabat pemerintah
yang diberi tugas dan wewenang untuk menikahkan, ketika awali nikah berhubungan
secara syara’.
c.
Wali adal
Wali adal ialah
wali nasab yang enggan menikahkan mempelai wanita yang dalam tanggungannya
sebagai wali. Jika wali nasab enggan menikahkan dengan alasan yang jelas maka
wali hakim dapat bertindak sebagai wali nikah setelah mendapat putusan
pengadilan agama.
Syarat wali dan dua saksi
Wali dan saksi
bertanggung jawab atas sahnya akad pernikahan. Oleh karena itu, tidak semua
orang dapat diterima menjadi wali atau saksi, tetapi hendaklah orang – orang
yang memilki beberapa sifat berikut:
1.
Islam. Orang yang tidak
beragama Islam tidak sahmenjadi wali atau saksi.Allah Swt berfirman:”Hai
orang – orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang – orang Yahudi dan
Nasrani menjadi pemimpin – pemimpin(mu). (Al – Maidah:51)
2.
Baligh (sudah berumur
sedikitnya 15 tahun)
3.
Berakal
4.
Merdeka
5.
Laki –laki,karena tersebut
dalam hadis riwayat Ibnu Majah dan Daruqutni diatas.
6.
Adil
7.
Tidak sedang ihram haji
atau umrah
8.
Memahami bahasa yang
dipergunakan untuk ijab kabul
Mahar
Mahar atau
sering disebut mas kawin ialah pemberian sesuatu dari suami, baik berupa uang
atau benda kepada istri pada waktu akad nikah. Meskipun mahar tidak termasuk
syarat dan rukun akad nikah, namun merupakan suatu pemberian yang bersifat
mengikat. Oleh sebab itu, diwajibkan kepada
suami untuk memberikan mahar kepada istrinya sebelum terjadi hubungan suamu
isteri.
Mahar sering
disebut mas kawin atau dalam bahasa Al – Qur’an disebut saduqah, artinya
mas kawin. Perhatikanlah firman Allah SWT dalam surat An – Nisa ayat empat :
وَءَاتُوا النِّسَآءَ صَدُقَاتِهِنَّ
نِحْلَةً
Artinya : “ Berikanlah mas
kawin ( mahar ) kepada perempuan ( yang kamu nikahi )sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan . ( Q. S. An – Nisa : 4 )
Berdasarkan ayat
diatas, dapat dikatakan bahwa memberi mahar atau mas kawin kepada istri
hukumnya wajib, meskipun nilai dan banyaknya tidak di batasi melainkan sesuai
dengan kemampuan suami dan kerelaan istri. Jika mahar belum diberikan kepada
istri maka menjadi hutang bagi suami yang wajib dibayarkan, sebagaimana
berhutang kepada orang lain. Mahar yang diberikan suami kepada istri,
selanjutnya menjadi hak pribadi istri.
Meskipun
membayar mahar hukumnya wajib, namun dibayarkan atau belum kepada istri tidak
mempengaruhi sahnya akad nikah. Artinya, meskipun mahar tersebut baru dibayar
setengah atau sebagiannya , bahkan dihutang semuanya oleh suaminya, pernikahan
keduanya tetap sah. Begitu pula dengan jumlah, besar kecil, dan nilai mahar
yang akan diberikan harus sesuai dengan kemapuan suami dan kerelaan istri.
Terdapat
beberapa cara membayar mahar, dan mahar bisa saja gugur atau tidak harus
dibayarkan, baik sebagian maupun seluruhnya, jika terjadi hal – hal sebagai
berikut:
1.
Terjadi perceraian sebelum
melakukan persetubuhan, sedangkan mahar telah ditentukan jumlah dan besarnya
pada waktu akad nikahmaka mahar akan gugur sebagian. Artinya suami wajib
membayar sebagian maharnya.
2.
Terjadi perceraian sebelum
bersetubuh, dan maharnya belum disebutkan jumlahnya pada waktu akad nikah maka
mahar gugur seluruhnya. Artinya, suami tidak wajib membayar mahar, namun
hendaknya memberikan mut’ah, yaitu pemberian yang dapat menyenagkan hati istri
yang diceraikan.
Besar kecilnya
pemberian mut’ah tersebut sangat tergantung pada kemampuan bekas suami. Jika ia
kaya berikanlah yang sesuai dengan kekayaannya, jika orang tak mampu,
berikanlah apa yang menjadi kemampuannya.
Perhatikanlah
firman Allah SWT pada surat Al – Baqarah ayat 236 :
لاَّ
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَآءَ مَالَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ
تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعقَدَرُهُوَعَلَىالْمُقْتِرِقَدَرُهُمَتَاعًابِالْمَعْرُوفِ
Artinya : “ Tidak ada kewajiban membayar ( mahar )
atas kamu, jika kamu menceraikan istri – istrimu sebelum kamu bercampur dengan
mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu
mut’ah ( pemberian ) kepada mereka; orang – orang yang mampu menurut
kemampuannya, dan orang yang miskin menurut kemampuannya, dan orang yang miskin
menurut kemampuannya ( pula ), yaitu pemberian menurut yang patut . “
3.
Istri berhak mempertahankan
diri tidak tergesa – gesa menyerahkan tubuhnya kepada suaminya, sebelum mahar
diberikan kepadanya, baik sebagian maupun sebelumnya. Perhatikanlah firman
Allah SWT pada surat Al – Ahzab ayat 49:
فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ
سَرَاحًا جَمِيلاً {49} . .
. . . . . . .
Artinya : “ maka berilah
mereka mut’ah ( mas kawin ) dan lepaskanlah mereka dengan cara yang sebaik –
baiknya. “ ( Q. S. Al – Ahzab : 49 )
Hukum Nikah
Para ulama
sependapat bahwa nikah merupakan salah satu syariat agama Islam. Diantara dalil
– dalil yang dijadikan dasar adalah sebagai berikut:
a.
Q. S. Al – Nisa ayat 3:
فَانكِحُوا
مَاطَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَآءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ
أَلاَّتَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
Artinya : “ Maka nikahilah perempuan – perempuan yang kamu
senangi, dua , tiga, atau empat. Kemudian jika kamu kahwatir tidak akan dapat
berlaku adil, maka cukuplah seorang saja , atau budak – budak yang kamu
miliki.”
b.
Q. S. Al – Nur ayat 32:
وَأَنكِحُوااْلأَيَامَىمِنكُمْ
Artinya: “ Dan nikahilah orang
– orang yang tidak mempunyai suami atau istri diantara kamu .”
c.
Hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim : “ Hai para pemuda, siapa di antara kamu yang
telah sanggup kawin maka kawinlah, karena kawin itu lebih menundukkan mata dan
lebih memelihara faraj. Dan siapa yang tidak sanggup kawin, hendaklah dia
berpuasa, karena puasa itu dapat menjadi obat baginya. “
d.
Hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Ahmad : “ Nabi Muhammad memerintahkan kita kawin dan sangat
mencegah kita beribadat saja tanpa kawin. Beliau bersabda : ” Kawinilah wanita
yang simpatik lagi subur, karena aku bangga dengan banyaknya kamu pada hari
kiamat. “
Meskipun para
ulama sependapat bahwa nikah merupakan salah satu syariat agama Islam, namun
mereka berbeda pendapat tentang hukum asli melakukan pernikahan.
Daud al – Zhahiri, Ibn Hazm dan
Imam Ahmad menurut satu riwayat berepndapat bahwa hukum asli menikah itu adalah
wajib. Menurut mereka, perintah menikah pada Q. S. Al – Nisa ayat 3, Q. S. Al –
Nur ayat 32 dan kedua hadis diatas, semuanya memakai shigat amar. Dalam
Ushul Fiqh ada kaidah yang mengatur bahwa “ Setiap shigat amar menunjukkan
wajib secara mutlak. “
Sedangkan Imam
Abu Hanifah daan Ahmad menurut salah satu riwayat mengatakan bahwa hukum asli
menikah itu adalah sunah. Alasan mereka kemukakan adalah perinta menikah pada
Q. S. Al – Nisa ayat 3, Q. S. Al – Nur ayat 32 dan kedua hadis diatas, hanyalah
menunjukkan hukum sunah. Menurut mereka, dalam Q. S. Al – Nisa ayat 3, Allah
menyuruh laki – laki muslim untuk memilih antara menikah atau tasarri.
Tasarri hukumnya tidak wajib. Karena dalam Ushul Fiqh diatur bahwa “ Tidak ada pilihan antara wajib dan tidak
wajib. Yang dikatakan wajib adalah suatu hal yang tidak dapat ditinggalkan.”
Andaikan perkawinan itu hukumnya wajib, tentu Allah tidak akan menyuruh kita
memilih.
Menurut Imam
Syafi’i, hukum asli menikah itu adalah mubah. Q. S. Al – Nisa ayat 3 diatas
memberikan pilihan kepada kita untuk menikah atau melakukan tasarri. Tasarri
hukumnya mubah. Jadi, menikah
hukumnya juga mubah karena tidak ada pilihan antara sunnah dan wajib.
Pada tataran
pelaksanaannya, hukum pernikahan itu bisa berbeda antara orang yang satu dengan
orang yang lainnya. Bagi sebahagian orang hukum menikah itu wajib, tetapi bagi
sebahagian orang lain hukumnya bisa sunah, mbah, makruh, dan bahkan haram,
tergantung kepada kondisi orang yang melaksanakannya, yaitu :
a.
Hukum menikah wajib bagi
orang yang sudaah berkobar – kobar nafsunya terhadaplawan jenisnya dan tidak
dapat lagi mengendalikannya, sedangkan dia juga sudah memiliki kemampuan
menjalankan tanggung jawab dalam rumah tangga.
b.
Hukum menikah sunnah bagi
orang yang sudah mempunyai keinginan terhadap lawan jenisnya dan tidak khawatir
jatuh pada perzinahan, sedangkan dia juga sudah memiliki kemampuan menjalankan
tanggung jawab dalam rumah tangga.
c.
Hukum menikah haram bagi
orang yang sudah mempunya keinginan terhadap lawan jenisnya dan tidak pula
memiliki kempuan menjalankan tanggung jawab dalam rumah tangga.
d.
Hukum menikah makruh bagi
orang yang sudah mempunya keinginan terhadap lawan jenisnya dan tidak khawatir
jatuh pada perzinahan, tetapi dia tidak memiliki kemampuan menjalankan tanggung
jawab dalam rumah tangga.
e.
Hukum menikah mubah bagi
orang yang tidak mepunyai keianginan yang kuat terhadap lawan jenisnya tetapi
dia memiliki kemampuan menjalankan tanggung jawab dalam rumah tangga.
Dengan
berbedanya hukum pernikahan bagi orang yang satu dengan yang lainnya tergantung
kepada kondisi masing – masing, diketahui bahwa betapa perlunya kesiapan fisik,
mental dan ekonomi bagi orang yang ingin menikah.
Hikmah Nikah
a.
Dapat mententramkan jiwa,
terdapat pada surat Ar – Rum ayat 21:
وَمِنْ
ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا
إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لأَيَاتٍ
لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ {21}
Artinya : “ Dan
diantara tanda – tanda kekuasaan – Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri –
istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan mersa tentram kepadanya,
dan dijadikan – Nya diantaramu rasa kasih sayang dan sayang. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar – benar terdapat tanda – tanda bagi kaum yang berpikir.
b.
Dapat melestarikan
keturunan, terdapat pada surat An – Nahl ayat 72:
وَاللهُ
جَعَلَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُم مِّنْ أَزْوَاجِكُمْ
بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ
وَبِنِعْمَتِ اللهِ هُمْ يَكْفُرُونَ {72}
Artinya : ”Allah
menjadikan bagi kamu istri – istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan
bagimu dari istri – istri kamu itu, anak – anak dan cucu – cucu, dan memberimu
rezeki dari yang baik – baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil
dan mengingkari nikmat Allah ? “
c.
Menghidari perbuatan
maksiat terdapat pada hadist Rasulullah Saw, yang artinya: “ Wahai para
pemuda, barangsiapa diantara kalian yang telah mempunyai kemampuan untuk
menikah, maka hendaklah ia menikah, karena menikah itu lebih dapat memelihara
mata dan mengendalikan nafsu seksual. “ ( H. R. Bukhari dan Muslim )
Wanita yang Halal dan Haram
Dinikahi
Ada dua hal yang
harus diperhatikan dalam memilih calon istri. Pertama, status pribadi yang
menjanjikan dirinya halal untuk dikawini yaitu bukan wanita yang haram untuk dinikahi. Wanita yang
haram dinikahi dalam Al – Qur’an ada 14, tujuh diantaranya haram dinikahi
karena pertalian keturunan ( nasab), mereka ialah ibu, dan seterusnya keatas
(nenek), anak perempuan dan seterusnya kebawah ( cucu perempuan ), saudari
perempuan, bibi dari pihak ibu, bibi dari pihak ayah, anak perempuan dari
saudara laki – laki, anak perempuan dari saudara perempuan.
Allah Ta’ala berfirman:
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ
وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْت
Artinya : “ Diharamkan atas kamu ( mengawini ) ibu –
ibumu, anak - anak perempuan, saudaara –
saudara bapakmu yang perempuan ( bibi dari pihak ayah ), saudara – saudara
ibumu yang perempuan ( bibi dari pihak ibu ): anak – anak perempuan dari sudara
– saudaramu yang perempuan ( keponakan ). “ ( Q. S. Al – Nisa : 23 )
Dua diantaranya
haram dinikahi karena sepersusuan, yakni wanita yang menyusui, saudara sesusu (
anak dari wanita yang disusui ). Allah Ta’ala berfirman :
وَأُمَّهَاتُكُمُالاَّتِيأَرْضَعْنَكُمْوَأَخَوَاتُكُم
مِّنَ الرَّضَاعَةِ
Artinya : “ Dan ibu –ibumu
yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan. (
Q. S. Al – Nisa : 23 )
Empat
diantaranya diharamkan karena hubungan besan, mereka adalah ibu istri ( mertua
), anak perempuan istri ( anak tiri ), jika suami telah melakukan hubungan
badan dengan istrinya, istri ayah ( ibu tiri ), istri anak kandung ( menantu ).
Dalil yang menerangkan keharaan menikahiistri ayah ( ibu tiri ), adalah firman
Allah Ta’ala :
وَأُمَّهَاتُكُمُ
الاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ
Artinya : “ Dan ibu –ibumu
yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan. (Q. S. Al – Nisa : 23
)
Sedangkan dalil keharaman
menikahi tiga wanita yang lain adalah firman Allah Ta’ ala :
وَأُمَّهَاتُ
نِسَآئِكُمْ وَرَبَآئِبُكُمُ الاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ الاَّتِي
دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُوا دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَجُنَاحَ
عَلَيْكُمْ وَحَلآَئِلُ أَبْنَآئِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ
Artinya : “ …. dan ibu – ibu
istrimu ( mertua), anak – anak tirimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang
telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu ( dan
sudah kamu ceraikan ), maka tidak dosa kamu mengawininya: ( dan diharamkan
bagimu ) istri – istri anak kandungmu ( menantumu ). ( Q. S. Al – Nisa : 23 )
Suatu
diantaranya diharamkan karena telah menikahi saudaranya, yakni saudara dari
istri. Allah SWT berfirman :
وَأَن
تَجْمَعُوا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ إِلاَّ مَاقَدْ سَلَفَ
Artinya : “
….dan menghimpunkan ( dalam pernikahan )dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi masa lampau. ( Q. S. Al – Nisa : 23 )
Selain yang
empat belas wanita terdahulu, diharamkan menikahi seorang wanita dan bibinya
(dari bapak ) sekaligus atau seorang wanita dengan bibinya ( dari ibu )
sekaligus.
Sifat – sifat
dirinya demi terpenuhinya kabahgiaan hidup berkeluarga serta tercapainya tujuan
utama perkawinan. Kata Syekh Sayyid Sabiq, istri yang shalehah adalah istri
yang hidup mematuhi ajaran agama dengan baik, bersikap luhur dan berakhlak
mulia, memperhatikan hak – hak suaminya dan anak – anaknya dengan baik.
KESIMPULAN
Dapat
disimpulkan bahwa terdapat rukun dalam pernikahan yaitu adanya wali, sighat dan
dua orang saksi. Pada calon suami hendaknya meberikan mahar untuk istrinya
karena walaupun mahar bukan suatu rukun dalam penikahan tetapi wajib hukum
untuk meberikan mahar pada istri. Karena mahar adalah suatu pemberian mengikat,
maka suami wajib member mahar pada istrinya.
Hukum pernikahan
bagi setiap orang bergantung pada situasi dan kondisi, niat dan motivasinya
masing – masing. Hukum dalam menikah ada lima yaitu, mubah, sunah, wajib,
makruh, dan haram. Hikmah dalam pernikahan yaitu dapat mententramkan jiwa,
menghindarkan perbuatan maksiat, dapat melestarikan keturunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar