ILMU
MUKHTALIF AL-HADITS WA MUSYKILUH
(علم مختلف الحديث ومشكله)
Oleh Nanang Suhendar[1]
Hadis diyakini oleh sebagian besar umat
Islam sebagai sumber kedua ajaran agama Islam setelah al-Qur'an। Keyakinan ini mengharuskan umat Islam menjadikan hadis sebagai
pedoman hidup, karena ia juga merupakan tuntunan Allah। Sebagai salah satu sumber ajaran Islam, secara prinsip hadis tidak
mungkin bertentangan dengan dalil lain, baik dengan sesama hadis, dalil
al-Qur`an maupun rasio, sebab kebenaran tidak akan bertentangan dengan
kebenaran। Seandainya ada pertentangan, maka hal itu
hanya tampak di luarnya saja.
Berangkat dari prinsip ini, maka timbul
upaya para ulama untuk menyelesaikan persoalan ketika mendapati teks-teks hadis
yang tampak bertentangan। Hadis-hadis
yang tampak bertentangan ini biasa disebut dengan istilah Ikhtilâf atau
Mukhtalif al-Hadîs। Mukhtalif artinya yang bertentangan atau
berselisih. Mukhtalif AI-Hadis artinya hadis yang sampai kepada kita, namun
saling bertentangan maknanya satu sama lain. Al-Qaththan mengartikan mukhtalif
al-hadis sebagai hadis yang diterima, namun pada zahirnya kelihatan
bertentangan dengan hadis maqbul lainnya dalam maknanya, sekalipun memungkinkan
untuk dikompromikan antara keduanya. Sementara menurut Nuruddin 'Itr,
hadis-hadis mukhtalif ialah hadis-hadis yang secara lahiriah bertentangan
dengan kaidah-kaidah yang baku, sehingga mengesankan makna yang batil atau
bertentangan dengan nas-nas syara yang lain.
Dalam kajian hadis, masalah ini dibahas
oleh Ilmu Mukhtalîf al-Hadîs, salah satu cabang Ulum al-Hadis। Ilmu mukhtalif al-Hadis adalah Ilmu yang membahas hadis-hadis yang
secara tekstual/lahiriah saling bertentangan, namun hakikatnya bisa
dikompromikan, baik dengan cara memberi taqyid (batasan) kepada yang mutlaq
(tak terbatas) atau memberi takhsis (pengkhususan) kepada yang `am (umum), atau
membawanya kepada berbagai konteks peristiwa atau cara yang lain. Di samping
hadis-hadis yang mukhtalif, ada juga yang disebut hadis musykil। Muhammad 'Ajjaj al-Khathib mendefiniskan ilmu Ilmu Mukhtalîf
al-Hadîs wa Musykiluh sebagai:
الْعِلْمُ الَّذِيْ
يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ ظَاهِرُهَا مُتَعَارِضٌ فَيُزِيْلُ تَعَارُضَهَا
أَوْ يُوَفِّقُ بَيْنَهَا كَمَا يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ يَشْكُلُ فَهْمُهَا
أَوْ تَصَوُّرُهَا فَيَدْفَعُ أَشْكَالَهَا وَيُوَضِّحُ حَقِيْقَتَهَا
Ilmu yang membahas hadis-hadis yang
tampaknya saling bertentangan, lalu menghilangkan pertentangan itu, atau
mengkompromikannya, di samping membahas hadis yang sulit dipahami atau
dimengerti, lalu menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya
Ilmu Mukhtalif Al-Hadis ini telah
mendapat perhatian serius sejak masa sahabat, yang menjadi rujukan utama segala
persoalan setelah Rasulullah वफात.।Kajian tentang hadis-hadis yang bertentangan ini merupakan hal yang
sangat penting bagi para pengkaji hadis। Tidak ada yang mahir dalam bidang ini, kecuali imam Hadis yang
tajam analisisnya।
Berbagai hadis yang mukhtalif telah
dihimpun oleh ulama dalam kitab-kitab khusus। Sejarah mencatat bahwa ulama yang mempelopori kegiatan penghimpunan
itu adalah Imam al-Syafi`i dengan karyanya Ikhtilaf al-Hadis. Disusul kemudian
oleh Ibn Qutaibah dengan kitabnya Ta'wil Mukhtalif al-Hadis. Lalu al-Thahawi
dengan judul kitabnya Musykil al-Asar, kemudian Ibnu Khuzaimah, Ibn Jarir dan
Ibn al-Jauzi.
Para ulama sependapat bahwa hadis-hadis
yang tampak bertentangan harus diselesaikan sehingga hilanglah pertentangan
itu. Hanya saja dalam menyelesaikan pertentangan tersebut, ulama berbeda
pendapat. Makalah sederhana ini akan coba membahas—meskipun sepintas—bagaimana
menyikapi hadis-hadis yang tampak bertentangan itu.
Definisi Ilmu Mukhtalif Al-Hadits
Menurut Ajjaj al-Khathib, bahwa Ilmu
Mukhtalif Al-Hadits, ialah:
الْعِلْمُ الَّذِيْ يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ ظَاهِرُهَا
مُتَعَارِضٌ فَيُزِيْلُ تَعَارُضَهَا أَوْ يُوَفِّقُ بَيْنَهَا كَمَا يَبْحَثُ فِى
اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ يَشْكُلُ فَهْمُهَا أَوْ تَصَوُّرُهَا فَيَدْفَعُ
أَشْكَالَهَا وَيُوَضِّحُ حَقِيْقَتَهَا
Ilmu yang membahas hadits-hadits, yang
menurut lahirnya saling bertentangan atau berlawanan, kemudian pertentangan
tersebut dihilangkan atau dikompromikan antara keduanya, sebagaimana yang
membahas hadits-hadits yang sulit dipahami kandungannya, dengan menghilangkan
kesulitannya serta menjelaskan hakikatnya[2].
Dari pengertian ini dapat dipahami, bahwa
dengan menguasai ilmu mukhtalif al-hadits, hadits-hadits yang tampaknya
bertentangan akan diatasi dengan menghilangkan pertentangan dimaksud. Begitu
juga kemusykilan yang terlihat dalam suatu hadits, akan segera dapat
dihilangkan dan ditemukan hakikat dari kandungan hadits tersebut.
Definisi yang lain menyebutkan sebagai
berikut:
علم يبحث عن الاحاديث التي ظاهرها التناقض من حيث امكان الجمع
بينهاامابتقييد مطلقها اوبتخصيص عامها عامها اوحملها على تعدد الحادثة اوغيرذلك
Ilmu yang membahas hadits-hadits yang
menurut lahirnya saling bertentangan, karena adanya kemungkinan dapat
dikompromikan, baik dengan cara mentaqyid kemutlakannya, atau mentakhsis
keumumannya, atau dengan cara membawanya kepada beberapa kejadian yang relevan
dengan hadits tersebut, dan lain-lain[3].
Sebagian ulama menyamakan istilah ilmu
mukhtalif al-hadits dengan ilmumusykil al-hadits, ilmu ta’wil al-hadits, ilmu
talfiq al-hadits, dan ilmu ikhtiaf al-hadits. Akan tetapi yang dimaksudkan oleh
istilah-istilah di atas, artinya sama[4].
Sasaran ilmu ini mengarah pada
hadits-hadits yang saling berlawanan untuk dikompromikan kandungannya dengan
jalan membatasi (taqyid) kemutlakannya dan seterusnya. Atau yang dalam kitab
Manhal al-Lathif biasa disebut
al-ahadits allatimutadhadan fi al-ma’na bi hasabi azh-zhahiry[5].
Ilmu ini tidak akan muncul kecuali dari orang yang menguasai hadits dan fiqih[6].
Disebutkan bahwa Imam asy-Syafi`i (w. 204 H.) adalah ulama yang memelopori
munculnya disiplin ilmu mukhtalif al-hadits. Hal ini terlihat dalam karya
besarnya “al-Umm”, meskipun beliau tidak secara khusus mengarang kitab
mukhtalif al-hadits, tetapi di dalam kitab al-Umm beliau mencantumkan
pembahasan khusus tentang mukhtalif al-hadîts.
Jadi, ilmu ini berusaha untuk
mempertemukan (talfiq al-hadits) dua atau lebih hadits yang bertentangan
maknanya. Adapun cara-cara mengkompromikan hadits tersebut adakalanya dengan
men-taqyid kemutlakan hadits, men-takhishkeumumannya, atau adakalanya dengan
memilih sanad yang lebih kuat atau yang lebih banyak datangnya. Ilmu ini sangat
dibutuhkan oleh ulama hadits, ulama fiqh, dan lain-lain.
Sebagai contoh adalah dua hadits shahih
di bawah ini:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا أَبُو جَنَابٍ عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ
عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا
عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ قَالَ فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ الْبَعِيرَ يَكُونُ بِهِ الْجَرَبُ فَتَجْرَبُ
الْإِبِلُ قَالَ ذَلِكَ الْقَدَرُ فَمَنْ أَجْرَبَ الْأَوَّلَ (رواه احمد)
“Telah menceritakan kepada kami Waki'
telah menceritakan kepada kami Abu Janab dari Ayahnya dari Ibnu Umar ia
berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak
ada penyakit menular, thiyarah (firasat buruk) dan burung hantu." Lalu
seorang laki-laki menghadap beliau dan bertanya, "Wahai Rasulullah,
bagaimana pendapatmu dengan unta yang terkena penyakit kudis hingga seluruh
unta terkena kudis?" Beliau menjawab: "Itulah takdir, lalu siapakah
yang menulari unta pertama?” (HR. Ahmad).
Secara lahirnya bertentangan dengan
hadits:
فر من المجذوم كما تفرمن الاسد (رواه البخارى ومسلم)
Larilah dari orang yang sakit lepra,
sebagaimana kamu lari dari singa…(HR. Bukhari-Muslim).
Para ulama mencoba mengkompromikan dua
hadits ini, antara lain:
1.
Ibnu Al-Shalih menta’wilkan bahwa penyakit itu tidak dapat menular
dengan sendirinya. Tetapi Allah-lah yang menularkannya dengan perantaraan
(misalnya) adanya percampuran dengan orang yang sakit, melalui sebab-sebab yang
berbeda-besa.
2.
Al-Qadhi Al-Baqillani berpendapat bahwa ketetapan adanya penularan dalam
penyakit lepra dan semisalnya itu, adalah merupakan kekhususan bagi ketiadaan
penularan. Dengan demikian arti rangkaian kalimat, “la ‘adwa” itu, selain
penyakit lepra dan semisalnya. Jadi seolah-olah Rasul Saw, mengatakan: “Tak ada
suatu penyakit pun yang menular, selain apa yang telah kami terangkan apa saja
yang dapat menular”.
B.
Seputar Ilmu Mukhtalif Al-hadits dan Musykil
Dalam penjelasan mengenai ilmu ini,
nantinya akan berkaitan dengan hadits-hadits mukhtalif, atau bisa disebut
sebagai objek kajian daripada disiplin ilmu ini. Oleh karenanya perlu adanya
penjelasan tentang hadits mukhtalif tersebut.
Hadits mukhtalif adalah hadits-hadits
yang mengalami pertentangan satu sama lain. Namun di antara pertentangan itu
hanya terdapat pada zhahirnya saja, dan ketika ditelusuri sebenarnya masih
memungkinkan untuk dikompromikan. Sementara menurut Nuruddin ‘Itr,
hadits-hadits mukhtalif ialah
hadits-hadits yang secara lahiriah bertentangan dengan kaedah-kaedah yang baku,
sehingga mengesankan makna yang batil atau bertentangan dengan nash-nash syara’
yang lain[7].
Atau lebih jelasnya tentang mukhtalif
ini adalah adanya peretentangan dengan al-Quran, akal, sejarah, atau
ilmu pengetahuan dan sains modern. Dan yang termasuk dalam pengertian hadits
mukhtalif adalah hadits-hadits yang sulit dipahami (musykil)[8].
Dr. Abu al-Layth mendefinisikan hadits musykil sebagai hadits maqbul (shahih
dan hasan) yang tersembunyi maksudnya karena adanya sebab dan hanya diketahui
setelah merenungkan maknanya atau dengan adanya dalil yang lain. Dinamakan musykil
karena maknanya yang tidak jelas dan sukar dipahami oleh orang yang bukan
ahlinya[9].
Ibn Furak (w. 406 H.) dalam kitabnya yang
berjudul Musykil al-Hadits wa Bayanuh, berpendapat bahwa hadits musykil adalah
hadits yang tidak dapat dengan jelas dipahami tanpa menyertakan penjelasan
lain, seperti hadits-hadits yang kandungannya berisi tentang hal-hal yang
berkaitan dengan Dzat Allah, sifat-sifat maupun perbuatan-Nya yang menurut akal
tidak layak dikenakan penisbatannya kepada-Nya kecuali setelah dilakukan ta’wil
terhadap haditst-haditst tersebut.
C.
Sebab–sebab yang Melatarbelakangi Adanya Hadits Mukhtalif
1. Faktor
Internal, yaitu berkaitan dengan internal dari redaksi hadits tersebut. Biasanya
terdapat ‘illat (cacat) di dalam hadits tersebut yang nantinya kedudukan hadits
tersebut menjadi dha’if. Dan secara otomatis hadits tersebut ditolak ketika
hadits tersebut berlawanan dengan hadits shahih.
2. Faktor
Eksternal, yaitu faktor yang disebabkan oleh konteks penyampaian dari Nabi,
yang mana menjadi ruang lingkup dalam hal ini adalah waktu, dan tempat di mana
Nabi menyampaikan haditsnya.
3. Faktor
Metodologi, yakni berkaitan dengan bagaimana cara dan proses seseorang memahami
hadits tersebut. Ada sebagian dari hadits yang dipahami secara tekstual dan
belum secara kontekstual, yaitu dengan kadar keilmuan dan kecenderungan yang
dimiliki oleh seorang yang memahami hadits, sehingga memunculkan hadits-hadits
yang mukhtalif.
4. Faktor
Ideologi, yakni berkaitan dengan ideologi atau manhaj suatu madzhab dalam
memahami suatu hadits, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan dengan
berbagai aliran yang sedang berkembang[10].
D.
Metode Penyelesaian Hadits Mukhtalif
1.
Metode al-Jam’u wa at-Taufiq
Metode ini dinilai lebih baik daripada
melakukan tarjih (mengumpulkan salah satu dari dua hadits yang tampak
bertentangan). Metode al-jam’u wa at-taufiq ini tidak berlaku bagi
hadits–hadits dha’îf (lemah) yang bertentangan dengan hadits–hadits yang shahih.
Contoh aplikasi dari metode al-jam’u wa
at-taufiq adalah hadits tentang cara berwudhu Rasulullah Saw,. Hadits pertama
menyatakan bahwa Rasulullah Saw. berwudhu dengan cara membasuh wajah dan kedua
tangannya, serta mengusap kepala satu kali, sebagaimana tampak dalam hadits
berikut ini:
حَدَّثَنَا الْرَّبِيْعُ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا الْشَّافِعِيُّ ،
قَالَ : أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ ، عَنْ زَيْدِ بْنِ
أَسْلَمَ ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَضَّأَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ،
وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ مَرَّةً مَرَّةً. اختلاف الحديث – ج ١ ص ٦
Ar-Rabi’ telah bercerita kepada kami, dia
berkata: Imam asy-Syafi’i memberi kabar kepada kami, Ia berkata: Abdul Aziz ibn
Muhammad telah memberi kabar kepada kami dari Zaid ibn Aslam dari Atha’ ibn
Yasar dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Saw. berwudhu membasuh wajah dan kedua
tangannya, serta mengusap kepala satu kali-satu kali (H.R. asy-Syafi’i).
Sementara dalam riwayat lain dinyatakan
bahwa Nabi Saw. berwudhu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta
mengusap kepala tiga kali, sebagaimana terbaca dalam hadits berikut ini:
أَخْبَرَنَا الْشَّافِعِيُّ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ
عُيَيْنَةَ ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى
عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
تَوَضَّأَ ثَلاَثًا ثَلاَثًا.اختلاف الحديث – ج ١ ص٧
Imam Asy-Syafi’i telah memberi kabar
kepada kami, dia berkata Sufyan ibn ‘Uyainah telah memberi kabar kepada kami,
dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya, dari Hamran maula “Utsman ibn ‘Affan bahwa
Nabi Saw. berwudhu dengan mengulangi tiga kali (dalam membasuh dan mengusap).
(HR Asy-Syafi’i).
Kedua riwayat tersebut tampak
bertentangan namun keduanya sama-sama shahih dan akhirnya diselesaikan dengan
metode al-Jam’u wa at-Taufîq dengan komentar Imam asy-Syafi’i dalam kitab
Ikhtilaf al- Hadits :
قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلاَ يُقَالُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذِهِ
الأَحَادِيثِ: مُخْتَلِفٌ مُطْلَقًا، وَلَكِنَّ الْفِعْلَ فِيهَا يَخْتَلِفُ مِنْ
وَجْهِ أَنَّهُ مُبَاحٌ لاِخْتِلاَفِ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ ، وَالأَمْرِ
وَالنَّهْيِ، وَلَكِنْ يُقَالُ: أَقَلُّ مَا يَجْزِي مِنَ الْوُضُوءِ مَرَّةٌ،
وَأَكْمَلُ مَا يَكُونُ مِنَ الْوُضُوءِ ثَلاَثٌ. اختلاف الحديث – ج ١ ص٧
Dengan terjemahan bebasnya adalah Imam
asy-Syafi’i berkata: “hadits-hadits itu tidak bisa dikatakan sebagai hadits
yang benar–benar kontradiktif. Akan tetapi bisa dikatakan bahwa berwudhu dengan
membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali, sudah
mencukupi, sedangkan yang lebih sempurna dalam berwudhu adalah mengulanginya
tiga kali (dalam hal membasuh wajah dan mengusap tangan serta mengusap
kepala)10“.
2. Metode Tarjih
Metode ini dilakukan setelah upaya
kompromi tidak memungkinkan lagi. Maka seorang peneliti perlu memilih dan
mengunggulkan mana di antara hadits-hadits yang tampak bertentangan yang
kualitasnya lebih baik. Sehingga hadits yang lebih berkualitas itulah yang
dijadikan dalil.
Harus diakui bahwa ada beberapa matan
(teks) hadits yang saling bertentangan. Bahkan ada juga yang benar-benar
bertentangan dengan al-Quran. Antara lain adalah hadits tentang nasib bayi
perempuan yang dikubur hidup-hidup akan berada di neraka. Sebagai contoh adalah
hadits berikut ini:
الْوَائِدَةُ وَالْمَوْؤُودَةُ فِي النَّارِ
Perempuan yang mengubur bayi hidup-hidup
dan bayinya akan masuk neraka (HR Abu Dawud).
Hadits tersebut diriwayatkan oleh imam
Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud dan Ibn Abi Hatim. Konteks munculnya hadits tersebut
(Sabab Wurudnya) adalah bahwa Salamah Ibn Yazid al-Ju’fi pergi bersama
saudaranya menghadap Rasulullah Saw,. Seraya bertanya: “Wahai Rasul
sesungguhnya saya percaya Malikah itu dahulu orang yang suka menyambung
silaturrahmi, memuliakan tamu, tetapi ia meninggal dalam keadaan jahiliyah. Apakah
amal kebaikannya itu bermanfaat baginya? Nabi menjawab: tidak. Kami berkata:
dahulu ia pernah mengubur saudaranya perempuanku hidup-hidup di zaman
Jahiliyah. Apakah amal akan kebaikannya bermanfaat baginya? Nabi menjawab:
orang yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup dan anak yang dikuburnya
berada di neraka, kecuali jika perempuan yang menguburnya itu masuk Islam, lalu
Allah memaafkannya. Demikian hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan an-
Nasa’i, dan dinilai sebagai hadits hasan secara sanad oleh Imam Ibnu Katsir[11].
Hadits tersebut dinilai musykil dari sisi
matan dan mukhtalif dengan al-Quran surat at-Takwir/81: 8-9 :
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ
Dan apabila bayi–bayi perempuan yang
dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh?
Kalau seorang perempuan yang mengubur
bayinya itu masuk ke neraka dapat dikatakan logis, tetapi ketika sang bayi yang
tidak tahu apa-apa itu juga masuk ke neraka, masih perlu adanya tinjauan ulang.
Maka dari itu, hadits tersebut harus ditolak meskipun sanadnya hasan, dan juga
karena adanya pertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat nilainya, yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Nabi pernah ditanya oleh paman Khansa’, anak
perempuan al- Sharimiyyah: Ya Rasul, siapa yang akan masuk surga? Beliau
menjawab: Nabi Muhammad Saw. akan masuk surga, orang yang mati syahid juga akan
masuk surga, anak kecil juga akan masuk surga, anak perempuan yang dikubur
hidup-hidup juga akan masuk surga. (HR. Ahmad.)
3. Metode Nasikh-Mansukh
Jika ternyata hadits tersebut tidak mungkin
ditarjih, maka para ulama menempuh metode nasikh-mansukh (pembatalan). Maka
akan dicari makna hadits yang lebih datang terlebih dahulu dan makna hadits
yang datang kemudian. Otomatis yang datang lebih awal di-naskh dengan yang
datang kemudian.
Secara bahasa naskh bisa berarti
menghilangkan (al-izalah), bisa pula berarti al-naql (memindahkan). Sedangkan
secara istilah naskh berarti penghapusan yang dilakukan oleh Syari’ (pembuat
syari’at; yakni Allah dan Rasulullah Saw.) terhadap ketentuan hukum syari’at
yang datang terlebih dahulu dengan dalil syar’i yang datang kemudian. Dengan
definisi tersebut, berarti bahwa hadits-hadits yang sifatnya hanya sebagai
penjelasnya (bayan) dari hadits yang bersifat global atau hadits-hadits yang
memberikan ketentuan khusus (takhsish) dari hal-hal yang sifatnya umum, tidak
dapat dikatakan sebagai hadits nasikh (yang menghapus).
Namun perlu diingat bahwa proses naskh
dalam hadits hanya terjadi di saat nabi Muhammad Saw. masih hidup. Sebab yang
berhak menghapus ketentuan hukum syara’, sesungguhnya hanyalah Syari’, yakni
Allah dan Rasulullah s.a.w.. Naskh hanya terjadi ketika pembentukan syari’at
sedang berproses. Artinya, tidak akan terjadi setelah ada ketentuan hukum yang
tetap (ba’da istiqrar al-hukm).
Salah satu contoh dua hadits yang saling
bertentangan dan bisa diselesaikan dengan metode nasikh-mansukh adalah hadits
tentang hukum makan daging kuda:
أَخْبَرَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ قَالَ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ عَنْ
ثَوْرِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ صَالِحِ بْنِ يَحْيَى بْنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي
كَرِبَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْخَيْلِ
وَالْبِغَالِ وَالْحَمِيرِ وَكُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ وَنَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ قَالَا حَدَّثَنَا
سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ جَابِرٍ قَالَ أَطْعَمَنَا رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لُحُومَ الْخَيْلِ وَنَهَانَا عَنْ
لُحُومِ الْحُمُرِ.
Dua hadits di atas terlihat saling
bertantangan, hadits pertama berisi tentang larangan makan daging kuda yang
sekaligus menjadikan ia haram. Hadîts kedua menunjukkan kebolehan memakan
daging kuda. Pertentangan ini tidak boleh tidah hatus dihilangkan dengan cara
naskh. Hukum keharaman makan daging kuda pada hadîts pertama telah di-naskh-kan
oleh hukum kobolehan makan daging kuda pada hadîts Jâbir ibn ‘Abdillah yang
datang setelahnya[12].
4. Metode Ta’wil
Metode ini bisa menjadi salah satu
alternatif baru dalam menyelesaikan hadits-hadits yang bertentangan. Sebagai
contoh hadits tentang lalat. Hadits tersebut dinilai kontradiktif dengan akal
dan teori kesehatan. Sebab lalat merupakan serangga yang sangat berbahaya dan
bisa menyebarkan penyakit. Lalu bagaimana mungkin Nabi s.a.w. menyuruh supaya
menenggelamkan lalat yang hinggap di minuman? Demikian kurang lebih keraguan
dan penolakan Taufiq Shidqi terhadap kebenaran hadits tentang lalat sebagaimana
dikutip G.H.A. Juynboll[13].
Hadits tersebut :
حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ مَخْلَدٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ
قَالَ حَدَّثَنِي عُتْبَةُ بْنُ مُسْلِمٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ بْنُ
حُنَيْنٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي
شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي إِحْدَى
جَنَاحَيْهِ دَاءً وَالْأُخْرَى شِفَاءً
Khalid Ibn Makhlad bercerita kepada kami,
Sulaiman ibn Bilal bercerita kepada kami, dia berkata: Uthbah ibn Muslim telah
bercerita kepadaku, dia berkata, Ubaidah ibn Hunain berkata: saya mendengar Abu
Hurairah berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda: apabila ada lalat jatuh dalam
minuman salah seorang kalian, maka hendaklah ia membenamkannya sekalian, lalau
buanglah lalat tersebut. Sesungguhnya pada salah satu sayapnya terdapat
penyakit, sedang pada sayap yang lain terdapat penawar (obat) (HR al-Bukhari).
Selintas hadits tersebut memang tidak
masuk akal dan kontradiksi dengan teori kesehatan. Namun ternyata hasil
penelitian dari sejumlah peneliti muslim di Mesir dan Saudi Arabia terhadap
masalah ini, justeru membuktikan lain. Mereka membuat minuman yang dimasukkan
kedalam beberapa bejana yang terdiri dari air, madu dan juice, kemudian
dibiarkan terbuka agar dimasuki lalat. Setelah lalat masuk kedalam beberapa
minuman tersebut, mereka melakukan komparasi penelitian, antara minuman yang ke
dalamnya dibenamkan lalat dan tidak dibenamkan. Ternyata melalui pengamatan
mikroskop diperoleh hasil bahwa minuman yang dihinggapi lalat dan yang tidak
dibenamkan dipenuhi dengan banyak kuman dan mikroba, sementara minuman yang
dihinggapi lalat justeru tidak dijumpai sedikitpun minuman dan mikroba. Ini
adalah sebuah penelitian ilmiah dan semakin membuktikan kebenaran hadits
tersebut secara ilmiah meskipun pada awalnya dari zhahir hadits terlihat
mempunyai pertentangan dengan ilmu kesehatan[14].
Sebenarnya masih terdapat metode dalam
penyelesaian hadits mukhtalifyang mana biasa disebut metode tawaqquf. Namun
ditengarai ketika orang menggunakan metode ini terkesan hanya membiarkan saja
tanpa ada usaha untuk melakukan komparasi dengan penelitian lebih lanjut. Oleh
karenanya lebih cenderung menggunakan metode ta’wîl daripada menggunakan metode
tawaqquf. Karena setiap sumber perkataan Nabi pasti mengandung sebuah makna dan
tujuan sehingga bagaimanapun juga kita harus mengungkap makna yang tersirat di
dalamnya.
E.
Karya-karya dalam Ilmu Mukhtalif Al-Hadits
Banyak ulama yang menyusun karya dalam
bidang ilmu ini. Ada yang mencakup hadits-hadits yang tampak bertentangan secra
keseluruhan dan ada yang tidak, yakni membatasi karyanya itu pada
pengkompromian hadits-hadits yang tampak kontradiktif atau hadits-hadits yang
sulit dipahami saja, lalu menghilangkan kesulitan itu dengan menjelaskan
maksudnya.
Karya paling awal dalam bidang ini adalah
kitab Ikhtilaf al-Hadits karya Imam Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i (150-204),
dan merupakan kitab terklasik yang sampai saat ini masih dijadikan pegangan.
Beliau tidak bermaksud menyebut semua hadits yang tampak bertentangan, tetapi
hanya menyebut sebagian saja, menjelaskan seluruh sanadnya dan memadukan agar
dijadikan sebagai sampel oleh ulama lain.[15]
Setelah karya asy-Syafi’i, karya yang
terpopuler antara lain kitab Ta’wil Mukhtalif al-Hadits kayra Imam al-Hafidz
Abdullah ibn Muslim ibn Qutaibah ad-Dainuriy (213-276). Beliau menyusunnya
untuk menyanggah musuh-musuh hadits yang melancarkan beberapa tuduhan kepada
ahli hadits dengan sejumlah periwayatan beberapa hadits yang tampak saling
bertentangan. Beliau menjelaskan hadits-hadits yang mereka klaim saling kontradiktif
dan memberikan tanggapan terhadap kerancuan-kerancuan seputar hadits-hadits
itu. Kitab beliau ini menempati posisi yang amat tinggi dalam khazanah
intelektual Islam, bahkan mampu membendung kerancuan yang ditebarkan sementara
kelompok Mu’tazilah, Musyabbihah dan yang lain.[16]
Seperti contoh dalam kitab tersebut, “Beliau berkata: Mereka – para pelaku
bid’ah – mengatakan, kalian meriwayatkan dari Nabi Saw, bahwa beliau bersabda
dalam sebuah hadits:
الماء لاينجسه شيئ
Air tidak bisa dinajiskan oleh sesuatu
pun.
Kemudian kalian juga meriwayatkan dari
beliau, bahwa beliau bersabda:
اذابلغ الماء قلتين لم يحمل نجسا
Bila air telah mencapai dua qullah, maka
tidak akan membawa najis.
Yang terakhir ini menunjukkan, bahwa bila
air itu kurang dari dua qullah, maka akan membawa najis. Ini jelas berbeda
dengan hadits yang pertama.
Ibn Qutaibah, dikatakan bahwa hadits
kedua itu tidak bertentangan dengan hadits yang pertama. Rasul Saw, menyabdakan
hadits yang pertama berdasarkan kebiasaan dan yang paling banyak terlihat.
Karena biasanya air yang ada di sumur-sumur ataupun kolam-kolam jumlahnya
banyak. Sehingga pernyataan beliau tersebut memiliki pengertian spesifik. Ini
sama dengan orang yang mengatakan, “Banjir tak dapat dibendung oleh sesuatu
pun”. Padahal ada banjir yang terbendung oleh tembok. Yang dimaksud adalah
banjir bandang, bukan banjir kecil. Sama juga dengan orang yang mengatakan,
“Api tak dapat dimatikan oleh sesuatu
pun”. Yang dimaksudkannya adalah bukan api lentera yang akan mati
tertiup angin, bukan pula percikan api, tetapi yang dimaksudkannya adalah api
yang membara. Kemudian beliau menjelaskan ukuran air dua qullah, suatu ukuran
yang tidak bisa dinajiskan, yakni air yang terbilang banyak.[17]
Dalam bidang ini, yang terpopuler di
antara karya-karya yang sampai kepada kita adalah kitab Musykil al-Atsar karya
Imam al-Muhaddits al-Faqih Abu Ja’far Ahmad ibn Muhammad ath-tahthawiy (239-321
H), yang terdiri dari empat jilid, dan dicetak di India pada tahun 1333 H.
Juga kitab Musykil al-Hadits Wa Bayanuhu
karya Imam al-Muhaddits Abu bakar Muhammad ibn al-Hasan (ibn Furak) al-Anshariy
al-Ashbahaniy yang wafat tahun 406 H. Beliau menyusunnya berkenaan dengan
hadits-hadits secara literal diduga kontradiktif, mengandung tasybih dan
tajsim, yang dijadikan sebagai landasan melancarkan cercaan terhadap agama.
Lalu beliau menjelaskan maksudnya dan membatalkan banyak klaim yang salah
seputar hadits-hadits itu dengan berargumen pada dalil-dalil naqli dan aqli.
Kitab ini telah dicetak di India pada tahun 1362 H.
KESIMPULAN
Ilmu mukhtalif al-hadits, ilmu musykil
al-hadits, ilmu ta’wil al-hadits, ilmu talfiq al-hadits, dan ilmu ikhtiaf
al-hadits merupakan istilah yang memiliki pengertian yang sama, yakni ilmu yang
berusaha untuk mempertemukan (talfiq al-hadits) dua atau lebih hadits yang
bertentangan maknanya. Adapun cara-cara mengkompromikan hadits tersebut
adakalanya dengan men-taqyid kemutlakan hadits, men-takhish keumumannya, atau
adakalanya dengan memilih sanad yang lebih kuat atau yang lebih banyak
datangnya. Ilmu ini sangat dibutuhkan oleh ulama hadits, ulama fiqh, dan
lain-lain. Adapun Metode Penyelesaian Hadits Mukhtalif, ialah Metode al-Jam’u
wa at-Taufiq, Metode Tarjih, Metode Nasikh-Mansukhdan Metode Ta’wil. Di antara
kitab yang membahas tentang Ilmu mukhtalif al-hadits ialah karya paling awal
dalam bidang ini adalah kitab Ikhtilaf al-Hadits karya Imam Muhammad ibn Idris
asy-Syafi’i (150-204), kitab Ta’wil Mukhtalif al-Hadits kayra Imam al-Hafidz
Abdullah ibn Muslim ibn Qutaibah ad-Dainuriy (213-276), kitab Musykil al-Atsar
karya Imam al-Muhaddits al-Faqih Abu Ja’far Ahmad ibn Muhammad ath-tahthawiy
(239-321 H), yang terdiri dari empat jilid, dan dicetak di India pada tahun
1333 H, dan kitab Musykil al-Hadits Wa Bayanuhu karya Imam al-Muhaddits Abu
bakar Muhammad ibn al-Hasan (ibn Furak) al-Anshariy al-Ashbahaniy yang wafat
tahun 406 H.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mustaqim. 2008. Ilmu Ma’anil Hadits.
Yogyakarta : Idea Press.
G.H.A Juynboll. 1969. The Authenticity of
the Tradition Literature; Discussion in Modern Egypt. Leiden: E.J Brill.
Dikutip dari Abdul Mustaqim. 2008. Ilmu Ma’ânil Hadîts. Yogyakarta : Idea
Press.
Munzier Suparta. 2008. Ilmu Hadits.
Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
M. Ajaj al-Khathib. 2000. Ushul al-Hadits
(Terjemahan). Jakarta : Gaya Media Pratama.
Nuruddin ‘Itr. “Ulûm al-Hadîts”.
diterjemahkan oleh Mujiyo. 1994. Manhaj al-Naqd fî Ulûm al-Hadîts Cet. ke-1,
Jilid 2. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Syaikh Manna’ al-Qaththan. 2005.
Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
http://faizinlathif.wordpress.com/2009/04/27/metode-pemahaman-hadits-mukhtalif/
http://www.darulkautsar.netarticle.php?ArticleID=811
[1] Penulis adalah salah satu mahasiswa tafsir hadits di salah satu universitas
ternama dikota bandung yang sekarang sedang menempuh pengajaran dijenjang strata
1.
[2] Ajjaj Al-Khathib,
Al-Sunnah Qabla Al-Tadwin, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997), Cet. Ke-6, hal.
283, dalam Buku Munzier Suparta. 2008. Ilmu Hadits.
Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, hal.
[3] Subhi Al-Shalih,
‘Ulum Al-Hadits wa Mushthalahuhu, (Beeirut: Dar Al-‘Ilmu
Al-Malayyin, tt), hal.111. dalam Buku Munzier Suparta. Op.cit., hal.
[4] Ajjaj Al-Khathib,
op.cit., hal. 283, dalam Buku Munzier Suparta. Op.cit., hal.
[5] http://www.darulkautsar.netarticle.php?ArticleID=811
[6] Syaikh Manna’ al-Qaththan. Pengantar
Ilmu Hadits. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2005). hal.103.
[7] Nuruddin ‘Itr, “Ulûm al-Hadîts”,
diterjemahkan oleh Mujiyo dari Manhaj al-Naqd fî Ulûm al-Hadîts (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1994) Cet. ke-1, Jilid 2, Hal. 114.
[8] Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil
Hadits (Yogyakarta : Idea Press, 2008). hal. 87.
[9] Ibid.
[10] Abdul
Mustaqim, Ilmu Ma’ânil Hadîts (Yogyakarta : Idea Press, 2008).
hal. 87.
[11] Abdul
Mustaqim, Ilmu Ma’ânil Hadîts (Yogyakarta : Idea Press, 2008).
hal. 88-90.
[12] http://faizinlathif.wordpress.com/2009/04/27/metode-pemahaman-hadits-mukhtalif/
[13] G.H.A Juynboll, The
Authenticity of the Tradition Literature; Discussion in Modern Egypt (Leiden:
E.J Brill, 1969) hal. 141-142 dikutip dari Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ânil
Hadîts (Yogyakarta : Idea Press, 2008). hal. 100-101.
[14] G.H.A Juynboll, The
Authenticity of the Tradition Literature; Discussion in Modern Egypt (Leiden:
E.J Brill, 1969) hal. 141-142 dikutip dari Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ânil
Hadîts (Yogyakarta : Idea Press, 2008). hal. 100-101.
[15] Kitab ini dicetak di bagian margin
kitab al-Umm, juz VII dalam Buku M. Ajaj al-Khathib., op.cit.,
hal.
[16] Kitab ini dicetak
pada tahun 1326 di India dalam Buku M. Ajaj al-Khathib., op.cit. hal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar