A. Pengertian
Mahabbah
Mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu,
mahabbatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam. Dalam mu’jam
al-falsafi, Jamil Shaliba mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni
cinta lawan dari benci. Al mahabbah dapat pula berarti al wadud yakni yang
sangat kasih atau penyayang.
Dalam kajian tasawuf, mahabbah berarti
mencintai Allah dan mengandung arti patuh kepada-Nya dan membenci sikap yang
melawan kepada-Nya, mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali Allah SWT
serta menyerahkan seluruh diri kepada-Nya.
Kaum Sufi menganggap mahabbah sebagai modal
utama sekaligus mauhibah dari Allah SWT, untuk menuju kejenjang ahwal yang
lebih tinggi.
Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula
berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat
ruhaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang Mutlak, yaitu cinta kepada
Tuhan.
B. Dasar
Mahabbah
1. Dasar
Syara’
Ajaran
mahabbah memiliki dasar dan landasan, baik di dalam Al-quran maupun Sunah Nabi
SAW. Hal ini juga menunjukkan bahwa
ajaran tentang cinta khususnya dan tasawuf umumnya, dalam Islam tidaklah
mengadopsi dari unsur-unsur kebudayaan asing atau agama lain seperti yang
sering ditudingkan oleh kalangan orientalis.
“Hai
orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya,
maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan
mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang
mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan
Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah
karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha
Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”[1]
“Katakanlah,
“Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”[2]
b. Dalil-dalil
dalam hadis Nabi Muhammad SAW, misalnya sebagai berikut:
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ
حَلَاوَةَ اْلإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ
مِمَّاسِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ ِللهِ وَأَنْ
يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُأَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
Tiga hal yang
barang siapa mampu melakukannya, maka ia akan merasakan manisnya iman, yaitu:
pertama Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya; kedua:
tidak mencintai seseorang kecuali hanya karena Allah; ketiga benci kembali
kepada kekafiran sebagaimana ia benci dilemparkan ke neraka.[3]
C. Kiat Menggapai Mahabbah Allah SWT.
1 Membaca Al-Qur’an dengan mencerna
dan memahami kandungan dan maksudnya.
2 Melakukan shalat sunnah serta
shalat fardhu. Sebab hal ini menghantarkan kepada tingkatan mahbub (tercinta)
setelah fase mahabbah (kecintaan).
3 melanggengkan dzikrullah dalam
segala kondisi; baik dengan lisan, hati ataupun tindakan. Maka ia akan
mendapatkan mahabbah sebesar kadar dzikirnya.
4 Lebih mendahulukan apa yang
dicintai Allah daripada cinta hawa nafsunya walau hal itu amat berat.
5 Menghayati sifat dan asma Allah,
meyakininya dan mengetahuinya.
6 Bersaksi dan mengakui kebaikan
Allah, anugerah dan segala nikmat-Nya; baik yang jelas atau yang tersamar.
Sungguh hal ini akan mendatangkan mahabbah kepada-Nya
kekhusyu’an hati secara keseluruhan
di hadapan Allah.
8 Suka berkumpul dengan para pendamba
mahabbah yang jujur, hingga dapat memetik ucapan baik mereka. Lalu menjadikan
kita tidak berbicara kecuali dengan yang berguna bagi diri kita dan orang lain.
9Menajuhi segala faktor yang
menghalangi hati dengan Allah. Sebab, jika hati seseorang rusak maka ia tak
akan dapat memetik manfaat dari kehidupan dunia dan akhiratnya.
D. Dasar
Filosofis[4]
Dalam mengelaborasi dasar-dasar
filosofis ajaran tentang cinta (mahabbah) ini, al-Ghazali merupakan ulama
tasawuf yang pernah melakukannya dengan cukup bagus. Menurut beliau, ada tiga
hal yang mendasari tumbuhnya cinta dan bagaimana kualitasnya, yaitu sebagai
berikut:
a. Cinta tidak akan terjadi
tanpa proses pengenalan (ma’rifat) dan pengetahuan (idrak)
Manusia hanya akan
mencintai sesuatu atau seseorang yang telah ia kenal. Karena itulah, benda mati
tidak memiliki rasa cinta. Dengan kata lain, cinta merupakan salah satu
keistimewaan makhluk hidup. Jika sesuatu atau seseorang telah dikenal dan
diketahui dengan jelas oleh seorang manusia, lantas sesuatu itu menimbulkan
kenikmatan dan kebahagiaan bagi dirinya, maka akhirnya akan timbul rasa cinta.
Jika sebaliknya, sesuatu atau seseorang itu menimbulkan kesengsaraan dan
penderitaan, maka tentu ia akan dibenci oleh manusia.
b. Cinta terwujud sesuai dengan tingkat pengenalan dan pengetahuan
Semakin intens
pengenalan dan semakin dalam pengetahuan seseorang terhadap suatu obyek, maka
semakin besar peluang obyek itu untuk dicintai. Selanjutnya, jika semakin besar
kenikmatan dan kebahagiaan yang diperoleh dari obyek yang dicintai, maka
semakin besar pula cinta terhadap obyek yang dicintai tersebut.
Kenikmatan dan kebahagiaan itu bisa dirasakan manusia melalui
pancaindranya. Kenikmatan dan kebahagiaan seperti ini juga dirasakan oleh
binatang. Namun ada lagi kenikmatan dan kebahagiaan yang dirasakan bukan
melalui pancaindra, namun melalui mata hati. Kenikmatan rohaniah seperti inilah
yang jauh lebih kuat daripada kenikmatan lahiriah yang dirasakan oleh
pancaindra. Dalam konteks inilah, cinta terhadap Tuhan terwujud.
c. Manusia tentu mencintai dirinya
Hal pertama
yang dicintai oleh makhluk hidup adalah dirinya sendiri dan eksistensi dirinya.
Cinta kepada diri sendiri berarti kecenderungan jiwa untuk mempertahankan
kelangsungan hidupnya dan menghindari hal-hal yang bisa menghancurkan dan
membinasakan kelangsungan hidupnya.
E. Rabi’ah
Al-Adawiyah : Perintis Tasawuf Cinta
Sosok sufi perempuan ini sangat dikenal dalam
dunia tasawuf. Ia hidup di abad kedua Hijriah, dan meninggal pada tahun 185 H.
Meski ia hidup di Bashrah sebagai seorang hamba sahaya dari keluarga Atiq, hal
itu tidak menghalanginya tumbuh menjadi seorang sufi yang disegani di zamannya,
bahkan hingga di zaman modern sekarang ini.
Corak tasawuf Rabi’ah yang begitu menonjolkan
cinta kepada Tuhan tanpa pamrih apapun merupakan suatu corak tasawuf yang baru
di zamannya. Pada saat itu, tasawuf lebih didominasi corak kehidupan zuhud
(asketisme) yang sebelumnya dikembangkan oleh Hasan al-Bashri yang mendasarkan
ajarannya pada rasa takut (khauf) kepada Allah. Corak tasawuf yang dikembangkan
oleh Rabi’ah tersebut kelak membuatnya begitu dikenal dan menduduki posisi
penting dalam dunia tasawuf.
Sedemikian tulusnya cinta kepada Allah yang
dikembangkan oleh Rabi’ah, bisa dilihat, misalnya, dalam sebuah munajat yang ia
panjatkan:“Tuhanku, sekiranya aku beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu,
biarlah diriku terbakar api jahanam. Dan sekiranya aku beribadah kepada-Mu
karena mengharap surga-Mu, jauhkan aku darinya. Tapi, sekiranya aku beribadah
kepada-Mu hanya semata cinta kepada-Mu, Tuhanku, janganlah Kau halangi aku
melihat keindahan-Mu yang abadi.”
Saking besar dan tulusnya cinta Rabi’ah kepada
Allah, maka seolah cintanya telah memenuhi seluruh kalbunya. Tak ada lagi
tersisa ruang di hatinya untuk mencintai selain Allah, bahkan kepada Nabi
Muhammad sekalipun. Tak ada ruang lagi di kalbunya untuk membenci apapun,
bahkan kepada setan sekalipun. Seluruh hatinya telah penuh dengan cinta kepada
Tuhan semata. Hal ini juga Rabi’ah tunjukkan dengan memutuskan untuk tidak
menikah sepanjang hidupnya, karena ia menganggap seluruh diri dan hidupnya
hanya untuk Allah semata.[5]
F. Doktrin-Doktrin
Mahabbah
1. Makna Cinta di Kalangan Sufi
Dalam tasawuf,
konsep cinta (mahabbah) lebih dimaksudkan sebagai bentuk cinta kepada Tuhan.
Meski demikian, cinta kepada Tuhan juga akan melahirkan bentuk kasih sayang
kepada sesama, bahkan kepada seluruh alam semesta. Hal ini bisa dilacak pada
dalil-dalil syara’, baik dalam Al-quran maupun hadis yang menunjukkan tentang
persoalan cinta. Sebagian dalil tersebut telah disebutkan pada bagian
sebelumnya dalam makalah ini.
Secara terminologis,
sebagaimana dikatakan al-Ghazali, cinta adalah suatu kecenderungan terhadap
sesuatu yang memberikan manfaat. Apabila kecenderungan itu mendalam dan
menguat, maka ia dinamakan rindu. Sedangkan sebaliknya, benci adalah
kecenderungan untuk menghindari sesuatu yang menyakiti. Apabila kecenderungan
untuk menghindari itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan dendam.[6]
Menurut Abu
Yazid al-Busthami mengatakan bahwa cinta adalah menganggap sedikit milikmu yang
sedikit dan menganggap banyak milik Dzat yang kau cintai. Sementara Sahl bin
Abdullah al-Tustari menyatakan bahwa cinta adalah melakukan tindak-tanduk
ketaatan dan menghindari tindak-tanduk kedurhakaan. Bagi al-Junaid, cinta
adalah kecenderungan hati. Artinya, kecenderungan hati seseorang kepada Allah
dan segala milik-Nya tanpa rasa beban.[7]
2.
Cinta Sejati adalah Cinta kepada Allah[8]
Bagi al-Ghazali,
orang yang mencintai selain Allah, tapi cintanya tidak disandarkan kepada
Allah, maka hal itu karena kebodohan dan kepicikan orang tersebut dalam
mengenal Allah. Cinta kepada Rasulullah SAW, misalnya, adalah sesuatu yang
terpuji karena cinta tersebut merupakan manifestasi cinta kepada Allah. Hal itu
karena Rasulullah adalah orang yang dicintai Allah. Dengan demikian, mencintai
orang yang dicintai oleh Allah, berarti juga mencintai Allah itu sendiri.
Begitu pula semua bentuk cinta yang ada. Semuanya berpulang kepada cinta
terhadap Allah.
Jika sudah
dipahami dan disadari dengan baik lima sebab timbulnya cinta yang telah
diuraikan al-Ghazali sebelumnya, maka juga bisa disadari bahwa hanya Allah yang
mampu mengumpulkan sekaligus kelima faktor penyebab cinta tersebut. Kelima
faktor penyebab tersebut terjadi pada diri manusia hanyalah bersifat metaforis
(majazi), dan bukanlah hakiki. Hanya Allah Yang Maha Sempurna. Ia tidak
bergantung kepada apapun dan siapa pun. Kesempurnaan itulah yang akan
mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta terhadap Allah.
3.
Mahabbah: antara Maqam dan Hal
Sebagaimana
diketahui, dalam terminologi tasawuf ada istilah maqam (tingkatan) dan hal
(keadaan, kondisi kejiwaan). Menurut as-Sarraj ath-Thusi dalam kitabnya
al-Luma’, maqam merujuk kepada tingkatan seorang hamba di depan Tuhan pada
suatu tingkat yang ia ditempatkan di dalamnya, berupa ibadah, mujahadah,
riyadhah, dan keterputusan (inqitha’) kepada Allah. Sedangkan hal adalah apa
yang terdapat di dalam jiwa atau sesuatu keadaan yang ditempati oleh hati.
Sementara menurut al-Junaid, hal adalah suatu “tempat” yang berada di dalam
jiwa dan tidak statis.
Menurut
al-Ghazali, cinta kepada Allah (mahabbah) merupakan tingkatan (maqam) puncak
dari rangkaian tingkatan dalam tasawuf. Tak ada lagi tingkatan setelah mahabbah
selain hanya sekedar efek sampingnya saja, seperti rindu (syauq), mesra (uns),
rela (ridla), dan sifat-sifat lain yang serupa. Di samping itu, tidak ada satu
tingkatan pun sebelum mahabbah selain hanya sekedar pendahuluan atau pengantar
menuju ke arah mahabbah, seperti taubat, sabar, zuhud, dan lain-lain. Cinta
sebagai maqam ini juga diamini oleh Ibn Arabi. Menurutnya, cinta merupakan maqam
ilahi.
Berbeda dengan
al-Ghazali, menurut al-Qusyairi, mahabbah merupakan termasuk hal. Bagi
al-Qusyairi, cinta kepada Tuhan (mahabbah) merupakan suatu keadaan yang mulia
saat Tuhan bersaksi untuk sang hamba atas keadaannya tersebut. Tuhan
memberitahukan tentang cinta-Nya kepada sang hamba. Dengan demikian, Tuhan disifati
sebagai yang mencintai sang hamba. Selanjutnya, sang hamba pun disifati sebagai
yang mencintai Tuhan.
4.
Tingkatan Cinta[9]
Dilihat dari
segi orangnya, menurut Abu Nashr ath-Thusi, cinta kepada Tuhan terbagi menjadi
tiga macam cinta, yaitu :
Pertama : Cinta orang-orang awam.
Cina seperti
ini muncul karena kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Ciri-ciri
cinta ini adalah ketulusan dan keteringatan (zikir) yang terus-menerus. Karena
jika orang mencintai sesuatu, maka ia pun akan sering mengingat dan
menyebutnya.
Kedua : Cinta orang-orang yang shadiq dan
mutahaqqiq.
Cinta mereka
ini timbul karena penglihatan mata hati mereka terhadap kekayaan, keagungan,
kebesaran, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan. Ciri-ciri cinta ini adalah
“terkoyaknya tabir” dan “tersingkapnya rahasia” Tuhan. Selain itu, ciri lain
adalah lenyapnya kehendak serta hilangnya semua sifat (kemanusiaan dan keinginan
duniawi).
Ketiga : Cinta orang-orang shiddiq dan arif.
Cinta macam
ini timbul dari penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an Cinta
Tuhan tanpa sebab (illat) apapun. Menurut Zunnun al-Mishri, sifat cinta ini
adalah terputusnya cinta dari hati dan tubuh sehingga cinta tidak lagi
bersemayam di dalamnya, namun yang bersemayam hanyalah segala sesuatu dengan
dan untuk Allah. Sedangkan menurut Abu Ya’qub as-Susi, cirinya adalah berpaling
dari cinta menuju kepada Yang Dicintai. Sementara al-Junaid menambahkan bahwa
ciri cinta macam ini adalah meleburnya sifat-sifat Yang Dicintai kepada yang
mencintai sebagai pengganti sifat-sifatnya.
DAFTAR PUSTAKA
+ Abdurrasyid Ridha, Memasuki Makna Cinta, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003).
+ Al-Qur’an Departemen
Agama, CV J-ART. 2005
+ Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’
as-Shahih al-Mukhtashar, ed. Mushtafa Dib al-Biqha, (Beirut: Dar Ibnu
Katsir, 1987).
+ Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulumiddin,(Beirut,
Dar al-Ma’rifah).
+ Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1973),
+ Abu Bakr Muhammad al-Kalabadzi, at-Ta’arruf li Mazhab Ahl
at-Tashawwuf, (tk.: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyyah, 1969).
+ Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi, al-Luma’, (Mesir: Dar al-Kutub
al-Haditsah, 1960).
[3]
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari
al-Ja’fi, al-Jami’ as-Shahih al-Mukhtashar, ed. Mushtafa Dib al-Biqha, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987), juz
1, hal. 14.
[4]
Penjelasan al-Ghazali pada Kitab al-Mahabbah wa
asy-Syauq wa ar-Ridha,dalam al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, juz 4, hal. 296-300.
[5]
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 74.
[6] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 70.
[7] Abu Bakr Muhammad al-Kalabadzi, at-Ta’arruf
li Mazhab Ahl at-Tashawwuf, (tk.: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyyah, 1969),
hal. 130.
[8]
Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi, al-Luma’,
(Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1960), hal. 65-66.
[9]
Abdurrasyid Ridha, Memasuki Makna Cinta,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 160.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar