BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti Islam yang paling berhasil dalam
mengembangkan peradaban Islam. Para ahli sejarah tidak meragukan hasil kerja para
pakar pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah dalam memajukan ilmu pengetahuan
dan peradaban Islam.
Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah Umayyah, dimana
pendiri dari khilafah ini adalah keturunan Al-Abbas, paman Nabi Muhammad SAW,
yaitu Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Dimana pola
pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik,
sosial, dan budaya.
Kekuasaan
dinasti Bani Abbas, atau khilafah Abbasiyah, sebagaimana disebutkan melanjutkan
kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para
pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad
SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali
ibn Abdullah ibn al-Abass. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang
panjang, dari tahun 132 H (750 M) sampai dengan 656 H (1258 M). Selama dinasti
ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan politik, sosial dan budaya. Pada masa daulat Abbasiyah ini lahir
intelektual-intelektual Islam. Daulat Abbasiyah mencapai masa keemasannya pada
periode I yang disebut periode pengaruh Persia pertama.
Dalam makalah ini kami akan membahas tentang sejarah berdirinya Dinasti
Abbasiyah dan perkembangan ilmu beserta ilmuwan yang berpengaruh pada masa
Dinasti Abbasiyah.
B. Rumusan
Masalah
a.
Bagaimana sejarah berdirinya Dinasti Abbasiyah?
b.
Bagaimana perkembangan ilmu dan ilmuwan yang berpengaruh
pada masa dinasti Abbasiyah?
C. Tujuan
Penelitian
a.
Untuk mengetahui sejarah berdirinya Dinasti Abbasiyah
b.
Untuk mengetahui perkembangan ilmu dan ilmuwan yang
berpengaruh pada masa dinasti Abbasiyah
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Berdirinya Dinasti Abbasiyah
Berdirinya bani
abbasiyah dikarenakan pada masa pemerintahan Bani Umaiyyah pada khalifah Hisyam
ibn abdi al-Malik muncullah kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi
pemerintahan bani umayyah. Kekuatan itu berasal dari
kalangan bani hasyim yang dipelopori keturunan al-Abbas ibn abd al-muthalib. Gerakan ini
menghimpun :
a.
Bani alawiyah pemimpinnya Abu Salamah
b.
Bani Abbasiyah pemimpinnya Ibrahim al-AIman
c.
Keturunan bangsa Persia pemimpinnya Abu Muslim
al-Khurasany, mereka memusatkan kegiatannya di khurasan.
Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari golongan syiah dan kaum mawali
yang merasa di kelas duakan oleh pemerintahan bani umayyah. Pada waktu itu ada
beberapa factor yang menyebabkan dinasti umayyah lemah dan membawanya kepada
kehancuran, akhirnya pada tahun 132 H (750 M) tumbanglah daulah umayyah dengan
terbunuhnya khalifah terakhir yaitu Marwan bin Muhammad dan pada tahun itu
berdirilah kekuasaan dinasti bani abbas atau khalifah abbasiyah karena para
pendiri dan penguasa dinasti ini keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad Saw.,
dinasti abbasiyah didirikan oleh Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaannya
berlangsung dalam rentang waktu yang panjang dari tahun 132 H sampai dengan 656
H. selama berkuasa pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan politik, social dan budaya.
B.
Perkembangan Ilmu dan Ilmuwan yang berpengaruh pada masa
Dinasti Bani Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah merupakan salah satu dinasti Islam yang sangat peduli
dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan. Upaya ini mendapat tanggapan yang
sangat baik dari para ilmuwan. Sebab pemerintahan dinasti abbasiyah telah
menyiapkan segalanya untuk kepentingan tersebut. Diantara fasilitas yang
diberikan adalah pembangunan pusat-pusat riset dan terjemah seperti baitul
hikmah, majelis munadzarah dan pusat-pusat study lainnya.
Bidang-bidang ilmu pengetahuan umum yang berkembang antara lain:
a. Filsafat
Proses penerjemahan yang dilakukan umat Islam
pada masa dinasti bani abbasiyah mengalami kemajuan cukup besar. Para
penerjemah tidak hanya menerjemahkan ilmu pengetahuan dan peradaban bangsa-bangsa
Yunani, Romawi, Persia, Syiuria tetapi juga mencoba mentransfernya ke dalam
bentuk pemikiran. Diantara tokoh yang member andil dalam perkembangan ilmu dan
filsafat Islam adalah: Al-Kindi, Abu Nasr al-Faraby, Ibnu Sina, Ibnu Bajjah,
Ibnu Thufail, al-Ghazali dan Ibnu Rusyd.
b. Ilmu Kalam
Menurut A. Hasimy lahirnya
ilmu kalam karena dua factor: pertama, untuk membela Islam dengan bersenjatakan
filsafat. Kedua, karena semua masalah termasuk masalah agama telah berkisar
dari pola rasa kepada pola akal dan ilmu. Diantara tokoh ilmu kalam yaitu:
wasil bin Atha’, Baqilani, Asy’ary, Ghazali, Sajastani dan lain-lain.
c. Ilmu
Kedokteran
Ilmu kedokteran merupakan salah satu ilmu yang
mengalami perkembangan yang sangat pesat pada masa Bani Abbasiyah pada masa itu
telan didirikan apotek pertama di dunia, dan juga telah didirikan sekolah
farmasi. Tokoh-tokoh Islam yang
terkenal dalam dunia kedokteran antara lain Al-Razi dan Ibnu Sina.
d. Ilmu Kimia
Ilmu kimia juga termasuk
salah satu ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh kaum muslimin. Dalam bidang
ini mereka memperkenalkan eksperimen obyektif. Hal ini merupakan suatu
perbaikan yang tegas dari cara spekulasi yang ragu-ragu dari Yunani. Mereka
melakukan pemeriksaan dari gejala-gejala dan mengumpulkan kenyataan-kenyataan
untuk membuat hipotesa dan untuk mencari kesimpulan-kesimpulan yang benar-benar
berdasarkan ilmu pengetahuan diantara tokoh kimia yaitu: Jabir bin Hayyan.
e. Ilmu Hisab
Diantara ilmu yang
dikembangkan pada masa pemerintahan abbasiyah adalah ilmu hisab atau
matematika. Ilmu ini berkembang karena kebutuhand asar pemerintahan untuk
menentukan waktu yang tepat. Dalam setiap pembangunan semua sudut harus
dihitung denga tepat, supaya tidak terdapat kesalahan dalam pembangunan
gedung-gedung dan sebagainya. Tokohnya adalah Muhammad bin Musa al-Khawarizmi.
f. Sejarah
Pada masa ini sejarah
masih terfokus pada tokoh atau peristiwa tertentu, misalnya sejarah hidup nabi
Muhammad. Ilmuwan dalam bidang ini adalah Muhammad bin Sa’ad, Muhammad bin
Ishaq
g. Ilmu Bumi
Ahli ilmu bumi pertama adalah Hisyam al-Kalbi,
yang terkenal pada abad ke-9 M, khususnya dalam studynya mengenai bidang
kawasan arab.
h. Astronomi
Tokoh astronomi Islam pertama adalah Muhammad
al-fazani dan dikenal sebagai pembuat astrolob atau alat yang pergunakan untuk
mempelajari ilmu perbintangan pertama di kalangan muslim. Selain al-Fazani
banyak ahli astronomi yang bermunculan diantaranya adalah muhammad bin Musa
al-Khawarizmi al-Farghani al-Bathiani, al-biruni, Abdurrahman al-Sufi.
Selain ilmu pengetahuan umum dinasti abbasiyah juga memperhatikan
pengembangan ilmu pengetahuan keagamaan antara lain:
a. Ilmu Hadis
Diantara tokoh yang terkenal di bidang ini
adalah imam bukhari, hasil karyanya yaitu kitab al-Jami’ al-Shahih al-Bukhari.
Imam muslim hasil karyanya yaitukitab al-Jami’ al-shahih al-muslim, ibnu
majjah, abu daud, at-tirmidzi dan al-nasa’i.
b. Ilmu Tafsir
Terdapat dua cara yang ditempuh oleh para
mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Pertama, metode tafsir bil ma’tsur yaitu metode penafsiran oleh sekelompok
mufassir dengan cara member penafsiran al-Qur’an dengan hadits dan penjelasan
para sahabat. Kedua, metode tafsir bi al-ra’yi yaitu penafsiran al-Qur’an
dengan menggunakan akal lebih banyak dari pada hadits. Diantara
tokoh-tokoh mufassir adalah imam al-Thabary, al-sud’a muqatil bin Sulaiman.
c. Ilmu Fiqih
Dalam bidang fiqih para fuqaha’ yang ada pada
masa bani abbasiyah mampu menyusun kitab-kitab fiqih terkenal hingga saat ini
misalnya, imam Abu Hanifah menyusun kitab musnad al-Imam al-a’dzam atau fiqih
al-akbar, imam malik menyusun kitab al-muwatha’, imam syafi’I menyusun kitab
al-Umm dan fiqih al-akbar fi al tauhid, imam ibnu hambal menyusun kitab al
musnad ahmad bin hambal.
d. Ilmu Tasawuf
Kecenderungan pemikiran
yang bersifat filosofi menimbulkan gejolak pemikiran diantara umat islam,
sehingga banyak diantara para pemikir muslim mencoba mencari bentuk gerakan
lain seperti tasawuf. Tokoh sufi yang terkenal yaitu Imam al-Ghazali diantara
karyanya dalam ilmu tasawuf adalah ihya ulum al-din.
C.
Masa Keemasan Islam Bani Abbasiyah
Kekuasaan dinasti Bani Abbas, atau
khilafah Abbasiyah, sebagaimana disebutkan melanjutkan kekuasaan dinasti Bani
Umayyah. Dinamakan
khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah
keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh
Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abass. Kekuasaannya
berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656
H (1258 M). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan
berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Berdasarkan
perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi
masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode:
1.
Periode Pertama (132 H/750 M-232 H/847 M), disebut
periode pengaruh Persia pertama.
2.
Periode Kedua (232 H/847 M-334 H/945 M),
disebut pereode pengaruh Turki pertama.
3.
Periode Ketiga (334 H/945 M-447 H/1055 M), masa
kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini
disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
4.
Periode Keempat (447 H/1055 M-590 H/l194 M),
masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah;
biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
5.
Periode Kelima (590 H/1194 M-656 H/1258 M),
masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya
efektif di sekitar kota Bagdad.[1]
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas
mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang
kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain,
kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil
menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam
Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai
menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus
berkembang.
Masa
pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun
750-754 M. karena itu, pembina sebenarnya dari daulat Abbasiyah adalah Abu
Ja’far al-Manshur (754-775 M). Pada mulanya ibu kota negara adalah
al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga
stabilitas negara yang baru berdiri itu, Abu Ja’far al-Mansyur memindahkan ibu
kota negara ke kota yang baru dibangunnya, Bagdad, dekat bekas ibu kota Persia,
Clesiphon, bekas ibu kota Persia, pada
tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di
tengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini al-Manshur melakukan
konsolidasi dan Penertiban pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah personal
untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif.[2]
Di bidang
pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat Wazir sebagai
koordinator departemen, Wazir pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak,
berasal dari Balkh, Persia.[3]
Dia juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian
negara disamping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad ibn
Abdurrahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah
ada sejak masa dinasti Bani Umayyah ditingkatkan perananya dengan tambahan
tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat. Pada masa al-Manshur,
jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah
sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan
pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.
Kalau
dasar-dasar pemerintahan daulat Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu
al-Abbas dan Abu Ja’far al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini
berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi
(775- 786 M), Harun al-Rasyid (786-809 M), al-Ma’mun (813-833 M), al-Mu’tashim
(833-842 M), al-Wasiq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M). Pada masa
al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian
melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga
dan besi. Terkecuali itu dagang transit antara Timur dan Barat juga banyak
membawa kekayaan. Bashrah menjadi pelabuhan yang penting. [4]
Popularitas
daulat Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun al-Rasyid (786-809
M) dan puteranya al-Ma’mun (813-833 M). Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun
al-Rasyid untuk keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan
farmasi didirikan. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang
dokter. Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan,
sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta
kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam
menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi. Al-Ma’mun,
pengganti al-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada
masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk
menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan
Kristen dan penganut agama lain yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah,
salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah,
pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan
yang besar. Pada masa al-Ma’mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan
dan ilmu pengetahuan.
Al-Mu’tashim,
khalifah berikutnya (833-842 M), memberi peluang besar kepada orang-orang Turki
untuk masuk dalam pemerintahan, keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara
pengawal. Tidak seperti pada masa daulat Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan
perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang muslim mengikuti perang sudah
terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional.
Dengan demikian, kekuatan militer dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat.
Walaupun
demikian, dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang
mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar.
Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa Bani Umayyah dan kalangan intern
Bani Abbas, revolusi al-Khawarij di Afrika Utara, gerakan Zindik di Persia, gerakan
Syi’ah, dan konflik antar bangsa dan aliran pemikiran keagamaan. Semuanya dapat
dipadamkan.
Dari gambaran
di atas Bani Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan pembinaan
peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Inilah perbedaan
pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah. Disamping itu, ada pula ciri-ciri
menonjol dinasti Bani Abbas yang tak terdapat di zaman Bani Umayyah.
Dengan
berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari
pengaruh Arab. Sedangkan dinasti Bani Umayyah sangat berorientasi kepada Arab.
Dalam periode pertama dan ketiga pemerintahan Abbasiyah, pengaruh kebudayaan
Persia sangat kuat, dan pada periode kedua dan keempat bangsa Turki sangat
dominan dalam politik dan pemerintahan dinasti ini.[5]
D.
Sebab-Sebab
Kemunduran Pemerintahan Bani Abbasiyah
Masa disintegrasi ini terjadi setelah
pemerintahan periode pertama Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya, pada
masa berikutnya pemerintahan dinasti ini mulai menurun, terutama di bidang
politik. Dimana salah satu sebabnya adalah kecenderungan penguasa untuk hidup
mewah dan kelemahan khalifah dalam memimpin roda pemerintahan.
Berakhirnya
kekuasaan dinasti Seljuk atas Baghdad atau khilafah Abbasiyah merupakan awal
dari periode kelima. Pada periode ini, khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di
bawah kekuasaan suatu dinasti tertentu, walaupun banyak sekali dinasti Islam
berdiri. Ada diantaranya yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah dinasti
kecil. Para khalifah Abbasiyah, sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi
hanya di Baghdad dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit ini
menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan Tartar
menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancurluluhkan tanpa perlawanan
yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini awal babak
baru dalam sejarah Islam, yang disebut masa pertengahan.
Sebagaimana
terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak
periode kedua. Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak
datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama,
hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak
sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila
khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil,
tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.[6]
Disamping
kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah
menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain.
Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Persaingan antar Bangsa
Khilafah
Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia.
Persekutuan dilatarbelakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa
Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah
berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut
Stryzewska, ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia
daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan
Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua,
orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya Nashabiyah (kesukuan).
Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas Nashabiyah
tradisional.
Meskipun
demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah
dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan
bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan
mereka menganggap rendah bangsa non-Arab di dunia Islam.
Selain itu,
wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama sangat luas, meliputi berbagai
bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan
India. Mereka disatukan dengan bangsa Semit. Kecuali Islam, pada waktu itu
tidak ada kesadaran yang merajut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut
dengan kuat. Akibatnya, disamping fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme
bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan syu’ubiyah.
Fanatisme
kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu,
para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia
atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Mereka diberi nasab dinasti dan
mendapat gaji. Oleh Bani Abbas, mereka dianggap sebagai hamba. Sistem
perbudakan ini telah mempertinggi pengaruh bangsa Persia dan Turki. Karena
jumlah dan kekuatan mereka yang besar, mereka merasa bahwa negara adalah milik
mereka; mereka mempunyai kekuasaan atas rakyat berdasarkan kekuasaan khalifah.
Kecenderungan
masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal
khalifah Abbasiyah berdiri. Akan tetapi, karena para khalifah adalah
orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik
dapat terjaga. Setelah al-Mutawakkil, seorang khalifah yang lemah, naik tahta,
dominasi tentara Turki tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas
sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi
ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode ketiga, dan
selanjutnya beralih kepada dinasti Seljuk pada periode keempat.[7]
2. Kemerosotan Ekonomi
Khilafah
Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan
kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas
merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar,
sehingga Bait al-Mal penuh dengan harta. Pertambahan dana yang besar diperoleh
antara lain dari al-Kharaj, semacam pajak hasil bumi.
Setelah
khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan negara menurun sementara
pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan
oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang
mengganggu perekonomian rakyat. diperingannya pajak dan banyaknya
dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti.
Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para
khalifah dan pejabat semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para
pejabat melakukan korupsi. Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan
perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah
kekuatan politik dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini saling berkaitan dan tak
terpisahkan.
3. Konflik Keagamaan
Fanatisme
keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Munculnya gerakan yang
dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah.
Al-Manshur berusaha keras memberantasnya. Al-Mahdi bahkan merasa perlu
mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang-orang Zindiq dan
melakukan mihnah (ujian) dengan tujuan memberantas bid’ah. Akan tetapi, semua
itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan
golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti
polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah
di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik
bersenjata itu.
Pada saat
gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran
Syi’ah, sehingga banyak aliran Syi’ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan
dianggap menyimpang oleh penganut Syi’ah sendiri. Aliran Syi’ah memang dikenal
sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah.
Antara keduanya sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan
penguasa. Al-Mutawakkil, misalnya, memerintahkan agar makam Husein di Karbela
dihancurkan. Namun anaknya, al-Muntashir (861-862 M.), kembali memperkenankan
orang syi’ah “menziarahi” makam Husein tersebut. Syi’ah pernah berkuasa di
dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti
Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi’ah
yang memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni. Konflik yang dilatarbelakangi
agama tidak terbatas pada konflik antara muslim dan zindiq atau Ahlussunnah
dengan Syi’ah saja, tetapi juga antar aliran dalam Islam. Mu’tazilah yang
cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bid’ah oleh golongan salaf.
Perselisihan antara dua golongan ini dipertajam oleh al-Ma’mun, khalifah
ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M.), dengan menjadikan mu’tazilah sebagai
mazhab resmi negara dan melakukan mihnah.[8]
Pada masa al-Mutawakkil (847-861), aliran Mu’tazilah dibatalkan sebagai aliran
negara dan golongan salaf kembali naik daun. Tidak tolerannya pengikut Hanbali
itu (salaf) terhadap Mu’tazilah yang rasional telah menyempitkan horizon
intelektual.[9]
Aliran
Mu’tazilah bangkit kembali pada masa dinasti Buwaih. Namun pada masa dinasti
Seljuk yang menganut aliran Asy’ariyyah, penyingkiran golongan Mu’tazilah mulai
dilakukan secara sistematis. Dengan didukung penguasa aliran Asy’ariyah tumbuh
subur dan berjaya. Pikiran-pikiran al-Ghazali yang mendukung aliran ini menjadi
ciri utama paham Ahlussunnah. Pemikiran-pemikiran tersebut mempunyai efek yang
tidak menguntungkan bagi pengembangan kreativitas intelektual Islam, konon
sampai sekarang. 4. Ancaman dari
Luar
Apa yang
disebutkan di atas adalah faktor-faktor internal. Disamping itu, ada pula
faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya
hancur. Pertama, Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode
dan menelan banyak korban. Kedua serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan
Islam. Sebagaimana telah disebutkan, orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk
ikut berperang setelah Paus Urbanus II (1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya.
Perang Salib itu juga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang
berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun, diantara komunitas-komunitas Kristen
Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon yang tertarik dengan Perang Salib dan
melibatkan diri dalam tentara Salib itu. Pengaruh Salib juga terlihat dalam
penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulagu Khan, panglima tentara
Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang
Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan
orang-orang Mongol yang anti Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahl
al-kitab. Tentara Mongol, setelah menghancurleburkan pusat-pusat Islam, ikut memperbaiki
Yerussalem.[10]
Ketika Daulat
Abbasiyah memasuki masa kemundurannya, yaitu dimasa Khalifah-khalifahnya tidak
berpengaruh lagi, diwaktu kekuasaan dipegang oleh Amir-amir bangsa Turki, makin
banyak daerah-daerah yang hendak melepaskan diri dari Daulat Abbasiyah.
Di Mesir:
1.
Daulat Bani Toulon pada tahun (254-292 H. =
868-905 M.).
2.
Daulat Bani Ikhsyid pada tahun (323-358 H. =
935-969 M.).
3.
Daulat Fathimiyyah pada tahun 358 H. = 969 M.
Di Persia dan Turkistan:
1. Daulat Bani
Safar (254 – 290 H. = 868 – 903 M.).
Daulat ini
didirikan oleh Ya’kub bin Laits As-Safary sebagai tandingan Daulat Bani Thahir
di Khurrasan, di zaman Al-Mu’taz bin Al-Mutawakkil Khalifah Abbasiyah yang
ketiga belas. Mulanya tidak ada minat bagi Ya’kub untuk melepaskan diri dari
Daulat Abbasiyah. Baginya cukuplah kalau ia dijadikan Amir saja oleh Khalifah
Khurrasan, agar ia dapat menaklukkan negeri-negeri yang dibawahi oleh Bani
Thahir. Akan tetapi setelah ia dijadikan Amir saja oleh Khalifah di Khurrasan,
agar ia dapat menaklukkan Persia, bahkan sampai hendak menaklukkan
daerah-daerah Khalifah sendiri.
Maksud itu
tercapanya di Persia, tapi khalifah tidak bisa ditundukkan, bahkan laskarnya
sendiri dihancurkan oleh tentara Khalifah Al-Mu’tamid, Khalifah Abbasiyah yang
kelima belas, dan ia sendiri terpaksa mundur sampai ke Persia. Daulat ini hanya
berusia 36 tahun.
2. Daulat Bani
Saman (261 – 389 H. = 874 – 999 M.).
Daulat ini
didirikan oleh Isma’il bin Saman, berasal dari kalangan bangsawan yang
dimuliakan di Persia. Ia mulai berpengaruh dalam Daulat Abbasiyah di zaman
Khalifah Al-Makmun, sehingga ia diangkat menjadi wali Turkistan. Ketika Daulat
Abbasiyah memasuki masa kemundurannya, pada masa Khalifah Al-Mu’tamid, Nasru
bin Akhmad cucu Saman melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad lalu mendirikan
kerajaan merdeka. Daulat Samaniyah ini dapat menaklukkan daerah-daerah yang
semula dikuasai oleh Daulat Safariyah.
Jasa para Amir
Bani Saman sangat besar dalam memajukan ilmu pengetahuan dan kebudayaan,
khususnya kebudayaan Persia. Di zaman mereka lahir beberapa ulama yang
mengarang beberapa buku pengetahuan seperti ilmu kedokteran, ilmu falak dan
filsafat. Ibnu Sina seorang filosuf Islam itu mengakui bahwa perpustakaan di
Bukhara ibukota Bani Samaniyah, penuh dengan buku-buku pengetahuan yang tidak
ternilai harganya. Ia menyaksikan sendiri ketika ia berziarah ke negeri
tersebut.
3. Daulat Bani
Buaihi (334 – 447 H. = 945 – 1055 M.).
Daulat ini
didirikan oleh tiga orang putera Buaihi, yaitu Ali, Hasan dan Akhmad,
ketiga-tiganya memimpin negeri Dailam. Mereka mulai muncul dalam politik pada
abad keempat Hijrah. Mereka mengabdi pada seorang panglima Dailam yang
mempunyai pengaruh besar di negeri-negeri pesisir laut Kaspia dan di tanah
Persia. Ketiga-tiganya disayangi oleh penglima itu sehingga mereka memperoleh
kekuasaan memerintah di tanah-tanah sebelah Selatan Persia dan sebelah Timur
Irak.
Ketika timbul
huru-hara di Bahdad, Khalifah Abbasiyah XXII Al-Mustakfi minta bantuan kepada
tiga orang putera Buaihi itu. Permintaan Khalifah itu dikabulkan mereka dan
mereka segera datang ke Baghdad, disambut oleh Khalifah dengan segala
kehormatan, lalu diserahi memegang kendali pemerintahan. Kepada Ali diberi
gelar ‘Imaduddaulah’, kepada Hasan ‘Ruknud Daulah’ dan kepada Akhmad ‘Mu’izzud
Daulah’. Nama gelar mereka masuk dalam
cap mata uang. Maka dengan demikian kekuasaan mereka sangat besar di kota
Baghdad. Ditangan mereka terletak segala perintah dan larangan, sedangkan
Khalifah hanya tinggal nama saja. Hal ini dilakukan juga untu menjaga
kehormatan dan martabat Khalifah dan kedudukan para pembesarnya agar mereka
tidak jatuh, walaupun memang tidak berkuasa lagi.
Putera Buaihi
yang semula memperoleh kekuasaan ialah ‘Mu’izaud Daulah’ Akhmad bin Buaihi,
putera bungsu. Dimasanya timbul permusuhan antara tentara Dailam dan laskar
Turki, dan perselisihan antara Ahlussunnah dan Syi’ah, sehingga kota Baghdad
dan beberapa kota di tanah Persia telah menjadi medan huru-hara dan permusuhan.
Kelemahan
Daulat Bani Abbas ini digunakan oleh orang-orang Byzantium untuk merebut
kembali daerah-daerah mereka yang telah hilang di Asia Kecil (bagian Barat Mesopotamia)
dan di Al-Jazirah, bahkan mereka sampai menyeberangi sungai Euphrat dan
mengancam kota Baghdad.
Lebih satu abad
lamanya keluarga Buaihi memegang kekuasaan di Irak Al-jazirah, Persia dan
pesisir laut Kaspia.
a.
Daulat Ghaznawiyah (351 – 582 H. = 962 – 1186
M.).
b.
Daulat Hamdaniyah (317 – 394 H. = 929 – 1003
M.).
c.
Daulat Bani Saljuk (447 – 965 H. = 1055 – 1258
M.).
E.
Sistem
Pemerintahan, Politik, Bentuk Negara dan Sosial
1.
Sistem Pemerintahan, Politik, dan Bentuk Negara
Pada zaman
Abbasiyah konsep kekhalifahan berkembang sebagai sistem politik. Menurut
pandangan para pemimpin Bani Abbasiyah, kedaulatan yang ada pada pemerintahan
(Khalifah) adalah berasal dari Allah, bukan dari rakyat sebagaimana diaplikasikan
oleh Abu Bakar dan Umar pada zaman khalifahurrasyidin. Hal ini dapat dilihat
dengan perkataan Khalifah Al-Mansur “Saya adalah sultan Tuhan diatas buminya “.
Pada zaman Dinasti Bani Abbasiyah, pola pemerintahan yang diterapkan
berbedabeda sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Sistem
politik yang dijalankan oleh Daulah Bani Abbasiyah I antara lain :
a.
Para Khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang
para menteri, panglima, Gubernur dan para pegawai lainnya dipilih dari
keturunan Persia dan mawali .
b.
Kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara,
yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi sosial dan kebudayaan.
c.
Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang
sangat penting dan mulia .
d.
Kebebasan berfikir sebagai HAM diakui
sepenuhnya .
e.
Para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh
untuk menjalankan tugasnya dalam pemerintah (Hasjmy, 1993:213-214).
Selanjutnya
periode II , III , IV, kekuasaan Politik Abbasiyah sudah mengalami penurunan,
terutama kekuasaan politik sentral. Hal ini dikarenakan negara-negara bagian (kerajaan-kerajaan
kecil) sudah tidak menghiraukan pemerintah pusat , kecuali pengakuan politik
saja . Panglima di daerah sudah berkuasa di daerahnya ,dan mereka telah mendirikan
atau membentuk pemerintahan sendiri misalnya saja munculnya Daulah-Daulah kecil,
contoh; daulah Bani Umayyah di Andalusia atau Spanyol, Daulah Fatimiyah. Pada
masa awal berdirinya Daulah Abbasiyah ada 2 tindakan yang dilakukan oleh para
Khalifah Daulah Bani Abbasiyah untuk mengamankan dan mempertahankan dari kemungkinan
adanya gangguan atau timbulnya pemberontakan yaitu : pertama, tindakan keras
terhadap Bani Umayah . dan kedua pengutamaan orang-orang turunan persi. Dalam
menjalankan pemerintahan, Khalifah Bani Abbasiyah pada waktu itu dibantu oleh
seorang wazir (perdana mentri) atau yang jabatanya disebut dengan wizaraat . Sedangkan
wizaraat itu dibagi lagi menjadi 2 yaitu: 1) Wizaraat Tanfiz (sistem pemerintahan
presidentil ) yaitu wazir hanya sebagai pembantu Khalifah dan bekerja atas nama
Khalifah. 2) Wizaaratut Tafwidl (parlemen kabimet). Wazirnya berkuasa penuh
untuk memimpin pemerintahan . Sedangkan Khalifah sebagai lambang saja . Pada
kasus lainnya fungsi Khalifah sebagai pengukuh Dinasti-Dinasti lokal sebagai
gubernurnya Khalifah (Lapidus,1999:180).
Selain itu,
untuk membantu Khalifah dalam menjalankan tata usaha negara diadakan sebuah
dewan yang bernama diwanul kitaabah (sekretariat negara) yang dipimpin oleh seorang
raisul kuttab (sekretaris negara). Dan dalam menjalankan pemerintahan negara, wazir
dibantu beberapa raisul diwan (menteri departemen-departemen). Tata usaha Negara
bersifat sentralistik yang dinamakan an-nidhamul idary al-markazy.
Selain itu,
dalam zaman daulah Abbassiyah juga didirikan angkatan perang, amirul umara,
baitul maal, organisasi kehakiman., Selama Dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan
yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi
dan budaya.
Berdasarkan
perubahan tersebut, para sejarawan membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah
menjadi 3 periode, yaitu :
1. Periode Pertama (750-847 M)
Pada periode
ini, seluruh kerajaan Islam berada di dibawah kekuasaan para Khalifah kecuali
di Andalusia. Adapun para Khalifah yang memimpin pada ini sebagai berikut :
a.
Abul Abbas as-saffah (750-754 M)
b.
Abu Ja’far al mansyur (754 – 775 M)
c.
Abu Abdullah M. Al-Mahdi bin Al Mansyur
(775-785 M)
d.
Abu Musa Al-Hadi (785—786 M)
e.
Abu Ja’far Harun Ar-Rasyid (786-809 M)
f.
Abu Musa Muh. Al Amin (809-813 M)
g.
Abu Ja’far Abdullah Al Ma’mun (813-833 M)
h.
Abu Ishak M. Al Muta’shim (833-842 M)
i.
Abu Ja’far Harun Al Watsiq (842-847 M)
j.
Abul Fadhl Ja’far Al Mutawakkil (847-861)
2. Periode kedua (232 H/847 M – 590 H/1194 M)
Pada periode
ini, kekuasaan bergeser dari sistem sentralistik pada system desentralisasi,
yaitu ke dalam tiga negara otonom :
a.
Kaum Turki (232-590 H)
b.
Golongan Kaum Bani Buwaih (334-447 H)
c.
Golongan Bani Saljuq (447-590 H)
Dinasti-Dinasti
di atas pada akhirnya melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa Khalifah
Abbassiyah.
3. Periode ketiga (590 H/1194 M – 656 H/1258 M)
Pada periode
ini, kekuasaan berada kembali ditangan Khalifah, tetapi hanya di baghdad dan
kawasan-kawasan sekitarnya. Sedangkan para ahli kebudayaan Islam membagi masa
kebudayaan Islam di zaman daulah Abbasiyah kepada 4 masa, yaitu :
1.
Masa Abbasy I, yaitu semenjak lahirnya Daulah
Bani Abbasiyah tahun 750 M, sampai meninggalnya Khalifah al-Wasiq (847 M).
2.
Masa Abbasy II, yaitu mulai Khalifah
al-Mutawakkal (847 M), sampai berdirinya daulah Buwaihiyah di Baghdad (946 M).
3.
Masa Abbasy III, yaitu dari berdirinya daulah
Buwaihiyah tahun (946 M) sampai masuk kaum Seljuk ke Baghdad (1055 M).
4.
Masa Abbasy IV, yaitu masuknya orang-orang
Seljuk ke Baghdad (1055 M), sampai jatuhnya Baghdad ke tangan Tartar di bawah
pimpinan Hulako (1268 M).
Dalam versi
yang lain yang, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani
Abbasiyah menjadi lima periode :
1. Periode pertama (750–847 M)
Pada periode
pertama pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya. Secara politis,
para Khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik
dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat
tertinggi.
Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu
pengetahuan dalam Islam. Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri Dinasti ini
sangat singkat, yaitu dari tahun 750 M sampai 754 M. Karena itu, pembina
sebenarnya dari Daulah Abbasiyah adalah Abu Ja’far al-Mansur (754–775 M). Pada
mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih
memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Mansur memindahkan ibu kota negara ke
kota yang baru dibangunnya, yaitu Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia,
Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan Dinasti bani
Abbasiyah berada ditengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini
al-Mansur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya. Dia mengangkat
sejumlah personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif.
Di bidang pemerintahan dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazir
sebagai koordinator departemen. Jabatan wazir yang menggabungkan sebagian
fungsi perdana menteri dengan menteri dalam negeri itu selama lebih dari 50
tahun berada di tangan keluarga terpandang berasal dari Balkh, Persia (Iran). Wazir
yang pertama adalah Khalid bin Barmak, kemudian digantikan oleh anaknya, Yahya bin
Khalid. Yang terakhir ini kemudian mengangkat anaknya, Ja’far bin Yahya,
menjadi wazir muda. Sedangkan anaknya yang lain, Fadl bin Yahya, menjadi
Gubernur Persia Barat dan kemudian Khurasan. Pada masa tersebut
persoalan-persoalan administrasi Negara lebih banyak ditangani keluarga Persia
itu. Masuknya keluaraga non Arab ini ke dalam pemerintahan merupakan unsur
pembeda antara Daulah Abbasiyah dan Daulah Umayyah yang berorientasi ke Arab.
Khalifah
al-Mansur juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian
negara di samping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad ibn Abd
al-Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah
ada sejak masa Dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas.
Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat, pada masa al-Mansur, jawatan pos
ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi
kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan
tingkah laku Gubernur setempat kepada Khalifah.
Khalifah
al-Mansur juga berusaha menaklukan kembali daerah-daerah yang sebelumnya
membebaskan diri dari pemerintahan pusat, dan memantapkan keamanan didaerah
perbatasan. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama genjatan
senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan.
Pada masa
al-Mansur pengertian Khalifah kembali berubah. Konsep khilafah dalam
Pandangannya dan berlanjut ke generasi sesudahnya merupakan mandat dari Allah,
bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut nabi sebagaimana pada masa al-Khulafa’
al-Rasyidin.
Popularitas
Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman Khalifah Harun al-Rasyid (786-809
M) dan putranya al-Ma’mun (813-833 M). Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun
al-Rasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan dokter dan
farmasi didirikan. Tingkat kemakmuran paling tinggi terwujud pada zaman Khalifah
ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan
serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara
Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi
(Yatim,2003:52-53). Dengan demikian telah terlihat bahwa pada masa Khalifah
Harun al-Rasyid lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari
pada perluasan wilayah yang memang sudah luas. Orientasi kepada pembangunan
peradaban dan kebudayaan ini menjadi unsur pembanding lainnya antara Dinasti
Abbasiyah dan DinastiUmayyah.
Al-Makmun,
pengganti al-Rasyid dikenal sebagai Khalifah yang sangat cinta kepada ilmu.
Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Ia juga mendirikan
sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan
Baital-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi
dengan perpustakaan yang besar. Pada masa al-Makmun inilah Baghdad mulai
menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Al-Muktasim,
Khalifah berikutnya (833-842 M) memberi peluang besar kepada orangorang Turki
untuk masuk dalam pemerintahan. Demikian ini di latar belakangi oleh adanya
persaingan antara golongan Arab dan Persia pada masa al-Ma’mun dan sebelumnya.
Keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa
Daulah Umayyah, Dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan.
Praktek
orang-orang Muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus
menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer
Dinasti Bani Abbasiyah menjadi sangat kuat.
Dalam periode
ini, sebenarnya banyak gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari
kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan
sisa-sisa Dinasti Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas dan lain-lain semuanya
dapat dipadamkan. Dalam kondisi seperti itu para Khalifah mempunyai prinsip kuat
sebagai pusat politik dan agama sekaligus. Apabila tidak, seperti pada periode sesudahnya,
stabilitas tidak lagi dapat dikontrol, bahkan para Khalifah sendiri berada dibawah
pengaruh kekuasaan yang lain.
2. Periode
kedua (847-945 M)
Perkembangan
peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai Dinasti Abbasiyah
pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan
cenderung mencolok. Kehidupan mewah para Khalifah ini ditiru oleh para hartawan
dan anak-anak pejabat. Demikian ini menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan
rakyat menjadi miskin. Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional
asal Turki yang semula diangkat oleh Khalifah al-Mu’tasim untuk mengambil alih
kendali pemerintahan. Usaha mereka berhasil, sehingga kekuasaan sesungguhnya berada
di tangan mereka, sementara kekuasaan Bani Abbas di dalam Khilafah Abbasiyah yang
didirikannya mulai pudar, dan ini merupakan awal dari keruntuhan Dinasti ini, meskipun
setelah itu usianya masih dapat bertahan lebih dari empat ratus tahun.
Khalifah
Mutawakkil (847-861 M) yang merupakan awal dari periode ini adalah seorang Khalifah
yang lemah. Pada masa pemerintahannya orang-orang Turki dapat merebut kekuasaan
dengan cepat. Setelah Khalifah al-Mutawakkil wafat, merekalah yang memilih dan
mengangkat Khalifah. Dengan demikian kekuasaan tidak lagi berada ditangan Bani
Abbas, meskipun mereka tetap memegang jabatan Khalifah. Sebenarnya ada usaha
untuk melepaskan diri dari para perwira Turki itu, tetapi selalu gagal. Dari
dua belas Khalifah pada periode kedua ini, hanya empat orang yang wafat dengan
wajar, selebihnya kalau bukan dibunuh, mereka diturunkan dari tahtanya dengan
paksa. Wibawa Khalifah merosot tajam. Setelah tentara Turki lemah dengan
sendirinya, di daerah-daerah muncul tokoh-tokoh kuat yang kemudian memerdekakan
diri dari kekuasaan pusat, mendirikan Dinasti-Dinasti kecil. Inilah permulaan
masa disintregasi dalam sejarah politik Islam.
Adapun
faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada periode ini
adalah sebagai berikut:
a.
Luasnya wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyah yang
harus dikendalikan, sementara komunikasi lambat. Bersamaan dengan itu, tingkat
saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat
rendah.
b.
Dengan profesionalisasi tentara, ketergantungan
kepada mereka menjadi sangat tinggi.
c.
Kesulitan keuangan karena beban pembiayaan
tentara sangat besar. Setelah Khalifah merosot, Khalifah tidak sanggup memaksa
pengiriman pajak ke Baghdad.
3. Periode ketiga (945 -1055 M)
Pada periode
ini, Daulah Abbasiyah berada di bawah kekuasaan Bani Buwaih. Keadaan Khalifah
lebih buruk dari sebelumnya, terutama karena Bani Buwaih adalah penganut aliran
Syi’ah. Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Bani
Buwaih membagi kekuasaannya kepada tiga bersaudara : Ali untuk wilayah bagian selatan
negeri Persia, Hasan untuk wilayah bagian utara, dan Ahmad untuk wilayah
Al-Ahwaz, Wasit dan Baghdad. Dengan demikian Baghdad pada periode ini tidak
lagi merupakan pusat pemerintahn Islam karena telah pindah ke Syiraz di masa
berkuasa Ali bin Buwaih yang memiliki kekuasaan Bani Buwaih.
Meskipun
demikian, dalam bidang ilmu pengetahuan Daulah Abbasiyah terus mengalami
kemajuan pada periode ini. Pada masa inilah muncul pemikir-pemikir besar seperti
al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu Maskawaih, dan kelompok studi Ikhwan
as-Safa. Bidang ekonomi, pertanian, dan perdagangan juga mengalami kemajuan.
Kemajuan ini juga diikuti dengan pembangunan masjid dan rumah sakit.
Pada masa Bani
Buwaih berkuasa di Baghdad, telah terjadi beberapa kali kerusuhan aliran antara
Ahlussunnah dan Syi’ah, pemberontakan tentara dan sebagainya.
4. Periode
keempat (1055-1199 M)
Periode ini
ditandai dengan kekuasaan Bani Seljuk atas Daulah Abbasiyah. Kehadiran Bani
Seljuk ini adalah atas undangan Khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaih
di Baghdad. Keadaan Khalifah memang membaik, paling tidak karena kewibawaannya
dalam bidang agama kembali setelah beberapa lama dikuasai oleh orangorang Syi’ah.
Sebagaimana
pada periode sebelumnya, ilmu pengetahuan juga berkembang pada periode ini.
Nizam al-Mulk, perdana menteri pada masa Alp Arselan dan Malikhsyah, mendirikan
Madrasah Nizamiyah (1067 M) dan madrasah Hanafiyah di Baghdad. Cabangcabang Madrasah
Nizamiyah didirikan hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan.
Madrasah ini
menjadi model bagi perguruan tinggi dikemudian hari. Dari madrasah ini telah
lahir banyak cendekiawan dalam berbagai disiplin ilmu. Di antara para
cendekiawan Islam yang dilahirkan dan berkembang pada periode ini adalah
al-Zamakhsari, penulis dalam bidang Tafsir dan Ushul al-Din (teologi),
Al-Qusyairi dalam bidang tafsir, al-Ghazali dalam bidang ilmu kalam dan
tasawwuf, dan Umar Khayyam dalam bidang ilmu perbintangan.
Dalam bidang
politik, pusat kekuasaan juga tidak terletak di kota Baghdad. Mereka membagi
wilayah kekuasaan menjadi beberapa propinsi dengan seorang Gubernur untuk mengepalai
masing-masing propinsi tersebut. Pada masa pusat kekuasaan melemah, masing-masing
propinsi tersebut memerdekakan diri. Konflik-konflik dan peperangan yang terjadi
di antara mereka melemahkan mereka sendiri, dan sedikit demi sedikit kekuasaan politik
Khalifah menguat kembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan mereka tersebut
berakhir di Irak di tangan Khawarizm Syah pada tahun 590 H/ 1199 M.
5. Periode
kelima (1199-1258 M)
Berakhirnya
kekuasaan Dinasti Seljuk atas Baghdad atau khilafah Abbasiyah merupakan awal
dari periode kelima. Pada periode ini, khilafah Abbasiyah tidak lagi berada di
bawah kekuasaan Dinasti tertentu, walaupun banyak sekali Dinasti Islam berdiri.
Ada di antaranya yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah Dinasti kecil.
Para Khalifah Abbasiyah sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di
Baghdad dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan Khalifah yang sempit ini menunjukkan
kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan Tartar menyerang
Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancur luluhkan tanpa perlawanan yang
berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini awal babak baru
dalam sejarah Islam, yang disebut masa pertengahan. Sebagaimana terlihat dalam
periodisasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua.
Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran ini tidak datang secara
tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena
Khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang.
Dalam sejarah
kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila Khalifah kuat, para menteri cenderung
berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika Khalifah lemah, mereka akan berkuasa
mengatur roda pemerintahan.
2.
Sistem Sosial
Pada masa ini,
sistem sosial adalah sambungan dari masa sebelumnya (Masa Dinasti Umaiyah).
Akan tetapi, pada masa ini terjadi beberapa perubahan yang sangat mencolok,
yaitu
a.
Tampilnya kelompok mawali dalam pemerintahan
serta mendapatkan tempat yang sama dalam kedudukan sosial
b.
Kerajaan Islam Daulah Abbasiyah terdiri dari
beberapa bangsa ang berbeda-beda (bangsa Mesir, Syam, Jazirah Arab dll.)
c.
Perkawina campur yang melahirkan darah campuran
d.
Terjadinya pertukaran pendapat, sehingga muncul
kebudayaan baru .
F.
Kronologi
Kekhalifahan Bani Abbasiyyah
§
752 – Bermulanya Kekhalifahan Bani Abbasiyah.
§
755 – Pemberontakan Abdullah bin Ali.
Pembunuhan Abu Muslim.
§
756 – Abd ar-Rahman I mendirikan kerajaan Bani
Umayyah di Spanyol.
§
763 – Pembangunan kota Bagdad. Kekalahan
tentara Abbasiyyah di Spanyol.
§
786 – Harun ar-Rasyid menjadi Khalifah.
§
792 – Serangan ke utara Perancis.
§
800 – Kaidah keilmuan mulai terbentuk. Aljabar
diciptakan oleh Al-Khawarizmi.
§
805 – Kampanye melawan Byzantium. Merebut Pulau
Rhodes dan Siprus.
§
809 – wafatnya Harun ar-Rasyid. al-Amin
dilantik menjadi khalifah.
§
814 – Perang saudara antara al-Amin dan
al-Ma’mun. al-Amin terbunuh dan al-Ma’mun menjadi khalifah.
§
1000 – Masjid Besar Cordoba dibangun oleh Abd
al-Rahman al-Nashir.
§
1005 – Multan dan Ghur ditawan.
§
1055 – Baghdad dikuasai oleh tentara Turki
Seljuk. Pemerintahan Abbasiyah-Seljuk dimulai sampai sekitar tahun 1258 ketika
tentara Mongol menghancurkan Baghdad.
§
1085 – Tentara Kristen menawan Toledo, Spanyol.
§
1091 – Bangsa Norman merebut Sisilia, pemerintahan
Muslim di sana berakhir.
§
1095 – Perang Salib pertama dimulai.
§
1099 – Tentara Salib merebut Baitulmuqaddis.
Mereka membunuh semua penduduknya.
§
1144 – Nur al-Din merebut Edessa dari tentara
Salib. Perang Salib Kedua dimulai.
§
1187 – Salahuddin Al-Ayubbi merebut
Baitulmuqaddis dari tentara Salib. Perang Salib Ketiga dimulai.
§
1194 – Tentara Muslim merebut Delhi, India.
§
1236 – Tentara Salib merebut Cordoba, Spanyol.
§
1258 – Tentara Mongol menyerang dan memusnahkan
Baghdad. Ribuan penduduk terbunuh. Kejatuhan Baghdad. Tamatnya pemerintahan
Kerajaan Bani Abbasiyyah di Baghdad.[11]
Peta Kekuasaan Bani Abbasyiah
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
§
Dinasti abbasiyah berkuasa sejak tahun 132 H – 656 H.
§ Bidang-bidang ilmu
pengetahuan umum yang berkembang pada masa dinasti abbasiyah yaitu filsafat,
ilmu kalam, ilmu kedokteran, ilmu kimia, ilmu hisab, sejarah, ilmu bumi dan
astronom.
§
Bidang-bidang ilmu pengetahuan keagamaan berkembang pada
masa ini yaitu: ilmu hadist, ilmu tafsir, ilmu fiqih, tasawuf.
§
Dinamakan khilafah bani Abbasiyah karena para
pendiri dan penguasanya adalah keturunan al Abbas paman Nabi Muhammad SAW.
Dinasti ini didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah
ibn Abbas. Berdirinya Dinasti ini tidak terlepas dari keamburadulan Dinasti
sebelumnya, dinasti Umaiyah.
§
Pada mulanya ibu kota negera adalah
al-Hasyimiyah dekat kufah. Namun untuk lebih memantapkan dan menjaga
setabilitas Negara al-Mansyur memindahkan ibu kota Negara ke Bagdad. Dengan
demikian pusat pemerintahan dinasti Abasiyah berada di tengah-tengah bangsa
Persia. Al-Mansyur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya. Dia
mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan
yudikatif.
§
Puncak perkembangan dinasti Abbasiyah tidak
seluruhnya berawal dari kreatifitas penguasa Bani Abbasiyah sendiri. Sebagian
diantaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan
misalnya di awal Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Namun
lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abas dengan
berdirinya perpustakaan dan akademi.
§
Pada beberapa dekade terakhir, daulah Abbasiyah
mulai mengalami kemunduran, terutama dalam bidang politiknya, dan akhirnya
membawanya pada perpecahan yang menjadi akhir sejarah daulah abbasiyah.
B. Saran
Dengan
selesainya makalah ini kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang ikut andil dalam penulisan makalah ini. Tak lupa kami menyadari bahwa
dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan
kritik yang membangun selalu kami tunggu dan kami perhatikan.
[3] Harun
Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, (Jakarta : UI Press, 2005), h.
63
[4] Badri Yatim,
op cit, hal 52
[7]
http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/10/1/pustaka-149.html
[8] Mihnah adalah
semacam pengujian terhadap paham Mu’tazilah kepada para hakim dan Ulama. Ujian
ini diperintahkan oleh al-Ma’mun untuk diselenggarakan di masing-masing wilayah
kekuasaan Abbasiyah oleh para gubernur penguasa setempat. Menurut Mutazilah
bahwa al-Qur’an tidaklah qadim, pandangan yang menyatakan bahwa Qur’an qadim
berarti menduakan yang qadim (Allah), dan menduakan Allah berarti syirik. Dalam
pandangan al-Ma’mun sebagai khalifah yang berkuasa, orang-orang syirik tidak
boleh menjadi pejabat pemerintahan dan pemuka agama
[9]
http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/10/1/pustaka-149.html
[10]
http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/10/1/pustaka-149.html
Mohon izin share n copy akhi
BalasHapusassalmu'alaikum mau bertanya ada gambar lebih jelasnya (Petany)
BalasHapus