Jumat, 20 Januari 2012

Munakahat


BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Secara etimologis, kata nikah berasal dari bahasa Arab al – nikah ia adalah bentuk masdar dari kata kerja makaha, yankilu, nikaahan, yang berarti al – dham (bergabung)dan al – jam (berkumpul). Rumusan definisi diatas menjelaskan bahwa pernikahan dipandang sebagai sebuah ‘aqad, yaitu transaksi atau perjanjian yang dibuat oleh laki –laki dan perempuan untuk mencapai tujuan bersamadidalam sebuah pernikahan.
Mengingat perkawinan merupakan salah satu bagian terpenting dalam menciptakan keluarga dan masyarakat yang dirdhai Allah SWT maka dalam memilih calon istri atau suami, Islam menganjurkan agar mendasarkan segala sesuatunya atas norma Agama, sehingga pendamping hidup nantinya mempunyai akhlak / moral terpuji.
Untuk kita kita perlu mengetahui lebih jelas tentang pernikahan. Berikut adalah pembahasan pernikahan mengenai rukun nikah yang terdiri wali, dua orang saksi, sighat, selain itu kita juga akan membahas tentang mahar, hukumnikah, hikmah dalam pernikahan, serta wanita yang halal dan haram untuk dinikahi.
2.      Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah tentang penikahan adalah menjelaskan hal – hal yang berkaitan dengan rukun nikah, mahar, hukum nikah, hikmah nikah, wanita yang halal dan haram untuk dinikahi sehingga para pembaca yang awalnya kurang mengetahui menjadi mengetahuinya. Setelah membahas dan memahami makalah ini diharapkan para pembaca mampu memahami dan mangambil ilmu dan pengetahuan dalam baik dalam acara persentai maupun dalam membaca makalah ini.

 3.      Rumusan masalah
  Berangkat dari latar belakang dan tujuan di atas maka dalam makalah ini kami  membahas beberapa pokok masalah, diantaranya:
1.      Memahami rukun nikah
Ø  Wali
Ø  Susunan wali
Ø  Dua orang saksi
Ø  Sighat
2.      Mahar nikah
3.      Hukum nikah
4.      Hikmah nikah
5.      Wanita yang halal dan haram untuk dinikahi
 
BAB II
PEMBAHASAN
Rukun Nikah
1.      Sigat (akad), yaitu perkataan dari pihak wali perempuan, seperti kata wali “ Saya nikahkan engkau dengan anak saya bernama …..” Jawab mempelai laki – laki, “ Saya terima menikahi….” Boleh juga didahului oleh perkataan dari pihak mempelai, seperti: “Nikahkanlah saya dengan anakmu.” Jawab wali, “Saya nikahkan engkau dengan anak saya ….”karena maksudnya sama. Tidak sah akad nikah kecuali dengan lafaz nikah, tazwiz,atau terjemahan dari keduanya. Seperti yang dikatakan dalam hadits yang artinya: “Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan. Sesungguhnya kamu ambil mereka dengan kepercayaan Allah, dan kamu halalkan kehormatan mereka dengan kalimat Allah.” (Riwayat Muslim)
Yang di maksud “kalimat Allah” dalam hadis ialah Al – Qur’an, dan dalam Al – Qur’an tidak disebutkan selain dua kalimat itu ( nikah dan tajwij), maka harus dituruti agar tidak salah. Pendat yang lain mengatakan bahwa akad sah dengan lafaz yang lain, asal maknanya sama dengan kedua lafaz tersebut ma’qul makna,tidak semata – mata ta’abudi.
2.      Wali (wali perempuan). Keterangannya adalah sabda Nabi Saw: “Barang siapa diantara perempuan yang menikah tidak dengan izin walinya, maka pernikahannya batal.”(Riwayat empat orang ahli hadis, kecuali Nasai)
3.      Dua orang saksi.
Rasulullah Saw bersabda yang artinya: “Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.”( Riwayat Ahmad)
Susunan Wali
Yang dianggap sah untuk menjadi wali mempelai perempuan ialah menurut susunan yang akan diuraikan dibawah ini, karena wali – wali itu memang telah diketahui oleh orang yang ada pada turun ayat : Janganlah kamu menghalangi mereka menikah.” (Al – Baqarah :232).  Begitu juga hadis Ummu Salamah yang telah berkata kepada Rasulullah,”Wali saya tidak ada seorangpun yang dekat”.
Semua itu menjadi tanda bahwa wali – wali itu telah diketahui (dkenal), yaitu:
·         Bapaknya
·         Kakeknya (bapak dari bapak mempelai perempuan).
·         Saudara laki – laki yang seibu sebapak dengannya.
·         Saudara laki – laki yang sebapak saja dengannya.
·         Anak laki – laki dari saudara laki –laki yang seibu sebapak dengannya.
·         Anak laki – laki dari saudara laki – laki yang sebapak saja dengannya.
·         Saudara bapak yang laki – laki (paman dari pihak bapak).
·         Anak laki- laki pamannya dari pihak bapaknya.
·         Hakim.
Macam – Macam Wali Nikah
Wali nikah merupakan rukun nikah yang harus dipenuhi oleh calon mempelai wanita, yang bertindak untuk menikahkannya. Wali nikah terbagi menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut;
a.       Wali nasab
Wali nasab ialah nikah yang didasarkan pada keturnan dimana mempelai wanita dilahirkan menurut garis ayahnya. Wali nasab terdiri dari empat kelompok berdasarkan urutan kedudukan dan kedekatan kekerabatan mereka dengan calon memepelai wanita. Keempat kelompok itu adalah ;
1)      Kelompok ayah dan segaris lurus keatas yakni dari kakek ayanh dan seterusnya;
2)      Kelompok saudara laki – laki kandung, atau seayah dari keturunan laki- laki mereka;
3)      Kelompok paman; yakni saudara laki – laki kandung ayah, atau seayah dan keturunan laki – laki mereka;
4)      Kelompok saudara laki – laki kandung kakek seayah kakek dan keturunan laki- laki mereka.
b.      Wali hakim
Jika kelompok empat wali nasab tersebut semuanya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah, atau oleh karena wali nasab itu menderita tuna wicara, tuba rubgu, sudah uzur, dan tidak ada wali lain yang dapat menggantikannya, atau tidak mungkin menghadirkannya, dan tidak diketahui tempat tinggalnya maka wali hakim dapat bertindak sebagai wali nikah. Jadi, wali hakim ialah seorang pejabat pemerintah yang diberi tugas dan wewenang untuk menikahkan, ketika awali nikah berhubungan secara syara’.
c.       Wali adal
Wali adal ialah wali nasab yang enggan menikahkan mempelai wanita yang dalam tanggungannya sebagai wali. Jika wali nasab enggan menikahkan dengan alasan yang jelas maka wali hakim dapat bertindak sebagai wali nikah setelah mendapat putusan pengadilan agama.
Syarat wali dan dua saksi
Wali dan saksi bertanggung jawab atas sahnya akad pernikahan. Oleh karena itu, tidak semua orang dapat diterima menjadi wali atau saksi, tetapi hendaklah orang – orang yang memilki beberapa sifat berikut:
1.      Islam. Orang yang tidak beragama Islam tidak sahmenjadi wali atau saksi.Allah Swt berfirman:”Hai orang – orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang – orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin – pemimpin(mu). (Al – Maidah:51)
2.      Baligh (sudah berumur sedikitnya 15 tahun)
3.      Berakal
4.      Merdeka
5.      Laki –laki,karena tersebut dalam hadis riwayat Ibnu Majah dan Daruqutni diatas.
6.      Adil
7.      Tidak sedang ihram haji atau umrah
8.      Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab kabul
Mahar
Mahar atau sering disebut mas kawin ialah pemberian sesuatu dari suami, baik berupa uang atau benda kepada istri pada waktu akad nikah. Meskipun mahar tidak termasuk syarat dan rukun akad nikah, namun merupakan suatu pemberian yang bersifat mengikat. Oleh sebab itu, diwajibkan  kepada suami untuk memberikan mahar kepada istrinya sebelum terjadi hubungan suamu isteri.
Mahar sering disebut mas kawin atau dalam bahasa Al – Qur’an disebut saduqah, artinya mas kawin. Perhatikanlah firman Allah SWT dalam surat An – Nisa ayat empat :
وَءَاتُوا النِّسَآءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً                                                                                  
Artinya : “ Berikanlah mas kawin ( mahar ) kepada perempuan ( yang kamu nikahi )sebagai pemberian dengan penuh kerelaan . ( Q. S. An – Nisa : 4 )
Berdasarkan ayat diatas, dapat dikatakan bahwa memberi mahar atau mas kawin kepada istri hukumnya wajib, meskipun nilai dan banyaknya tidak di batasi melainkan sesuai dengan kemampuan suami dan kerelaan istri. Jika mahar belum diberikan kepada istri maka menjadi hutang bagi suami yang wajib dibayarkan, sebagaimana berhutang kepada orang lain. Mahar yang diberikan suami kepada istri, selanjutnya menjadi hak pribadi istri.
Meskipun membayar mahar hukumnya wajib, namun dibayarkan atau belum kepada istri tidak mempengaruhi sahnya akad nikah. Artinya, meskipun mahar tersebut baru dibayar setengah atau sebagiannya , bahkan dihutang semuanya oleh suaminya, pernikahan keduanya tetap sah. Begitu pula dengan jumlah, besar kecil, dan nilai mahar yang akan diberikan harus sesuai dengan kemapuan suami dan kerelaan istri.
Terdapat beberapa cara membayar mahar, dan mahar bisa saja gugur atau tidak harus dibayarkan, baik sebagian maupun seluruhnya, jika terjadi hal – hal sebagai berikut:
1.      Terjadi perceraian sebelum melakukan persetubuhan, sedangkan mahar telah ditentukan jumlah dan besarnya pada waktu akad nikahmaka mahar akan gugur sebagian. Artinya suami wajib membayar sebagian maharnya.
2.      Terjadi perceraian sebelum bersetubuh, dan maharnya belum disebutkan jumlahnya pada waktu akad nikah maka mahar gugur seluruhnya. Artinya, suami tidak wajib membayar mahar, namun hendaknya memberikan mut’ah, yaitu pemberian yang dapat menyenagkan hati istri yang diceraikan.
Besar kecilnya pemberian mut’ah tersebut sangat tergantung pada kemampuan bekas suami. Jika ia kaya berikanlah yang sesuai dengan kekayaannya, jika orang tak mampu, berikanlah apa yang menjadi kemampuannya.
Perhatikanlah firman Allah SWT pada surat Al – Baqarah ayat 236 :
لاَّ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَآءَ مَالَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعقَدَرُهُوَعَلَىالْمُقْتِرِقَدَرُهُمَتَاعًابِالْمَعْرُوفِ
Artinya : “  Tidak ada kewajiban membayar ( mahar ) atas kamu, jika kamu menceraikan istri – istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah ( pemberian ) kepada mereka; orang – orang yang mampu menurut kemampuannya, dan orang yang miskin menurut kemampuannya, dan orang yang miskin menurut kemampuannya ( pula ), yaitu pemberian menurut yang patut . “
3.      Istri berhak mempertahankan diri tidak tergesa – gesa menyerahkan tubuhnya kepada suaminya, sebelum mahar diberikan kepadanya, baik sebagian maupun sebelumnya. Perhatikanlah firman Allah SWT pada surat Al – Ahzab ayat 49:
فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلاً {49}                                         . . . . . . . . .
Artinya : “ maka berilah mereka mut’ah ( mas kawin ) dan lepaskanlah mereka dengan cara yang sebaik – baiknya. “ ( Q. S. Al – Ahzab : 49 )
Hukum Nikah
Para ulama sependapat bahwa nikah merupakan salah satu syariat agama Islam. Diantara dalil – dalil yang dijadikan dasar adalah sebagai berikut:
a.       Q. S. Al – Nisa ayat 3:
فَانكِحُوا مَاطَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَآءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّتَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
Artinya : “  Maka nikahilah perempuan – perempuan yang kamu senangi, dua , tiga, atau empat. Kemudian jika kamu kahwatir tidak akan dapat berlaku adil, maka cukuplah seorang saja , atau budak – budak yang kamu miliki.”
b.      Q. S. Al – Nur ayat 32:
     وَأَنكِحُوااْلأَيَامَىمِنكُمْ                                                                       
Artinya: “ Dan nikahilah orang – orang yang tidak mempunyai suami atau istri diantara kamu .”
c.       Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim : “  Hai para pemuda, siapa di antara kamu yang telah sanggup kawin maka kawinlah, karena kawin itu lebih menundukkan mata dan lebih memelihara faraj. Dan siapa yang tidak sanggup kawin, hendaklah dia berpuasa, karena puasa itu dapat menjadi obat baginya. “
d.      Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad : “ Nabi Muhammad memerintahkan kita kawin dan sangat mencegah kita beribadat saja tanpa kawin. Beliau bersabda : ” Kawinilah wanita yang simpatik lagi subur, karena aku bangga dengan banyaknya kamu pada hari kiamat. “
Meskipun para ulama sependapat bahwa nikah merupakan salah satu syariat agama Islam, namun mereka berbeda pendapat tentang hukum asli melakukan pernikahan.
Daud al – Zhahiri, Ibn Hazm dan Imam Ahmad menurut satu riwayat berepndapat bahwa hukum asli menikah itu adalah wajib. Menurut mereka, perintah menikah pada Q. S. Al – Nisa ayat 3, Q. S. Al – Nur ayat 32 dan kedua hadis diatas, semuanya memakai shigat amar. Dalam Ushul Fiqh ada kaidah yang mengatur bahwa “ Setiap shigat amar menunjukkan wajib secara mutlak. “
Sedangkan Imam Abu Hanifah daan Ahmad menurut salah satu riwayat mengatakan bahwa hukum asli menikah itu adalah sunah. Alasan mereka kemukakan adalah perinta menikah pada Q. S. Al – Nisa ayat 3, Q. S. Al – Nur ayat 32 dan kedua hadis diatas, hanyalah menunjukkan hukum sunah. Menurut mereka, dalam Q. S. Al – Nisa ayat 3, Allah menyuruh laki – laki muslim untuk memilih antara menikah atau tasarri. Tasarri hukumnya tidak wajib. Karena dalam Ushul Fiqh diatur bahwa “  Tidak ada pilihan antara wajib dan tidak wajib. Yang dikatakan wajib adalah suatu hal yang tidak dapat ditinggalkan.” Andaikan perkawinan itu hukumnya wajib, tentu Allah tidak akan menyuruh kita memilih.
Menurut Imam Syafi’i, hukum asli menikah itu adalah mubah. Q. S. Al – Nisa ayat 3 diatas memberikan pilihan kepada kita untuk menikah atau melakukan tasarri. Tasarri  hukumnya mubah. Jadi, menikah hukumnya juga mubah karena tidak ada pilihan antara sunnah dan wajib.
Pada tataran pelaksanaannya, hukum pernikahan itu bisa berbeda antara orang yang satu dengan orang yang lainnya. Bagi sebahagian orang hukum menikah itu wajib, tetapi bagi sebahagian orang lain hukumnya bisa sunah, mbah, makruh, dan bahkan haram, tergantung kepada kondisi orang yang melaksanakannya, yaitu :
a.       Hukum menikah wajib bagi orang yang sudaah berkobar – kobar nafsunya terhadaplawan jenisnya dan tidak dapat lagi mengendalikannya, sedangkan dia juga sudah memiliki kemampuan menjalankan tanggung jawab dalam rumah tangga.
b.      Hukum menikah sunnah bagi orang yang sudah mempunyai keinginan terhadap lawan jenisnya dan tidak khawatir jatuh pada perzinahan, sedangkan dia juga sudah memiliki kemampuan menjalankan tanggung jawab dalam rumah tangga.
c.       Hukum menikah haram bagi orang yang sudah mempunya keinginan terhadap lawan jenisnya dan tidak pula memiliki kempuan menjalankan tanggung jawab dalam rumah tangga.
d.      Hukum menikah makruh bagi orang yang sudah mempunya keinginan terhadap lawan jenisnya dan tidak khawatir jatuh pada perzinahan, tetapi dia tidak memiliki kemampuan menjalankan tanggung jawab dalam rumah tangga.
e.       Hukum menikah mubah bagi orang yang tidak mepunyai keianginan yang kuat terhadap lawan jenisnya tetapi dia memiliki kemampuan menjalankan tanggung jawab dalam rumah tangga.
Dengan berbedanya hukum pernikahan bagi orang yang satu dengan yang lainnya tergantung kepada kondisi masing – masing, diketahui bahwa betapa perlunya kesiapan fisik, mental dan ekonomi bagi orang yang ingin menikah.


Hikmah Nikah
a.       Dapat mententramkan jiwa, terdapat pada surat Ar – Rum ayat 21:
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لأَيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ {21}
Artinya : “ Dan diantara tanda – tanda kekuasaan – Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri – istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan mersa tentram kepadanya, dan dijadikan – Nya diantaramu rasa kasih sayang dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar – benar terdapat tanda – tanda bagi kaum yang berpikir.
b.      Dapat melestarikan keturunan, terdapat pada surat An – Nahl ayat 72:
وَاللهُ جَعَلَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُم مِّنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللهِ هُمْ يَكْفُرُونَ {72}
Artinya : ”Allah menjadikan bagi kamu istri – istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri – istri kamu itu, anak – anak dan cucu – cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik – baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah ? “
c.       Menghidari perbuatan maksiat terdapat pada hadist Rasulullah Saw, yang artinya: “ Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian yang telah mempunyai kemampuan untuk menikah, maka hendaklah ia menikah, karena menikah itu lebih dapat memelihara mata dan mengendalikan nafsu seksual. “ ( H. R. Bukhari dan Muslim )

Wanita yang Halal dan Haram Dinikahi
Ada dua hal yang harus diperhatikan dalam memilih calon istri. Pertama, status pribadi yang menjanjikan dirinya halal untuk dikawini yaitu bukan  wanita yang haram untuk dinikahi. Wanita yang haram dinikahi dalam Al – Qur’an ada 14, tujuh diantaranya haram dinikahi karena pertalian keturunan ( nasab), mereka ialah ibu, dan seterusnya keatas (nenek), anak perempuan dan seterusnya kebawah ( cucu perempuan ), saudari perempuan, bibi dari pihak ibu, bibi dari pihak ayah, anak perempuan dari saudara laki – laki, anak perempuan dari saudara perempuan.
Allah Ta’ala berfirman:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْت            
Artinya : “  Diharamkan atas kamu ( mengawini ) ibu – ibumu, anak  - anak perempuan, saudaara – saudara bapakmu yang perempuan ( bibi dari pihak ayah ), saudara – saudara ibumu yang perempuan ( bibi dari pihak ibu ): anak – anak perempuan dari sudara – saudaramu yang perempuan ( keponakan ). “ ( Q. S. Al – Nisa : 23 )
Dua diantaranya haram dinikahi karena sepersusuan, yakni wanita yang menyusui, saudara sesusu ( anak dari wanita yang disusui ). Allah Ta’ala berfirman :
وَأُمَّهَاتُكُمُالاَّتِيأَرْضَعْنَكُمْوَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ                                                      
Artinya : “ Dan ibu –ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan.    ( Q. S. Al – Nisa : 23 )
Empat diantaranya diharamkan karena hubungan besan, mereka adalah ibu istri ( mertua ), anak perempuan istri ( anak tiri ), jika suami telah melakukan hubungan badan dengan istrinya, istri ayah ( ibu tiri ), istri anak kandung ( menantu ). Dalil yang menerangkan keharaan menikahiistri ayah ( ibu tiri ), adalah firman Allah Ta’ala :
وَأُمَّهَاتُكُمُ الاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ                                                     
Artinya : “ Dan ibu –ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan. (Q. S. Al – Nisa : 23 )
Sedangkan dalil keharaman menikahi tiga wanita yang lain adalah firman Allah Ta’ ala :
وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَآئِبُكُمُ الاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ الاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُوا دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَجُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلآَئِلُ أَبْنَآئِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ                                                    
Artinya : “ …. dan ibu – ibu istrimu ( mertua), anak – anak tirimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu ( dan sudah kamu ceraikan ), maka tidak dosa kamu mengawininya: ( dan diharamkan bagimu ) istri – istri anak kandungmu ( menantumu ). (  Q. S. Al – Nisa : 23 )
Suatu diantaranya diharamkan karena telah menikahi saudaranya, yakni saudara dari istri. Allah SWT berfirman :
وَأَن تَجْمَعُوا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ إِلاَّ مَاقَدْ سَلَفَ                                                              
Artinya : “ ….dan menghimpunkan ( dalam pernikahan )dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi masa lampau. ( Q. S. Al – Nisa : 23 )
Selain yang empat belas wanita terdahulu, diharamkan menikahi seorang wanita dan bibinya (dari bapak ) sekaligus atau seorang wanita dengan bibinya ( dari ibu ) sekaligus.
Sifat – sifat dirinya demi terpenuhinya kabahgiaan hidup berkeluarga serta tercapainya tujuan utama perkawinan. Kata Syekh Sayyid Sabiq, istri yang shalehah adalah istri yang hidup mematuhi ajaran agama dengan baik, bersikap luhur dan berakhlak mulia, memperhatikan hak – hak suaminya dan anak – anaknya dengan baik.

 BAB III
KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa terdapat rukun dalam pernikahan yaitu adanya wali, sighat dan dua orang saksi. Pada calon suami hendaknya meberikan mahar untuk istrinya karena walaupun mahar bukan suatu rukun dalam penikahan tetapi wajib hukum untuk meberikan mahar pada istri. Karena mahar adalah suatu pemberian mengikat, maka suami wajib member mahar pada istrinya.
Hukum pernikahan bagi setiap orang bergantung pada situasi dan kondisi, niat dan motivasinya masing – masing. Hukum dalam menikah ada lima yaitu, mubah, sunah, wajib, makruh, dan haram. Hikmah dalam pernikahan yaitu dapat mententramkan jiwa, menghindarkan perbuatan maksiat, dapat melestarikan keturunan.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar