Lafazh al-Qur'an
terkadang diungkapkan secara tersirat (implisit) dan tidak tersurat
(eksplisit), atau diisyaratkan terutama dalam ayat-ayat Mutasyabihat,
sehingga maknanya tersembunyi di bawah permukaan lafazh. Makna tersebut dapat
ditemukan dengan menggunakan metode ta'wil, sebuah metode untuk
menemukan makna batin (esoteris)
dalam pengungkapan teks. Jadi, ta'wil dapat berarti pendalaman makna (intensification
of meaning) dari tafsir.[1]
Tafsir dan
takwil adalah dua istilah yang sama-sama bertujuan menggali makna kandungan
ayal al-Qur’an. Namun daripada itu, istilah tafsir lebih umum daripada takwil.
Jika disebut istilah tafsir maka ia bermakna umum sebagai penjelasan ayat
al-Qur’an sehingga takwil masuk ke dalamnya.
Menurut
ath-Thabari, konsep tafsir dan takwil itu sama. Namun menurut az-Zarkasyi
pengertiannya berbeda. Lepas dari perbedaan pendapat tersebut kami akan
memfokuskan kepada pembahasan syarat-syarat pentakwilan, supaya terhindar dari
kesalahan mentakwilkan.
2.1.
Syarat Syarat
Mentakwilkan
Para ulama
telah meletakkan kaidah-kaidah ta'wil, sebagai berikut;[2]
1. Adanya
pertentangan antara dua dalil yang shahih, jika salah satunya lemah maka yang
diambil adalah yang shahih dan tidak ada ta'wil. Seperti antara QS.An-Nisa (3)
: 2 dan ayat 6. Pada ayat yang pertama, Allah memerintahkan untuk memberikan
harta anak yatim (mutlak), yaitu orang yang ditinggal mati oleh bapaknya
sebelum usia baligh. Akan tetapi makna ayat ini bertentangan dengan ayat yang
kedua yang bermakna perintah untuk memberikan harta anak yatim ketika sudah
usia baligh. Maka, kata yatim pada ayat pertama harus dita'wil dengan
mengalihkan maknanya dari makna hakiki kepada makna majazi.
2. Ta'wil tidak boleh
menggugurkan nash syar'i lainnya, karena ta'wil merupakan salah satu metode
ijtihad yang bersifat zhanni sedangkan nash yang bersifat zhanni
tidak bisa mengalahkan nash yang bersifat qath'iy. Seperti QS.
Al-Maidah: 6 ( وَامْسَحُوا
بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ) kemudian
dibaca kasrah (أَرْجُلِكُمْ)
oleh kalangan Syi'ah, mereka memilih kasrah bukan fathah dengan alasan athaf.
Hal ini akan berimplikasi kepada pemahaman ayat, bolehnya (cukupnya) mengusap
kaki dalam wudhu. Pemahaman ini akan berdampak negatif kepada dua hal; pertama,
menggugurkan hadith-hadith shahih yang memerintahkan untuk membasuh kaki.
Kedua, lazimnya mengusap kaki hanya sebatas mata kaki. Sehingga pembatasan (qaid)
pada mata kaki menjadi tidak berguna. Padahal kerancuan makna dalam kalamullah mustahil terjadi.
3. Lafazh
yang ingin dita'wil adalah lafazh ambigu dan bisa dita'wil. Menurut kalangan
Hanafiyah, lafazh yang ingin dita'wil harus lafazh nash dan zhahir.
Misalkan, lafazhnya adalah lafazh umum yang dapat dikhususkan (ditakhshish),
atau lafazh mutlak yang dapat diberi batasan (taqyid), atau lafazh
bermakna hakiki yang dapat diartikan secara makna metaforis (majazi),
dan sebagainya. Maka, jika ta'wil dilakukan pada nash khusus (bukan nash
umum), tidak diterima.
4.
Ta'wil (mengalihkan lafazh dari makna zhahir kepada makna batin) harus
berdasarkan pada dalil yang shahih dan dalil makna batin harus lebih kuat dari
pada makna zhahir. Misalkan mengkhususkan nash umum berdasarkan dalil
pengkhusus (takhshish), atau memberikan batasan (taqyid)
pada nash mutlak berdasarkan dalil yang memberikan batasan (mentaqyid).
Maka, ta'wil yang tanpa dalil, atau dengan dalil tapi dalilnya lemah (marjuh),
atau sederajat kekuatannya (musawi) dengan lafazh yang dita'wil, tidak
diterima.
5.
Orang yang hendak melakukan ta'wil, haruslah berkualifikasi mujtahid
yang memiliki bekal ilmu-ilmu bahasa Arab dan ilmu-ilmu syar'i. Orang yang
tidak memiliki kualifikasi tersebut dilarang melakukannya karena akan terjatuh
pada perbuatan yang dilarang yaitu mengucapkan sesuatu tanpa ilmu.
6. Ta'wil
yang dihasilkan harus sesuai dengan makna bahasa Arab, makna syar'i, atau makna
urf (kebiasaan orang Arab). Misalnya, menakwil quru` (QS.
Al-Baqarah (2): 228) dengan arti haid atau suci adalah ta'wil sahih,
karena sesuai dengan makna bahasa Arab untuk quru`. Ta'wil yang
tidak sesuai makna bahasa, syar'i, atau urf, tidak diterima.
7. Jika
ta'wil dengan qiyas maka, hendaknya menggunakan qiyas jaliy
menurut ulama Syafi'iyah. Bagi mereka, dalam qiyas jaliy telah diketahui
secara pasti bahwa tidak ada sisi perbedaan (i'tibar al-fariq) antara far'
dan ashl, seperti qiyas antara hamba sahaya laki-laki (al-'abd)
dengan hamba sahaya perempuan (al-amah) dalam hukum perbudakan.
Sedangkan qiyas khafiy, masih dugaan bukan keyakinan dalam hal tidak
adanya sisi perbedaan (i'tibar al-fariq) antara far' dan ashl,
seperti qiyas antara anggur dengan khamr ketika diminum dalam jumlah yang
sedikit. Karena mungkin khamr memiliki kelebihan (lebih keras) bila dibandingkan
dengan anggur.
Selain
menetapkan aturan dalam menta'wil, para ulama juga menetapkan beberapa
persyaratan bagi orang yang ingin melakukan ta'wil terhadap ayat-ayat
Al-Qur'an dengan kriteria yang cukup ketat, yang juga merupakan kriteria bagi
seorang mujtahid dan mufassir;
1.
Memiliki ilmu
tentang Al-Qur'an; mengetahui dan mengusai ayat-ayat Al-Qur'an terutama
ayat-ayat hukum dan tidak disyaratkan harus menghafalnya.
2.
Memiliki ilmu
tentang As-Sunnah; mengetahui dan mengusai hadith-hadith hukum dan mampu
menyebutkannya, serta membedakannya mana yang shahih dan mana yang dhaif,
mengetahui nasikh dan mansukh, mengetahui ijma', dan perbedaan-perbedaan
pendapat para ulama.
3.
Mengusai ilmu
ushul fiqh sebagai modal ijtihad.
4.
Mengusai
bahasa Arab dengan baik dan mengetahui makna-makna dari setiap katanya, karena ta'wil-ta'wil
batil kebanyakan berasal dari orang ajam yang tidak mengusai bahasa
Arab.
5.
Mengetahui maqashid
syari'ah dengan baik.
6.
Beraqidah yang
lurus, terpercaya, dan wara'.
2.2.
Pandangan Para
Ulama Sekitar Persyaratan Menakwilkan
Sebagaimana
disebutkan di atas bahwa ta'wil adalah mengalihkan lafazh dari makna zhahirnya
(makna rajih) kepada makna esoteris (makna marjuh) berdasarkan dalil (qarinah).
Para ulama menjadikan adanya dalil sebagai syarat utama dalam melakukan ta'wil.
Adanya dalil shahih yang menguatkan merupakan ciri ta'wil yang shahih,
sedangkan tanpa dalil adalah ta'wil yang batil dan mengikuti hawa nafsu.[3]
Menurut para ulama, ada bentuk dalil-dalil yang digunakan untuk merajihkan
makna esoteris (makna marjuh) dari pada makna zhahir.
a.
Nash Al-Qur'an
dan As-Sunnah; seperti firman Allah tentang keharaman bangkai (hewan sembelihan
yang tidak menyebut nama Allah) dalam QS. Al-Maidah: 3). Ayat ini menerangkan
keharaman segala sesuatu dari bangkai, termasuk kulitnya. Namun ada hadith
bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada para sahabat
tentang kambing milik Maimunah Radhiyallah 'anha yang mati yang akan dibuang, "Kenapa
kalian tidak mengambil kulitnya kemudian kalian samak dan manfaatkan?",
para sahabat menjawab, "Tapi ini bangkai?", beliau menjawab,
"Yang diharamkan dari bangkai hanyalah memakannya".[4] Dalil
dari hadith ini mengalihkan sebuah lafazh dari makna zhahirnya.
b.
Ijma'; seperti
firman Allah dalam QS.Al-Jumu'ah: 9,[5]
secara zhahir ayat ini berlaku kepada semua orang beriman baik laki-laki,
perempuan, orang yang merdeka, budak, maupun anak-anak. Tetapi ijma'
mengecualikan anak-anak yang belum baligh.
c.
Qiyas;
diantara para ulama ada yang mensyaratkan harus dengan qiyas jaliy, seperti
qiyas budak laki-laki pada budak perempuan dalam hal pembebasannya, sedangkan
qiyas fariq tidak berlaku.
d.
Hikmah Tasyri'
dan kaidah-kaidah dasar syari'at; seperti kewajiban zakat dari empat puluh ekor
kambing dengan satu ekor[6] فِي كُلِّ
أَرْبَعِينَ شَاةً شَاةٌ . Menurut ulama Syafi'iyah, membayar
dengan seekor kambing sesuai dengan zhahir lafazh hadith dan tidak boleh
menggantinya dengan uang (ikhraj al-qiymah) karena lafazhnya jelas, khusus, dan
qath'i. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, boleh menggantinya dengan uang
(ikhraj al-qiymah) karena hikmah dari mengeluarkan zakat adalah mencukupi
kebutuhan orang-orang faqir dan uang lebih bermanfaat untuk mencukupi segala
kebutuhan mereka serta lebih sesuai dengan keinginan syari'at.[7]
Dalam
kaitannya dengan masalah makna, seorang mujtahid ketika akan mengalihkan lafazh
dari makna yang kuat kepada makna yang lemah harus memperhatikan hal-hal
berikut;
1.
Makna lughawi
bahasa Arab, seperti kata shalat yang berarti do'a, zakat yang berarti
penyucian, dan shaum yang berarti menahan.
2.
Istilah-istilah
syar'i; kata yang memiliki pengertian khusus dalam syar'i, sehingga makna kata
tersebut harus dikembalikan kepada makna syar'i bukan kepada makna lughawi
(bahasa).
3.
Istilah dalam
urf (kebiasaan), baik urf yang bersifat
umum seperti kata الدابة
untuk makhluk yang berkaki empat (melata) atau kata الغائط
untuk kotoran, maupun urf yang bersifat
khusus seperti istilah-istilah dalam ilmu nahwu, fiqh, hadith, dan ilmu-ilmu
lainnya.[8]
Selain
memperhatikan tiga hal di atas, dalam mengalihkan lafazh dari makna yang kuat
kepada makna yang lemah juga harus mengembalikan kepada makna yang dekat atau
berdasarkan dalil. Dalam hal ini, ada tiga macam pengalihan lafazh dari makna
zhahirnya;
1.
Mengalihkan kepada yang terdekat. Seperti lafazh إذا قمتم إلى
الصلاة dalam QS. Al-Maidah (5) : 6 [9]kata
القيام
dalam ayat ini dita'wilkan (diartikan) ketika hendak dan ingin melaksanakan
shalat.
2. Mengalihkan
kepada yang jauh, hal ini tidak boleh dilakukan kecuali ada dalil shahih yang
menguatkan bahwa yang dimaksud dari lafazh tersebut adalah makna yang jauh.
Seperti sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam kepada Ghailan
Ath-Thaqafi ketika masuk Islam dan masih memiliki sepuluh orang istri, " أمسك أربعًا و
فارق سائرهن(Pilihlah empat dari mereka dan ceraikanlah sisanya).[10]
Ulama Hanafiah menta'wilkan hadith ini dengan perintah untuk menikahi empat
orang wanita tersebut dengan akad baru karena mereka membedakan pernikahan
kafir dan Islam. Pendapat ini ditentang oleh ulama lain yang berpendapat bahwa
tidak perlu mengulangi akad nikahnya dengan alasan Ghailan masih baru masuk
Islam dan belum mengetahui hukum-hukum Islam dan seandainya pendapat pertama
benar, niscaya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam akan menjelaskan hal itu
kepada Ghailan.
3. Ta'wil batil yaitu mengalihkan
kepada makna yang tidak terkandung dalam lafazh. Seperti ta'wil yang dilakukan
oleh kelompok Rafidhah terhadap firman Allah أَوْ آَخَرَانِ
مِنْ غَيْرِكُمْ (...atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu...).[11]
Mereka menta'wilkan lafazh ini dengan selain kabilah kalian, sebagaimana
disebutkan oleh Ibnu Hazm dalam Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam.[12]
2.3. Macam – Macam Syarat Menakwilkan[13]
1.
Lafaz yang
ditakwil, harus betul-betul memenuhi kriteria dan masuk dalam kajiannya
Dalil-dalil
yang telah ditafsirkan dan ditetapkan ketentuan hukumnyatidak bisa di-takwil.
Namun menurut Hanafiyah, takwil itu boleh sekalipun pada nash yang zahir
dan semua dalil yang berhubungan dengan syariat Islam.
2.
Takwil itu
harus berdasarkan dalil sahih yang bisa menguatkan takwil
Misalnya,
dengan mentakhsis yang amm. Dan tawil macam inilah yang terbanyak
dilakukan.
3.
Lafaz menekan
arti yang dihasilkan melalui takwil menurut bahasa
Misalnya, men-tayid
yang mutlaq dengan muqayyad. Ketila sunnah men-taqyid wasiat
yang ada dalamAl-Qur’an dengan sepertiga.
4.
Takwil tidak
boleh bertentangan dengan nash yang qath’i, karena nash tersebut bagian dari
aturan syara’ yang umum
Takwil adalah
metode ijtihad yang bersifat zhanni, sedangkan zhanni tidak akan kuat melawan
yang qath’i. Contohnya menakwilkan kisah-kisah yang ada dalam al-Qur’an dengan
mengubah arti yang zahir menjadi fiksi (yang tidak terjadi). Penakwilan seperti
itu bertentangan dengan kejelasan ayat yang qath’i yang menjadikan kisah
tersebut sebagai kejadian sejarah yang nyata.
5.
Arti dari
penakwilan nash harus lebih kuat dari zahir, yakni dikuatkan dengan dalil
sebagian acuan dalam menentukan kekuatannya
adalah sejauh mana kejelasan maksud syara’ dalam setiapdilalahnya.
Takwil itu
terkadang tidak membutuhkan dalil, tetapi dimungkinkan berdasarkan pada
pemahaman yang dangkal, akal dan teks sesuatu. Takwil seperti itu dinamakan
oleh ulama Ushul dengan istilah takwil qarib yang cukup memakai dalil
yang terendah. Misalnya firman Allah SWT dalam al-Qur’an surah al- Maidah (5) :
6
Arti zahir
dari ayat “ ... apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai siku...” adalah mengharuskan berwudhu setelah melaksanakan
shalat. Pemahaman seperti itu tentu saja bertentangan dengan syarat sahnya
shalat yang mengharuskan berwudhu terlebih dahulu. Dan syarat itu harus didahulukan,
baik menurut akal ataupun syara’ agar shalatnya sah. Untuk itu, lafaz
al-qiyamu dalam firman Allah ta’ala diatas harus ditakwilkan. Kemudian
diubah dari artinya yang hakik kepada artinya yang majazi yaitu al-‘ajmu (bermaksud)
mendirikan, bukan mendirikan dengan sendirinya. Dengan demikian, arti ayat
tersebut akan menjadi sah dengan kalimat:
اذا عجمتم او اذا ارد تم
Itulah
beberapa persyaratan takwil, jika persyaratan tersebut tidak terpenuhi
dinamakan takwil baid.
Sekilas
tentang takwil baid akan kami jelaskan disini: jika persyaratan tak
dapat dipenuhi dalam suatu penakwilan, maka takwil tersebut dinamakan takwil
ba’id. Juga jika ada penyimpangan dari persyaratan tadi maka takwil seperti
itu tertolak dan masuk kategori takwil batil.
Namun, para
ulama berbeda pendapat tentang keberadaan takwil ba’id tersebut. Mereka
berbeda pendapat dalam penetapannya, ada yang berpendapat dalam penetapannya,
ada yang berpendapat bahwa sebagian takwil itu ba’id, tetapi
sebagian lagi menilai bahwa takwil seperti itu dikatakan qarib dan sahih.
Misalnya
tentang kifarat khuntsa (banci) ketika melanggar sumpah. Di dalam surah
al-Maidah(5): 89 disebutkan bahwa : “...maka kifarat (melanggar) sumpah itu,
ialah memberi makan sepuluh orang miskin...”
Zahir nash menyatakan
harus memberi makan dalam jumlah yang khusus, yaitu sepuluh orang miskin.
Karena ‘adad adalah lafaz khusus yang mengindahkan pada qath’i
secara ijma’.
Namun golongan
Hanafiy menakwilkan lafaz ‘asyarah pada arti yang tidak tercakup di
dalam kata tersebut, yakni sepuluh makanan atau ukuran sepuluh makanan bagi
orang-orang miskn. Menurut pendapat mereka lafaz ‘asyarah itu bukan
dikhususkan kepada jumlah (fakir), namun merupakan ukuran yang wajib (dikeluarkan)
dari makanan untuk sepuluh orang miskin. Dengan penakwilan seperti itu, menurut
Abu Hanifah dibolehkan untuk memberikan makanan kepada sepuluh orang miskin
atau kepada satu orang miskin dengan sepuluh makanan, karena ukuran itu satu
untuk dua keadaan. Menurut mereka, takwil seperti itu didasarkan pada maksud kebutuhan
mendesak yang merupakan hikmah disyari’atkannya nash.
Namun,
penakwilan di atas dianggap takwil ba’id dan dinyatakan batil menurut
Imam Syafi’i, karena lafaz ‘asyarah adalah lafaz khusus yang
menunjukkan arti qath’i, sehingga tidak membutuhkan penakwilan.
Dan hikmah
syari’atnya bukanlah seperti pendapat mereka, tetapi pembagian ukuran harta
yang wajib dikeluarkan sesuai jumlahnya, supaya manfaatnya dirasakan umum.
Selain itu,
penakwilan mereka juga membutuhkan idhafat kalimat sebagai tambahan nash,
sehingga ayat tersebut menjadi
اطعام طعا م عشر ة مسا كين
Sebagi batasan
wajib, padahal idhafat seperti itu menyalahi ashal. Jadi, kecacatan
takwil di atas disebabkan dua perkara:
a.
Meremehkan ‘adad,
lafaz khusus yang jelas menunjukkan arti yang qath’i maka haruslah
menjaga arti yang qath’i tersebut dan tidak meremehkannya.
b.
Penambahan
kalimat terhadap nash adalah menyalahi ashal.
Jelaslah bahwa penakwilan seperti
itu dinamakan takwil ba’id karena keluar dari persyaratan takwil yang
sah.
2.4.
Etika
Pentakwilan
Sebagaimana
yang telah diuraikan di atas bahwa ta'wil harus berdasarkan dengan dalil
(qarinah) yang kuat, karena merupakan syarat utama sebagai ta'wil yang shahih,
jika tidak berdasarkan pada dalil yang shahih maka ta'wil tersebut adalah
ta'wil batil dan mengikuti hawa nafsu. Selain itu, sebelum melakukan ta'wil
seorang muawwil juga harus memperhatikan makna zhahir lafazh terlebih dahulu
atau tafsir terlebih dahulu. Hal ini dikuatkan oleh pendapat Az-Zarkasyi bahwa
"Lâ mathmaha fi al-wushul ila al-bâthin qabla ihkâm al-zhâhir", tidak
ada harapan sampai kepada makna batin teks sebelum meraih makna zhahirnya
Ditambah pula
dengan kaidah yang telah ditetapkan oleh ulama, yang telah kami paparkan diawal
tulisan.
2.5.
Kesalahan
Pentakwilan
Ta'wil
memiliki tiga macam; pertama, ta'wil yang dekat seperti lafazh idza kuntum ila
ash-shalah yang dita'wilkan dengan ketika hendak melaksanakan shalat. Kedua,
ta'wil yang jauh seperti hadith Ghailan Ath-Thaqafi yang dita'wilkan oleh ulama
Hanafiyah dengan perintah untuk menikahi empat orang wanita tersebut dengan
akad baru karena mereka membedakan pernikahan kafir dan Islam. Ketiga, Ta'wil
batil yaitu mengalihkan kepada makna yang tidak terkandung dalam lafazh. Misalnya,
pendapat Muhammad Abduh dalam tafsirnya al-Manar yang menakwilkan hakikat
malaikat ialah kecenderungan kebajikan dan kejahatan dalam jiwa manusia.
Berdasarkan
syarat-syarat takwil diatas kita akan dapat menilai sahih tidaknya suatu
takwil. Jika suatu ayat tidak memenuhi syarat-syarat takwil tersebut, maka
takwil yang dihasilkan adalah tidak sahih alias batil. Adapun bagi orang-orang
yang telah melakukan penakwilan yang salah, semoga Allah memaafkan kesalahan
mereka, dan mengagungkan mereka dengan ilmu dan ijtihad yang mereka lakukan.
[1] Dalam
Al-Qur'an ada dua macam ayat; muhkamat dan mutasyabihat.
Ayat-ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang sudah jelas maksud dan
maknanya. Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang
mengandung beberapa pengertian dan dapat ditentukan arti yang dimaksud dengan
kajian yang mendalam (ta'wil) atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya
diketahui oleh Allah, seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan perkara-perkara
yang ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan
lain-lain. Termasuk juga huruf -huruf yang terputus (huruf muqattha'ah)
dalam permulaan-permulaan surat Al-Qur'an. Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan
fi Ulum Al-Qur'an, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 2008). hlm.425
[3] Lihat Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mustashfa min
Ilmi Al-Ushul , (Beirut: Dar Al-Kutub Al-'Ilmiah, 2008). hlm. 312 dan Abdul
Wahhab bin Ali As-Subki, Jam'u Al-Jawami' fi Ushul Al-Fiqh, (Beirut: Dar
Al-Kutub Al-Ilmiah, 2003). hlm.54
[4] عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
قَالَ تُصُدِّقَ عَلَى مَوْلَاةٍ لِمَيْمُونَةَ بِشَاةٍ فَمَاتَتْ فَمَرَّ بِهَا رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ هَلَّا أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا فَدَبَغْتُمُوهُ فَانْتَفَعْتُمْ
بِهِ فَقَالُوا إِنَّهَا مَيْتَةٌ فَقَالَ إِنَّمَا حَرُمَ أَكْلُهَا
Dari Ibnu Abbas Radhiyallah 'anhuma, ia berkata: seorang budak
perempuan milik Maimunah mendapatkan seekor kambing lalu mati, (hendak dibuang)
kemudian Rasulullah Shallallah 'alaihi wasallam lewat lalu bersabda,
"Kenapa kalian tidak mengambil kulitnya kemudian kalian samak dan manfaatkan?",
para sahabat menjawab, "Tapi ini bangkai?", beliau menjawab,
"Yang diharamkan dari bangkai hanyalah memakannya". (HR. Muslim dalam
kitab shahihnya; kitab haidh, bab sucinya kulit bangkai dengan disamak, no.542).
[5] يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ
لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا
الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Wahai orang-orang beriman, apabila diseru
untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah
dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui. (QS.Al-Jumu'ah: 9).
[6] HR.Bukhari dalam Shahihnya, kitab zakat bab
zakat kambing, no.1362 dan Abu Dawud dalam sunannya, kitab kitab zakat bab
zakat hewan gembala, no.1340, lafazh hadith di atas milik Abu Dawud dengan
matan yang panjang.
[7] Lihat Kan'an
Musthafa Sa'id Shatat, At-Ta'wil 'Inda Al-Ushuliyin, Tesis Magister,
(Palestina: Jami'ah An-Najah Al-Wathaniyah, 2007). hlm. 30-33 dan Muhammad
Al-Hasan bin Ali Al-Kattani, At-Ta'wil ……. hlm. 12-13
[8] Muhammad Al-Hasan bin Ali Al-Kattani, At-Ta'wil
'Inda Ahl Al-Ilmi, dalam www.saaid.net/book/7/1253.doc. hlm.11-12
[9] يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ
إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْن...ِ
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata
kaki….(QS.Al-Maidah: 6).
[10] Teks hadith
tersebut:
عن ابن عمر قال : أسلم غيلان الثقفي
وعنده عشر نسوة فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : أمسك أربعا ، وفارق سائرهن
[11] يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا شَهَادَةُ
بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِينَ الْوَصِيَّةِ اثْنَانِ ذَوَا
عَدْلٍ مِنْكُم أَوْ آَخَرَانِ مِنْ
غَيْرِكُمْ.....
Wahai
orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian,
sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua
orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan
kamu….(QS.Al-Maidah: 106).
[12] Muhammad Al-Hasan bin Ali Al-Kattani, At-Ta'wil
inda ahl ilmy, hlm.11-12 dan Ibnu
Hazm, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, (Dar Al-Afaq Al-Jadidah, tt). vol.3 hlm. 41
Tidak ada komentar:
Posting Komentar