BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Manusia, khususnya umat Islam menaruh perhatian yang
sangat besar terhadap kajian-kajian yang bersentuhan dengan hukum syariat, baik
kajian secara metodologis, historis, maupun produk-produk para ulama tentang
hukum-hukum syari’at yang melingkupi keseluruhan aktivitas umat dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam penetapan sebuah hukum, para ulama (orang-orang yang
memiliki kapasitas untuk memberikan penjelasan kepada umat tentang syari’at) tentunya
tidaklah sembarangan dalam melakoni kewajibannya sebagai pewaris para nabi,
mereka sangatlah jeli ketika menangani urusan-ursan yang berkaitan dengan
agama, khususnya syari’at.
Adakalanya Allah SWT menetapkan hukum terhadap suatu persoalan dengan
mengambil sampel berdasarkan suatu benda atau tempat, seperti ada larangan
meminum khamr, dimana khamr dihukumi haram karena memabukan, maka dalam hal ini
mujtahid dapat mengqiyaskan hal ini dengan sesuatu atau benda yang lain dengan
hal yang baru dan di tempat yang lain pula yang sama-sama memabukan, dengan
menetapkan illatnya adalah sama dengan khamr tersebut. Maka timbul dugaan bahwa
meminum sari buah anggur yang memabukan hukumnya sama dengan meminum khamr.
Dalam hal ini ada dua hal yang harus diperhatikan:
ü Persamaan yang dimiliki oleh khamr dan buah anggur
dalam sifatnya yang kelihatannya sama-sama memabukan
ü Dugaan mujtahid bahwa hukum dalm dua perbuatan
tersebut adalah satu, yaitu tuntutan untuk menjauhinya.
Sebenarnya,
apa yang dimaksud dengan Qiyas itu? Apakah seperti hal di atas? Dari segi
pengertian pun, banyak para ulama yang memberikan definisi tenntang Qiyas,
kehujahannya, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan Qiyas yang dianggap
sebagai salah satu metode dalam penetapan hokum syari’at.
1.2.Perumusan Masalah
1. Apakah pengertian Qiyas?
2. Apa dasar hokum Qiyas?
3. Apa dalil yang terkait dengan Qiyas?
4. Hal apa saja yang berkaitan dengan Qiyas?
PEMBAHSAN
Seperti yang kita ketahui, Qiyas
Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat
bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan
hukum dalam ajaran Islam. Oleh karena itu berikut ini akan dipaparkan hal ihwal
mengenai Qiyas.
2.1. Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa Arab
berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur,
seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi
yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga
berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang
lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari
persamaan-persamaannya.[1]
Menurut
para ulama ushul fiqh, ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa
yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian
atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena
ada persamaan 'illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.
Telah
terjadi suatu kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi
tidak ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkannya. Untuk menetapkan
hukumnya dapat ditempuh dengan cara qiyas, yaitu dengan mencari peristiwa yang
lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, serta antara kedua kejadian
atau peristiwa itu ada persamaan 'illat. Jadi suatu qiyas hanya dapat dilakukan
apabila telah diyakini bahwa benar-benar tidak ada satupun nash yang dapat
dijadikan dasar untuk menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian. Karena
itu tugas pertama yang harus dilakukan oleh seorang yang akan melakukan qiyas,
ialah mencari: apakah ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan
hukum dari peristiwa atau kejadian.
Adapun
pandangan beberapa ulama mengenai qiyas
ialah:
1.
Al-Ghazali: Qiyas adalah pemberian
arti suatu hal yamg dimaklumi atas suatu hal lain yang dimaklumi pula dalam
menetapkan hukum dari keduanya atau menyangkal dari keduanya dengan sesuatu hal
yang mememang menyangkal dari keduanya.
2.
Al-Baidlawi: Qiyas adalah
penetapan kesamaan hukum yang diketahui dalam suatu hal lain yang dimaklumi,
karena persekutuan keduanya dalam illat hukum pada mujtahid yang menetapkannya.
3.
Shadr as Syari’ah: Qiyas adalah
penyampaian hukum dari ashal ke furu’ dengan illat yang sama dan tidak bias
diketahui dengan bahasa semata-mata.
4.
Ibn al Hajib: Qiyas adalah
persamaan furu’ dengan asalnya dalam ilat hukumnya.[2]
2.2. Contoh-Contoh Qiyas
Jika
telah diyakini benar tidak ada nash yang dimaksud barulah dilakukan qiyas. Agar
lebih mudah memahaminya dikemukakan contoh-contoh berikut:
A. Minum narkotik adalah
suatu perbuatan yang perlu diterapkan hukumnya, sedang tidak satu nashpun yang
dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat
ditempuh cara qiyas dengan mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan
hukumnya berdasar nash, yaitu perbuatan minum khamr, yang diharamkan berdasar
firman Allah SWT.
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya (minum) khamr; berjudi, menyembah patung dan mengundi nasib dengan
anak panah tidak lain hanyalah suatu yang kotor, termasuk perbuatan syaitan,
karena itu hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat keberuntungan." (al-Mâidah: 90)[3]
Antara minum narkotik dan minum khamr ada
persamaan, illatnya, yaitu sama-sama berakibat memabukkan para peminumnya,
sehingga dapat merusak akal. Berdasarkan persamaan 'illat itu ditetapkanlah
hukum meminum narkotik itu yaitu haram, sebagaimana haramnya meminum khamr.
B.
Si A telah menerima wasiat dari B bahwa ia
akan menerima sebidang tanah yang telah ditentukan, jika B meninggal dunia. A
ingin segera memperoleh tanah yang diwasiatkan, karena itu dibunuhnyalah B.
Timbul persoalan: Apakah A tetap memperoleh tanah yang diwasiatkan itu? Untuk
menetapkan hukumnya dicarilah kejadian yang lain yang ditetapkan hukumnya
berdasar nash dan ada pula persamaan 'illatnya. Perbuatan itulalah pembunuhan
yang dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya, karena
ingin segera memperoleh harta warisan.
Sehubungan dengan itu Rasulullah SAW
bersabda:
لايرث القاتل
Artinya:
"Orang yang membunuh (orang yang akan
diwarisinya) tidak berhak mewarisi." (HR. Tirmidzi)[4]
Antara kedua peristiwa itu ada persamaan
'illatnya, yaitu ingin segera memperoleh sesuatu sebelum sampai waktu yang
ditentukan. Berdasarkan persamaan 'illat itu dapat ditetapkan hukum bahwa si A
haram memperoleh tanah yang diwariskan B untuknya, karena ia telah membunuh
orang yang telah berwasiat untuknya, sebagaimana orang yang membunuh orang yang
akan diwarisinya, diharamkan memperolah harta warisan dari orang yang telah
dibunuhnya.
C. Terus melakukan
sesuatu pekerjaan, seperti mencangkul di sawah, bekerja di kantor, dan
sebagainya setelah mendengar adzan untuk melakukan shalat Jum'at belum
ditetapkan hukumnya. Lalu dicari perbuatan lain yang telah ditetapkan hukumnya
berdasar nash dan ada pula persamaan 'illatnya, yaitu terus menerus melakukan
jual beli setelah mendengar adzan Jum'at, yang hukumnya makruh. Berdasar firman
AIIah SWT:
Artinya: "Hai orang-orang
yang beriman, apabila diserukan (adzan) untuk sembahyang hari Jum'at, maka
hendaklah segera mengingat Allah (shalat Jum'at) dan meninggalkan jual-beli.
Yang demikian itu lebih baik untukmu jika kamu mengetahui." (al-Jumu'ah:
9)[5]
Antara kedua pekerjaan itu ada persamaan
'illatnya, karena itu dapat pula ditetapkan hukum mengerjakan suatu pekerjaan
setelah mendengar adzan Jum'at, yaitu makruh seperti hukum melakukan jual-beli
setelah mendengar adzan Ju'mat.
Dari contoh-contoh di
atas dapat dilihat bahwa dalam melakukan qiyas ada satu peristiwa atau kejadian
yang perlu ditetapkan hukumnya sedang tidak ada satupun nash yang dapat
dijadikan dasar hukumnya untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian
itu, dicarilah peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar
nash. Kedua peristiwa atau kejadian itu mempunyai 'illat yang sama pula.
Kemudian ditetapkanlah hukum peristiwa atau kejadian yang pertama sama dengan
hukum peristiwa atau kejadian yang kedua.
2. 3. Dasar Hukum Qiyas
Sebagian besar para ulama fiqh dan
para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah
satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam. Hanya
mereka berbeda pendapat tentang kadar penggunaan qiyas atau macam-macam qiyas
yang boleh digunakan dalam mengistinbathkan hukum, ada yang membatasinya dan
ada pula yang tidak membatasinya, namun semua mereka itu barulah melakukan
qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun
yang dapat dijadikan dasar.
Hanya
sebagian kecil para ulama yang tidak membolehkan pemakaian qiyas sebagai dasar
hujjah, diantaranya ialah salah satu cabang Madzhab Dzahiri dan Madzhab Syi'ah.
Mengenai
dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah
al-Qur'an dan al-Hadits dan perbuatan sahabat yaitu:
1) Allah SWT berfirman:
Artinya: "Hai
orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri
kamu, kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat.
Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (an-Nisâ':
59)[6]
Dari ayat di atas dapat
diambilah pengertian bahwa Allah SWT memerintahkan kaum muslimin agar
menetapkan segala sesuatu berdasarkan al-Qur'an dan al-Hadits. Jika tidak ada
dalam al-Qur'an dan al-Hadits hendaklah mengikuti pendapat ulil amri. Jika
tidak ada pendapat ulil amri boleh menetapkan hukum dengan mengembalikannya
kepada al-Qur'an dan al-Hadits, yaitu dengan menghubungkan atau
memperbandingkannya dengan yang terdapat dalam al-Qur'an dan al-Hadits. Dalam
hal ini banyak cara yang dapat dilakukan diantaranya dengan melakukan qiyas.
Artinya:
"Dialah yang
mengeluarkan orang-orang kafir ahli kitab dari kampung halaman mereka pada
pengusiran pertama kali. Kamu tidak mengira bahwa mereka akan keluar dan
merekapun yakin bahwa benteng-benteng mereka akan dapat menghindarkan mereka
dari (siksaan) Allah, akan tetapi Allah mendatangkan kepada mereka (siksaan)
dari arah yang tidak mereka sangka. Dan Allah menanamkan ketakutan ke dalam
hati mereka, dan mereka membinasakan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka
sendiri dan tangan-tangan orang yang beriman. Maka ambillah tamsil dan ibarat
(dari kejadian itu) hai orang-orang yang mempunyai pandangan yang tajam." (al-Hasyr: 2)[7]
Pada ayat di atas
terdapat perkataan fa'tabirû yâ ulil abshâr (maka ambillah tamsil dan ibarat
dari kejadian itu hai orang-orang yang mempunyai pandangan tajam). Maksudnya
ialah: Allah SWT memerintahkan kepada manusia agar membandingkan kejadian yang
terjadi pada diri sendiri kepada kejadian yang terjadi pada orang-orang kafir
itu. Jika orang-orang beriman melakukan perbuatan seperti perbuatan orang-orang
kafir itu, niscaya mereka akan memperoleh azab yang serupa. Dari penjelmaan
ayat di atas dapat dipahamkan bahwa orang boleh menetapkan suatu hukum syara'
dengan cara melakukan perbandingan, persamaan atau qiyas.
B.
Al-Hadits.
1. Setelah Rasulullah
SAW melantik Mu'adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman, beliau bertanya
kepadanya:
Artinya:
"Bagaimana (cara)
kamul menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu'adz
menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Qur'an. Jika engkau tidak memperolehnya
dalam al-Qur'an? Mu'adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah.
Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu'adz menjawab: Aku akan
berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu'adz
berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah
yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat
sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya." (HR. Ahmad Abu
Daud dan at-Tirmidzi)[8]
Dari hadits ini dapat
dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum suatu
peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat al-Qur'an dan al-Hadits yang dapat
dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad
itu. Salah satu diantaranya ialah dengan menggunakan qiyas.
Artinya:
"Sesungguhnya
seorang wanita dari qabilah Juhainah pernah menghadap Rasullah SAW ia berkata:
sesungguhnya ibuku telah bernadzar melaksanakan ibadah haji, tetapi ia tidak
sempat melaksanakannya sampai ia meninggal dunia, apakah aku berkewajiban
melaksanakan hajinya? Rasullah SAW menjawab: Benar, laksanakanlah haji
untuknya, tahukah kamu, seandainya ibumu mempunnyai hutang, tentu kamu yang
akan melunasinya. Bayarlah hutang kepada Allah, karena hutang kepada Allah
lebih utama untuk dibayar." (HR. Bukhari dan an-Nasâ'i)
Pada hadits di atas
Rasulullah mengqiyaskan hutang kepada Allah dengan hutang kepada manusia.
Seorang anak perempuan menyatakan bahwa ibunya telah meninggal dunia dalam
keadaan berhutang kepada Allah, yaitu belum sempat menunaikan nadzarnya untuk
menunaikan ibadah haji. Kemudian Rasulullah SAW menjawab dengan mengqiyaskannya
kepada hutang. Jika seorang ibu meninggal dunia dalam keadaan berhutang, maka
anaknya wajib melunasinya. Beliau menyatakan hutang kepada Allah lebih utama dibanding
dengan hutang kepada manusia. Jika hutang kepada manusia wajib dibayar tentulah
hutang kepada Allah lebih utama harus dibayar. Dengan cara demikian seakan-akan
Rasulullah SAW menggunakan qiyas aulawi.
C.
Perbuatan sahabat
Para
sahabat Nabi SAW banyak melakukan qiyas dalam menetapkan hukum suatu peristiwa
yang tidak ada nashnya. Seperti alasan pengangkatan Khalifah Abu Bakar. Menurut
para sahabat Abu Bakar lebih utama diangkat menjadi khalifah dibanding
sahabat-sahabat yang lain, karena dialah yang disuruh Nabi SAW mewakili beliau
sebagai imam shalat di waktu beliau sedang sakit. Jika Rasulullah SAW ridha Abu
Bakar mengganti beliau sebagai imam shalat, tentu beliau lebih ridha jika Abu
Bakar menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan.
Khalifah Umar bin
Khattab pernah menuliskan surat kepada Abu Musa al-Asy'ari yang memberikan
petunjuk bagaimana seharusnya sikap dan cara seorang hakim mengambil keputusan.
Diantara isi surat beliau itu ialah:
Artinya:
"kemudian
pahamilah benar-benar persoalan yang dikemukakan kepadamu tentang perkara yang
tidak terdapat dalam al-Qur'an dan Sunnah. Kemudian lakukanlah qiyas dalam
keadaan demikian terhadap perkara-perkara itu dan carilah contoh-contohnya,
kemudian berpeganglah kepada pendapat engkau yang paling baik di sisi Allah dan
yang paling sesuai dengan kebenaran..."
D.
Akal
Tujuan
Allah SWT menetapakan syara' bagi kemaslahatan manusia. Dalam pada itu setiap
peristiwa ada yang diterangkan dasarnya dalam nash dan ada pula yang tidak
diterangkan. Peristiwa yang tidak diterangkan dalam nash atau tidak ada nash
yang dapat dijadikan sebagai dasarnya ada yang 'illatnya sesuai benar dengan
'illat hukum dari peristiwa yang ada nash sebagai dasarnya. Menetapkan hukum
dari peristiwa yang tidak ada nash sebagai dasarnya ini sesuai dengan hukum
yang telah ditetapkan berdasar nash karena ada persamaan 'illatnya diduga keras
akan memberikan kemaslahatan kepada hamba. Sebab itu tepatlah kiranya hukum
dari peristiwa itu ditetapkan dengan cara qiyas.
Bila diperhatikan akan
tampak bahwa nash-nash al-Qur'an dan al-Hadits ada yang bersifat umum
penjelasannya dan ada yang bersifat khusus, ada yang mujmal dan ada yang
mubayyan. Biasanya yang bersifat umum dan mujmal, merupakan dasar-dasar umum
dari syari'at Islam. Dalam pada itu peristiwa atau kejadian setiap saat
bertambah. Banyak peristiwa atau kejadian yang terjadi sekarang tidak pernah
terjadi pada masa Rasulullah, dan peristiwa itu perlu ditetapkan hukumnya,
sedang tidak ada nash secara khusus tentang masalah itu yang dapat dijadikan
sebagai dasarnya, tetapi prinsip-prinsip umum dari peristiwa itu terpaham pada
prinsip-prinsip umum ajaran Islam yang ditemukan harus dapat ditemukan di dalam
al-Qur'an dan Hadits. Dengan melakukan qiyas maka hukum dari setiap peristiwa
yang terjadi dapat ditetapkan.
2.4. Alasan Golongan Yang Tidak Menerima Qiyas
Telah diterangkan bahwa ada
golongan yang tidak menerima qiyas sebagai dasar hujjah. Alasan-alasan yang
mereka kemukakan, ialah:
A. Menurut mereka qiyas
dilakukan atas dasar dhan (dugaan keras), dan 'illatnya punditetapkan
berdasarkan dugaan keras pula, sedang Allah SWT melarang kaum muslimin
mengikuti sesuatu yang dhan, berdasar firman Allah SWT:
Artinya: "Janganlah
kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang itu..." (al-Isrâ':
36)
B. Sebahagian sahabat
mencela sekali orang yang menetapkan pendapat semata-mata berdasarkan akal
pikiran, seperti pernyataan Umar bin Khattab:
Artinya: "Jauhilah
oleh kamu golongan rasionalisme, karena mereka adalah musuh ahli sunnah. Karena
mereka tidak sanggup menghapal hadits-hadits, lalu mereka menyatakan pendapat
akal mereka (saja), sehingga mereka sesat dan menyesatkan orang."
Jika diperhatikan
alasan-alasan golongan yang tidak menggunakan qiyas sebagai dasar hujjah akan
terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan. Ayat 36 surat al-Isrâ', tidak
berhubungan dengan qiyas, tetapi berhubungan dengan hawa nafsu seseorang yang
ingin memperoleh keuntungan walaupun dengan menipu, karena pada ayat-ayat
sebelumnya diterangkan hal-hal yang berhubungan dengan perintah menyempurnakan
timbangan dan sukatan, perintah Allah memberikan harta anak yatim dan
sebagainya dan dilarang oleh Allah melakukan tipuan dalam hal ini untuk
mengambil harta orang lain. Sedang penegasan Umar bin Khattab berawanan dengan
isi suratnya kepada Mu'adz bin Jabal, karena itu harus dicari penyelesaiannya.
Pernyataan Umar di atas memperingatkan orang-orang yang terlalu berani
menetapkan hukum, lebih mengutamakan pikirannya dari nash-nash yang ada dan
tidak menjadikan aI-Qur'an dan Hadits sebagai pedoman rasionya di dalam proses
mencari dan menetapkan hukum atas masalah-masalah hukum yang baru.
Golongan ra'yu yang
dimaksudkan Umar bin Khattab tersebut adalah mereka yang menomorsatukan rasio,
terlepas dari dari al-Qur'an dan al-Hadits, sehingga kedudukan al-Qur'an bagi
mereka adalah nomor dua setelah rasio atau sudah dikesampinhkannya sama sekali.
Dalam hal ini jelas bahwa cara berfikir golongan ra'yu (rasional) yang dikecam
Umar bin Khattab tersebut tidak berfikir secara Islami. Apalagi kaum rasionalis
tersebut tidak dapat melepaskan diri dari subyektivitas kepentingan individu
dan golongannya, sedang surat Umar kepada Mu'adz membolehkan untuk melakukan
giyas, jika tidak ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum
suatu peristiwa.
2.5. Rukun Qiyas[9]
Ada
empat rukun giyas, yaitu:
1.
Ashal, yang berarti pokok,
yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Ashal
disebut juga maqis 'alaih (yang menjadi ukuran) atau musyabbah
bih (tempat menyerupakan), atau mahmul 'alaih(tempat
membandingkan);
2.
Fara' yang berarti
cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada
nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara' disebut juga maqis (yang diukur)
atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan);
3.
Hukum ashal, yaitu hukum dari
ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang akan
ditetapkan pada fara' seandainya ada persamaan 'illatnya; dan
4.
'IIIat, yaitu suatu sifat
yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara'. Seandainya sifat ada
pula pada fara', maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum
fara' sama dengan hukum ashal.
Sebagai
contoh adalah menjual harta anak yatim adalah suatu peristiwa yang perlu
ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai
dasarnya. Peristiwa ini disebut fara'. Untuk menetapkan hukumnya dicari suatu
peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash yang illatnya
sama dengan peristiwa pertama. Peristiwa kedua ini memakan harta anak yatim
yang disebut ashal. Peristiwa kedua ini telah ditetapkan hukumnya berdasar nash
yaitu haram (hukum ashal) berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya:
"Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dhalim sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka)." (an-Nisâ': 10)
Persamaan
'illat antara kedua peristiwa ini, ialah sama-sama berakibat berkurang atau
habisnya harta anak yatim. Karena itu ditetapkanlah hukum menjual harta anak
yatim sama dengan memakan harta anak yatim yaitu sama-sama haram.
Dari
keterangan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
·
Ashal, ialah memakan harta anak
yatim.
·
Fara', ialah menjual harta anak
yatim.
·
Hukum ashal, ialah haram.
·
'Illat, ialah mengurangi atau
menghabiskan harta anak yatim.
2.6. Syarat-Syarat Qiyas
Telah
diterangkan rukun-rukun qiyas. Tiap-tiap rukun itu mempunyai syarat-syarat
sebagai berikut:
a.
Ashal dan fara'
Telah diterangkan bahwa
ashal dan fara' berupa kejadian atau peristiwa. Yang pertama mempunyai dasar
nash, karena itu telah ditetapkan hukumnya, sedang yang kedua tidak mempunyai
dasar nash, sehingga belum ditetapkan hukumnya. Oleh sebab itu ashal
disyaratkan berupa peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan hukumnya
berdasar nash, sedang fara' berupa peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya
karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Hal ini berarti bahwa
seandainya terjadi qiyas, kemudian dikemukakan nash yang dapat dijadikan
sebagai dasarnya, maka qiyas itu batal dan hukum fara' itu ditetapkan berdasar
nash yang baru ditemukan itu.
b.
Hukum ashal
Ada beberapa syarat
yang diperlukan bagi hukum ashal, yaitu:
1.
Hukum ashal itu hendaklah hukum
syara' yang amali yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Hal ini
diperlukan karena yang akan ditetapkan itu adalah hukum syara', sedang sandaran
hukum syara' itu adalah nash. Atas dasar yang demikian, maka jumhur ulama tidak
berpendapat bahwa ijma' tidak boleh menjadi sandaran qiyas. Mereka menyatakan
bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma' adalah hukum yang ditetapkan
berdasarkan kesepakatan, tidak mempunyai sandaran, selain dari kesepakatan dari
mujtahid. Karena hukum yang ditetapkan secara ijma' tidak dapat diketahui
dengan pasti, sehingga tidak mungkin mengqiyaskan hukum syara' yang amali
kepada hukum yang mujma' 'alaih. Asy-Syaukani membolehkan ijma' sebagai
sandaran qiyas.
2.
'Illat hukum ashal itu adalah
'illat yang dapat dicapai oleh akal. Jika 'illat hukum ashal itu tidak dapat
dicapai oleh akal, tidaklah mungkin hukum ashal itu digunakan untuk menetapkan
hukum pada peristiwa atau kejadian yang lain (fara') secara qiyas. Sebagaimana
diketahui bahwa syari'at itu ditetapkan untuk kemaslahatan manusia, serta
berdasarkan 'illat-'illat yang ada padanya. Tidak ada hukum yang ditetapkan
tanpa 'illat. Hanya saja ada 'illat yang sukar diketahui bahkan ada yang sampai
tidak diketahui oleh manusia, seperti apa illat shalat Dzuhur ditetapkan empat
raka'at, apa pula 'illat shalat Maghrib ditetapkan tiga raka'at dan sebagainya
tidak ada yang mengetahui 'illatnya dengan pasti. Disamping itu ada pula ada
pula hukum yang 'illatnya dapat diketahui dengan mudah, seperti kenapa
diharamkan meminum khamar, haram mengambil harta orang lain dan sebagainya.
Hukum ashal kedua inilah yang dapat dijadikan sandaran qiyas.
3.
Hukum ashal itu tidak merupakan
hukum pengecualian atau hukum yang berlaku khusus untuk satu peristiwa atau
kejadian tertentu.
Hukum
ashal macam ini ada dua macam, yaitu:
1.
'Illat hukum itu hanya ada pada
hukum ashal saja, tidak mungkin pada yang lain. Seperti dibolehkannya
mengqashar shalat bagi orang musafir. 'IlIat yang masuk akal dalam hal ini
ialah untuk menghilangkan kesukaran atau kesulitan (musyaqqat) Tetapi al-Qur'an
dan al-Hadits menerangkan bahwa 'illat itu bukan karena adanya safar
(perjalanan).
2.
Dalil (al-Qur'an dan al-Hadits)
menunjukkan bahwa hukum ashal itu berlaku khusus tidak berlaku pada kejadian
atau peristiwa yang lain. Seperti beristri lebih dari empat hanya dibolehkan
bagi Nabi Muhammad SAW saja dan istri beliau itu tidak boleh kawin dengan
laki-laki lain walaupun beliau telah meninggal dunia, dan sebagainya.
c.
'Illat
'Illat ialah suatu sifat
yang ada pada ashal yang sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum ashal
serta untuk mengetahui hukum pada fara' yang belum ditetapkan hukumnya, seperti
menghabiskan harta anak yatim merupakan suatu sifat yang terdapat pada
perbuatan memakan harta anak yatim yang menjadi dasar untuk menetapkan haramnya
hukum menjual harta anak yatim.
Para ulama sepakat
bahwa Allah SWT membentuk hukum dengan tujuan untuk kemaslahatan
hamba-hamba-Nya. Kemaslahatan itu adakalanya dalam bentuk mengambil manfaat
(jalbul manâfi') dan adakalanya dalam bentuk menolak kerusakan dan bahaya
(darul mafâsid). Kedua macam bentuk hukum itu merupakan tujuan terakhir dari
pembentukan hukum yang disebut hikmah hukum.
Hikmah hukum berbeda
dengan 'illat hukum. Hikmah hukum merupakan pendorong pembentukan hukum dan
sebagai tujuannya yang terakhir ialah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan
akhirat dengan memperoleh manfaat dan keuntungan serta terhindar dari segala
macam kerusakan. 'Illat hukum suatu sifat yang nyata dan pasti ada pada suatu
peristiwa yang dijadikan dasar hukum.
'IlIat merupakan sifat
dan keadaan yang melekat pada dan mendahului peristiwa/perbuatan hukum yang
terjadi dan menjadi sebab hukum, sedangkan hikmah adalah sebab positif dan
hasil yang dirasakan kemudian setelah adanya peristiwa hukum. Sebagai contoh
ialah seorang musafir boleh mengqashar shalatnya, seperti mengerjakan shalat
Dzuhur yang empat raka'at menjadi dua raka'at dan sebagainya. Hikmahnya ialah
untuk menghilangkan kemusyaqqatan atau kemudharatan. Hikmah ini hanya merupakan
dugaan saja dan tidak dapat dijadikan dasar ada atau tidaknya hukum, sedang
'illat adalah suatu yang nyata dan pasti, seperti safar (dalam perjalanan)
menyebabkan seseorang boleh mengqashar shalat.
Mengenai 'illat hukum
dan sebab hukum, ada yang tidak membedakannya, mereka menyamakan arti kedua
istilah tersebut. Sebagian ulama lagi membedakannya, sekalipun perbedaan itu
sangat sedikit. Menurut mereka 'illat hukum dapat dicapai oleh akal, sedang
sebab hukum ada yang dapat dicapai akal dan ada yang sukar dicapai oleh akal.
Sebenarnya untuk membedakan pengertian kedua istilah itu sukar dilakukan,
karena ada suatu peristiwa yang dalam peristiwa itu 'illat dan sebabnya sama.
Seperti tergelincir matahari pada siang hari merupakan sebab seorang muslim
wajib mengerjakan shalat Dzuhur, demikian pula terbenamnya matahari pada hari terakhir
bulan Sya'ban merupakan sebab kaum muslimin besoknya mengerjakan puasa bulan
Ramadlan. Tetapi terbenam dan tergelincirnya matahari itu bukanlah 'illat hukum
karena kedua sebab itu tidak terjangkau oleh akal. Lain halnya dengan safar
(dalam perjalanan) disamping ia merupakan 'illat hukum, juga merupakan sebab
hukum yang membolehkannya untuk mengqashar shalat.
Dengan demikian dapat
ditetapkan bahwa sebab itu lebih umum dari 'illat, dengan perkataan lain bahwa
semua 'illat dapat dikatakan sebab, tetapi belum tentu semua sebab dapat
dikatakan 'illat.
1.
Syarat-syarat 'illat
Ada
empat macam syarat-syarat yang disepakati ulama, yaitu:
1.
Sifat 'illat itu hendaknya nyata,
masih terjangkau boleh akal dan pancaindera. Hal ini diperlukan karena 'illat
itulah yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum pada fara'. Seperti sifat
menghabiskan harta anak yatim, terjangkau oleh pancaindera dan akal, bahwa
'illat itu ada pada memakan harta anak yatim (ashal) dan terjangkau pula oleh
pancaindera dan akal bahwa 'illat itu ada pada menjual harta anak yatim
(fara'). Jika sifat 'illat itu samar-samar, kurang jelas dan masih ragu-ragu,
tentulah tidak dapat digunakan untuk menetapkan ada dan tidaknya hukum pada
ashal.
2.
Sifat 'illat itu hendaklah pasti,
tertentu, terbatas dan dapat dibuktikan bahwa 'illat itu ada pada fara', karena
asas qiyas itu adalah adanya persamaan illat antara ashal dan fara'. Seperti
pembunuhan sengaja dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan
diwarisinya hakekatnya adalah pasti, karena itu dapat dijadikan dasar qiyas
atas peristiwa pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja oleh penerima wasiat
terhadap orang yang telah memberi wasiat kepadanya.
3.
'Illat harus berupa sifat yang
sesuai dengan kemungkinan hikmah hukum, dengan arti bahwa keras dugaan bahwa
'illat itu sesuai dengan hikmah hukumnya. Seperti memabukkan adalah hal yang
sesuai dengan hukum haram minum khamar, karena dalam hukum itu terkandung suatu
hikmah hukum, yaitu memelihara akal dengan menghindarkan diri dari mabuk.
Pembunuhan dengan sengaja adalah sesuai dengan keharusan adanya qishash, karena
dalam qishash itu terkandung suatu hikmah hukum yaitu untuk memelihara
kehidupan manusia.
4.
'Illat itu tidak hanya terdapat
pada ashal saja, tetapi haruslah berupa sifat yang dapat pula diterapkan pada
masalah-masalah lain selain dari ashal itu. Seperti hukum-hukum yang khusus
berlaku bagi Nabi Muhammad SAW tidak dijadikan dasar qiyas. Misalnya mengawini
wanita lebih dari empat orang, berupa ketentuan khusus berlaku bagi beliau,
tidak berlaku bagi orang lain. Larangan isteri-isteri Rasulullah saw kawin
dengan laki-Iaki lain setelah beliau meninggal dunia, sedang wanita-wanita lain
dibolehkan.
2.
Pembagian 'Illat
Ditinjau dari segi
ketentuan pencipta hukum (syari') tentang sifat apakah sesuai atau tidak dengan
hukum, maka ulama ushul membaginya kepada empat bagian, yaitu:
a.
Munasib mu'tsir
Yaitu persesuaian yang
diungkapkan oleh syara' dengan sempurna, atau dengan perkataan lain bahwa
pencipta hukum (syari') telah menciptakan hukum sesuai dengan sifat itu,
seperti firman Allah SWT:
Artinya:
"Mereka bertanya
kepadamu tentang haid, katakanlah haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu
hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid." (al-Baqarah: 222)
Pada ayat di atas Allah
SWT (sebagai syari') telah menetapkan hukum, yaitu haram mencampuri isteri yang
sedang haid. Sebagai dasar penetapan hukum itu ialah kotoran, karena kotoran
itu dinyatakan dalam firman Allah SWT di atas sebagai 'illatnya. Kotoran
sebagai sifat yang menjadi sebab haram mencampuri isteri yang sedang haid
adalah sifat yang sesuai dan menentukan penetapan hukum.
b.
Munasib mulaim
Yaitu persesuaian yang
diungkapkan syara' pada salah satu jalan saja. Maksudnya ialah persesuaian itu
tidak diungkapkan syara' sebagai 'illat hukum pada masalah yang sedang
dihadapi, tetapi diungkapkan sebagai 'illat hukum dan disebut dalam nash pada
masalah yang lain yang sejenis dengan hukum yang sedang dihadapi. Contohnya,
ialah kekuasaan wali untuk mengawinkan anak kecil yang di bawah perwaliannya
tidak ada nash yang menerangkan 'illatnya. Pada masalah lain yaitu pengurusan
harta anak yatim yang masih kecil, syara' mengungkapkan keadaan kecil sebagai
'illat hukum yang menyebabkan wali berkuasa atas harta anak yatim yang berada
di bawah perwaliannya itu. Berdasarkan pengungkapan syara' itu maka keadaan
kecil dapat pula dijadikan 'illat untuk menciptakan hukum pada masalah lain,
seperti penetapan kekuasaan wali dalam mengawinkan anak yatim yang berada di
bawah perwaliannya.
c.
Munasib mursal
Ialah munasib yang
tidak dinyatakan dan tidak pula diungkapkan oleh syara'. Munasib mursal berupa
sesuatu yang nampak oleh mujtahid bahwa menetapkan hukum atas dasarnya
mendatangkan kemaslahatan, tetapi tiada dalil yang menyatakan bahwa syara'
membolehkan atau tidak membolehkannya, seperti membukukan al-Qur'an atau
mushhaf, tidak ada dalil yang membolehkan atau melarangnya. Tetapi Khalifah
Utsman bin Affan melihat kemaslahatannya bagi seluruh kaum muslimin, yaitu
al-Qur'an tidak lagi berserakan karena telah tertulis dalam satu buku serta
dapat menghindarkan kaum muslimin dari kemungkinan terjadinya perselisihan
tentang dialek al-Qur'an.
d.
Munasib mulghaa
Yaitu munasib yang
tidak diungkapkan oleh syara' sedikitpun, tetapi ada petunjuk yang menyatakan
bahwa menetapkan atas dasarnya diduga dapat mewujudkan kemaslahatan. Dalam pada
itu syara' tidak menyusun hukum sesuai dengan sifat atau 'illat tersebut,
bahkan syara' memberi petunjuk atas pembatalan atas sifat tersebut. Sebagai
contohnya, ialah kedudukan laki-Iaki dan perempuan dalam kerabat. Kemudian atas
dasar persamaan itu mungkin dapat ditetapkan pula persamaan dalam warisan.
Tetapi syara' mengisyaratkan pembatalannya dengan menyatakan bahwa bagian
laki-Iaki adalah dua kali bagian perempuan.
3.
Musâlikul 'illat (cara mencari 'illat)
Musâlikul 'illat, ialah
cara atau metode yang digunakan untuk mencari sifat atau 'illat dari suatu
peristiwa atau kejadian yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum.
Diantara
cara tersebut, ialah:
a.
Nash yang menunjukkannya;
b.
Ijma' yang menunjukkannya
c.
Dengan penelitian. Dengan penelitian ini terbagi kepada:
1.
Munasabah
2.
Assabru wa taqsîm
3.
Tanqîhul manath
4.
Tahqîqul manath
a.
Nash yang menunjukkannya
Dalam hal ini nash
sendirilah yang menerangkan bahwa suatu sifat merupakan 'illat hukum dari suatu
peristiwa atau kejadian. 'Illat yang demikian disebut 'illat manshuh 'alaih.
Melakukan qiyas berdasarkan 'illat yang disebutkan oleh nash pada hakikatnya
adalah menetapkan hukum suatu dasar nash.
Petunjuk nash tentang
sifat suatu kejadian atau peristiwa yang merupakan 'illat itu ada dua macam,
yaitu sharahah (jelas) dan ima' atau isyarah (dengan isyarat).
1.
Dalalah sharahah
Ialah penunjuk lafadh
yang terdapat dalam nash kepada 'illat hukum jeIas sekali. Atau dengan
perkataan lain bahwa lafadh nash itu sendiri menunjukkan 'illat hukum dengan
jelas, seperti ungkapan yang terdapat daIam nash: supaya demikian atau sebab
demikian dan sebagainya. Dalalah sharahah ada dua macam, yang
pertama dalalah sharahah yang qath'i dan kedua ialah dalalah
sharahah yang dhanni.
Daialah sharahah yang
qath'i, ialah apabila penunjukan kepada 'illat hukum itu pasti dan yakin,
seperti firman AlIah SWT:
Artinya:
"(Mereka Kami
utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya
tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul
itu..." (an-Nisâ': 165)
Ayat ini menyatakan
bahwa 'illat diutus para rasul yang membawa kabar gembira dan memberi
peringatan itu ialah agar manusia tidak mencari-cari alasan dengan mengatakan
bahwa mereka belum pernah mendapat peringatan dari rasul yang diutus kepada
mereka. Perkataan li-allâ yakûna dan ba'darrasûl merupakan
'illat hukum yang pasti, tidak mungkin dialihkan kepada yang lain.
Dengan sabda Nabi
Muhhammad SAW:
Artinya: "Aku
melarang kamu menyimpan daging binatang kurban tidak lain hanyalah karena
banyak orang berkumpul (memerlukan). Dan (jika tidak banyak orang memerlukan)
makan, simpanlah." (HR. an-Nasâ'i)
Pada hadits di atas
diterangkan 'illat Rasulullah SAW melarang kaum muslimin menyimpan daging
kurban, yaitu karena banyak orang yang memerlukannya. 'Illat larangan menyimpan
daging kurban itu tidak dapat ditetapkan orang lain, selain dari li ajliddâfah (karena
banyak orang memerlukannya).
Daialah sharahah yang
dhanni, ialah apabila penunjuk nash kepada 'illat hukum itu adalah berdasar
dengan keras (dhanni), karena kemungkinan dapat dibawa kepada 'illat hukum yang
lain. Seperti firman Allah SWT:
Artinya:
"Dirikanlah shalat
karena matahari tergelincir sampai gelap malam." (al-Isrâ'; 78)
Dan firman Allah SWT:
Artinya:
"Maka disebabkan
kedhaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang
baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka" (an-Nisâ': 160)
Pada ayat pertama
terdapat huruf al-lâm pada perkataan liduluki dan
huruf al-bâ' pada perkataan fabidhulmi. Al-lâmberarti
karena dan dapat pula berarti sesudah, sedang al-bâ' berarti
disebabkan dan dapat pula berarti dengan. Kedua arti tersebut dapat digunakan,
akan tetapi menurut dugaan yang keras bahwa jika kedua huruf itu diartikan
dengan karena dan disebabkan maka akan memperjelas arti ayat tersebut.
2.
Dalalah ima' (isharah)
Ialah petunjuk yang
dipahami dari sifat yang menyertainya, atau dengan perkataan lain ialah ada
suatu sifat yang menyertai petunjuk itu dan sifat itu merupakan 'illat
ditetapkannya suatu hukum Jika penyertaan sifat itu tidak dapat dipahamkan
demikian, maka tidak ada gunanya menyertakan sifat itu. Ada beberapa macam
dalalah ima', diantaranya ialah:
a.
Mengerjakan suatu pekerjaan karena terjadi suatu peristiwa sebelumnya. Seperti
Nabi Muhammad SAW mengerjakan sujud sahwi, karena beliau lupa mengerjakan salah
satu dari rukun shalat. Nabi Muhammad SAW memerintahkan seseorang memerdekakan
budak, karena ia telah bercampur dengan isterinya pada siang hari bulan
Ramadlan. Dari contoh di atas jelas bahwa karena ada peristiwa lupa menjadi
'illat dilakukan sujud sahwi. Karena bercampur dengan isteri pada siang hari bulan
Ramadhan menjadikan 'illat untuk memerdekakan budak.
b.
Menyebutkan suatu sifat bersamaan (sebelum atau sesudah) dengan hukum.
Seandainya sifat itu dipandang bukan sebagai 'illat tentulah tidak perlu
disebutkan. Contohnya, adalah Nabi Muhammad SAW bersabda:
Artinya: "Seseorang
tidak boleh memberi keputusan antara dua orang (yang berperkara) dalam keadaan
ia sedang marah." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari hadits di atas
dipahamkan bahwa sifat marah disebut bersamaan dengan larangan memberi
keputusan antara dua orang berperkara yang merupakan 'illat dari larangan
mengadili perselisihan itu.
c.
Membedakan dua buah hukum dengan menyebutkan dua sifat yang berbeda pula,
seperti sabda Rasulullah SAW:
Artinya:
"Barisan berjalan
kaki mendapat satu bagian, sedang barisan berkuda mendapat dua
bagian." (HR.
Bukhari dan Muslim)
Barisan berjalan kaki
dan barisan berkuda menjadi 'illat perbedaan pembagian harta rampasan perang.
d.
Membedakan dua hukum dengan syarat, seperti firman Allah SWT:
Artinya:
"...Dan jika
mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil maka berikanlah
mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak)mu untukmu, maka kepada mereka berikanlah upahnya..." (ath-Thalak: 6)
Pada ayat ini
diterangkan bahwa hamil menjadi syarat ('illat) wajibnya pemberian nafkah
kepada isteri yang ditalak bain dan rnenyusukan anak menjadi syarat ('illat)
pemberian upah menyusukan anak.
e.
Membedakan antara dua hukum dan batasan (ghayah), sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya:
"...dan janganlah
kamu mendekati mereka sehingga mereka suci." (al-Baqarah: 222)
Pada ayat ini
diterangkan bahwa kesucian mereka batas ('illat) kebolehan suami mencampuri
isteri.
f.
Membedakan antara dua hukum dengan pengecualian (istimewa), sebagaimana firman
Allah SWT:
Artinya: "Jika
kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal
kamu sudah menentukan maharnya maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah
kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan
oleh orang yang memegang ikatan nikah..." (al-Baqarah: 237)
Pada ayat ini
diterangkan bahwa memaafkan merupakan pengecualian ('illat) hapusnya kewajiban
membayar mas kawin.
g.
Membedakan dua hukum dengan pengecualian (istidrak) sebagaimana firman Allah
SWT:
Artinya: "Allah
tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu
sengaja." (al-Mâidah: 89)
Pada ayat ini Allah SWT
membedakan hukum dua perbuatan, yaitu perbuatan berupa sumpah yang tidak
disengaja dan perbuatan berupa sumpah yang disengaja. Kesengajaan bersumpah
dijadikan 'illat untuk penetapan hukum.
b.
Ijma' yang menunjukkannya
Maksudnya, ialah 'illat
itu ditetapkan dengan ijma', belum baligh (masih kecil) menjadikan 'illat
dikuasai oleh wali harta anak yatim yang belum baligh. Hal itu disepakati oleh
para ulama.
c.
Dengan penelitian
Ada bermacam cara
penelitian itu dilakukan, yaitu:
1.
Munasabah
Munasabah ialah
persesuaian antara sesuatu hal, keadaan atau sifat dengan perintah atau
larangan. Persesuaian tersebut ialah persesuaian yang dapat diterima akal,
karena persesuaian itu ada hubunganya dengan mengambil manfaat dan menolak
kerusakan atau kemudharatan bagi manusia. Allah SWT menciptakan syari'at bagi
manusia ada maksudnya dan tujuannya, yaitu mewujudkan kemaslahatan bagi
manusia. Agar maksud dan tujuan itu tercapai maka syari'at membagi perbuatan
manusia atas tiga tingkatan, yaitu:
a.
Tingkat dharuri (yang harus ada);
b.
Tingkat haji (yang sangat diperlukan); dan
c.
Tingkat tahsini (yang baik sekali dikerjakan).
Tingkat pertama lebih
utama dari tingkat kedua, tingkat kedua lebih utama dari tingkat ketiga.
a.
Tingkat dharuri
Tingkat dharuri adalah
hal-hal yang harus ada, tidak boleh tidak ada dalam usaha menegakkan agama
Islam dan kepentingan umum. Apabila hal itu tidak ada tentulah akan rusak dan
binasa dunia ini.
Tingkat dharuri ini
mempunyai pula lima tingkat, tingkat pertama lebih utama, kemudian baru tingkat
kedua, setelah itu tingkat ketiga, setelah itu keempat dan terakhir tingkat
kelima. Bila tingkat pertama berlawanan dengan tingkat kedua maka dimenangkan
tingkat pertama, demikianlah seterusnya sampai tingkat kelima.
Kelima
tingkat itu, ialah:
·
Memelihara agama. Untuk maksud ini
maka Allah SWT memerintahkan kaum muslimin agar menegakkan syi'ar-syi'ar Allah,
seperti mendirikan shalat yang lima waktu, puasa, zakat, haji, jihad dan
sebagainya;
·
Memelihara jiwa, untuk ini
dilarang membunuh jiwa, termasuk jiwa sendiri, disyari'atkan hukum qishash dan
sebagainya.
·
Memelihara akal, untuk ini
diharamkan minum khamar dan semua perbuatan yang dapat merusak akal;
·
Memelihara keturunan, untuk ini
dilarang zina dengan menjatuhkan hukuman berat bagi pelakunya; dan
·
Memelihara harta, untuk ini
ditetapkan hukum potong tangan bagi pencuri, hukuman berat bagi perampok dan
sebagainya.
b.
Tingkat haji
Manusia dalam
kehidupannya ada yang dalam keadaan lapang dan ada yang dalam keadaan sukar dan
sempit, terutama dalam menghadapi kewajiban dan memikul beban yang ditugaskan
dan dibebankan Allah SWT kepada mereka. Bagi orang-orang yang dalam keadaan
kesempitan dan kesukaran Allah SWT selalu memberikan kelapangan dan kemudahan
bagi mereka. Seandainya kemudahan dan keringanan itu tidak diberikan, kehidupan
manusia akan terasa sulit dan sengsara. Haji terdapat pada:
·
Ibadat, seperti boleh mengqadha
puasa bulan Ramadlan bagi orang yang sakit atau musafir, boleh mengqashar
shalat bagi orang yang dalam keadaan takut atau musafir, boleh tayamum bagi
orang yang tidak memperoleh air dan sebagainya;
·
Mu'amalat, seperti boleh melakukan
salam, ijârah dan sebagainya;
·
Adat, seperti boleh berburu.
c.
Tingkat tahsini
Tahsini adalah segala
sesuatu yang baik dikerjakan terutama yang berhubungan dengan akhlak dan
susila. Kalau tahsini ada, kehidupan manusia akan tinggi nilainya dan terasa
indah, tetapi kalau tahsini tidak ada kehidupan manusia tidak akan rusak.
Diantara contoh taksini ialah:
·
Dalam ibadat, seperti berhias
dalam mengerjakan shalat, mengerjakan perbuatan yang sunnah dan sebagainya;
·
Adat, seperti sopan santun dalam
pergaulan hormat-menghormati dan sebaginya;
·
Mu'amalat, seperti menghindarkan
diri dari menjual najis.
Dalam
munasabah diperlukan ketajaman untuk meneliti mana yang termasuk tingkat
dharuri, mana yang tingkat haji dan mana yang termasuk tingkat tahsini. Dengan
mengetahui tingkat perbuatan itu maka hukum yang berhubungan dengan dharuri
harus lebih diutamakan menjalankannya jika berlawanan dengan perbuatan haji
atau tahsini, seperti membunuh jiwa termasuk menghilangkan jiwa diharamkan oleh
Allah. Tetapi membunuh jiwa dalam peperangan dibolehkan untuk menegakkan agama.
Meminum khamar diharamkan karena merusak akal, tetapi meminum khamar itu
dibolehkan untuk berobat, sehingga jiwa terpelihara.
2.
Assabru wa taqsim
As
sabru berarti meneliti
kemungkinan-kemungkinan dan taqsim berarti menyeleksi
atau memisah-misahkan. As sabru wa taqsim maksudnya ialah meneliti
kemungkinan-kemungkinan sifat-sifat pada suatu peristiwa atau kejadian,
kemudian memisahkan atau memilih diantara sifat-sifat itu yang paling tepat
dijadikan sebagai 'illat hukum. As sabru wa taqsim dilakukan apabila ada nash
tentang suatu peristiwa atau kejadian, tetapi tidak ada nash atau ijma' yang
menerangkan 'illatnya.
Contoh As sabru wa
taqsim adalah sebagai berikut:
a.
Rasulullah SAW mengharamkan riba fadhli, yaitu menukar benda-benda tertentu yang
sejenis dengan takaran atau timbangan yang berbeda, berdasarkan sabda beliau:
Artinya
"Emas dengan emas,
perak dengan perak, gandum dengan gandum, padi Belanda dengan padi Belanda,
kurma dengan kurma, garam dengan garam, hendaklah sama jenisnya, sama ukurannya
lagi kontan. Apabila berbeda jenisnya, maka juallah menurut kehendakmu, bila
itu dilakukan dengan kontan." (HR. Muslim)
Dalam menetapkan
haramnya riba fadhli sesuai dengan hadits di atas, tidak ada nash yang lain
atau ijma' yang menerangkan 'illatnya. Karena itu perlu dicari 'illatnya dengan
as sabru wa taqsim.
Ada enam macam yang
disebut dalam hadits di atas. Para mujtahid mencari sifat-sifat dari yang enam
macam itu, kemudian menetapkan sifat yang sama dan patut dijadikan 'illat. Yang
pertama ialah gandum. Sifat-sifat gandum, ialah pertama termasuk jenis yang
dapat dipastikan ukurannya, karena ia dapat diukur dengan takaran, kedua ia
termasuk jenis makanan, bahkan ia termasuk jenis makanan pokok, dan ketiga ia
termasuk jenis tanaman. Kemudian kita terapkan sifat-sifat ini pada lima macam
yang lain. Pada emas dan perak hanya didapati sifat pertama, pada gandum, padi
Belanda dan kurma terdapat ketiga macam sifat di atas, sedang pada garam
didapati sifat pertama dan kedua. Berdasarkan penetapan itu maka diperoleh satu
sifat yang dipunyai oleh keenam macam tersebut pada hadits di atas, yaitu sifat
pertama bahwa keenam macam jenis itu termasuk jenis yang dapat dipastikan
dengan ukurannya baik dengan timbangan atau dengan takaran. Sifat ini dapat
ditetapkan sebagai 'illat untuk menetapkan hukum bahwa haram mempertukarkan
barang yang sejenis yang dapat dipastikan ukurannya bila tidak sama timbangan,
takaran, mutu dan tidak pula dilakukan dengan kontan.
b.
Sepakat para ulama bahwa para wali mujbir boleh menikahkan anak kecil wanita
tanpa persetujuan anak itu, tetapi tidak ada nash yangmenerangkan 'illatnya.
Karena itu para mujtahid meneliti sifat-sifat yang mungkin dijadikan 'illatnya.
Diantara sifat yang mungkin dijadikan 'illat, ialah belum baligh, gadis (bikr)
dan belum dewasa (rusyd). Pada ayat 6 surat an-Nisâ' tidak dewasa dapat
dijadikan 'illat seorang wali menguasai harta seorang yatim yang belum dewasa.
Karena itu ditetapkanlah belum dewasa itu sebagai 'illat kebolehan wali mujbir
menikahkan anak perempuan yang berada di bawah perwaliannya.
3.
Tanqîhul manath
Tanqîhul manath, ialah
mengumpulkan sifat-sifat yang ada pada fara' dan sifat-sifat yang ada pada
ashal, kemudian dicari yang sama sifatnya. Sifat-sifat yang sama dijadikan
sebagai 'illat, sedang sifat yang tidak sama ditinggalkan. Sebagai contoh
ialah, pada ayat 25 surat an-Nisâ' diterangkan bahwa hukuman yang diberikan
kepada budak perempuan adalah separuh dari hukuman kepada orang merdeka sedang
tidak ada nash yang menerangkan hukuman bagi budak laki-Iaki. Setelah
dikumpulkan sifat-sifat yang ada pada keduanya maka yang sama ialah sifat
kebudakan. Karena itu ditetapkanlah bahwa sifat kebudakan itu sebagai 'illat
untuk menetapkan hukum bahwa hukuman bagi budak laki-Iaki sama dengan yang
diberikan kepada budak perempuan, yaitu separuh dari hukuman yang diberikan
kepada orang yang merdeka.
4.
Tahqiqul manath
Tahqiqul manath, ialah
menetapkan 'illat. Maksudnya ialah sepakat menetapkan 'illat pada ashal, baik
berdasarkan nash atau tidak. Kemudian 'illat itu disesuaikan dengan 'illat pada
fara'. Dalam hal ini mungkin ada yang berpendapat bahwa 'illat itu dapat
ditetapkan pada fara' dan mungkin pula ada yang tidak berpendapat demikian.
Contohnya, ialah 'illat potong tangan bagi pencuri, yaitu karena ia mengambil
harta secara sembunyi pada tempat penyimpanannya, hal ini disepakati para
ulama. Berbeda pendapat para ulama jika 'illat itu diterapkan pada hukuman bagi
pencuri kain kafan dari kubur. Menurut Syafi'iyyah dan Malikiyah pencuri itu
dihukum potong tangan, karena mengambil harta di tempat penyimpanannya, yaitu
dalam kubur sedang Hanafiyah tidak menjadikan sebagai 'illat, karena itu
pencuri kafan tidak dipotong tangannya.
2.7. Pembagian Qiyas
Qiyas
dapat dibagi kepada tiga macam, yaitu: 1. Qiyas 'illat; 2. Qiyas dalalah; dan
3. Qiyas syibih.
a.
Qiyas 'illat
Qiyas 'illat, ialah
qiyas yang mempersamakan ashal dengan fara' karena keduanya mempunyai persamaan
'illat.
Qiyas 'illat terbagi:
1.
Qiyas jali
Ialah qiyas yang
'illatnya berdasarkan dalil yang pasti, tidak ada kemungkinan lain selain dari
'illat yang ditunjukkan oleh dalil itu. Qiyas jali terbagi kepada:
a.
Qiyas yang 'illatnya ditunjuk dengan kata-kata, seperti memabukkan adalah
'illat larangan minum khamr,yang disebut dengan jelas dalam nash.
b.
Qiyas mulawi. Ialah qiyas yang hukum pada fara' sebenarnya lebih utama ditetapkan
dibanding dengan hukum pada ashal. Seperti haramnya hukum mengucapkan kata-kata
"ah" kepada kedua orangtua berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya: "Maka
janganlah ucapkan kata-kata "ah" kepada kedua orangtua(mu)." (al-Isrâ':
23)
'Illatnya ialah
menyakiti hati kedua orangtua. Bagaimana hukum memukul orang tua? Dari kedua
peristiwa nyatalah bahwa hati orang tua lebih sakit bila dipukul anaknya
dibanding dengan ucapan "ah" yang diucapkan anaknya kepadanya. Karena
itu sebenarnya hukum yang ditetapkan bagi fara' lebih utama dibanding dengan
hukum yang ditetapkan pada ashal.
c.
Qiyas musawi
Ialah qiyas hukum yang
ditetapkan pada fara' sebanding dengan hukum yang ditetapkan pada ashal,
seperti menjual harta anak yatim diqiyaskan kepada memakan harta anak yatim.
'Illatnya ialah sama-sama menghabiskan harta anak yatim. Memakan harta anak
yatim haram hukumnya berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya:
"Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya, ia tidak lain hanyalah
menelan api neraka ke dalam perutnya." (an-Nisâ': 10)
Karena itu ditetapkan
pulalah haram hukumnya menjual harta anak yatim. Dari kedua peristiwa ini
nampak bahwa hukum yang ditetapkan pada ashal sama pantasnya dengan hukum yang
ditetapkan pada fara'.
2.
Qiyas khafi
Ialah qiyas yang
'ilIatnya mungkin dijadikan 'illat dan mungkin pula tidak dijadikan 'illat,
seperti mengqiyaskan sisa minuman burung kepada sisa minuman binatang buas.
"IlIatnya ialah kedua binatang itu sama-sama minum dengan mulutnya,
sehingga air liurnya bercampur dengan sisa minumannya itu. 'IlIat ini mungkin
dapat digunakan untuk sisa burung buas dan mungkin pula tidak, karena mulut
burung buas berbeda dengan mulut binatang buas. Mulut burung buas terdiri dari
tulang atau zat tanduk. Tulang atau zat tanduk adalah suci, sedang mulut
binatang buas adalah daging, daging binatang buas adalah haram, namun
kedua-duanya adalah mulut, dan sisa minuman. Yang tersembunyi di sini ialah
keadaan mulut burung buas yang berupa tulang atau zat tanduk.
b.
Qiyas dalalah
Qiyas dalalah ialah
qiyas yang 'illatnya tidak disebut, tetapi merupakan petunjuk yang menunjukkan
adanya 'illat untuk menetapkan sesuatu hukum dari suatu peristiwa. Seperti
harta kanak-kanak yang belum baligh, apakah wajib ditunaikan zakatnya atau
tidak. Para ulama yang menetapkannya wajib mengqiyaskannya kepada harta orang
yang telah baligh, karena ada petunjuk yang menyatakan 'illatnya, yaitu kedua
harta itu sama-sama dapat bertambah atau berkembang. Tetapi Madzhab Hanafi,
tidak mengqiyaskannya kepada orang yang telah baligh, tetapi kepada ibadah,
seperti shalat, puasa dan sebagainya. Ibadah hanya diwajibkan kepada orang yang
mukallaf, termasuk di dalamnya orang yang telah baligh, tetapi tidak diwajibkan
kepada anak kecil (orang yang belum baligh). Karena itu anak kecil tidak wajib
menunaikan zakat hartanya yang telah memenuhi syarat-syarat zakat.
c.
Qiyas syibih
Qiyas syibih ialah
qiyas yang fara' dapat diqiyaskan kepada dua ashal atau lebih, tetapi diambil
ashal yang lebih banyak persamaannya dengan fara'. Seperti hukum merusak budak
dapat diqiyaskan kepada hukum merusak orang merdeka, karena kedua-duanya adalah
manusia. Tetapi dapat pula diqiyaskan kepada harta benda, karena sama-sama
merupakan hak milik. Dalam hal ini budak diqiyaskan kepada harta benda karena
lebih banyak persamaannya dibanding dengan diqiyaskan kepada orang merdeka.
Sebagaimana harta budak dapat diperjualbelikan, diberikan kepada orang lain,
diwariskan, diwakafkan dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Adakalanya Allah SWT menetapkan hukum terhadap suatu persoalan dengan
mengambil sampel berdasarkan suatu benda atau tempat, seperti ada larangan
meminum khamr, dimana khamr dihukumi haram karena memabukan, maka dalam hal ini
mujtahid dapat mengqiyaskan hal ini dengan sesuatu atau benda yang lain dengan
hal yang baru dan di tempat yang lain pula yang sama-sama memabukan, dengan
menetapkan illatnya adalah sama dengan khamr tersebut. Maka timbul dugaan bahwa
meminum sari buah anggur yang memabukan hukumnya sama dengan meminum khamr. Qiyas
menurut bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur,
seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi
yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga
berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang
lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari
persamaan-persamaannya. Menurut para ulama ushul fiqh, ialah menetapkan hukum
suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara
membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan 'illat antara kedua
kejadian atau peristiwa itu.
[1]
Ilmu Ushul Fiqh, Prof Abdul Wahab Khalaf Hal. 66
[2]
Ushul Fiqh, Syaikh Muhammad Alkhudhari Biek Hal. 641
[3]
Al-Qur’anulkarim Departemen Agama RI Hal. 123
[4]
Ilmu Ushul Fiqh, Prof Abdul Wahab Khalaf Hal. 67
[5]
Al-Qur’anulkarim Departemen Agama RI Hal. 554
[6]
Al-Qur’anulkarim Departemen Agama RI Hal. 87
[7]
Al-Qur’anulkarim Departemen Agama RI Hal. 545
[8]
Ilmu Ushul Fiqh, Prof Abdul Wahab Khalaf Hal. 73
[9]
Ilmu Ushul Fiqh, Prof Abdul Wahab Khalaf Hal. 80
Tidak ada komentar:
Posting Komentar