Jumat, 20 Januari 2012

Psikologi Sufi

Selain di kalangan ulama dan teolog, psikologi juga dikembangkan dikalangan para sufi. Tetapi di dunia tasawuf, psikologi tidak dikembangkan terutama untuk tujuan teoritis, melainkan untuk melakukan transformasi jiwa. Karena bagi para sufi transformasi jiwa adalah yang terpenting dalam menuntut sebuah ilmu. Ilmu yang tidak menghasilkan sebuah transformasi jiwa akan dipandang rendah, betapapun canggihnya ia secara teoritis. J. Rumi (w. 1273) pernah mengeritik teologi dan fiqih yang karena kecenderungannya pada formalisme, gagal dalam melakukan transformasi jiwa.
Hanya tasawuflah, menurutnya, yang akan mampu melakukan transformasi jiwa seseorang.

Sebenarnya banyak teori psikologi yang telah dikembangkan, disepanjang sejarah panjang pemikiran tasawuf, oleh para sufi, dengan penggunaan istilah-istilah yang berbeda-beda. Sehingga tidak menjadi semacam kesepakatan bahwa psikologi sufi, seperti yang disinyalir oleh Robert Frager saja, yang mana  berkisar pada tiga konsep dasar kejiwaan, yaitu hati, diri (nafs) dan jiwa (ruh).
Konsep Dasar  Psikologi Sufi Hati, Diri, dan Jiwa 

Menurut Robert Frager terdapat 3 konsep dasar rsikologi sufi, yakni Hati, Diri, dan Jiwa. Hati, diri, dan jiwa memiliki istilah teknis dan sejumlah konotasi berbeda dalam kegunaannya sehari-hari. Masing-masing istilah menyertakan penekanan makna dari Alquran, serta kajian sufi berabad-abad silam. Ketiga konsep ini berasal dari tradisi berusia ribuan tahun.
           Hati
    Maksudnya adalah hati spritual (bukan organ). Contohnya: kita biasa menyebut seseorang yang baik hati, tulus dan penuh belas kasihan sebagai orang yang "memiliki hati". Sebaliknya orang yang kejam adalah orang yang "tidak memiliki hati".

   Menurut psikologi sufi, hati menyimpan kecerdasan dan kearifan kita yang terdalam. Ia lokus makrifat, gnosis, atau pengetahuan spiritual. Cita-cita para sufi adalah menumbuhkan hati yang lembut dan penuh kasih sayang. Dan yang tak kalah pentingnya, adalah menumbuhkan kecerdasan hati. Ini kecerdasan yang lebih mendalam dan mendasar dari pada kecerdasan akal kita.
           Diri
           Dalam psikologi sufi, diri atau nafs adalah sebuah aspek psikis yang pertama sebagai musuh terburuk kita. Namun, ia dapat tumbuh menjadi alat yang tak terhingga nilainya. Tingkat terendah adalah nafs tirani. Ia adalah seluruh kekuatan dalam diri yang menjauhkan kita dari jalan spiritual. Kekuatan-kekuatan ini mengakibatkan rasa sakit dan penderitaan yang dahsyat, dan mendorong kita untuk menyakiti orang-orang yang kita cintai.

          Nafs terdiri dari beberapa tingkatan. Salah satunya adalah nafs tirani yang selalu menyuruh kita kepada kejahatan. Kecenderungan negatif ini dapat mendominasi kehidupan kita. Pada akarnya terdapat dorongan-dorongan egoistis yang kerap tidak kita sadari. Di sisi lain, tingkat tertinggi nafs dikenal sebagai nafs yang suci. Transformasi akhir ini adalah pencapaian yang sangat langka, hanya terdapat pada diri Nabi dan orang suci lainnya.  
           Jiwa
Psikologi sufi mencakup sebuah model jiwa manusia yang didasari oleh prinsip evolusi. Jiwa memiliki 7 aspek atau dimensi. Adapun ketujuh jiwa tersebut adalah: (1) jiwa mineral (ma’dani), tumbuhan (nabati), hewan (hewani), personal (nafsani), kemanusiaan (insani), rahasia (sirri) dan maha rahasia (sirr al-asrar). Masing-masing memiliki 7 tingkat kesadaran. Tasawuf bekerja agar 7 tingkat ini dapat bekerja secara seimbang dan selaras. Didalam tasawuf, keseimbangan emosi dan hubungan yang sehat dan menyehatkan adalah sama pentingnya dengan kesehatan spiritual dan jasmani. Tujuannya adalah hidup sepenuhnya di dunia tanpa merasa terikat kepadanya atau melupakan sifat dasar dan tujuan spiritual.
.
Adapun menurt al-Gazali mengenai hal ini, Al-Ghazali menyebut jiwa (ruh) dengan hati. Dalam Kimia-yi Sa’adat ia mengatakan: “Sedangkan mengenai realitas hati – benda apakah itu dan apakah sifat-sifat khususnya – hukum wahyu tidak memberikan izin [untuk membahas ini]. Itulah sebabnya Rasulullah tidak menjelaskannya, sebagaimana firman Tuhan, “Mereka bertanya padamu tentang ruh. Katakanlah, “Ruh itu adalah urusan Tuhanku.”

Jadi jelas bahwa hati yang dimaksud di sini adalah ruh. Ada juga yang menyatakan bahwa jiwa itu saja, meiliki fungsi yang berbeda-beda sehingga diberi nama yang berbeda-beda pula. Misalnya ketika jiwa mengarahkan dirinya kepada Tuhan maka ia disebut ruh. Ketika ia melakukan perenungan atau kontemplasi maka ia disebut akal. Ketika ia menerima iluminasi serta ilham atau mukasyafah, maka ia disebut hati, dan ketika ia ingin berhubungan, atau mengarahkan dirinya pada badan, maka ia disebut nafsu. Sedangkan menurut  para filosof jiwa atau ruh itu tidak lain dari pada akal, yang didefinisikan sebagai jiwa manusia atau jiwa rasional.

Tetapi dari semua penjelasan teoritis tasawuf tentang jiwa manusia, penjelasan ‘Abd al-Razzaq Kasyani (w. 1335) adalah yang paling jelas menerangkan struktur jiwa manusia dan saling berhubungan diantara mereka. Bagi Kasyani unsur-unsur yang paling fundamental dan orisinal dalam diri manusia adalah dua: tanah (turab) dan ruh (jiwa). Namun karena keduanya merupakan dua substansi yang sangat berlainan sifat dasarnya maka keduanya tidak bisa saling berhubungan. Dan karena itu maka Tuhan menciptakan unsur ketiga yang dapat mempertemukan keduanya yang disebut nafs (jiwa), dan karena itu berada tepat diantara keduanya. Dalam bukunya Istilahat al-Shufiyyah, Kasyani menjelaskan definisi serta kedudukan hati sebagai berikut:

Hati adalah substansi yang bercahaya dan terpisah (terletak) antara ruh dan jiwa (nafs). Melalui hatilah kemanusiaan yang sejati (al-insaniyyah) terealisir (tahaqquq). Para filosof mangacu padanya sebagai “jiwa rasional.” Ruh adalah dimensi batinnya, sedangkan jiwa hewan (nafs) adalah tunggangannya serta dimensi lahirnya. Nafsu (jiwa) ini terletak antara ia (hati) dan badan.

Dengan demikian kita bisa melihat kedudukan hati (qalb) yang berada pada posisi tengah antara jiwa (ruh) dan diri atau (nafs). Di bawah nafs terdapat badan, dan di atas ruh ada Tuhan. Selain itu al-Kasyani juga berbicara tentang akal, yang diletakkan antara ruh dan hati, dan shudur (dada) yang terletak antara hati dan nafs (diri). Jadi struktur jiwa (psikologis) manusia menurut al-Kasyani, kira-kira sebagai berikut:

- Allah
- ruh
- akal
- HATI
- Shudur
- Diri (nafs)
- Badan

Di sini terlihat betapa hati (qalb) terletak persis ditengah-tengah. Dan karena kedudukannya yang sentral ini, maka hati manusia berada di bawah pengaruh atau tarikan. Sachiko Murata mengatakan keduanya (ruh dan nafs) kadang-kadang ditarik menuju cahaya dan kebahagiaan, kadang-kadang menuju kegelapan dan kesengsaraan. Jika ia naik menuju ruh, ia akan mencapai kesempurnaannya sebagai jiwa rasional (bela-akal). Jika ia turun menuju jiwa yang dikuasai oleh batasan-batasan badan (nafs), ia akan terputus dari cahaya itu.” Kasyani sendiri mengatakan:
“Hendaklah kamu ketahui bahwa wajah hati yang dipalingkan pada ruh mendapat cahaya dari cahaya ruh dan disebut “akal.” Ia mendorong menuju kebaikan dan merupakan tempat ke mana ilham malaikat dapat masuk. Wajah hati yang dipalingkan ke arah nafsu itu menjadi gelap melalui kegelapan dari sifat-sifatnya, dan itu dinamakan shudur atau “dada”. Itulah tempat setan berbisik, seperti difirmankan Tuhan, “Dia yang berbisikbisik di dada orang-orang” (QS: 114: 5)

Perbedaan Konsep Psikologi Sufi dan Psikologi Sekuler

Konsep psikologi sufi berbeda dengan psikologi sekuler yang dapat dikatakan menggunakan semata-mata kemampuan intelektual untuk menemukan dan mengungkapkan asas-asas kejiwaan.

Psikologi tradisional (sekuler) berasumsi bahwa alam semesta secara keseluruhan bersifat materi, tanpa makna dan tujuan. Menurut psikologi sufi, alam semesta diciptakan berdasarkan kehendak Tuhan, dan mencerminkan eksisitensi-Nya. Al-Qur’an berkata: “bahwa milik Allah-lah timur dan barat, kemanapun kamu menghadap, disitulah wajah Tuhan berada” (Qs. Al-Baqarah [2]:115).
Menurut psikologi sekuler, bahwa manusia tidak lebih dari organisma tubuh, pikiran berkembang dan berasal dari sistem syaraf tubuh; tidak mengakui dimensi spiritual. Sebaliknya dalam psikologi sufi, elemen terpenting dalam diri manusia adalah “hati spiritual”, tempat institusi batiniyah dan kearifan.
Penggambaran tentang sifat manusia dalam psikologi barat, hanya memusatkan perhatiaannya pada keterbatan manusia dan tendensi-tendensi neurotik, seperti yang diungkapkan oleh psikologi klinis, atau pandangan psikologi humanistik tentang keperibadian manusia hanya didekati melalui nilai-nilai kebaikan lahiriyah dan sifat positif dasar manusia, sedangkan psiklogi sufi menganggap manusia punya dua potensi yakni potensi tinggi yang jauh melebihi malaikat dan potensi rendah yang jauh lebih rendah dari binatang. Oleh karenanya, perlu metode untuk meningkatkan derajat spiritual kita, yaitu meniti jalan perang suci batiniyah dan riyadhah batiniyah dengan mengendalikan nafsu tirani menuju puncak jalan sufi.

            Psikologi barat beranggapan bahwa puncak keahlian manusia, jalan memperoleh pengetahuan dan kearifan, dapat diperoleh dengan nalar logika; hampir segenap pengetahuan hanya dapat dikemukakan lewat sistimatika rasional yang ditata secara logis. Psikologi sufi memahami bahwa sistimatika kalimat-kalimat rasional bersifat terbatas, kondisi spiritual-lah yang melampaui penjelasan rasional.
Konsep iman menurut psikologi barat adalah tidak mempunyai realita dan sebuah ide (gagasan) yang tidak mempunyai bukti yang kuat. Bagi psikologi sufi, iman berarti meyakini kebenaran yang berada dibalik beragam penampakan benda material. Iman menjadi dasar tempat berpijak seseorang dalam hubungannya yang benar dengan alam semesta dan Tuhan.
Psikologi sufi mengandung kearifan dari pengalaman dan petunjuk berabad-abad lamanya, yang melahirkan bermacam ragam gaya bersenandung meditasi, gerakan tubuh dan disiplin spiritual lainnya, telah tumbuh ditengah-tengah berbagai ras dan budaya yang berbeda.
 Tasauf adalah tradisi multikultural bagi semua orang, ia tidak menjadi spiritualitas elitis. Banyak para sufi besar buta huruf, tetapi punya kualitas ruhani. Jadi yang dinilai bukan pakain luar yang bersifat eksoteris, tetapi yang terpenting adalah punya kualitas hati.
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar