2.1. Pengertian
Filsafat Estetika
Estetika adalah salah satu cabang filsafat.
Secara sederhana, estetika adalah ilmu yang membahas keindahan, bagaimana ia
bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya. Pembahasan lebih
lanjut mengenai estetika adalah sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai
sensoris, yang kadang dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa.
Estetika merupakan cabang yang sangat dekat dengan filosofi seni.
Esetetika
berasal dari Bahasa Yunani, αισθητική, dibaca aisthetike. Pertama kali
digunakan oleh filsuf Alexander Gottlieb Baumgarten pada 1735 untuk pengertian
ilmu tentang hal yang bisa dirasakan lewat perasaan.
Pada masa kini estetika bisa berarti tiga hal,
yaitu:
1. Studi mengenai fenomena estetis
2. Studi mengenai fenomena persepsi
3. Studi mengenai seni sebagai hasil pengalaman estetis
1. Studi mengenai fenomena estetis
2. Studi mengenai fenomena persepsi
3. Studi mengenai seni sebagai hasil pengalaman estetis
Meskipun
awalnya sesuatu yang indah dinilai dari aspek teknis dalam membentuk suatu
karya, namun perubahan pola pikir dalam masyarakat akan turut mempengaruhi
penilaian terhadap keindahan. Misalnya pada masa romantisme di Perancis,
keindahan berarti kemampuan menyajikan sebuah keagungan. Pada masa realisme,
keindahan berarti kemampuan menyajikan sesuatu dalam keadaan apa adanya. Pada
masa maraknya de Stijl di Belanda, keindahan berarti kemampuan mengkomposisikan
warna dan ruang dan kemampuan mengabstraksi benda.
Estetika
merupakan bagian dari tiga teori tunggal yaitu :
a.
Teori tentang kebenaran
(efistimologi)
b.
Teori tentang kebaikan dan
keburukan (etika)
c.
Teori tentang keindahan (estetika)
Disisi lain
estetika berbicara tentang teori mengenai seni. Seni yang melukiskan bahasa
perasaan yang tertuang lewat gerak-gerik tubuh, alunan nada-nada yang indah dan
lain sebagainya. Dengan demikian estetika berarti suatu teori yang meliputi :
a.
Penyelidikan mengenai yang indah
b.
Penyelidikan mengenai
prinsip-prisip yang mendasari seni
c.
Pengalaman yang bertalian dengan
seni, penciptaan seni, penilaian terhadap seni, atau perenungan atas seni.
Nilai estetika
lebih condong kepada nilai suatu keindahan seni. Namun, seni bisa dianggap
mengandung nilai suatu keindahan apabila diceritakan dengan :
a.
Seni yang mengungkapkan perasaan
dan intuisi
b.
Seni yang mengobjektivasi keindahan
rasa nikmat
c.
Keindahan sebagai tangkapan Ilahi
d.
Seni sebagai ekspresi pengalaman
Menurut
Plotinus filsafat estetika adalah keindahan yang memiliki nilai spiritual
karena itu etetika dekat sekali dengan kehidupan moral. Esensi keindahan tidak
terletak pada harmoni dan simetri. Keindahan itu menyajikan keintiman dengan Tuhan
yang Maha Sempurna. Ada semacam skala menaik tentang keindahan, mulai dari
keindahan yang bersifat inderawi, naik ke emosi, kemudian kesusunan alam
semesta yang imaterial. Jadi, keindahan itu bertingkat mulai dari keindahan
indrawi sampai kepada keindahan ilahiah.
Keindahan itu, katanya, menyatakan
dirinya terutama dalam penglihatan, tetapi ada juga keindahan untuk di dengar.
Pikiran meningkatkan keindahan itu kepada susunan keindahan yang lebih tinggi,
misalnya keindahan tindakan, keindahan penemuan akal, dan keindahan
kebijaksanaan. Lebih tinggi lagi ialah keindahan yang digunakan dalam argument.
Apa yang membuat sesuatu menjadi indah? Apakah ada suatu prinsip yang bekerja
sehingga sesuatu menjadi indah? Kalau ada, apa prinsip itu? Prinsip itu ialah kesadaran yang
bersatu dengan jiwa. Itu terdapat didalam diri karena diri itu berapiliasi
dengan Yang Maha Indah.
Pendapat itu tentulah muncul karena
Plotinus berpendapat bahwa antara keindahan di bumi dan keindahan yang ada
dilangit terdapat hubungan. Sesuatu akan indah apabila ia mengikuti bentuk
ideal. Penciptaan keindahan harus melalui komunikasi pikiran yang mengalir dari
Tuhan. Kesimpulannya ialah bahwa keindahan tertinggi serta sumber keindahan
adalah Tuhan.
Konsep keindahan pada Plotinus
berhubungan juga dengan pandangannya tentang kejahatan. Kejahatan, menurut
Plotinus tidak mempunyai realitas metafisis. Perbuatan jahat adala perbuatan aku
yang rendah. Aku yang rendah ini bukanlah aku yang berupa
realitas pada manusia. Aku yang berupa realitas ialah aku yan
murni. Aku yang murni itu terdiri atas logos dan nous.logos
menerima dari nous (akal) idea-idea yang kekal. Dengan perantara logos
(pikiran) jiwa hanya dapat melakukan tugas yang mulia, yang tujuannya bersatu
dengan Tuhan.
Kejahatan bukan realitas, kejahatan
itu diadakan sebagai syarat kesempurnaan alam. Didalam alam ini ditemukan
hal-hal yang bertentangan, putih-hitam, panas-dingin, terlatar-tak terlatar,
indah-tak indah, baik-buruk. Semua ini merupakan anggota suatu kehidupan.
Jumlah mereka itu merupakan suatu kekompakan alam semesta.
2.2. Penilaian
Keindahan
Estetika sangat berkaitan erat dengan seni dan
keindahan , istilah seni merupakan sekedar menunjukkan hal-hal yang mengungkapkan sesuatu keindahan.
Seperti ada kaum seniman yang mengatakan bahwa seni merupakan bahasa perasaan.
Dengan demikian estetika merupakan suatu
teori yang meliputi:
1. penyelidikan mengenai sesuatu
yang indah
2. penyelidikan mengenai prinsip –
prinsip yang mendasari seni
3. pengalaman yang bertalian dengan
seni seperti penciptaan karya seni, penilaian terhadap seni atau perenungan
atas seni.
Meskipun awalnya sesuatu yang indah
dinilai dari aspek teknis dalam membentuk suatu karya, namun perubahan pola
pikir dalam masyarakat akan turut mempengaruhi penilaian terhadap keindahan.
Misalnya pada masa [[romantisme]] di Perancis, keindahan berarti kemampuan
menyajikan sebuah keagungan. Pada masa [[realisme]], keindahan berarti
kemampuan menyajikan sesuatu dalam keadaan apa adanya. Pada masa maraknya [[de
Stijl]] di Belanda, keindahan berarti kemampuan mengkomposisikan warna dan
ruang dan kemampuan mengabstraksi benda.
Macam – Macam Keindahan
1. Keindahan Sebagai Rasa Nikmat Yang
Diobjektivasikan
Sebenarnya keindahan
bukanlah merupakan suatu kualitas objek, melainkan sesuatu yang senantiasa
bersangkutan dengan perasaan. Sesungguhnya yang dinamakan warna sebuah objek
ialah cara kita memberikan reaksi terhadap suatu rangsangan. Kiranya pasti
mudah dimengerti bahwa rasa nikmat atau rasa sakit bersifat subjektif, karena
kedua macam rasa tersebut tidak akan dimengerti secara masuk akal sebagai
kualitas-kualitas yang terdapat pada objek yang lain. Tetapi orang dapat membayangkan
keindahan yang terdapat pada objek yang lain. Artinya orang dapat
memproyeksikan perasaannya,karena keindahan bersangkutan dengan rasa nikmat.
Sesungguhnya terdapat
banyak rasa nikmat yang bukan merupakan bagian dari citra kita mengenai sesuatu
objek, dan untuk membedakan antara rasa nikmat yang merupakan bagian dari citra
mengenai suatu objek dan rasa nikmat yang bukan bagian dari citra maka
digunakan kata’keindahan’. Menurut Santayana, “keindahan merupakan rasa nikmat
yang dianggap sebagai kualitas barang sesuatu.” Akibatnya, tidak mungkin ada
keindahan yang terpisahkan dari pemahaman kita mengenai objek yang merupakan
keindahan, yaitu rasa nikmat tidak akan bermakna jika tidak dialami.
Selanjutnya jika suatu objek tidak menimbulkan rasa nikmat pada siapapun, maka
tidak mungkin objek tersebut dikatakan indah.
2. Keindahan Sebagai Objek Tangkapan Akali
Menurut Jacques Maritain dalam bukunya yang berjudul Art and
scholasticism berpendapat bahwa keindahan bukanlah objek perasaan melainkan
objek tangkapan akali.
a. keindahan menimbulkan kesenangan
pada akal
Jacques Maritain tidak mengingkari peranan yang dipunyai oleh
alat-alat inderawi, karena akal menangkap sesuatu sekedar dengan jalan
melakukan abstraksi dan analisa. Akibatnya, hanya pengetahuan yang diperoleh
melalui alat-alat inderawi yang dapat mempunyai sifat khas yang diperlukan
untuk menangkap keindahan. Maritain mengatakan bilamana suatu objek dapat
menimbulkan kesenangan pada akal, satu-satunya sarana langsung yang dapat
ditangkap oleh intuisi jiwa, maka objek tersebut merupakan sesuatu yang indah.
Keindahan ialah sesuatu didalam objek yang dapat menimbulkan senangan pada
akal, yang semata-mata karena keadaannya sebagai objek tangkapan akali.
b. akal tercermin dalam keindahan
Mengapa suatu objek tertentu dapat dapat menimbulkan kesenangan
pada akal? Maritain menjawab, karena objek tersebut memiliki kesempurnaan
tertentu yang juga dipunyai oleh akal. “akal merasa senang pada sesuatu yang
indah, karena didalam sesuatu yang indah ia menemukan kembali dirinya, mengenal
dirinya kembali, dan berhubungan dengan pancarannya sendiri. “ciri-ciri khas
yang harus dipunyai suatu objek agar dapat dikatakan indah dapat ditemukan
dengan jalan memperhatikan apa yang diutamakan oleh akal.
Akal senantiasa gelisah apabila menyadari bahwa dirinya kurang
sempurna. Berdasarkan anggapan tersebut, maka salah satu syarat keindahan ialah
harus ada keutuhan atau kesempurnaan, karena yang dapat disebut indah ialah
sesuatu yang manakala ditangkap dapat menimbulkan kesenangan pada akal. Tetapi
juga jelas, bahwa akal tidak hanya mengutamakan kesempurnaan, melainkan juga
ketertiban. Bukankah ketertiban sesungguhnya merupakan tanda adanya kegiatan
akal.
Pengetauan senantiasa menyangkut ketertiban barang sesuatu yang
diselidiki. Karena itu syarat keindahan , yang kedua ketertiben dan ketunggalan
yang terungkap melalui keseimbangan yang cocok. Akhirnya, akal mengutamakan
keadaan yang dapat dipahami secra akal sebagai alat penerang, seperti jik akita
mengatakan “ dapat sekedar menjadi alat penerang bagi suatu masalah tertentu”.
Karena itu, syarat terakhir bagi adanya keindahan adalah kejelasan.
c. keindahan ialah bentuk
Yang dinamakan bentuk sesungguhnya ialah halnya sendiri yang
diketahui, pengetahuan yang benar ialah pengetahuan yang diperoleh melalui akal
budi yang dapat menjangkau bentuk barang sesuatu. Bentuk juga merupakan prinsip
yang mendasari keadaan yang dapat dipahami secara akali. Dalam babak terakhir,
keindahan ialah bentuk yang menimbulkan kesenangan pada akal. Untuk mudahnya
dapat dikatakan bahwa didalam bentuk yang terpancar pada materi, yang bersifat
seimbang, tertib, dan sempurna itulah akal menemukan diri sendiri.
Wanita yang elok rupanya disebut
"cantik" atau "ayu", sementara pria yang rupawan disebut
"tampan" atau "ganteng" di dalam masyarakat. Sifat dan ciri
seseorang yang dianggap "elok", apakah secara individu atau dengan
konsensus masyarakat, sering didasarkan pada beberapa kombinasi dari ''Inner
Beauty'' (keelokan yang ada di dalam), yang meliputi faktor-faktor psikologis
seperti kepribadian, kecerdasan, keanggunan, kesopanan, kharisma, integritas,
dan kesesuaian, dan ''Outer Beauty'' (keelokan yang ada di luar), yaitu daya
tarik fisik yang meliputi faktor fisik, seperti kesehatan, kemudaan, simetri
wajah, dan struktur kulit wajah.
Standar kecantikan/ketampanan
selalu berkembang, berdasarkan apa yang dianggap suatu budaya tertentu sebagai
berharga. Lukisan sejarah memperlihatkan berbagai standar yang berbeda untuk
keelokan manusia. Namun manusia yang relatif muda, dengan kulit halus, tubuh
proporsional, dan fitur biasa, secara tradisional dianggap paling elok
sepanjang sejarah.
2.4. Cara Kerja
Estetika
Cara kerja
estetika filosofis dalam pemahaman Reid adalah :
Ø menggali makna
istilah dan konsep yang berkaitan dengan seni;
Ø menganalisis
secara kritis dan mencoba memperjelas kerancuan bahasa dan konsep-konsep;
Ø memikirkan
segala sesuatu secara koheren, sehingga, meskipun estetika memiliki sisi
analitis dan sisi kritis, ia bertujuan untuk membangun suatu struktur gagasan
positif yang memungkinkan beragam bagian memiliki keterpaduan yang utuh.
Meskipun kata
‘estetika’ itu baru diperkenalkan pada tahun 1735 oleh Baumgarten, bukan
berarti bahwa estetika bermula dari masa itu. Estetika filosofis yang menjadi
padanan kata filsafat seni bermula semenjak lahirnya filsafat dalam sejarah
kemanusiaan. Hingga kini estetika atau filsafat seni telah membentuk akumulasi
pengetahuan filosofis yang luas dan beragam.
Ruang lingkup
bahasan estetika filosofis mencakup berbagai segi seperti definisi seni, fungsi
seni, dasar landasan keunggulan artistik, proses kreasi, apresiasi, dan
prinsip-prinsip penilaian estetik. Pendekatan estetika filosofis bersifat
spekulatif, artinya dalam upaya menjawab permasalahan tidak jarang melampaui
hal-hal yang empiris dan mengandalkan kemampuan logika atau proses mental.
Filasafat
estetika adalah cabang ilmu dari filsafat Aksiologi, yaitu filsafat nilai.
Istilah Aksiologi digunakan untuk menberikan batasan mengenai kebaikan, yang
meliputi etika, moral, dan perilaku. Adapun Estetika yaitu memberikan batasan
mengenai hakikat keindahan atau nilai keindahan.
Kaum materialis cenderung
mengatakan nilai-nilai berhubungan dengan sifat-sifat subjektif, sedangkan kaum
idealis berpendapat nilai-nilai bersifat objektif.
Serupa orang yang menyukai lukisan
abstrak, sesuatu yang semata-mata bersifat perorangan. Jika sebagian orang mengaggap
lukisan abstrak itu aneh, sebagian lagi pasti menganggap lukisan abstrak itu
indah. Karena reaksi itu muncul dari dalam diri manusia berdasarkan selera.
Berbicara mengenai penilaian
terhadap keindahan maka setiap dekade, setiap zaman itu memberikan penilaian
yang berbeda terhadap sesuatu yang dikatakan indah.
Jika pada zaman romantisme di
Prancis keindahan berarti kemampuan untuk menyampaikan sebuah keagungan, lain
halnya pada zaman realisme keindahan mempunyai makna kemampuan untuk
menyampaikan sesuatu apa adanya. Sedangkan di Belanda pada era de Stijl
keindahan mempunyai arti kemampuan mengomposisikan warna dan ruang juga
kemampuan mengabstraksi benda.
Pembahasan estetika akan
berhubungan dengan nilai-nilai sensoris yang dikaitkan dengan sentimen dan
rasa. Sehingga estetika akan mempersoalkan pula teori-teori mengenai seni.
Dengan demikian, estetika merupakan sebuah
teori yang meliputi:
penyelidikan mengenai sesuatu yang
indah;penyelidikan mengenai prinsip-prinsip yang mendasari seni;pengalaman yang
bertalian dengan seni, masalah yang berkaitan dengan penciptaan seni, penilaian
terhadap seni dan perenungan atas seni.
Dari pernyataan di atas, estetika meliputi
tiga hal, yaitu, fenomena estetis, fenomena persepsi, dan fenomena studi seni
sebagai hasil pengalaman estetis.
2.5. Objek Pendekatan Filsafat
Estetika
Dalam estetika dikenal ada dua
pendekatan, yaitu langsung meneliti estetika dalam objek-objek yang indah serta
karya seni dan menyoroti situasi kontemplasi rasa indah yang dialami si objek
(pengalaman keindahan dalam diri orangnya). Para pemikir modern cenderung
memberi perhatian pada pendekatan yang kedua, pengalaman k eindahan, karena
karya seni mampu memberikan pengalaman keindahan dari jaman ke jaman. Oleh
karena itu tidak heran jika Clive Bell mempunyai credo “estetika harus berangkat
dari pengalaman pribadi yang berupa rasa khusu dan istimewa”. Dan keindahan
lebih lanjut menurutnya hanya dapat ditemukan dari orang yang dalam dirinya punya
pengalaman mengenali wujud dan makna suatu benda atau karya seni tertentu
dengan getaran atau rangsangan keindahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar