A. Pendahuluan
1. Definisi Takhrij
Takhrij artinya menampakkan, mengluarkan, menerbitkan, menyebutkan
dan menumbuhkan. Maksudnya menampakkan sesuatu yang masih tersembunyi, tidak
kelihatan dan masih samar. Menurut ulama hadits, takhrij adalah menyebutan seorang
penyusun bahwa hadits itu dengan sanadnya terdapat dalam kitabnya. Menurut
ulama hadits pada umumnya takhrij adalah hadits ini dengan sanadnya disebutkan
fulan dalam kitabnya. beberapa tujuan pentakhrijan hadits adalah
- Mengetahui
referensi beberapa buku hadits
- Menghimpun
jumlah sanad hadits
- Mengetahui
keadaan sanad yang bersambung dan yang terputus dan mengetahui kadar
kemampuan perawi dalam mengingt hadits serta kejujuran dalam periwayatan
- Mengetahui
satus suatu hadits
- Meningkatkan
suatu hadits yang dha’if dan hasan menjadi hasan li ghayrihi dan shahih
lighayrihi
- Mengetahui
bagaimana para imam hadits menilai suatu kualitas hadits dan bagaimana
kritikan yang disampaikan
- Seseorang
yang melakukan takhrij dapat mengehimpun beberapa sanad dan matan suatu
hadits
2. Pengertian yatim
Syaikh Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin rahimahullah (Majmu Fatawa wa
Rasa’il 9/503) menyebutkan bahwa yatim ialah anak yang ditinggal mati ayahnya
sebelum baliqh, baik laki-laki maupun perempuan. Adapun anak yang tinggal mati
ibunya sebelum baliqh maka bukanlah anak yatim, tidak menurut bahasa apalagi
menurut syariat. Sebab kata yatim terambil dari kata yatmu yang
artinya terpisah dan sendiri. Maksudnya, terpisah dari orang yang mencarikan
(penghidupan) buatnya. Sebab ayahnyalah yang mengusahakan (penghidupan)
baginya. Hal semisal juga yang dikatakan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
Ahmad Mushthofâ
al-Marâghiy dalam tafsirnya menyebutkan pengertian yatim, yakni seseorang yang
ditinggal mati ayahnya secara mutlak (baik selagi masih kecil atau setelah
dewasa). Tetapi
lanjutnya menurut tradisi adalah
khusus untuk orang yang belum mencapai usia dewasa.
Dari beberapa
definisi di atas, dapat diambil suatu pemahaman bahwa yang dimaksud dengan anak
yatim adalah anak kecil yang belum dewasa yang ditinggal mati ayahnya,
sementara ia masih belum mampu mewujudkan kemashlahatan yang akan menjamin masa
depannya.oleh karena itu
perwalian/pengurusan anak yatim diserahkan kepada kerabat dekat atau wali yang
berhak mengurusnya. tentang cara menggunakan harta anak yatim, terlebih yatim
yang memiliki harta baik itu sedikit ataupun banyak akan dipaparkan dalam
makalah ini.
Dalam makalah berikut
akan dipaparkan sebuah hadits yang berhubungan dengan menggunakan harta anak
yatim. lalu mentakhrij haditsnya dan kualitasnya seperti apa.
B. pembahasan
Hadits tentang menggunakan harta anak yatim
artinya: Dari Muhammad bin Ismail
al-farisy, dari Yahya bin Abi Thalib, dari Abdul Wahhab, dari Ibnu Abi Aun dari
Shakhra bin Juwairiyah dari nafi, sesungguhnya ibnu Umar memiliki/mengurus
harta anak yatim, ia meminjam harta tersebut bahkan terkadang harta tersebut dijadikan jaminan, dan harta
tersebut dizakatkannya apabila sudah mencapai nishab.
Hadits tersebut diambil
dari kitab sunan daruqutni juz 3 hal 7 bab wujuubu al-Zakat fi maali sobiy
wa al-yatim.
Hadits di atas
merupakan hadits Mauquf, karena disandarkan kepada shahabat yaitu ibnu umar,
nama aslinya adalah Abdullah bin umar bin khatab al-Qursyi Abu Abdirrahman
Al-Maki al-Madani. ia merupakan sahabat tabaqah ke 1 yang wafat pada tahun 73
H.
Hadits di atas
diriwayatkan dari Muhammad bin Ismail al-farisy, dari Yahya bin Abi Thalib, dari Abdul Wahhab, dari Ibnu
Abi Aun dari Shakhra bin Juwairiyah dari nafi.
Menurut
Ibnu Hibban bahwa Muhammad bin Ismail al-Farisy adalah orang yang Tsiqah. Yahya
bin Abi Thalib menurut Ibnu Sai’id : soduq, Ibnu Syahin menyatakan Tsiqah, Hasan bin sufyan: Tsiqah. Namun
Maimun beranggapan bahwa yahya itu Dhaif, tapi ia tidak mengatakan alasan
kedhoifannya. Abdul Wahab bin ‘atha al- khaffaf Anu Nasr Al-‘Ajali. beberapa
ulama berkomentar tentang Abdul Wahab. salah satunya Ibnu Hajar, ia berkata
shaduq, namun para ulama mengingkari haditsnya tentang abbas. Ibnu Muin
mengatakan ia Tsiqah,Bukhori: laisa bil qowi “tidak begitu kuat
(hafalannya)”Yahya bin Mu,in: Laisa bihi Ba’sun (tidak apa-apa) Zakariya bin
yahya as-saaji: soduq, laisa bil qowi.
Ahmad
dan adz-Dzahabi menyatakan Tsiqah kepada Shakhra bin juwairiyah al-Bashari ibnu
Nafi Maula Bani Tamim. Ibnu Hajar juga berkomentar Tsiqah kepada Nafi abu
Abdillah al-Madani (ada yang mengatakan naisabur).
Menurut
pemakalah dari data perawi di atas dapat disimpulkan bahwa hadits tersebut dari
segi sanad shahih, sekalipun Maimun beranggapan bahwa Yahya itu dhoif. karena
ia tidak mengatakan alasan kedhaifannya.
Urutan periwayatan
1. Muhammad bin Ismail al-Farisy
2. Yahya bin Abi Thalib
3. Abdul Wahab
4. ibnu Abi Aun
5. Sakhrun bin juwairiyah
6. Nafi’
7. Ibnu Umar
data singkat para periwayat
no
|
Perawi
|
komentar
|
1.
|
Muhammad bin Ismail al-Farisy
|
Ibnu Hiban :Tsiqah[1]
|
2.
|
Yahya bin Abi Thalib
Wafat :204
|
Ibnu Sai’id : “soduq”
Ibnu Syahin : Tsiqah
Maimun: Dhaif
Hasan bin sufyan: Tsiqah
|
3.
4.
|
Abdul Wahab bin ‘atha al- khaffaf Anu
Nasr Al-‘Ajali
Tabaqah 9, Shigar atba”utabiin
Wafat 204, namun ada juga yang
mengatakan 206
Tinggal dan meninggal di Baghdad
Ibnu abi Aun (Abdullah bin Aun
al-Arthaban)
|
Ibnu Hajar :shaduq, terkadang munkar,
terkadang tadlis
Ibnu Muin : Tsiqah
Bukhori: laisa bil qowi “tidak kuat
lumayan”
Yahya bin Mu,in: Laisa bihi Ba’sun
(lumayan)
Zakariya bin yahya as-saaji: soduq laisa
bil qowi
Ibnu Sa’id : Tsiqah
|
5.
|
Shakhra bin juwairiyah al-Bashari ibnu
Nafi Maula Bani Tamim
Tabaqah 7: kibar atbauttabi’in
|
Ahmad: Tsiqah
Adz-Dzahabi: Tsiqah
|
6.
|
Nafi abu Abdillah al-Madani (ada yang mengatakan naisabur)
Thabaqah 3,: Ausatu tabi’in
Wafat : 117
|
Ibnu Hajar :Tsiqah
|
7.
|
Abdullah bin umar bin khatab al-Qursyi Abu Abdirrahman Al-Maki
al-Madani (ibnu Umar)
Thabaqah 1: sahabat
Wafat 73/74
|
Ibnu Hajar: sahabat
|
Ayat Alquran yang berhubungan dengan menjaga harta
anak yatim
QS. an-Nisa [4]:2
Dan
berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu
menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama
hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa
yang besar.
Tentang
bagaimana seorang washi atau wali mempergunakan harta anak yatim, Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah (Majmu’ Fatawa wa
Rasa’il, 7/301-302) menjelaskan, ”Mempergunakan harta anak yatim ada tiga
tingkatan, buruk, baik, tidak buruk juga tidak baik. Orang yang mempergunakan
harta anak yatim dengan cara yang buruk hukumnya haram. Yaitu, seandainya
seseorang ingin membeli sesuatu dengan harta anak yatim sedangkan orang
tersebut tahu bahwa sesuatu itu jelas merugikan, maka hal itu haram, sebab
tidak diragukan bahwa ini merupakan keburukan bagi si yatim.
Dan
apabila sesorang mempergunakan harta tersebut untuk sesuatu yang memang tidak
tahu apakah baik atau justru buruk. Maka ini pun hukumnya haram, sebab Allah Ta’ala
berfirman (artinya) :
Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali
dengan cara yang lebih bermanfaat. (QS. Al-An’am
[6] : 152)
Jadi, wajib bagi wali anak yatim yang mengurusi harta
mereka agar tidak mempergunakannya selain dengan cara yang lebih baik. Dari
sini kita bisa ambil kaidah, yaitu bahwa setiap wali siapa saja dan dalam apa
saja, agar tidak mengusahakan sesuatu (pada hal yang diurusi) selain (dengan)
yang lebih baik.”