2.1 Zina
Zina menurut Al
– Zurani, ialah :
اَلْوَطْاءُ فِيْ قُبُلٍ خَالٍ عَنْ
مِلْكٍ وَ شُبْهَةٍ
“ Memasukkan
penis ( zakar, bahas arab )kedalam vagina ( farj bahasa Arab ) bukan miliknya
(bukan istrinya) dan tidak ada unsur syubhat (keserupaan atau kekeliruan).”
Dari definisi
zina diatas , maka suatu perbuatan dapat dikatakan zina, apabila sudah memenuhi
dua unsure, ialah :
1.
Adanya persetubuhan ( sexual
intercourse ) antara dua orang yang berbeda jenis kelaminnya (heterosex );
dan
2.
Tidak adanya keserupaan
atau kekeliruan (syubhat) dalam perbuatan sex (sex act).
Dengan unsure
pertama, maka jika dua orang yang berbeda kelaminnya baru bermesraan, misalnya
berciuman ata berpelukan, belum dapat dikatan berbuat zina, yang dapat dijatuhi
hukuman had, berupa dera bagi yang belum pernah kawin atau rajam bagi yang
sudah pernah kawin; tetapi mereka bisa dihukum yang bersifat edukatif.
Demikian pula,
melakukan inseminasi buatan dengan sperma atau ovum donor untuk meperoleh
keturunan, maka menurut rumusan definisi Al – Jurjani tentang zina diatas, juga
tidak bisa disebut zina, sebab jadi tidak terjadi sexual intercourse
(persetubuhan) dalam inseminasi buatan. Namun menurut Mahmud Syaltut, inseminasi
buatan itu menurut hukum termasuk zina, sebab hal itu mengakibatkan pencemaran kelamin dan pencampuran nasab padahal Islam
sangat menja kesucian/ kehormatan kelamin dan kemurnia nasab.
Dengan unsur
kedua (syubhat), maka sexual intercourse yang dilakukan oleh
orang karena kekeliruan, misalnya dikira “ istrinya” juga tidak dapat disebut
zina.
Kalau kita
perbandingkan antara KUHP Indonesia dengan Hukum Pidana Islam mengenai kasus
zina ini, maka kita dapat melihat banyak perbedaan pandangan, antara lain
sebagai berikut:
1.
Menurut KUHP, tidak semua
pelaku zina diancam dengan hukuman pidana. Misalnya pasal 284 (1) dan (2) KUHP
menetapkan ancaman pidana penjara paling lama 9 bulan bagi pria dan wanita yang
melakukan zina, padahal salah seorang atau kedua – duanya telah kawin dan pasal
27 BW berlaku baginya. Ini berarti bahwa pria dan wanita yang melakukan zina
itu belum / kawin tidaklah kena sanksi hukuman tersebut diatas, asal kedua – duanya
telah dewas dan suka sama suka (tidak ada unsure perkosaan). Baru kalau ada
unsur perkosaan atau wanitanya belum dewasa, dapat dikenakan sanksi hukuman
(vide pasal 285 dan 287 (1). Sedangkan menurut Hukum Pidana Islam, semua pelaku
zina pria dan wanita dapat diancamhukuman had. Hanya dibedakan hukumannya yakni
bagi pelaku yang belum kawin diancam dengan dera (flogging) dengan
pukulan tongkat, tangan atau dengan sepatu ( praktek Nabi dan Khalifah –
Khalifah sesudahnya ). Dera dengan cara apapun tidak boleh berakibat fatal bagi
yang didera. Sedangkan bagi pelaku yang telah kawin diancam dengan hukuman
rajam (sloning to death) berdasarkan Sunah Nabi. Ada pula yang
berpendapat, bahwa pelaku zina yang telah kawin mendapat hukuman rangkap: dera
dahulu kemudian dirajam. Mazhab Dzahiri termasuk pendukung pendapat ini
berdasarkan Hadis Nabi :
اَلثَّيْبُ
بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ –الحديث-
Pelaku zina
yang telah atau pernah kawin did era 100 kali dan dirajam.
Dan juga
berdasarkan pelaksanaan hukum dera dan rajam yang dilakukan oleh Khalifah Ali
terhadap Syarahah al – Hamdaniyah kemudian Ali menegaskan:
جَلَدْ
تُهَا بِكَتَابِ اللهِ وَرَجَمْتُهَا بِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ
Aku mendera
dia ( Syaharah berdasarkan Kitab Allah (Surat Al – nur ayat 2) dan merajamnya
dengan Sunah Rasul.
Mengenai wanita
yang di perkosa di luar perkawinan tidak di kenakan hukuman, tetapi bagi wanita
di bawah umur (kurang dari 15 tahun, vide pasal 287 KUHP) yang bersetubuh dengan
pria tanpa unsur paksaan, dapat diancam dengan hukuman menurut Hukuman Pidana
Islam.
2.
Menurut KUHP, perbuatan
zina hanya dapat dituntut atas pengaduan
(suami / istri yang tercemar (vide pasal 284 (2) KUHP); sedangkan Islam
tidak memandang zina hanya sebagai klacht delict (hanya bisa dituntut
atas pengaduan yang bersangkutan); tetapi dipandangnya sebagai perbuatan dosa
besar yang harus ditindak tanpa menunggu pengaduan dari yang bersangkutan.
Sebab zina mengandung bahaya besar bagi pelakunya sendiri dan juga bagi
masyarakat, antara lain sebagai berikut:
a.
Pencemaran kelamin dan
pencampuran nasab, padahal Islam sangat menjaga kesucian/ kehormatan kelamin
dan kemurnian nasab. Dan itulah sebabnya Islam membolehkan seorang suami
menolak mengakui seorang anak yang dilahirkan oleh istrinya setelah terjadi li’an
dan terbukti anak tersebut hasil hubungan gelap istri dengan pria lain.
b.
Penularan penyakit kelamin
(veneral disease) yang sangat membahayakan kesehatan suami istri dan
dapat mengancam keselamatan anak yang lahir. Penularan penyakit AIDS yang
sangat berbahaya itu juga bisa disebabkan oleh zina dan free sex;
c.
Keretakan keluarga yang
bisa berakibat perceraian karena suami atau istri yang berbuat serong (zina)
akan menimbulkan konflik besar dalam rumah tangga;
d.
Teraniayanya anak – anak
yang tidak berdosa sebagai akibat ulah orang – orang yang tidak bertanggung
jawab (para pelaku zina), karena mereka terpaksa menyandang sebutan anak zina/
jadah;
e.
Pembebanan pada masyarakat
dan Negara untuk mengasuh dan mendidik anak – anak teraniaya yang tidak berdosa
itu, sebab kalau masyarakat dan Negara tidak mau menyantuni mereka, mereka bisa
mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat.
3.
Menurut KUHP, pelaku zina
diancam dengan hukuman penjara yang lamanya berbeda (vide pasal 284 (1) dan
(2); pasal 285; 286; dan 287 (1); sedangkan menurut Islam, pelaku zina diancam
dengan hukuman dera, jika ia belum kawin; dan diancam dengan hukuman rajam jika
ia telah kawin.
Menurut penulis,
hukuman 100 kali relative lebih ringan dibandingkan dengan hukuman penjara
seperti tersebut dalam KUHP, sebab pelaksanaan dera tidak boleh sampai
berakibat fatal bagi orang yang didera. Karena itu, disarankan agar sasaran
pukulan/ dera tidak hanya pada satu bagian tubuh, kecuali bagian yang sangat
rawan / berbahaya dan bagian yang sangat pribadi (terhormat).
Mengenai hukuman
rajam (stoning to death), yang berarti hukuman bagi pelaku zina yang
telah kawin, karena si pelaku zina itu bisa seharusnya (wajib) menjaga
loyalitas dan nama baik keluarga, dan lagi perbuatan zina itu mengandung bahaya
– bahaya yang besar bagi keluarganya, masyarakat, dan Negara. Sedangkan hukuman
dera yang relatif ringan bagi pelaku zina yang belum kawin, karena si pelaku
masih hijau, belum berpengalaman, maka dengan hukuman dera itu diharapkan bisa
member kesadaran kepadanya, sehingga ia tidak mau mengulang perbuatannya yang
tercela.
Adapun tujuan
hukuman menurut Hukuman Pidana Islam, ialah sebagai berikut:
1.
Untuk preventif, artinya
untuk mencegah semua orang agar tidak melanggar larangan agama dan melalaikan
kewajiban agama dan melalaikan kewajiban agama dengan adanya sanksi – sanksi
hukumannya yang jelas.
2.
Untuk repressif, artinya
untuk menindak dengan tegas siapa saja yang melanggar hukuman tanpa
diskriminasi, demi menegakkan hukuman (law enforcement);
3.
Untuk kuratif dan edukatif,
artinya untuk menyembuhkan penyakit mental/ psychis dan memperbaiki
akhlak pelaku pelanggaran/kejahatan, agar insaf dan tidak mengulang lagi
perbuatannya yang jelek/jahat;
4.
Untuk melindungi keamanan
masyarakat/ Negara, dan memelihara ketertiban dalam masyarakat.
Adapun anak
zina, ialah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah; sedangkan perkawinan
yang dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaan, dan
dicatat menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku (vide pasal 2(1)
dan (2) UU. No. 1/ 1974). Pencatatan perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatat
dari KUA untuk mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut hukum Islam;
sedangkan untuk mereka yang melangsungkan perkawinannya dilakukan oleh pegawai
pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil ( vide pasal 2 (1) dan (2) PP.
No. 9/ 1975 tentang pelaksanaan UU. No. 1/ 1974 tentang perkawinan.
Berdasarkan
ketentuan pasal – pasal dan ayat – ayat tersebut diatas, maka perkawinan
penduduk di Indonesia yang dilakukan menurut hukum Islam misalnya, tetapi tidak
dicatat oleh pegawai pencatat dari KUA, atau perkawinan yang dicatat oeh
pegawai pencatat dari Kantor Catatan Sipil, tetapi perkawinan tersebut tidak
dilakukan menurut hukuman agamanya dan kepercayaannya; maka perkawinan yang sah
itu hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (vide
pasal 43 (1) PP. No. 9/1975.
Menururt Hukum
Perdata Islam, anak zina/ jadah itu suci dari segala dosa orang yang
menyebabkan eksistensinya di dunia ini, sesuai dengan Hadis Nabi Muhammad:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْ لَدُ عَلَى
الْفِطْرَةِ حَتَّى يَعْرُبَ عَنْهُ لِسَانُهُ فَاَبَوَاُه يُهَوِّ دَانِهِ اَوْ يُنَصِّرَانِهِ
اَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Semua anak
dilahirkan atas kesucian/ kebersihan (dari segala dosa/noda) dan pembawaan
beragama tauhid, sehingga ia jelas bicaranya. Maka kedua orang tuanyalah yang
menyebabkan anaknya menjadi Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi. (Hhadis riwayat
Abu Ya’la, Al – Thabrani, dan Al – Baihaqi, dari Al – Aswad bin Sari’.
Dan berdasarkan
firman Allah dalam surat Al – Najm ayat 38:
ٲَلاَ
تَزِرُ وَا زِرَةٌ وِّزْرَاُخْرَى
Bahwasanya
seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.
Karena itu, anak zina harus diperlakukan
secara manusiawi, diberi pendidikan, pengajaran, dan ketrampilan yang berguna
untuk bekal hidupnya dimasyarakat nanti. Yang bertanggung jawab untuk mencukupi
kebutuhan hidupnya, materiil dan spiritual adalah terutama ibunya yang
melahirkannya dan keluarga ibunya yang melahirkannya dan keluarga ibunya. Sebab
anak zina hanya mempunyai hubungan nasab atau perdata dengan ibunya.
Apabila ibunya
yang melahirkan tidak bertanggung jawab, bahkan sampai hati membuangnya untuk
menutup malu/ aib keluarga, maka siapa pun yang menemukan anak (bayi) zina
tersebut wajib mengambilnya untuk menyelamatkan jiwanya. Keluarga yang
menemukan bayi terlantar akibatdari pada hubungan gelap orang – orang yang
tidak bertanggung jawab, wajib mengasuhnya dan mendidik baik – baik, dan untuk
mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut, bisa atau harta pribadi keluarga
tersebut dan bisa juga atas bantuan Baitul Mal. Dan bisa juga anak
tersebut diserahkan oleh keluarga tersebut kepada Panti Asuhan Anak Yatim.
Hanya perlu dicatat tidak baik cara mengasuh dan mendidiknya, atau tidak dpat
dipercaya dalam penggunaan bantuan keuangan dari Baitul Mal dan dari
masyarakat Islam, maka wajib dicabut hak perwaliannya atas anak itu, dan
pemerintah wajib mengurusi, mengawasi, dan mencukupi kebutuhan hidupnya.
Perlu
ditambahkan, bahwa anak yang lahir sebelum 6 bulan dari peerkawinan, maka “sang
ayah” berhak menolak keabsahan anak itu menjadi anaknya, sebab masa hamil yang
paling sedikit berdasarkan Al – Qur’an surat Al – Baqarah ayat 233 dan surat Al-
Ahqaf ayat 15 adalah 6 bulan. Sedangkan masa hamil yang terlama dari seorang
wanita tiada nash yang jelas dalam Al – Qur’an dan Sunah. Pendapat fuqaha
tentang masalah ini berbeda – beda mulai dari 9 bulan menurut mazhab Dzahiri,
setahun menurut Muhammad bin Abdul hakam al – Maliki, dua tahun menurut mazhab
hanafi, emapt tahun menurut mazhab Syafi’I, dan lima tahun menurut mazhab
Maliki. Perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena hanya didasarkan atas
informasi dari sebagian wanita yang dijadikan responden, yang belum tentu
mengerti ilmu kesehatan, khusunya tentang ilmu kandungan. Maka karena itu di
Mesir berdasarkan UU. No. 25 Tahun 1929 pasal 15 menetapkan masa hamil paling
lama satu tahun syamsiyah (365 hari)setelah mendengarkan pertimbangan dari para
dokter yang juga ahli hukum dengarkan pertimbangan dari para dokter yang juga
ahli hukum Islam. Menurut hemat penulis, pendapat Dzahiri adalah yang paling
mendekati kebiasaan/ pengalaman wanita hamil (berdasarkan realitas dan
empirik), sedangkan hukum positif di Mesir (1 tahun) adalah untuk bersikap hati
– hati atas kemungkinan adanya kehamilan yang cukup lama sekalipun langka.
Kiranya sekedar untuk bersikap hati – hati, cukuplah kiranya masa hamil menurut
mazhab Dzahiri itu diatambah sebulan menjadi 10 bulan tahun syamsiyah, demi
menjaga kepastian hukum. Sebab norma hukum itu hanya mengatur dan menetapkan
hal – hal yang umum, bukan kejadian – kejadian yang jarang / langka adanya.
bagus.....semoga masyarakat luas membaca dan menghayati bahaya zina
BalasHapus