BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluq yang dianugerahi nafsu dan selalu berusaha untuk
memenuhi segala kebutuhan nafsu tersebut. Banyak diantara mereka yang berhasil
mengendalikan nafsunya dan berusaha memenuhi kebutuhannya hanya dengan
perkara-perkara yang telah dihalalkan oleh Allah SWT, akan tetapi banyak pula
yang justru dikendalikan nafsu sehingga nafsu menjadi sesembahannya.
Kebutuhan nafsu yang terpenting dan harus dipenuhi manusia adalah
kebutuhan biologis (hubungan sexsual).Allah SWT sebagai pencipta dan yang Maha
Mengetahui tentang ciptaannya telah menyiapkan sarana pemenuhan kebutuhan
tersebut secara halal yaitu dengan pernikahan atau budak wanita yang dimiliki.
Akan tetapi banyak diantara manusia yang justru lebih memilih jalan lain yang
keji dan telah diharamkan oleh Allah SWT, yaitu dengan berzina atau homoseksual
(liwath). Bahkan mereka menghias-hiasi perbuatan keji tersebut dengan
berbagai syubhat agar terlihat manis dan indah. Perbuatan keji yang
sejak masa awal Islam telah diperjuangkan
oleh para penyembah nafsu adalah zina yang berkedok nikah (nikah mut’ah)
atau yang lazim disebut sebagai kawin kontrak.
Nikah mut’ah menjadi sebuah keyakinan beragama yang harus dilakukan oleh
orang-orang syi’ah.Ajaran ini sangat menggiurkan bagi para muda-mudi terutama
mahasiswa dan mahasiswi untuk melampiaskan hasrat nafsunya.Orang-orang bodoh
selain Syi’ah juga banyak melakukan perbuatan ini karena besarnya nafsu mereka
kemudian tertipu dengan indahnya syari’at buatan syi’ah ini.Apalagi jika yang
melakukannya adalah orang-orang Arab yang berkunjung ke Indonesia pada musim
liburan ditambah dengan kemiskinan yang dialami sebagian besar masyarakat
menjadikan mereka semakin bersemangat ketika ditawari menikah dengan orang Arab
yang secara ekonomi lebih mampu dari mereka. Hal ini pernah diliput oleh sebuah
reality show di salah satu televisi swasta yang secara khusus membahas
maraknya pernikahan model mut’ah ini oleh orang-orang Arab di Indonesia. Selain
itu, masih banyak kalangan umat Islam yang terpengaruh syubhat bahwa nikah
mut’ah dibolehkan pada masa Rasulullah saw dan baru diharamkan oleh khalifah
Umar bin Khathab ra.melalui ijtihadnya.
1.2.Perumusan Masalah
1. Apakah pengertian nikah mut’ah?
2. Bagaimana hukumnya nikah mut’ah?
3. Apa dalil yang terkait dengan nikah mut’ah?
4. Bagaimanakah pandangan para imam madzhab?
PEMBAHASAN
2.1.Pengertian Nikah Mut’ah
Mut’ah berasal dari kata tamattu’ yang berarti
bersenang-senang atau menikmati. Adapun secara istilah mut’ah berarti seorang
laki-laki menikahi seorang wanita dengan memberikan sejumlah harta tertentu
dalam waktu tertentu, pernikahan ini akan berakhir sesuai dengan batas waktu
yang telah di tentukan tanpa talak serta tanpa kewajiban memberi nafkah atau
tempat tinggal dan tanpa adanya saling mewarisi antara keduanya.
Nikah
mut'ah yang disyari'atkan agama Syi'ah ini sangat mirip dengan zina yaitu kawin
untuk melakukan hubungan seks dengan berdasarkan mahar tertentu. Masa
berlakunya bisa setengah jam, bisa satu jam, satu hari, satu minggu, satu bulan
dan seterusnya, sesuai dengan akad perjanjian di kedua belah pihak tergantung
kesanggupan membayarnya.
Al-Kulaini
dalam Al-Furu' min al-Kaafi, meriwayatkan bahwa Zurarah pernah bertanya kepada
Abul-Hasan Ar-Ridla, "apakah boleh masa mut'ah sesaat atau dua saat (yaitu
ukuran waktu yang pendek)? Maka dijawab: "Yang boleh bukan sesaat atau dua
saat, tetapi perjanjian mut'ahnya adalah sekali jima' atau dua kali atau sehari
atau dua hari, semalam atau dua malam dan yang semisalnya."
Menurut imam-imam madzhab di dalam kitab mereka, nikah
muth'ah adalah pernikahan dengan batasan waktu baik waktunya sudah diketahui
atau tidak, kurang lebih lamanya waktu adalah sampai empat puluh lima hari,
kemudian nikah itu naik dengan mengganti batas waktu tersebut dengan batasan
satu kali haidh atau dua kali haidh pada wanita yang haidh. Dan selama 4 bulan
10 hari pada wanita yang ditinggal mati suaminya, dan hukum nikah tersebut
bahwasanya tidak ditetapkan mahar tanpa syarat baginya, dan tidak ditetapkan
nafkah baginya, dan tidak ada waris-mewaris, tidak ada I'ddah kecuali meminta
lepas menurut yang ia ingat, dan tidak ditetapkan nasab.
Dari definisi
tersebut bahwasanya perkawinan yang seperti ini terjadi kontradiksi terhadap
arti nikah sesungguhnya. Bahwa nikah itu adalah suatu ikatan yang kuat dan
perjanjian yang teguh yang ditegakkan di atas landasan niat untuk bergaul
antara suami istri dengan abadi supaya memetik buah kejiwaan yang telah
digariskan Allah dalam al-qur'an yaitu ketentraman, kecintaan, dan kasih
sayang. Sedangkan tujuan yang bersifat duniawi adalah demi berkembangnya
keturunan dan kelangsungan hidup manusia.
Nikah muth'ah pernah diperbolehkan oleh Rasulullah saw. sebelum
stabilitasnya syari'at islam, yaitu diperbolehkannya pada waktu berpergian dan
peperangan. Akan tetapi kemudian diharamkan. Rahasia diperbolehkan nikah
muth'ah waktu itu adalah karena masyarakat islam pada waktu itu masih dalam
transisi (masa peralihan dari jahiliyah kepada islam). Sedang perzinaan pada
masa jahiliyah suatu hal yang biasa. Maka dari itulah islam datang dan menyeru
pada pengikutnya untuk pergi berperang. Karena jauhnya mereka dari istri mereka
adalah suatu penderitaan yang berat. Sebagian mereka ada yang kuat imannya dan
adapula yang sebagian tidak kuat imannya. Bagi yang lemah imannya akan mudah
untuk berbuat zina yang merupakan sebagai berbuatan yang keji dan terlarang.
Dan bagi yang kuat imannya berkeinginan untuk mengkebiri dan mengipoternkan
kemaluannya.
Disebut dengan
nikah mut’ah apabila dalam aqad perkawinannya memnuhi hal-hal sebagai berikut :
1. Lafadz
sighat ijabnya menggunakan lafadz-lafadz mut’ah atau yang sama artinya dengan
mut’ah yang artinya bersenang-senang,
2. Dalam
nikah mut’ah tidak ada wali,
3. Dalam
nikah mut’ah tidak ada saksi,
4. Dalam
aqad nikah mut’ah terdapat ketentuan pembatasan waktu, misalnya untuk seminggu,
sebulan, setahun dan sebagainya,
5. Mahar
(mas kawin) wajib di sebutkan dalam aqad ijab qabul,
6. Kedudukan
anak dalam nikah mut’ah seperti kedudukan anak dalam nikah biasa,
7. Bila
tidak di syaratkan maka antara suami istri tidak bisa saling mewarisi,
8. Talak
tidak berlaku sebelum masa yang disepakati berakhir,
9. Dalam
nikah mut’ah masa iddah di hitung dua kali suci/haid,
10. Tidak
dikenal dengan nafkah iddah.
2.2.Hal-hal yang
menyebabkan terjadinya nikah mut’ah
a. Karena
dorongan hawa nafsu seksual yang tinggi
b. Hanya
ingin mencari kesenangan
c. Faktor
ekonomi yang serba pas-pasan
d. Hanya
ingin melepaskan hasrat seksual semata
e. Tidak
ada biaya untuk menikah
2.3. Hukum Nikah Mut'ah
Pada awal
Islam, nikah mut’ah dihalalkan oleh Rasulullah saw. berdasarkan beberapa
sabdanya, lalu hukum ini dihapus dengan beberapa hadits yang melarangnya dan
mengharamkannya hingga hari kiamat.
Di antara dalil yang menunjukkan
bolehnya nikah mut'ah di awal Islam adalah:
Pertama, Hadis Abdullah Bin Mas'ud radliyallah
'anhu, berkata: ''Kami berperang bersama Rasulullah saw. sedangkan
kami tidak membawa serta istri–istri kami. Lalu kami berkata; ''bolehkah kami
berkebiri?" Namun Rasululullah saw. melarangnya, tapi kemudian beliau
memberikan keringanan untuk menikahi wanita dengan mahar pakaian sampai batas
waktu tertentu" (HR. Ahmad)
Kedua, Hadis Jabir dan Salamah bin al
Akwa' radliyallah 'anhuma, berkata, "pernah Rasulullah saw. menemui
kami dalam sebuah peperangan, lalu bersabda,
إِنَّهُ قَدْ أُذِنَ لَكُمْ أَنْ
تَسْتَمْتِعُوا فَاسْتَمْتِعُوا
''Telah di izinkan bagi kalian
untuk menikah mut'ah maka sekarang mut'alah." (HR.Bukhori no. 5117)
Al-Imam Al-Muzani rahimahullah
berkata: “Telah sah bahwa nikah mut’ah dulu pernah diperbolehkan pada awal-awal
Islam. Kemudian datang hadits-hadits yang shahih bahwa nikah tersebut tidak
diperbolehkan lagi.Kesepakatan ulama telah menyatakan keharaman nikah
tersebut.” (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1404 karya An-Nawawi)
Ketiga, sabda beliau Rasulullah saw :
“Wahai manusia! Sesungguhnya aku dulu pernah mengizinkan kalian untuk melakukan
nikah mut’ah.Namun sekarang Allah ‘Azza wa Jalla telah mengharamkan nikah
tersebut sampai hari kiamat.” (HR. Muslim)
Adapun nikah mut’ah yang pernah
dilakukan beberapa sahabat di zaman kekhalifahan Abu Bakr dan Umar radhiyallahu
‘anhuma, maka hal itu disebabkan mereka belum mendengar berita tentang
diharamkannya nikah mut’ah untuk selama-lamanya. (Syarh Shahih Muslim hadits
no. 1405 karya An-Nawawi)
Sedangkan gambaran nikah Mut’ah di
zaman Rasulullah saw. yang pernah dilakukan para sahabat radhiyallahu ‘anhum
dapat dirinci sebagai berikut:
1. Dilakukan pada saat mengadakan safar (perjalanan) yang
berat seperti perang, bukan ketika seseorang menetap pada suatu tempat. (HR.
Muslim hadits no.1404)
2. Tidak
ada istri atau budak wanita yang ikut dalam perjalanan tersebut. (HR. Bukhari
no. 5116 dan Muslim no. 1404)
3. Jangka waktu nikah mut’ah hanya 3 hari saja. (HR. Bukhari
no. 5119 dan Muslim no. 1405)
4 Keadaan
para pasukan sangat darurat untuk melakukan nikah tersebut sebagaimana
mendesaknya seorang muslim memakan bangkai, darah dan daging babi untuk
mempertahankan hidupnya. (HR. Muslim no. 1406)
2.4.Dalil-Dalil Yang Mengharamkan
Nikah Mut’ah
1. Al-Qur’an
QS. Al-Mu’minun:
5 – 7
5.
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
6.
Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki[994];
Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini
tiada terceIa.
7.
Barangsiapa mencari yang di balik itu[995] Maka mereka Itulah orang-orang yang
melampaui batas.
[994] Maksudnya: budak-budak belian yang didapat
dalam peperangan dengan orang kafir, bukan budak belian yang didapat di luar
peperangan. dalam peperangan dengan orang-orang kafir itu, wanita-wanita yang
ditawan Biasanya dibagi-bagikan kepada kaum muslimin yang ikut dalam peperangan
itu, dan kebiasan Ini bukanlah suatu yang diwajibkan. imam boleh melarang
kebiasaan ini. Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut
tertawan bersama-samanya.
[995] Maksudnya: zina, homoseksual, dan sebagainya.
QS. Al-Ma’arij:
29 – 31
29. Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya,
30. Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak
yang mereka miliki[ 1 ], Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada tercela.
31.
Barangsiapa mencari yang di balik itu[ 2 ], Maka mereka Itulah orang-orang yang
melampaui batas.
[
1 ] Maksudnya: budak-budak belian yang
didapat dalam peperangan dengan orang kafir, bukan budak belian yang didapat di
luar peperangan. dalam peperangan dengan orang-orang kafir itu, wanita-wanita
yang ditawan Biasanya dibagi-bagikan kepada kaum muslimin yang ikut dalam
peperangan itu, dan kebiasan Ini bukanlah suatu yang diwajibkan. imam boleh
melarang kebiasaan ini. Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya
tidak ikut tertawan bersama-samanya.
[ 2 ] Maksudnya: zina, homoseksual, dan sebagainya
Ayat-ayat
tersebut di atas menunjukkan bahwa Allah SWT telah mengharamkan atas
orang-orang mu’min segala macam kemaluan kecuali kemaluan yang telah Allah SWT
halalkan melalui akad pernikahan yang syar’i atau budak yang dimiliki.Sedangkan
apabila seseorang berada diatas seorang wanita secara mut’ah maka wanita
tersebut bukanlah istrinya yang sah karena tidak dinikahi. Ada 21 perbedaan
yang disebutkan Yusuf Jabir al-Muhammady dalam Tahrimul Mut’ah fil Kitabi
was Sunnah sebagai bukti bahwa wanita yang dimut’ah bukanlah istri atau
budak yang dimiliki.
Perbedaan
tersebut adalah :
- Wanita yang dimut’ah adalah wanita sewaan
- Tidak ada waris-mewarisi di antara pasangan
mut’ah
- Boleh mut’ah lebih dari 4 wanita bahkan ribuan
- Mut’ah selesai (jika habis masanya) tanpa ada
perceraian
- Pasangan mut’ah boleh kembali ke pasangan
pertamanya sesuai kehendaknya walaupun sudah pernah diselingi pasangan
lain ataupun tidak
- Boleh mut’ah dengan wanita musyrik
- ‘Iddah mut’ah sama dengan ‘iddah wanita sewaan
- Wanita yang dimut’ah mendapat upah pada
hari-hari yang ia datang pada pasangannya
- Orang yang mut’ah tidak dianggap sebagai orang
yang sudah menikah (muhshan)
- Boleh mut’ah dengan wanita yang memiliki suami
- Boleh mut’ah dengan pelacur
- Boleh mut’ah dengan gadis selama tidak merusak
kegadisannya karena dikhawatirkan akan menjadi aib bagi keluarganya
(bahkan dengan bayi yang masih menyusui)
- Tidak ada li’andalam mut’ah
- Tidak ada dhihar dalam mut’ah
- Tidak ada ila’ dalam mut’ah
- Tidak ada nafkah bagi wanita yang dimut’ah
- Tidak ada tempat tinggal bagi wanitadalam
mut’ah
- Boleh mensyaratkan dalam mut’ah untuk tidak
melakukan jima’
- Boleh melakukan ‘azl dalammut’ah tanpa
harus izin kepada wanita yang dimut’ah
- Tidak ada khulu’ dalam mut’ah
- Boleh mut’ah dengan saudari istri sendiri
(ipar)
Banyaknya
perbedaan antara wanita yang dimut’ah dengan wanita yang dinikahi atau budak
yang dimiliki memperjelas bahwa wanita yang dimut’ah bukanlah istri atau budak,
sehingga mut’ah termasuk kemaluan yang diharamkan dan orang yang melakukannya
termasuk melampaui batas.Oleh karena itu sejak ayat tersebut di atas diturunkan
(ketika Rasulullah saw. hidup) maka menjadi haram hukum mut’ah.
2. As-Sunnah
Hadits-hadits
shahih yang menyatakan bahwa mut’ah haram sejak Rasulullah saw. hidup sangat
banyak. Diantara hadits-hadits tersebut adalah sebagai berikut.
عن محمد بن علي عن علي
بن أبي طالب : ” أن رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم نهى عن متعة النساء يوم
خيبر ، وعن أكل لحوم الحمر الإنسية
Dari Muhammad
bin ‘Ali dari ‘Ali bin Abi Thalib: “bahwa Rasulullah saw. melarang mut’ah
dengan wanita pada hari (perang) Khaibar, dan juga melarang memakan daging
keledai jinak.”
Riwayat tersebut
di atas selain diriwayatkan oleh para imam ahli hadits Ahlus Sunnah, juga telah
diriwayatkan dalam kitab-kitab Syi’ah. Husain al-Musawi, seorang ulama Syi’ah
yang telah bertaubat menulis kesaksiannya dalam kitab Lillah tsumma lit
Tarikh, tentang riwayat tersebut di atas dalam kitab-kitab Syi’ah. Riwayat
tersebut berbunyi:
قال أمير المؤمنين صلوات الله عليه:) حرم
رسول الله صلى الله عليه وآله يوم خيبر لحوم الحمر الأهلية ونكاح المتعة ( انظر
(التهذيب 2/186)، (الاستبصار 2/142)، (وسائل الشيعة 14/441).
Berkata Amirul
Mu’minin shalawatullah ‘alaih : “Rasulullah saw.telah mengharamkan
pada hari (perang) Khaibar daging keledai jinak dan nikah mut’ah”[1]
Perang
khaibar terjadi pada Bulan Muharram tahun 7 H dan termasuk perang yang dipimpin
langsung oleh Rasulullah saw. Maka tidak samar lagi bahwa keharaman mut’ah
telah disampaikan langsung oleh Rasulullah saw. kepada para sahabatnya. Bahkan
Imam terbesar Syi’ah, ‘Ali bin Abi Thalib -Radiallahu anhu- sendiri yang
menyampaikan riwayat tersebut dari Rasulullah saw.
2.5.Fatwa Para Ulama Madzhab tentang Nikah Mut'ah
A. Ulama Madzhab Hanafi :[2]
1. Imam Al-Sarakhsi berkata : ''Nikah
mut'ah ini batil menurut madzhab kami."
2. Imam Al-Kasani berkata: ''Tidak
boleh nikah yang bersifat sementara yaitu nikah mut'ah."
3. Imam Abu Ja'far Ath-Thahawi berkata;
''Sesungguhnya semua hadis yang membolehkan nikah mut'ah telah di mansukh (dihapus)."
Beliau juga berkata, "lihatlah umar beliau melarang nikah mut'ah di
hadapan semua sahabat tanpa ada yang mengingkari. Ini adalah dalil bahwasanya
mereka mengikuti larangan Umar, dan kesepakatan mereka untuk melarang hal tersebut
adalah hujjah atas di hapusnya kebolehan mut'ah."
B. Ulama Madzhab Maliki:
1. Imam Malik bin Anas rahimahullah
berkata, "Apabila seorang lelaki menikahi wanita dengan dibatasi waktu
maka nikahnya batil. (Al-Mudhawannah Al-kubra 2/130)
2. Imam Ibnu Rusyd rahimahullah
berkata, "Hadis–hadis yang mengharamkan nikah mut'ah mencapai peringkat
yang mutawatir." (Bidayatul Mujtahid 4/325)
3. Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah
berkata, ''Adapun semua shahabat, Tabi'in dan orang-orang yag setelah mereka
mengharamkan nikah mut'ah, di antara mereka adalah Imam Malik dari Madinah, Abu
Hanifah dan Abu Tsur dari Kufah, Al-Auza'i dari Syam, Laits bin Sa'ad dari
Mesir serta seluruh ulama hadits." (Al-Tamhid 10/121)
1. Imam Asy-Syafi'i rahimahullah
berkata, "Nikah mut'ah yang di larang itu adalah semua nikah yang dibatasi
dengan waktu baik pendek maupun panjang."
2. Imam Nawawi rahimahullah
berkata, "Nikah mut'ah tidak di perbolehkan, karena pernikahan itu pada
dasarnya suatu akad yang bersifat mutlak. Maka tidak sah apabila dibatasi
dengan waktu."
3. Imam Al-Khathabi rahimahullah
berkata,"keharaman nikah mut'ah semacam kesepakatan antara kaum muslimin,
memang nikah ini dihalalkan di awal masa Islam, Akan tetapi diharamkan pada
sa'at haji wada dan demikian itu terjadi di akhir–akhir masa Rasulullah saw. dan sekarang tidak ada perbeda'an
antar para ulama mengenai keharaman masalah ini kecuali sedikit dari kalangan
orang–orang Syiah Rafidhah."
D. Ulama Madzhab Hanbali :[4]
1. Imam Ibnu Qudamah rahimahullah
menyatakan bahwa nikah mut'ah ini batil sebagaimana di tegaskan oleh Imam
Ahmad, beliau berkata, "nikah mut'ah haram."
2. Bahkan sebagian ulama menukil ijma
tentang keharaman nikah mut'ah seperti Imam Al-Baghawi sebagaimana di nukil
Syaikh Shidiq hasan Khan (Raudhah Nadiyah, 2/165. Ma'at Ta'liqat), Imam
Al-Qurthubi dan Ibnul Al-Arabi (dalam Bidayatul Mujtahid, 2/48) dan Sayyid
Sabiq (Fiqhus Sunnah 2/130).
Pertama, Banyak didapati kasusnya adalah
beredarnya penyakit kelamin semacam spilis, raja singa dan sejenisnya di
kalangan mereka yang menghalalkannya. Karena pada hakikatnya nikah mu'tah itu
memang zina.
Kedua, Merusak garis nasib manusia. Dalam nikah
mut’ah, suami tidak bisa menceraikan istri sebelum masa kontrak selesai,
namun ia (laki-laki) bisa menghadiahkan waktu mut’ahnya kepada laki-laki lain
tanpa persetujuan istri.
Ketiga, Berpeluang disalahgunakan dan hanya sebagai
pelampiasan hawa nafsu seksual belaka.
Keempat, Merendahkan harkat perempuan karena perempuan
dipandang sebagai obyek seksual kaum pria belaka.
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Mut’ah berasal dari kata tamattu’ yang berarti
bersenang-senang atau menikmati. Adapun secara istilah mut’ah berarti seorang
laki-laki menikahi seorang wanita dengan memberikan sejumlah harta tertentu
dalam waktu tertentu, pernikahan ini akan berakhir sesuai dengan batas waktu
yang telah di tentukan tanpa talak serta tanpa kewajiban memberi nafkah atau
tempat tinggal dan tanpa adanya saling mewarisi antara keduanya.
Menurut imam-imam madzhab di dalam kitab mereka, nikah
muth'ah adalah pernikahan dengan batasan waktu baik waktunya sudah diketahui
atau tidak, kurang lebih lamanya waktu adalah sampai empat puluh lima hari,
kemudian nikah itu naik dengan mengganti batas waktu tersebut dengan batasan
satu kali haidh atau dua kali haidh pada wanita yang haidh. Dan selama 4 bulan
10 hari pada wanita yang ditinggal mati suaminya, dan hukum nikah tersebut
bahwasanya tidak ditetapkan mahar tanpa syarat baginya, dan tidak ditetapkan
nafkah baginya, dan tidak ada waris-mewaris, tidak ada I'ddah kecuali meminta
lepas menurut yang ia ingat, dan tidak ditetapkan nasab.
Pada awal Islam, nikah mut’ah dihalalkan oleh Rasulullah saw. berdasarkan
beberapa sabdanya, lalu hukum ini dihapus dengan beberapa hadits yang
melarangnya dan mengharamkannya hingga hari kiamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar