Minggu, 29 April 2012

Resensi dan Penyimpulan

Resensi adalah suatu tulisan atau ulasan mengenai nilai sebuah hasil karya, baik itu buku, novel, majalah, komik, film, kaset, CD, VCD, maupun DVD.
Tujuan resensi adalah menyampaikan kepada para pembaca apakah sebuah buku atau hasil karya itu patut mendapat sambutan dari masyarakat atau tidak.
Ada beberapa syarat untuk meresensi (membuat resensi) buku
1. Ada data buku, meliputi nama pengarang, penerbit, tahun terbit, dan tebal buku.
2. Pendahuluannya berisi perbandingan dengan karya sebelumnya, biografi pengarang, atau hal yang berhubungan dengan tema atau isi.
3. Ada ulasan singkat terhadap buku tersebut.
4. Harus bermanfaat dan kepada siapa manfaat itu ditujukan.
Ada yang berpendapat bahwa minimal ada tiga jenis resensi buku.
1. Informatif,
2. Deskriptif,
3. Kritis,
Namun, ketiga jenis resensi di atas tidak baku. Bisa jadi resensi jenis informatif namun memuat analisa deskripsi dan kritis. Alhasil, ketiganya bisa diterapkan bersamaan.
Unsur-unsur Resensi
Daniel Samad (1997: 7-8) menyebutkan unsur-unsur resensi adalah sebagai berikut:
1. Membuat judul resensi
2. Menyusun data buku
3. Membuat pembukaan
4. Tubuh atau isi pernyataan resensi buku
5. Penutup resensi buku
Penyimpulan/Penalaran ( istidlal )
Penyimpulan ialah hasil keputusan akhir dari sebuah pemahaman terhadap sesuatu yang diamati. keputusan yang diperoleh itu berdasarkan metode berpikir induktif atau deduktif.
Penyimpulan terbagi kedalam dua buah bentuk :
1.      Penyimpulan langsung
Penyimpulan berdasarkan proposisi
2.      Penyimpulan tidak langsung
Penyimpulan berdasarkan dua buah proposisi atau lebih yang saling berhubungan.
a.       Kebalikan/konversi
Proses penarikan kesimpulan dari sebaliknya
Rumusnya :






b.      Obversi
Proses penarikan kesimpulan dari proposisi apirmatif menjadi negatif atau sebaliknya.
Rumusnya :







c.       Oposisi/perlawanan
Ling pertentangan antara dua unsur bahasa untuk memperlihatkan perbedaan arti.


 











Sabtu, 28 April 2012

Asy'ariyah dan Ma'turidiyah

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Sebuah kajian atau kritikan terhadap teologi yang berkembang bukanlah usaha untuk menghilangkan subtansi atau membongkar total terhadap pemikiran-pemikiran yang sudah dibangun oleh para teologi yang berkembangdi zamannya, namun untuk melihat kembali apakah pemikiran tersebut masih relevan di kembangkan padazaman sekarang yang penuh dengan berbagai macamkrakteristik dan dinamika pemikiran atau pemikirantersebut perlu dikonstruksi sehingga mampu berdaptasidengan kehidupan modern, disamping itu dapatmengkomparasikan antara beberapa pemikiran para teologyang berbeda dalam metodelogi objektifitas dan kemampuan dalam memahami kebenaran /hakekat. Kajian terhadap teologi Al-Asy’ariyah dan Al-Maturidiyah disini tidak dimaksudkan untuk meninggalan aspek-aspek positifdalam teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah dari praktek keagamaan umatIslam seluruhnya atau sebagiannya, namun yangdiinginkan dalam wacana ini adalah mencoba mengkajikebenaran dan keabsahan konsepteologi ini sebagai landasan berfikir dan beramal umat Islam di masa kini dan mendatang.

1.2  Rumusan Masalah
A. Apa itu aliran asy’ariyah?
B. Apa itu liran ma’turidiyah?

1.3  Tujuan
Adapun tujuan dari makalah yang kami susun ini khususnya agar memenuhi salah satu tugas yang telah diberikan kepada kami oleh dosen bidang studi ilmu kalam khususnya menambah ilmu pengetahuan, pengalaman dan juga wawasan terutama bagi kami anggota kelompok 4 dan juga bagi seluruh teman-teman kami.    

 
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 ASY’ARIYAH

A. Sejarah Timbulnya Aliran Asy’ariyah
Pada masa imam empat banyak bermunculan bid’ah dan ideologi yang didasari hawa nafsu (tidak berdasarkan dalil syar’ie maupun dalil aqli). Hanya saja belum begitu meluas dan pengaruhnya pun tidak terlalu besar. Setelah mereka wafat, bid’ah-bid’ah yang disebarkan semakin bertambah kuat dan tersebar luas. Fenomena ini memotifasi para tokoh agama dari golongan madzahibul arba’ah untuk mencegah tersebarnya bid’ah dan berusaha mempertahankan aqidah para Ulama Salaf. Hingga akhirnya pada abad ke-3 Hijriyah, hampir bersamaan dengan masa berkuasanya Khalifah Al-Mutawakkil, muncul dua orang tokoh yang menonjol waktu itu, yaitu Abu Hasan al-Asy’arie (260 H – + 330 H) di Bashrah dan Abu Mansur al-Maturidi di Samarkand dalam memperjuangkan dan mempertahankan keabadian aqidah-aqidah yang sesuai dengan sunnah Nabi  dan Thoriqoh para Sahabat al-Mahdiyyin.
Abu Hasan Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari (260 H- 324 H ), penganut paham Mu’tazilah. Namun, sekitar tahun 300 H al-asy’ari keluar dari golongan Mu’tazilah, dan selanjutnya membentuk aliran teologi yang dikenal dengan namanya sendiri, yaitu Asy’ariyah.
Menurut suatu riwayat bahwa pada suatu malam al-Asy’ari bermimpi. Dalam mimpinya itu Nabi Muhammad mengatakan bahwa madzhab Ahli Sunnahlah yang benar, dan madzhab Mutazilah (yang sedang ia anut) itu salah,  mimpi bertemu dengan Rasulullah SAW  itu datang sebanyak 3 kali yaitu pada malam ke 10, 20, dan 30 bulan Ramadhan. Selain itu, Al-Asy’ari mengkhawatirkan akan sikap umat Islam yang menganggap rendah Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai korban dari sikap Mu’tazilah yang terlalu memuja kekuatan akal pikiran.[1]
Setelah keluar dari golongan Mu’tazilah, Al-Asy’ariyah membentuk teologi baru yang dipandang sesuai dengan aliran orang-orang yang berpegang kuat pada sunnah (Hadits). Aliran ini kemudian berkembang pesat sampai mengalahkan aliran Mu’tazilah.
Selain Al-Asy’ari sebagai pencetusnya, aliran Asy’ariyah memiliki beberapa orang tokoh kenamaan yang sangat tekun menyiarkan dan menjelaskan ajaran-ajaran aliran Al-Asy’ariyah, mereka itu antara lain Al-Baqilani; yang bernama lengkap Muhammad Tayib bin Muhammad Abu Bakar Al-Baqilani;  Abdul Malik Al-Juwaini yang dilahirkan di Khurasan tahun 419 H dan wafat pada 478 H; Abu Hamid Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali; Alauddin Al-Iji; dan Abdillah bin Yusuf.

B. Term Ahlussunnah dan Term salaf untuk Al-Asy’ariyah
Term ahlussunnah wal jamaah lebih banyak dipakai setelah timbulnya  aliran Asy’ariyah. Doktrin bahwa wahyu harus diterima secara penuh. Akal harus berperan mentakwilkan wahyu. Ayat-ayat tajsim (Allah bertubuh) atau Tasybih (Allah serupa dengan makhluk) harus di tafsirkan secara majazi (kiasan) bukan literal.
Konklusi Asy’ariyah inilah yang kemudian berkembang baik dan mendiaspora menjadi panutan. Tidak hanya kalangan awam, melainkan pula para ahli hadits, fiqih dan tauhid. Pengikutnya kemudian diberi label  Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah oleh az-Zabidi (w.1205M), seratus tahun kemudian. Suatu label yang pernah juga digunakan oleh Hasan al-Bashri untuk merujuk komunitas “ahli ilmu dan ibadah” yang tidak memihak Mu’awiyyah, Syi’ah dan khawarij.

Abu Hasan Al-Asy’arie dikenal berhasil mengambil jalan tengah (tawasuth, moderat) dari pertikaian teologis pada zamannya Jalan tengah yang ditawarkan adalah pengakuan terhadap rasionalis, tapi pada tingkat tertentu harus tunduk kepada wahyu. Fungsi rasionalitas digunakan untuk menterjemahkan, menjelaskan dan menafsirkan wahyu. Bukan mempertanyakan wahyu itu sendiri. Karena itu bila akal tidak mampu menjelaskan wahyu, dengan kata lain akal mempunyai keterbatasan, sedangkan wahyu tidak, karena termasuk bagian dari sifat Allah yang qadim.Asy’ari juga mengakui “otoritas salaf”. Dalam pandangannya, gagasan-gagasan dan kesepakatan dalam masyarakat salaf (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in) dapat dijadikan pijakan hukum melalui metode ijma’ dan qiyas. Suatu metode yang menyerupai gagasan yang pernah ditelorkan Imam Syafi’i dalam ilmu ushul fiqih. Dan memang Abu Hasan Al-Asy’arie adalah tokoh ahli tauhid penganut madzhab Imam Syafi’i.
Pikiran Asy’ari yang kebanyakan merupakan jalan tengah ini menjadikan Al-Asy’ari sebagai orang yang berpengaruh dan berkedudukan tinggi, mempunyai banyak pengikut, mendapat dukungan dari para penguasa. Lebih dari itu, pendapat-pendapatnya menjadi pendapat ahlussunnah wal jamaah atau ahlussunnah ( tanpa jamaah), yang sebutan itu tidak asing bagi kaum muslimin ketika itu.
Pada waktu aliran Mu’tazilah muncul dengan pendapat-pendapatnya dalam bidang aqidah yang bercorak rasionalis dan tidak segan-segan menolak hadits yang berlawanan dengan ketentuan akal pikiran atau mena’wilkan ayat-ayat mutasyabihat, maka dilain pihak muncul aliran-aliran yang tetap dengan kuat memegangi hadits-hadits yang ditolak kaum Mu’tazilah, aliran tersebut terkenal dengan nama “Ahlussunnah” dan aliran yang ingin mengikuti jejak ulama salaf dalam menghadapi nas-nas yang mutasyabihat.
Al-Asy’ari setelah mengadakan perdebatan yang panjang dengan gurunya tampil dengan pendapatnya bercorak jalan tengah atau melengkapi. Ia memperkuat paham-paham yang dikemukakan golongan salaf dengan alasan-alasan ilmu kalam dalam bentuk yang lebih nyata. Pikiran-pikiran tersebut oleh pengikutnya disebut paham “Ahlussunnah wal Jamaah”. Jadi aliran Al-Asy’ariyah identik dengan aliran Ahlussunnah wal Jamaah, artinya kepercayaan aliran Asy’ariyah menjadi kepercayaan Ahlussunnah wal Jamaah.
Ahlussunnah terkenal dikalangan ulama mutaqoddimin (terdahulu) dengan istilah yng berlawanan dengan ahlul ahwa’ wal bida’. Ahlus Sunnah tetap berpegang pada ushul yang pernah diajarkan Rasulullah dan sahabat. Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah istilah yang digunakan untuk menamakan pengikut madzhab as-Salafus Shalih dalam Itiqad. Ada yang berpendapat bahwa madzhab ahlus sunnah wal jamaah itu Asy’ariyah, Ma’turidiyah dan Madzhab Salaf ada pula yang mengatakan bahwa madzhab salaf “ahlus sunnah wal jamaah” adalah apa yang dikatakan Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Ma’turidi.
Az-Zubaidi menyatakan bahwa jika dikatakan Ahlus Sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy’ariyah dan Ma’turidiyah.

C. Doktrin-Doktrin Teologi Al-Asy’ariyah
Corak pemikiran yang sintetsis ini menurut Watt, barangkali dipenuhi teologi kullabiah (teologi Sunni yang dipelopori Ibn Kullab (w 854 M) berikut pemaparan doktrin atau pemikiran Al- Asy’ari:

1)      Tuhan dan sifat -sifatnya
Al- asy’ari di hadapkan pada dua pandangan ekstrim. Dengan kelompok mujasimiah (antropomorfis) dan kelompok musyabbihah yang bependapat, Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan sunnah, dan sifat-sifat itu harus di fahami menurut harfiahnya. Kelompok mutazilah berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain adalah esensi-esensinya. Al-asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki dan ini tidak boleh diartikan secara harfiah, sifat -sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.
2)      Kebebasan dalam berkehendak(free will)
Dari dua pendapat yang ekstrim, yakni jabariah dan fatalistic dan penganut faham pradterminisme semata-mata dan mutazilah yang menganut faham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Al-asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya Allah adalah pencipta perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakan, hanya Allah lah yang mampu menciptakan segala sesuatu.
3)      Akal dan wahyu kriteria baik dan buruk
Walaupun Al-asy’ari dan orang-orang mutazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-asy’ari mengutamakan wahyu, sementara mutazilah mengutamakan akal.
4)      Qadimnya Al-Qur’an
Mutazilah mengatakan bahwa Al-Qur’an diciptakan ( makhluk) sehingga tidak qadim serta pandangan mazhab Hambali dan Zahiriah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah (yang qadim dan tidak diciptakan). Zahiriah bahkan berpendapat semua huruf, kata dan bunyi Al-Qur’an adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu Al-asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur’an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim. Nasution mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi Al-asy’ari tidaklah diciptakan sebab kalau ia diciptakan, sesuai dengan ayat: Artinya” Jika kamu menghendaki sesuatu, Kami bersabda,”terjadilah”maka ia pun terjadi”.
5)      Melihat Allah
Al-asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama zahiriyah yang mengatakan bahwa Alllah dapat dilihat di akhirat. Al-asy’ari yakin bahawa Allah dapat dilihat atau bilamana ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihatnya.
6)      Keadilan
Pada dasarnya Al-asy’ari dan mutazilah setuju bahwa Allah itu adil. Al-asy’ari tidak sependapat dengan mutazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah peguasa mutlak.
7)      Kedudukan orang berdosa
Menurut Al- asy’ari mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.


2.2 MA’TURIDIYAH
A. Munculnya aliran Maturidiyah
Aliran maturidiyah juga muncul sebagai reaksi terhadap aliran mu’tazilah. Oleh sebab itu, pendapat-pendapat Maturidiah memiliki kesamaan ajaran prinsip dengan aliran Al-Asya’riah, karena munculnya kedua aliran tersebut dengan latar belakang yang sama. Sungguhpun demikian, antara teologi Maturidiah dengan teologi Asy’ariah memiliki perbedaan-perbedaan.
Aliran Maturidiah diambil dari nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad Al-Maturidi. Ia dilahirkan disebuah kota kecil, yaitu Maturid , Samarkand pada pertengahan abad ketiga hijriyah,dan wafat di Samarkand pada tahun 333 H. Karir pendidikan Al-Ma’turidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi daripada fiqh.[2]
Riwayat hidup Abu Mansu r(Al-Maturidi) tidak banyak diketahui oleh orang. Begitu juga halnya ajaran-ajaran Abu Mansur dan aliran Maturidiah tidak banyak di bukukan atau ditulis orang. Diantara sekian banyak buku yang membahas aliran- aliran keagamaan, seperti buku karangan Al-Ashyahrastani, Ibn Hazm, Al-Baghdadi, dan lainnya tidak memuat keterangan-keterangan tentang Al-Maturidi atau pengikut- pengikutnya. Sedangkan karangan-karangan Al-Maturidi masih belum dicetak dan tetap dalam bentuk naskah. Diantara naskah itu adalah Kitab Al-Tauhid dan Kitab Ta’wil al-Qur’an. Selain itu ada lagi karangan-karangan yang kabarnya disusun oleh Maturidi, yaitu Risalah fi al-Aqaid dan Syarh al-Fiqh al-Akbar. Adapun keterangan- keterangan mengenai pendapat Al-Maturidi dapat diperoleh lebih lanjut dari buku- buku yang dikarang oleh para pengikutnya, seperti: Isyarat Al-Maram oleh Al- Bayadi, dan Ushul al-Din oleh Al-Bazdawi.
Al-Maturidi dikenal sebagai pengikut Abu Hanifah. Sebagai paengikut Abu Hanifah, ia banyak menggunakan rasio dalam pandangan keagamaan, disamping itu ia banyak pula menggunakan akal dalam sisterm teologinya. Menurut para ulama Hanafi hasil pemikiran Maturidi, khususnya dalam bidang aqidah mirip dengan pendapat Abu Hanifah. Dapat dikatakan bahwa pikiran-pikiran Al-Maturidi dalam hal ini merupakan penguraian yang lebih luas dari pikiran-pikiran Abu Hanifah.
Tokoh-tokoh aliran Maturidiah terdiri dari para pengikut aliran fiqh Hanafiah. Mereka tidak sekuat para tokoh aliran Asy’ariah. Para tokoh aliran Maturidiah antara lain: Al-Bazdawi, At-Taftazani, An Nasafi, dan Ibnul Hammam. Diantara mereka yang paling terkenal adalah Al – bazdawi, sehingga dalam aliran Maturidiah terdapat dua golongan, yaitu golongan Maturidiah Samarkand yang dipelopori oleh Abu Mansur Al-Maturidi dan golongan Maturidiah Bukhara oleh Abu Yusuf Muhammad Al-Bazdawi.
B. Ajaran-Ajaran Aliran Al-Maturidiah
Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa aliran Maturidiah dan aliran Asy’ariaah muncul dalam suasana yang sama, yakni dalam rangka membendung laju berkembangnya aliran Mutazilah. Oleh sebab itu untuk mengetahui ajaran-ajaran aliran Maturidiah, tidak begitu saja melupakan ajaran-ajaran Asy’ariah dan aliran Mutazilah.
Meskipun aliran Maturidiah dan Asy’ariah timbul sebagai reaksi dari aliran Mutazilah, namun teologi yang ditimbulkan oleh Al-Maturidi ada perbedaanya dengan teologi Asy’ariah. Berikut ini dikemukakan beberapa pemikiran atau ajaran Maturidiah.
Mengenai sifat-sifat Tuhan terdapat persamaan antara ajaran Maturidiah dan ajaran Asy’ariah. Bagi mereka, Tuhan memiliki sifat-sifat. Tuhan mengetahui bukan dengan zat, melainkan dengan sifat-Nya ( pengetahuan-Nya), begitu juga Tuhan berkuasa bukan dengan zat-Nya, melainkan dengan kekuasaan-Nya.
Mengenai perbuatan manusia, aliran Maturidiyah sependapat dengan aliran Mutazilah.  Mutazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan bebas .  menurut aliran ini, manusia yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Mu’tazilah dengan tegas menyatakan bahwa daya juga berasal dari manusia. Daya yang terdapat pada diri manusia adalah tempat terciptanya perbuatan. Jadi tuhan tedak dilibatkan dalam perbuatan manusia. Ini merupakan ajaran Qadariyah dimana posisi manusia menentukan gerak laku dan perbuatan.[3] Mereka mengatakan bahwa manusialah yang sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian, maka paham Maturidiah dalam hal ini sejalan dengan paham Qadariah atau Mutazilah bukan paham Jabariah atau Kasb Asy’ariah.
Mengenai kedudukan Al-Qur’an, Maturidiah tidak sepaham dengan Mutazilah. Aliran Maturidiah sebagaimana aliran Asy’ariah berpendapat bahwa Al- Quran (Kalamullah) itu diciptakan, tetapi bersifat qadim. Begitu pula mengenai kewajiban Tuhan mewujudkan perbuatan yang baik dan yang terbaik sebagaimana pendapat Mutazilah, ditolak oleh Al-Maturidi. Menurut Al-Maturidi, perbuatan Tuhan itu tidak bisa dikatakan wajib, karena perbuatan wajib itu mengandung unsur paksaan, sedangkan perbuatan Tuhan itu tidak bisa dikatakan wajib, karena perbuatan wajib itu mengandung unsur paksaan, sedangkan perbuatan Tuhan itu jika karena terpaksa bertentangan dengan sifat Irad-Nya. Namun demikian, Al-Maturidi percaya bahwa Tuhan berbuat tidak sia-sia. Perbuatan Tuhan itu ada tujuannya.[4]
Dalam soal dosa besar, Al-Maturidi sepaham dengan Asy’ari, bahwa yaitu orang yang berdosa besar masih tetap mukmin. Mengenai balasan tentang dosa besar itu akan ditentukan Tuhan diakhirat kelak. Al-Maturidi juga menolak paham posisi diantara dua posisi seperti ajaran Mutazilah.
Mengenai janji dan ancaman( al wa’ad wal wa’id ), aliran ini sepaham dengan aliran Mutazilah. Janji dan ancaman Tuhan kelak akan terjadi. Demikian juga dalam antrhomorfisme(tajassum) Maturidiah sependapat Mutazilah. Aliran Maturidah tidak sependapat dengan Asy’ariah yang mengatakan bahawa ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan yang mempunyai bentuk tidak dapat diberi interpretasi atau ta’wil. Menurut pendapat Al-Maturidi tangan Tuhan, wajah Tuhan, dan sebagainya mesti diberi arti majazi atau kiasan bukan dalam ari ta’wil.
Kebaikan dan keburukan menurut akal bagi kaum Maturidiah ada tiga bagian. Sebagian adalah suatu perbuatan yang kebaikannya dapat diketahui oleh akal. Sebagian yaitu perbuatan yang keburukannya dapat diketahui oleh akal. Dan sebagian lagi adalah perbuatan yang tidak jelas kebaikan dan keburukannya bagi akal. Kebaikan dan keburukan terakhir ini hanya dapat diketahui melalui syara’. Menurut aliran Mutazilah bahwa apa yang diketahui kebaikannya oleh akal, maka harus ditinggalkan menurut keharusan akal. Al-Maturidi tidak mengikuti aliran Mutazilah, tetapi mengikuti pendapat Abu Hanifah mengatakan, bahwa meskipun akal sanggup mengetahui, datangnya perintah yang mewajibkan itu dari syara’, karena akal tidak dapat bertindak sendiri dalam kewajiban-kewajiban agama, dan yeng mengeluarkan perintah agama hanyalah Tuhan.
Masih dalam kaitan soal kebaikan dan keburukan, aliran Maturidiah tidak sejalan dengan aliran Asy’ariah yang mengatakan bahwa sesuatu tidak mempunyai kebaikan atau keburukan. Kebaikan ada karena adanya perintah syara’ dan keburukan juga ada karena adanya larangan syara’. Kebaikan dan keburukan itu tergantung pada Tuhan. Jadi, paham Maturidiah dalam hal ini berada ditengah-tengah antara paham Mutazilah dan paham Asy’ariah.
C. Antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara
Sebelumnya telah diutarakan bahwa maturidiyah terbagi kedalam 2  bagian, berdasar atas siapa tokoh pembangunnya, ada maturidiyah Samarkand dan maturidiyah Bukhara. Disini kami akan memaparkan perbedaan pandangan antara 2 kubu paham maturidiyah ini. Misalnya pertama,mengenai perbuatan tuhan, aliran Maturidiyah Samarkand memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, mereka berpendapat bahwa perbuatan tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja, dengan demikian tuhan berkewajiban melakukan yang baik bagi manusia. Demikian halnya dengan pengiriman Rasul, Maturidiyah Samarkand menilai hal itu sebagai kewajiban Tuhan. Adapun menurut ma’turidiyah Bukhara yang sependapat dengan Asy’ariyah[5] mengenai paham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh al-Bazdawi, bahwa Tuhan pasti menepati janji-Nya, seperti member upah orang yang telah berbuat kebaikan.

 BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Aliran Asy’ariyah dan aliran Ma’turidiyah adalah aliran yang muncul sebagai reaksi terhadap aliran Mu’tazilah, sehingga bila ingin mengetahui perbedaan pandangan dengan aliran-aliran lainnya, tidak bisa dipisahkan dengan aliran Mu’tazilah.
Abu Hasan Al-Asy’arie adalah tokoh ahli tauhid penganut madzhab Imam Syafi’i, Sedangkan Abu Mansur Al-Maturidi adalah pengikut madzhab Imam Hanafi. Meskipun keduanya menganut madzhab yang berbeda, namun keduanya sama-sama mempunyai charisma yang tinggi serta mendapat simpati dari berbagai kalangan umat, sehingga mereka memposisikan kedua imam ini sebagai tokoh madzhab pilihan dalam permasalahan ushuluddin, yang kemudian madzhab ini lebih dikenal dengan Asy’ariyyah (setiap pengikut Abu Hasan aL–Asy’arie) dan Maturidiyyah (setiap pengikut Abu Mansur aL-Maturidi) dan untuk membedakan kedua golongan ini dengan golongan Mu’tazilah.
Pandangan Asy’ariyah dengan Ma’turidiyah memiliki perbedaan apalagi bila membandingkan asy’ariyah dengan paham Mu’tazilah.
Akidah Asy’ariyah adalah akidah yang paling popular dan tersebar diseluruh dunia. Awal menyebar luas pada zaman Wazir Nidzamul Muluk pada dinasti bani Saljuk dan seolah menjadi akidah resmi Negara. Ulama besar yang mendukung adalah Asy-Syafi’I, Al-Malikiyyah, Al-Ghazali.
3.2 Saran
Aliran-aliran dalam ilmu kalam yang beragam ini membuka memori berpikir kita untuk lebih mempelajari  aturan transcendental baik secara teks maupun konteks. Perbedaan yang begitu beragam tidak lantas membuat kita menyalahkan paham orang lain. Karena setiap orang memiliki kemampuan untuk mengoptimalkan aset pribadinya dalam berfikir.   


[1] Drs. Hasan Basri, M.Ag. Drs. Muarif Yahya, M.Pd. Tedi Priatna, M.Ag. 2009. Ilmu Kalam Sejarah dan Pokok Pikiran Aliran- Aliran . Bandung; Azkia Pustaka Utama. Hal. 54-55. 
[2] Dr. Abdul Rozak, M.Ag. Dr. Rosihon Anwar,M.Ag. Ilmu Kalam. 2006  Bandung:CV Pustaka Setia, hal. 124.
[3] Drs. Abuddin Nata, M.A. Ilmu Kalam Filsafat dan Tasawuf. 1993. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hal 36-37.
[4] Ayat Al-Quran yang membuat berbedanya aliran kalam dalam memandang perbuatan manusia, Al-Baqarah: 26, As-Shaffat:  20, An-Najm: 31. Yang mana ulama menjadi terpecah kedalam 3 golongan.
1.       Seseorang berlaku sesuai kehendaknya sendiri, tidak ada campur tangan iradat dan qudratnya Allah. Contoh: Mu’tazilah
2.        Segala perbuatan hnya terjadi dengan Qudrat dan Iradat-Nya Manusia tidak punya Qudrat dan iradat.
3.       Seseorang mempunyai  qudrot dan iradat yang Allah ciptakan
[5] Paham asy’ariyah mengenai perbuatan tuhan ialah Tuhan tidak berkewajiban berbuat , tidak mempunyai kewajiban. Perbuatan Tuhan bersifat tidak wajib (ja’iz) dan tidak satupun darinya yang mempunyai sifat wajib.

Teknik Berbicara Dalam Kegiatan Pidato


                Pidato merupakan salah satu bentuk keterampilan  berbicara di depan banyak orang dalam acara formal maupun non-formal. Karena sebagai salah satu keterampilan berbicara, maka berpidato memerlukan teknik-teknik tertentu. Penguasaan teknik berpidato yang digunakan untuk menyajikan pikiran atau gagasan secara oral merupakan persyaratan pertama yang harus dipenuhi oleh orang yang akan berpidato. Jika anda memjumpai seorang tokoh atau pemimpin yang tidak dapat berkomunikasi langsung, yaitu berbicara atau berpidato dengan masyarakatnya, dia akan menemui hambatan-hambatan yang cukup berarti.
1.    Pengertian pidato
Dalam kamus besar  bahasa Indonesia (KBBI, depdikbud, 1996) pidato dimaknai “ pengungkapan pikiran dalam bentuk kata-kata yang ditujukan kepada orang banyak; atau wawancara yang disiapkan untuk diucapkan didepan khalayak.” Dengan kata lain, pidato adalah berbicara di muka umum atau penyampaian gagasan secara lisan kepada khalayak.
Sebagai suatu bentuk penyampaian lisan yang ditujukan kepada khalayak, pidato biasanya memberikan semacam informasi, ide, atau menanamkan suatu pola pemikiran tertentu kepada khalayak. Hal yang perlu kita ketahui ialah bahwa pada saat akan berpidato, hendaknya menguasai masalah yang akan dipidatokan atau dibicarakan. Dengan penguasaan itu, maka akan dapat meyakinkan khalayak untuk menerima pemikiran, ide, atau pesan yang disampaikan.

Beberapa tujuan umum yanag harus diperhatikan dalam berpidato
Ø  Menarik perhatian dan menyenangkan khalayak;
Ø  Memberikan informasi atau mendidik khalayak;
Ø  Merangsang atau memberi kesan khalayak;
Ø  Membujuk atau meyakinkan khalayak.

Untuk mencapai beberapa tujuan umum biasanya ada satu topik yang telah disediakan oleh panitia atau orang yang meminta berpidato. Akan tetapi apabila topik tidak ditentukan, maka pembicara dapat menentukan suatu topik dengan memperhatikan :
Ø  Keadaan dan sikap khalayak;
Ø  Peristiwa yang melatari;
Ø  Kelayakan topik (apakah toppik itu sesuai dan layak jika dihubungkan dengan situasi, keadaan, waktu, dan tempat berpidato);
Ø  Menguasai materi.
Menurut laksono dkk. (1991), Persyaratan yang mendasar agar pidato berhasil adalah :
Ø  Memiliki keberanian dan tekad yang kuat;
Ø  Memiliki pengetahuan yang luas;
Ø  Memahami proses komunikasi massa;
Ø  Mengusai bahasa yang bain dan lancer;
Ø  Melakukan latihan yang memadai.

2.    Cirri-ciri pembicara yang baik
Seorang pembicara yang baik akan meninggalkan kesan baik kepada khalayaknya. Oleh sebab itu, kita harus mengetahui bagaimana menjadi pembicara yang baik. Berikut ini beberapa ciri pembicara yang baik yang perlu diketahui (cf. tarigan, 1990: 218).
Ø  Pandai memilih topik yang tepat;
Ø  Menguasai materi;
Ø  Memahami khalayak;
Ø  Memahami situasi;
Ø   Merumuskan tujuan dengan jelas;
Ø  Memiliki kemampuan linguistik yang memadai;
Ø  Menjalin kontak dengan khalayak;
Ø  Mrngusai khalayak.