Selasa, 17 Januari 2012

Nikah Mut’ah


BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluq yang dianugerahi nafsu dan selalu berusaha untuk memenuhi segala kebutuhan nafsu tersebut. Banyak diantara mereka yang berhasil mengendalikan nafsunya dan berusaha memenuhi kebutuhannya hanya dengan perkara-perkara yang telah dihalalkan oleh Allah SWT, akan tetapi banyak pula yang justru dikendalikan nafsu sehingga nafsu menjadi sesembahannya.
Kebutuhan nafsu yang terpenting dan harus dipenuhi manusia adalah kebutuhan biologis (hubungan sexsual).Allah SWT sebagai pencipta dan yang Maha Mengetahui tentang ciptaannya telah menyiapkan sarana pemenuhan kebutuhan tersebut secara halal yaitu dengan pernikahan atau budak wanita yang dimiliki. Akan tetapi banyak diantara manusia yang justru lebih memilih jalan lain yang keji dan telah diharamkan oleh Allah SWT, yaitu dengan berzina atau homoseksual (liwath). Bahkan mereka menghias-hiasi perbuatan keji tersebut dengan berbagai syubhat agar terlihat manis dan indah. Perbuatan keji yang sejak masa awal Islam telah diperjuangkan oleh para penyembah nafsu adalah zina yang berkedok nikah (nikah mut’ah) atau yang lazim disebut sebagai kawin kontrak.
Nikah mut’ah menjadi sebuah keyakinan beragama yang harus dilakukan oleh orang-orang syi’ah.Ajaran ini sangat menggiurkan bagi para muda-mudi terutama mahasiswa dan mahasiswi untuk melampiaskan hasrat nafsunya.Orang-orang bodoh selain Syi’ah juga banyak melakukan perbuatan ini karena besarnya nafsu mereka kemudian tertipu dengan indahnya syari’at buatan syi’ah ini.Apalagi jika yang melakukannya adalah orang-orang Arab yang berkunjung ke Indonesia pada musim liburan ditambah dengan kemiskinan yang dialami sebagian besar masyarakat menjadikan mereka semakin bersemangat ketika ditawari menikah dengan orang Arab yang secara ekonomi lebih mampu dari mereka. Hal ini pernah diliput oleh sebuah reality show di salah satu televisi swasta yang secara khusus membahas maraknya pernikahan model mut’ah ini oleh orang-orang Arab di Indonesia. Selain itu, masih banyak kalangan umat Islam yang terpengaruh syubhat bahwa nikah mut’ah dibolehkan pada masa Rasulullah saw dan baru diharamkan oleh khalifah Umar bin Khathab ra.melalui ijtihadnya.
1.2.Perumusan Masalah
1.      Apakah pengertian nikah mut’ah?
2.      Bagaimana hukumnya nikah mut’ah?
3.      Apa dalil yang terkait dengan nikah mut’ah?
4.      Bagaimanakah pandangan para imam madzhab?


 BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Pengertian Nikah Mut’ah
Mut’ah berasal dari kata tamattu’ yang berarti bersenang-senang atau menikmati. Adapun secara istilah mut’ah berarti seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan memberikan sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu, pernikahan ini akan berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah di tentukan tanpa talak serta tanpa kewajiban memberi nafkah atau tempat tinggal dan tanpa adanya saling mewarisi antara keduanya.
            Nikah mut'ah yang disyari'atkan agama Syi'ah ini sangat mirip dengan zina yaitu kawin untuk melakukan hubungan seks dengan berdasarkan mahar tertentu. Masa berlakunya bisa setengah jam, bisa satu jam, satu hari, satu minggu, satu bulan dan seterusnya, sesuai dengan akad perjanjian di kedua belah pihak tergantung kesanggupan membayarnya.
Al-Kulaini dalam Al-Furu' min al-Kaafi, meriwayatkan bahwa Zurarah pernah bertanya kepada Abul-Hasan Ar-Ridla, "apakah boleh masa mut'ah sesaat atau dua saat (yaitu ukuran waktu yang pendek)? Maka dijawab: "Yang boleh bukan sesaat atau dua saat, tetapi perjanjian mut'ahnya adalah sekali jima' atau dua kali atau sehari atau dua hari, semalam atau dua malam dan yang semisalnya."
Menurut imam-imam madzhab di dalam kitab mereka, nikah muth'ah adalah pernikahan dengan batasan waktu baik waktunya sudah diketahui atau tidak, kurang lebih lamanya waktu adalah sampai empat puluh lima hari, kemudian nikah itu naik dengan mengganti batas waktu tersebut dengan batasan satu kali haidh atau dua kali haidh pada wanita yang haidh. Dan selama 4 bulan 10 hari pada wanita yang ditinggal mati suaminya, dan hukum nikah tersebut bahwasanya tidak ditetapkan mahar tanpa syarat baginya, dan tidak ditetapkan nafkah baginya, dan tidak ada waris-mewaris, tidak ada I'ddah kecuali meminta lepas menurut yang ia ingat, dan tidak ditetapkan nasab.
Dari definisi tersebut bahwasanya perkawinan yang seperti ini terjadi kontradiksi terhadap arti nikah sesungguhnya. Bahwa nikah itu adalah suatu ikatan yang kuat dan perjanjian yang teguh yang ditegakkan di atas landasan niat untuk bergaul antara suami istri dengan abadi supaya memetik buah kejiwaan yang telah digariskan Allah dalam al-qur'an yaitu ketentraman, kecintaan, dan kasih sayang. Sedangkan tujuan yang bersifat duniawi adalah demi berkembangnya keturunan dan kelangsungan hidup manusia.
Nikah muth'ah pernah diperbolehkan oleh Rasulullah saw. sebelum stabilitasnya syari'at islam, yaitu diperbolehkannya pada waktu berpergian dan peperangan. Akan tetapi kemudian diharamkan. Rahasia diperbolehkan nikah muth'ah waktu itu adalah karena masyarakat islam pada waktu itu masih dalam transisi (masa peralihan dari jahiliyah kepada islam). Sedang perzinaan pada masa jahiliyah suatu hal yang biasa. Maka dari itulah islam datang dan menyeru pada pengikutnya untuk pergi berperang. Karena jauhnya mereka dari istri mereka adalah suatu penderitaan yang berat. Sebagian mereka ada yang kuat imannya dan adapula yang sebagian tidak kuat imannya. Bagi yang lemah imannya akan mudah untuk berbuat zina yang merupakan sebagai berbuatan yang keji dan terlarang. Dan bagi yang kuat imannya berkeinginan untuk mengkebiri dan mengipoternkan kemaluannya.
Disebut dengan nikah mut’ah apabila dalam aqad perkawinannya memnuhi hal-hal sebagai berikut :
1.      Lafadz sighat ijabnya menggunakan lafadz-lafadz mut’ah atau yang sama artinya dengan mut’ah yang artinya bersenang-senang,
2.      Dalam nikah mut’ah tidak ada wali,
3.      Dalam nikah mut’ah tidak ada saksi,
4.      Dalam aqad nikah mut’ah terdapat ketentuan pembatasan waktu, misalnya untuk seminggu, sebulan, setahun dan sebagainya,
5.      Mahar (mas kawin) wajib di sebutkan dalam aqad ijab qabul,
6.      Kedudukan anak dalam nikah mut’ah seperti kedudukan anak dalam nikah  biasa,
7.      Bila tidak di syaratkan maka antara suami istri tidak bisa saling mewarisi,
8.      Talak tidak berlaku sebelum masa yang disepakati berakhir,
9.      Dalam nikah mut’ah masa iddah di hitung dua kali suci/haid,
10.  Tidak dikenal dengan nafkah iddah.

2.2.Hal-hal yang menyebabkan terjadinya nikah mut’ah
a.       Karena dorongan hawa nafsu seksual yang tinggi
b.      Hanya ingin mencari kesenangan
c.       Faktor ekonomi yang serba pas-pasan
d.      Hanya ingin melepaskan hasrat seksual semata
e.       Tidak ada biaya untuk menikah

2.3.   Hukum Nikah Mut'ah
Pada awal Islam, nikah mut’ah dihalalkan oleh Rasulullah saw. berdasarkan beberapa sabdanya, lalu hukum ini dihapus dengan beberapa hadits yang melarangnya dan mengharamkannya hingga hari kiamat. 
Di antara dalil yang menunjukkan bolehnya nikah mut'ah di awal Islam adalah:
Pertama, Hadis Abdullah Bin Mas'ud radliyallah 'anhu,  berkata: ''Kami berperang bersama Rasulullah saw. sedangkan kami tidak membawa serta istri–istri kami. Lalu kami berkata; ''bolehkah kami berkebiri?" Namun Rasululullah saw. melarangnya, tapi kemudian beliau memberikan keringanan untuk menikahi wanita dengan mahar pakaian sampai batas waktu tertentu" (HR. Ahmad)
Kedua, Hadis Jabir dan Salamah bin al Akwa' radliyallah 'anhuma, berkata, "pernah Rasulullah saw. menemui kami dalam sebuah peperangan, lalu bersabda,
إِنَّهُ قَدْ أُذِنَ لَكُمْ أَنْ تَسْتَمْتِعُوا فَاسْتَمْتِعُوا
''Telah di izinkan bagi kalian untuk menikah mut'ah maka sekarang mut'alah." (HR.Bukhori no. 5117)
Al-Imam Al-Muzani rahimahullah berkata: “Telah sah bahwa nikah mut’ah dulu pernah diperbolehkan pada awal-awal Islam. Kemudian datang hadits-hadits yang shahih bahwa nikah tersebut tidak diperbolehkan lagi.Kesepakatan ulama telah menyatakan keharaman nikah tersebut.” (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1404 karya An-Nawawi)
Ketiga, sabda beliau Rasulullah saw : “Wahai manusia! Sesungguhnya aku dulu pernah mengizinkan kalian untuk melakukan nikah mut’ah.Namun sekarang Allah ‘Azza wa Jalla telah mengharamkan nikah tersebut sampai hari kiamat.” (HR. Muslim)
Adapun nikah mut’ah yang pernah dilakukan beberapa sahabat di zaman kekhalifahan Abu Bakr dan Umar radhiyallahu ‘anhuma, maka hal itu disebabkan mereka belum mendengar berita tentang diharamkannya nikah mut’ah untuk selama-lamanya. (Syarh Shahih Muslim hadits no. 1405 karya An-Nawawi)
Sedangkan gambaran nikah Mut’ah di zaman Rasulullah saw. yang pernah dilakukan para sahabat radhiyallahu ‘anhum dapat dirinci sebagai berikut:
1. Dilakukan pada saat mengadakan safar (perjalanan) yang berat seperti perang, bukan ketika seseorang menetap pada suatu tempat. (HR. Muslim hadits no.1404)
2. Tidak ada istri atau budak wanita yang ikut dalam perjalanan tersebut. (HR. Bukhari no. 5116 dan Muslim no. 1404)
3. Jangka waktu nikah mut’ah hanya 3 hari saja. (HR. Bukhari no. 5119 dan Muslim no. 1405)
4 Keadaan para pasukan sangat darurat untuk melakukan nikah tersebut sebagaimana mendesaknya seorang muslim memakan bangkai, darah dan daging babi untuk mempertahankan hidupnya. (HR. Muslim no. 1406)
2.4.Dalil-Dalil Yang Mengharamkan Nikah Mut’ah
1. Al-Qur’an
QS. Al-Mu’minun: 5 – 7
   5.  Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
6. Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki[994]; Maka  Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada terceIa.
7. Barangsiapa mencari yang di balik itu[995] Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.
[994]  Maksudnya: budak-budak belian yang didapat dalam peperangan dengan orang kafir, bukan budak belian yang didapat di luar peperangan. dalam peperangan dengan orang-orang kafir itu, wanita-wanita yang ditawan Biasanya dibagi-bagikan kepada kaum muslimin yang ikut dalam peperangan itu, dan kebiasan Ini bukanlah suatu yang diwajibkan. imam boleh melarang kebiasaan ini. Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan bersama-samanya.
[995]  Maksudnya: zina, homoseksual, dan sebagainya.
 
QS. Al-Ma’arij: 29 – 31

29.  Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya,
30. Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki[ 1 ], Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada tercela.
31. Barangsiapa mencari yang di balik itu[ 2 ], Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.
[ 1 ]  Maksudnya: budak-budak belian yang didapat dalam peperangan dengan orang kafir, bukan budak belian yang didapat di luar peperangan. dalam peperangan dengan orang-orang kafir itu, wanita-wanita yang ditawan Biasanya dibagi-bagikan kepada kaum muslimin yang ikut dalam peperangan itu, dan kebiasan Ini bukanlah suatu yang diwajibkan. imam boleh melarang kebiasaan ini. Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan bersama-samanya.
[ 2 ]  Maksudnya: zina, homoseksual, dan sebagainya
Ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa Allah SWT telah mengharamkan atas orang-orang mu’min segala macam kemaluan kecuali kemaluan yang telah Allah SWT halalkan melalui akad pernikahan yang syar’i atau budak yang dimiliki.Sedangkan apabila seseorang berada diatas seorang wanita secara mut’ah maka wanita tersebut bukanlah istrinya yang sah karena tidak dinikahi. Ada 21 perbedaan yang disebutkan Yusuf Jabir al-Muhammady dalam Tahrimul Mut’ah fil Kitabi was Sunnah sebagai bukti bahwa wanita yang dimut’ah bukanlah istri atau budak yang dimiliki.
Perbedaan tersebut adalah :
  1. Wanita yang dimut’ah adalah wanita sewaan
  2. Tidak ada waris-mewarisi di antara pasangan mut’ah
  3. Boleh mut’ah lebih dari 4 wanita bahkan ribuan
  4. Mut’ah selesai (jika habis masanya) tanpa ada perceraian
  5. Pasangan mut’ah boleh kembali ke pasangan pertamanya sesuai kehendaknya walaupun sudah pernah diselingi pasangan lain ataupun tidak
  6. Boleh mut’ah dengan wanita musyrik
  7. ‘Iddah mut’ah sama dengan ‘iddah wanita sewaan
  8. Wanita yang dimut’ah mendapat upah pada hari-hari yang ia datang pada pasangannya
  9. Orang yang mut’ah tidak dianggap sebagai orang yang sudah menikah (muhshan)
  10. Boleh mut’ah dengan wanita yang memiliki suami
  11. Boleh mut’ah dengan pelacur
  12. Boleh mut’ah dengan gadis selama tidak merusak kegadisannya karena dikhawatirkan akan menjadi aib bagi keluarganya (bahkan dengan bayi yang masih menyusui)
  13. Tidak ada li’andalam mut’ah
  14. Tidak ada dhihar dalam mut’ah
  15. Tidak ada ila’ dalam mut’ah
  16. Tidak ada nafkah bagi wanita yang dimut’ah
  17. Tidak ada tempat tinggal bagi wanitadalam mut’ah
  18. Boleh mensyaratkan dalam mut’ah untuk tidak melakukan jima’
  19. Boleh melakukan ‘azl dalammut’ah tanpa harus izin kepada wanita yang dimut’ah
  20. Tidak ada khulu’ dalam mut’ah
  21. Boleh mut’ah dengan saudari istri sendiri (ipar)
Banyaknya perbedaan antara wanita yang dimut’ah dengan wanita yang dinikahi atau budak yang dimiliki memperjelas bahwa wanita yang dimut’ah bukanlah istri atau budak, sehingga mut’ah termasuk kemaluan yang diharamkan dan orang yang melakukannya termasuk melampaui batas.Oleh karena itu sejak ayat tersebut di atas diturunkan (ketika Rasulullah saw. hidup) maka menjadi haram hukum mut’ah.
2. As-Sunnah
Hadits-hadits shahih yang menyatakan bahwa mut’ah haram sejak Rasulullah saw. hidup sangat banyak. Diantara hadits-hadits tersebut adalah sebagai berikut.
عن محمد بن علي عن علي بن أبي طالب : ” أن رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم نهى عن متعة النساء يوم خيبر ، وعن أكل لحوم الحمر الإنسية
Dari Muhammad bin ‘Ali dari ‘Ali bin Abi Thalib: “bahwa Rasulullah saw. melarang mut’ah dengan wanita pada hari (perang) Khaibar, dan juga melarang memakan daging keledai jinak.”
Riwayat tersebut di atas selain diriwayatkan oleh para imam ahli hadits Ahlus Sunnah, juga telah diriwayatkan dalam kitab-kitab Syi’ah. Husain al-Musawi, seorang ulama Syi’ah yang telah bertaubat menulis kesaksiannya dalam kitab Lillah tsumma lit Tarikh, tentang riwayat tersebut di atas dalam kitab-kitab Syi’ah. Riwayat tersebut berbunyi:
قال أمير المؤمنين صلوات الله عليه:) حرم رسول الله صلى الله عليه وآله يوم خيبر لحوم الحمر الأهلية ونكاح المتعة ( انظر (التهذيب 2/186)، (الاستبصار 2/142)، (وسائل الشيعة 14/441).

Berkata Amirul Mu’minin shalawatullah ‘alaih : “Rasulullah saw.telah mengharamkan pada hari (perang) Khaibar daging keledai jinak dan nikah mut’ah”[1]
Perang khaibar terjadi pada Bulan Muharram tahun 7 H dan termasuk perang yang dipimpin langsung oleh Rasulullah saw. Maka tidak samar lagi bahwa keharaman mut’ah telah disampaikan langsung oleh Rasulullah saw. kepada para sahabatnya. Bahkan Imam terbesar Syi’ah, ‘Ali bin Abi Thalib -Radiallahu anhu- sendiri yang menyampaikan riwayat tersebut dari Rasulullah saw.

2.5.Fatwa Para Ulama Madzhab tentang Nikah Mut'ah
A.  Ulama Madzhab Hanafi :[2]
1.   Imam Al-Sarakhsi berkata : ''Nikah mut'ah ini batil menurut madzhab kami."
2.   Imam Al-Kasani berkata: ''Tidak boleh nikah yang bersifat sementara yaitu nikah mut'ah."
3.   Imam Abu Ja'far Ath-Thahawi berkata; ''Sesungguhnya semua hadis yang membolehkan nikah mut'ah telah di mansukh (dihapus)." Beliau juga berkata, "lihatlah umar beliau melarang nikah mut'ah di hadapan semua sahabat tanpa ada yang mengingkari. Ini adalah dalil bahwasanya mereka mengikuti larangan Umar, dan kesepakatan mereka untuk melarang hal tersebut adalah hujjah atas di hapusnya kebolehan mut'ah."
B.  Ulama Madzhab Maliki:
1.   Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata, "Apabila seorang lelaki menikahi wanita dengan dibatasi waktu maka nikahnya batil. (Al-Mudhawannah Al-kubra 2/130)
2.   Imam Ibnu Rusyd rahimahullah berkata, "Hadis–hadis yang mengharamkan nikah mut'ah mencapai peringkat yang mutawatir." (Bidayatul Mujtahid 4/325)
3.   Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata, ''Adapun semua shahabat, Tabi'in dan orang-orang yag setelah mereka mengharamkan nikah mut'ah, di antara mereka adalah Imam Malik dari Madinah, Abu Hanifah dan Abu Tsur dari Kufah, Al-Auza'i dari Syam, Laits bin Sa'ad dari Mesir serta seluruh ulama hadits." (Al-Tamhid 10/121)
  C. Ulama Madzhab  Syafi'I:[3]
1.   Imam Asy-Syafi'i rahimahullah berkata, "Nikah mut'ah yang di larang itu adalah semua nikah yang dibatasi dengan waktu baik pendek maupun panjang."
2.   Imam Nawawi rahimahullah berkata, "Nikah mut'ah tidak di perbolehkan, karena pernikahan itu pada dasarnya suatu akad yang bersifat mutlak. Maka tidak sah apabila dibatasi dengan waktu."
3.   Imam Al-Khathabi rahimahullah berkata,"keharaman nikah mut'ah semacam kesepakatan antara kaum muslimin, memang nikah ini dihalalkan di awal masa Islam, Akan tetapi diharamkan pada sa'at haji wada dan demikian itu terjadi di akhir–akhir masa Rasulullah saw. dan sekarang tidak ada perbeda'an antar para ulama mengenai keharaman masalah ini kecuali sedikit dari kalangan orang–orang Syiah Rafidhah."
D. Ulama Madzhab Hanbali :[4]
1.   Imam Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan bahwa nikah mut'ah ini batil sebagaimana di tegaskan oleh Imam Ahmad, beliau berkata, "nikah mut'ah haram."
2.  Bahkan sebagian ulama menukil ijma tentang keharaman nikah mut'ah seperti Imam Al-Baghawi sebagaimana di nukil Syaikh Shidiq hasan Khan (Raudhah Nadiyah, 2/165. Ma'at Ta'liqat), Imam Al-Qurthubi dan Ibnul Al-Arabi (dalam Bidayatul Mujtahid, 2/48) dan Sayyid Sabiq (Fiqhus Sunnah 2/130).
 2.6. Dampak Buruk Nikah Mut'ah
Pertama, Banyak didapati kasusnya adalah beredarnya penyakit kelamin semacam spilis, raja singa dan sejenisnya di kalangan mereka yang menghalalkannya. Karena pada hakikatnya nikah mu'tah itu memang zina.   
Kedua,   Merusak garis nasib manusia. Dalam nikah mut’ah, suami  tidak bisa menceraikan istri sebelum masa kontrak selesai, namun ia (laki-laki) bisa menghadiahkan waktu mut’ahnya kepada laki-laki lain tanpa persetujuan istri.
Ketiga,     Berpeluang disalahgunakan dan hanya sebagai pelampiasan hawa nafsu seksual belaka.
Keempat,  Merendahkan harkat perempuan karena perempuan dipandang sebagai obyek seksual kaum pria belaka.

 BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Mut’ah berasal dari kata tamattu’ yang berarti bersenang-senang atau menikmati. Adapun secara istilah mut’ah berarti seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan memberikan sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu, pernikahan ini akan berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah di tentukan tanpa talak serta tanpa kewajiban memberi nafkah atau tempat tinggal dan tanpa adanya saling mewarisi antara keduanya.
Menurut imam-imam madzhab di dalam kitab mereka, nikah muth'ah adalah pernikahan dengan batasan waktu baik waktunya sudah diketahui atau tidak, kurang lebih lamanya waktu adalah sampai empat puluh lima hari, kemudian nikah itu naik dengan mengganti batas waktu tersebut dengan batasan satu kali haidh atau dua kali haidh pada wanita yang haidh. Dan selama 4 bulan 10 hari pada wanita yang ditinggal mati suaminya, dan hukum nikah tersebut bahwasanya tidak ditetapkan mahar tanpa syarat baginya, dan tidak ditetapkan nafkah baginya, dan tidak ada waris-mewaris, tidak ada I'ddah kecuali meminta lepas menurut yang ia ingat, dan tidak ditetapkan nasab.
Pada awal Islam, nikah mut’ah dihalalkan oleh Rasulullah saw. berdasarkan beberapa sabdanya, lalu hukum ini dihapus dengan beberapa hadits yang melarangnya dan mengharamkannya hingga hari kiamat. 



[1](Lihat at-Tahdzib 2/186, al-Istibshar 2/142, Wasailus Syi’ah 14/441)
[2]1.(al Mabshut 5/152) 2. (Bada'i al Shana'I 2/272) 3. (Ma'ani Atsar 3/26)
[3]  1.(Al-Umm 5/85) 2. (Al-Majmu, 17/356) 3. (Ma'alimus Sunan, 2/558)
[4]1. (Al-Mughni, 6/644)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar