Jumat, 27 Januari 2012

Jenis - Jenis Penerjemahan

Pengertian Terjemah

Terjemahan didefinisikan secara beragam rupa dengan sepenuhnya bergantung pada pandangan yang diemban oleh sang pemberi definisi. Orang mungkin memberi definisi berdasar pada pengalihan bentuk-bentuk dari suatu bahasa ke dalam bahasa lain. Mungkin pula orang memberi definisi dengan menekankan terjemahan sebagai pengalihan arti dan pesan dari suatu bahasa sumber (BSu) kedalam bahasa sasaran (BSa), atau bahkan berdasar pandangan yang mengusung terjemahan sebagai suatu proses tranfer budaya. Berikut merupakan petikan beberapa pendapat ahli bahasa tentang definisi terjemahan yang kerap menjadi rujukan para pelaku dan pemerhati terjemahan.
Catford (1965:20), dalam bukunya A linguistic Theory of Translation, mendefinisikan terjemahan sebagai pengalihan wacana dalam bahasa sumber (BSu) dengan wacana padanannya dalam bahasa sasaran (BSa). Di sini, Catford menekankan bahwa wacana alihan haruslah sepadan dengan wacana aslinya. Karena padanan merupakan kata kunci dalam proses terjemahan, dengan sendirinya pesan dalam wacana alihan akan sebanding dengan pesan pada wacana asli. Sebaliknya, jika wacana alihan dan wacana asli tidak sepadan, wacana alihan tidaklah dianggap sebagai suatu terjemahan.
Terjemahan yang baik, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan, akan memberi penekanan lebih pada makna atau pesan yang disampaikan. Apakah hasil terjemahan patuh patuh atau tidak pada bentuk bahasa sumbernya bukanlah hal yang fundamental, hal terpenting adalah hasil terjemahan memiliki maksud dan makna yang sama persis dengan pesan pada bahasa sumbernya. Jadi terdapat kesejalan dan kesamaan antara pesan dalam bahasa sumber dan bahasa sasaran, dimana pesan terkonstruksi dalam bahasa sasaran tertera secara wajar untuk diterima oleh pengguna bahasa sasaran, pesan dalam bahasa sasaran tidak diukur oleh pengguna bahasa sumber.

Proses Penerjemahan  

Proses penerjemahan adalah rangkaian tindakan dimana penterjemahan mencurahkan pengetahuan, keterampilan, kemampuan, dan kebiasaannya untuk mengalihkan pesan dari Bsu ke dalam Bsa. Nida and Taber (1969:33) membagi proses penerjemahan kedalam tiga tahap:
1.      Menganalisa pesan Bsu
2.      Pengalihan, and
3.      Merekontruksi ulang pesan dalam Bsa

Newmark menjelaskan 8 jenis penerjemahan diantaranya:

1.      Penerjemahan kata demi kata
Penerjemahan kata demi kata pada dasarnya terikat pada tataran kata. Susunan kata dalam kalimat BSu dipertahankan dan kosakatanya diterjemahkan satu demi satu, dengan arti yang paling umum, tanpa mempertimbangkan konteks. Kosakata kultural diterjemahkan secara harfiah. Penggunaan utama penerjemahan ini untuk memahami cara penyusunan (struktur) BSu, atau untuk menafsirkan teks yang sukar sebagai proses awal penerjemahan.
Contoh:
 I        go    to  school.
Saya pergi ke sekolah.

2.      Penerjemahan harfiah
Dalam terjemahan ini, kostruksi tata bahasa diubah sedekat mungkin dengan padanannya dalam Bsa, tetapi kata-katanya diterjemahkan satu demi satu tanpa memprtimbangkan konteks. Ini digunakan dalam proses awal penerjemhan untuk menunjukkan masalah yang harus dipecahkan.
Contoh:
The thief      was sent   to   the prison.
Pencuri itu   dikirim     ke   penjara.

3.      Penerjemahan setia
Penerjemahan setia berusaha menghsilkan makna kontekstual yang tepat pada teks asal dengan keterbatasan struktur tata bahasa BSu. Dalam penerjemahan ini, kosakata kultural ‘dialihkan’ dan tingkat ‘abnormalitas’ gramatikal dan leksikal dipertahankan. Penerjemahan diusahakan agar betul-betul setia pada maksud dan realisasi teks dari penulis BSu. Jadi cara ini cenderung untuk sejauh mungkin mempertahankan atau setia pada isi dan bentuk BSu.
Contoh:
Born without arms, he was sent to special schools.
Lahir tanpa lengan, dia dikirim ke sekolah khusus. (harfiah)
Karena dilahirkan tanpa lengan, dia bersekolah di sekolah khusus.
(Bukan ‘karena lahir ...disekolahkan’)

4.      Penerjemahan semantik
Penerjemahan semantik berbeda dari penerjemahan setia hanya karena penerjemahan semantik lebih mempertahankan nilai estetika (bunyi yang indah dan alamiah) teks Bsu dan menyesuaikan ‘makna’ bilamana perlu supaya irama kata, penggunaan dan pengulangan kata tidak mengganggu dalam versi terjemahan. Dalam penerjemahan ini, kata-kata kultural yang kurang penting diterjemahkan tidak dengan istilah kultural, tetapi dengan istilah fungsional atau yang netral secara kultural.  Juga dalam terjemahan ini mungkin ada penyesuaian-penyesuaian dengan khalayak pembaca.

Perbedaan antara penerjemahan ‘setia’ dengan penerjemahan ‘semantik’ adalah bahwa yang pertama tidak menyesuaikan diri dan dogmatik, sedangkan yang kedua lebih lentur dan membolehkan kreatifitas dengan tak mengikuti 100% kesetiaan pada teks BSu.

5.      Adaptasi
Ini merupakan bentuk penerjemahan yang paling ‘bebas’ dan terutama digunakan dalam penerjemahan drama (komedi) dan puisi. Tema dan karakter, dan alur biasanya dipertahankan, tetapi kultur BSu diubah ke dalam kultur Bsa dan teksnya ditulis kembali.

6.      Penerjemahan bebas
Penerjemahan bebas memproduksi masalah (matter) tanpa cara (manner), atau isi tanpa bentuk asli. Biasanya terjemahan ini merupakan parafrase yang jauh lebih panjang dari bahan aslinya, yang jugga disebut ‘penerjemahan intrabahasa’, sering bertele-tele, berlebihan dan bahkan bukan terjemahan sama sekali.
                                                                                                 
7.      Penerjemahan idiomatis
Penerjemahan idiomatis memproduksi ‘pesan’ asli tetapi cenderung mengubah nuansa arti dengan lebih banyak menggunakan bahasa sehari-hari (kolokual) dan idiom yang tidak ada dalam BSu.

8.      Penerjemahan komunikatif
Penerjemahan komunikatif berusaha mengalihkan makna kontekstual yang tepat dari teks BSu sedemikian rupa sehingga baik isi maupun bahasanya mudah diterima dan dapat dipahami oleh pembaca.

 
Dari sekian paparan para ahli yang dikutip di atas, terlihat jelas bahwa terdapat satu garis kesamaan yakni pada dasarnya proses penerjemahan mencakup 3 bagian besar, yakni: kata demi kata, harfiah, dan bebas yang masing-masing ragam ini memiliki peruntukkannya sendiri terlepas dari kelebihan dan kekurangan masing-masing. 

    Contoh dalam penerjemahan dalam paragraf   

HALAL and HARAM DEFINED

The concept of Halal and Haram in Islam are are very important in the life of every practicing Muslim. In this chapter, these concept are defined, explained and correlated to foods, diets, ann nutrition. The concepts of Mash-booh (suspected), Makrooh (discouraged or hated) and Zabiha (slaughtering according to Islamic laws) are also included.

  A.    Halal
Halal is an Arabic word which means alloowed or lawful. In the case of diets and foods, most of them are considered to be Halal unless they are specified or mentioned in the Qur’an or Hadith  (sayings of Prophet Muhammad (pbuh)). Human beings cannot change the unlawful (Haram) unlawful to make the lawful as unlawful.
The other name of Halal meat would be Zabiha. Please refer to “Zabiha” at the end of this chapter. The word “Halal” is a Qur’anic term and is used several times in differerent concepts. Some of them are related to foods. In this respect, Allah SWT says the following about Halal foods in the Qur’an in Surah Al-Ma’idah: 87-88

B.     Haram.
 Haram is an Arabic word which, in general, means prohibited or unlawful. In Islam, haram foods are meant unlawful. They are:
1.      Pork and its by products
2.      Alcohol
3.      Meat of dead animals
4.      Animals slaughtered in aname other than Allah
5.      Blood
6.      Intoxicating drugs, etc.
If a Muslim uses any of the above listed Haram products, he would be sinful.
In some exceptional cases a Muslim may use the Haram foods in the following circumstances:
1.      By mistake, or
2.      If he is in danger
When there is no other food available except the one which is Haram, then he is given the permission to use it to survive only. In this respect Allah says the following in the Qur’an in Surah Al-Baqarah: 173

DEFINISI HALAL DAN HARAM
Konsep halal dan haram dalam Islam sangat penting bagi kehidupan setiap muslim. Pada bab ini, konsep konsep ini didefinisikan, dijelaskan dan dikaitkan dengan makanan, diet, dn nutrisi. Masuk pula konsep Masbuh (antara halal dan haram), Makruh (dibenci), dan Zabiha ( penyembelihan berdasarkan hukum Islam)  dalam bahasan ini.
A.    Halal
Halal berasal dari bahasa Arab yang berarti diijinkan atau sah secara hukum.  Untuk makanan yang mengandung sedikit lemak dan makanan lainnya, betul-betul perlu dipertimbangkan kehalalannya baik secara spesifik ataupun disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Manusia tidak bisa menukar yang haram kepada yang halal. Begitu pula yang halal bila ditukar sebagaimana yang haram maka hukumnya akan haram pula.
Adapun nama lain untuk daging yang halal adalah Zabiha. Rujuklah pembahasan “zabiha” di akhir bab ini. Kata “Halal”  adalah istilah dalam Al-Qur’an yang digunakan dibeberapa konsep yang berbeda.  Sebagian besar dihubungkan dengan makanan.  Dalam hal ini,  Allah berfirman berkaitan dengan makanan halal didalam Al-Qur’an surah Al-Maidah :

B.     Haram
Haram berasal dari bahasa Arab umumnya diartikan yang dilarang atau tidak sah secara hukum. Dalam Islam, makanan haram berarti tidak sah secara hukum. Seperti:
1.      Daging babi dan produk dari dagung babi
2.      Alkohol
3.      Bangkai
4.      Binatang yang disembelih selain namaq Allah SWT
5.      Darah
6.      Obat-obatan yang memabukan, dll.
 

Bila mana makanan haram yang terdaftar diatas digunakan oleh seorang Muslim, maka ia akan berdosa.s
Seorang muslim boleh menggunakan makanan haram dibeberapa keadaan sebagai pengecualian, yakni:
1.      Karena Kesalahan, atau
2.      Dalam keadaan terdesak.
Ketika tidak adanya makanan yang lain kecuali hanya makanan haram.  Kemudian makanan haram digunakannya untuk sekedar bertahan hidup. Dalam hal ini, Allah berfirman di dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah: 173

Tidak ada komentar:

Posting Komentar