Jumat, 20 Januari 2012

Zina dan Status Anak Zina


2.1 Zina
Zina menurut Al – Zurani, ialah :
اَلْوَطْاءُ فِيْ قُبُلٍ خَالٍ عَنْ مِلْكٍ وَ شُبْهَةٍ

“ Memasukkan penis ( zakar, bahas arab )kedalam vagina ( farj bahasa Arab ) bukan miliknya (bukan istrinya) dan tidak ada unsur syubhat (keserupaan atau kekeliruan).”
Dari definisi zina diatas , maka suatu perbuatan dapat dikatakan zina, apabila sudah memenuhi dua unsure, ialah :
1.      Adanya persetubuhan ( sexual intercourse ) antara dua orang yang berbeda jenis kelaminnya (heterosex ); dan
2.      Tidak adanya keserupaan atau kekeliruan (syubhat) dalam perbuatan sex (sex act).
Dengan unsure pertama, maka jika dua orang yang berbeda kelaminnya baru bermesraan, misalnya berciuman ata berpelukan, belum dapat dikatan berbuat zina, yang dapat dijatuhi hukuman had, berupa dera bagi yang belum pernah kawin atau rajam bagi yang sudah pernah kawin; tetapi mereka bisa dihukum yang bersifat edukatif.
Demikian pula, melakukan inseminasi buatan dengan sperma atau ovum donor untuk meperoleh keturunan, maka menurut rumusan definisi Al – Jurjani tentang zina diatas, juga tidak bisa disebut zina, sebab jadi tidak terjadi sexual intercourse (persetubuhan) dalam inseminasi buatan. Namun menurut Mahmud Syaltut, inseminasi buatan itu menurut hukum termasuk zina, sebab hal itu mengakibatkan pencemaran  kelamin dan pencampuran nasab padahal Islam sangat menja kesucian/ kehormatan kelamin dan kemurnia nasab.
Dengan unsur kedua (syubhat), maka sexual intercourse yang dilakukan oleh orang karena kekeliruan, misalnya dikira “ istrinya” juga tidak dapat disebut zina.
Kalau kita perbandingkan antara KUHP Indonesia dengan Hukum Pidana Islam mengenai kasus zina ini, maka kita dapat melihat banyak perbedaan pandangan, antara lain sebagai berikut:
1.      Menurut KUHP, tidak semua pelaku zina diancam dengan hukuman pidana. Misalnya pasal 284 (1) dan (2) KUHP menetapkan ancaman pidana penjara paling lama 9 bulan bagi pria dan wanita yang melakukan zina, padahal salah seorang atau kedua – duanya telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya. Ini berarti bahwa pria dan wanita yang melakukan zina itu belum / kawin tidaklah kena sanksi hukuman tersebut diatas, asal kedua – duanya telah dewas dan suka sama suka (tidak ada unsure perkosaan). Baru kalau ada unsur perkosaan atau wanitanya belum dewasa, dapat dikenakan sanksi hukuman (vide pasal 285 dan 287 (1). Sedangkan menurut Hukum Pidana Islam, semua pelaku zina pria dan wanita dapat diancamhukuman had. Hanya dibedakan hukumannya yakni bagi pelaku yang belum kawin diancam dengan dera (flogging) dengan pukulan tongkat, tangan atau dengan sepatu ( praktek Nabi dan Khalifah – Khalifah sesudahnya ). Dera dengan cara apapun tidak boleh berakibat fatal bagi yang didera. Sedangkan bagi pelaku yang telah kawin diancam dengan hukuman rajam (sloning to death) berdasarkan Sunah Nabi. Ada pula yang berpendapat, bahwa pelaku zina yang telah kawin mendapat hukuman rangkap: dera dahulu kemudian dirajam. Mazhab Dzahiri termasuk pendukung pendapat ini berdasarkan Hadis Nabi :

اَلثَّيْبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ –الحديث-

Pelaku zina yang telah atau pernah kawin did era 100 kali dan dirajam.
Dan juga berdasarkan pelaksanaan hukum dera dan rajam yang dilakukan oleh Khalifah Ali terhadap Syarahah al – Hamdaniyah kemudian Ali menegaskan:
جَلَدْ تُهَا بِكَتَابِ اللهِ وَرَجَمْتُهَا بِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ

Aku mendera dia ( Syaharah berdasarkan Kitab Allah (Surat Al – nur ayat 2) dan merajamnya dengan Sunah Rasul.
Mengenai wanita yang di perkosa di luar perkawinan tidak di kenakan hukuman, tetapi bagi wanita di bawah umur (kurang dari 15 tahun, vide pasal 287 KUHP) yang bersetubuh dengan pria tanpa unsur paksaan, dapat diancam dengan hukuman menurut Hukuman Pidana Islam.
2.      Menurut KUHP, perbuatan zina hanya dapat dituntut atas pengaduan  (suami / istri yang tercemar (vide pasal 284 (2) KUHP); sedangkan Islam tidak memandang zina hanya sebagai klacht delict (hanya bisa dituntut atas pengaduan yang bersangkutan); tetapi dipandangnya sebagai perbuatan dosa besar yang harus ditindak tanpa menunggu pengaduan dari yang bersangkutan. Sebab zina mengandung bahaya besar bagi pelakunya sendiri dan juga bagi masyarakat, antara lain sebagai berikut:
a.       Pencemaran kelamin dan pencampuran nasab, padahal Islam sangat menjaga kesucian/ kehormatan kelamin dan kemurnian nasab. Dan itulah sebabnya Islam membolehkan seorang suami menolak mengakui seorang anak yang dilahirkan oleh istrinya setelah terjadi li’an dan terbukti anak tersebut hasil hubungan gelap istri dengan pria lain.
b.      Penularan penyakit kelamin (veneral disease) yang sangat membahayakan kesehatan suami istri dan dapat mengancam keselamatan anak yang lahir. Penularan penyakit AIDS yang sangat berbahaya itu juga bisa disebabkan oleh zina dan free sex;
c.       Keretakan keluarga yang bisa berakibat perceraian karena suami atau istri yang berbuat serong (zina) akan menimbulkan konflik besar dalam rumah tangga;
d.      Teraniayanya anak – anak yang tidak berdosa sebagai akibat ulah orang – orang yang tidak bertanggung jawab (para pelaku zina), karena mereka terpaksa menyandang sebutan anak zina/ jadah;
e.       Pembebanan pada masyarakat dan Negara untuk mengasuh dan mendidik anak – anak teraniaya yang tidak berdosa itu, sebab kalau masyarakat dan Negara tidak mau menyantuni mereka, mereka bisa mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat.
3.      Menurut KUHP, pelaku zina diancam dengan hukuman penjara yang lamanya berbeda (vide pasal 284 (1) dan (2); pasal 285; 286; dan 287 (1); sedangkan menurut Islam, pelaku zina diancam dengan hukuman dera, jika ia belum kawin; dan diancam dengan hukuman rajam jika ia telah kawin.
Menurut penulis, hukuman 100 kali relative lebih ringan dibandingkan dengan hukuman penjara seperti tersebut dalam KUHP, sebab pelaksanaan dera tidak boleh sampai berakibat fatal bagi orang yang didera. Karena itu, disarankan agar sasaran pukulan/ dera tidak hanya pada satu bagian tubuh, kecuali bagian yang sangat rawan / berbahaya dan bagian yang sangat pribadi (terhormat).
Mengenai hukuman rajam (stoning to death), yang berarti hukuman bagi pelaku zina yang telah kawin, karena si pelaku zina itu bisa seharusnya (wajib) menjaga loyalitas dan nama baik keluarga, dan lagi perbuatan zina itu mengandung bahaya – bahaya yang besar bagi keluarganya, masyarakat, dan Negara. Sedangkan hukuman dera yang relatif ringan bagi pelaku zina yang belum kawin, karena si pelaku masih hijau, belum berpengalaman, maka dengan hukuman dera itu diharapkan bisa member kesadaran kepadanya, sehingga ia tidak mau mengulang perbuatannya yang tercela.
Adapun tujuan hukuman menurut Hukuman Pidana Islam, ialah sebagai berikut:
1.      Untuk preventif, artinya untuk mencegah semua orang agar tidak melanggar larangan agama dan melalaikan kewajiban agama dan melalaikan kewajiban agama dengan adanya sanksi – sanksi hukumannya yang jelas.
2.      Untuk repressif, artinya untuk menindak dengan tegas siapa saja yang melanggar hukuman tanpa diskriminasi, demi menegakkan hukuman (law enforcement);
3.      Untuk kuratif dan edukatif, artinya untuk menyembuhkan penyakit mental/ psychis dan memperbaiki akhlak pelaku pelanggaran/kejahatan, agar insaf dan tidak mengulang lagi perbuatannya yang jelek/jahat;
4.      Untuk melindungi keamanan masyarakat/ Negara, dan memelihara ketertiban dalam masyarakat.
Adapun anak zina, ialah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah; sedangkan perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaan, dan dicatat menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku (vide pasal 2(1) dan (2) UU. No. 1/ 1974). Pencatatan perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatat dari KUA untuk mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut hukum Islam; sedangkan untuk mereka yang melangsungkan perkawinannya dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil ( vide pasal 2 (1) dan (2) PP. No. 9/ 1975 tentang pelaksanaan UU. No. 1/ 1974 tentang perkawinan.
Berdasarkan ketentuan pasal – pasal dan ayat – ayat tersebut diatas, maka perkawinan penduduk di Indonesia yang dilakukan menurut hukum Islam misalnya, tetapi tidak dicatat oleh pegawai pencatat dari KUA, atau perkawinan yang dicatat oeh pegawai pencatat dari Kantor Catatan Sipil, tetapi perkawinan tersebut tidak dilakukan menurut hukuman agamanya dan kepercayaannya; maka perkawinan yang sah itu hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (vide pasal 43 (1) PP. No. 9/1975.
Menururt Hukum Perdata Islam, anak zina/ jadah itu suci dari segala dosa orang yang menyebabkan eksistensinya di dunia ini, sesuai dengan Hadis Nabi Muhammad:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْ لَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ حَتَّى يَعْرُبَ عَنْهُ لِسَانُهُ فَاَبَوَاُه يُهَوِّ دَانِهِ اَوْ يُنَصِّرَانِهِ اَوْ يُمَجِّسَانِهِ

Semua anak dilahirkan atas kesucian/ kebersihan (dari segala dosa/noda) dan pembawaan beragama tauhid, sehingga ia jelas bicaranya. Maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anaknya menjadi Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi. (Hhadis riwayat Abu Ya’la, Al – Thabrani, dan Al – Baihaqi, dari Al – Aswad bin Sari’.
Dan berdasarkan firman Allah dalam surat Al – Najm ayat 38:
ٲَلاَ تَزِرُ وَا زِرَةٌ وِّزْرَاُخْرَى

Bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.
 Karena itu, anak zina harus diperlakukan secara manusiawi, diberi pendidikan, pengajaran, dan ketrampilan yang berguna untuk bekal hidupnya dimasyarakat nanti. Yang bertanggung jawab untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, materiil dan spiritual adalah terutama ibunya yang melahirkannya dan keluarga ibunya yang melahirkannya dan keluarga ibunya. Sebab anak zina hanya mempunyai hubungan nasab atau perdata dengan ibunya.
Apabila ibunya yang melahirkan tidak bertanggung jawab, bahkan sampai hati membuangnya untuk menutup malu/ aib keluarga, maka siapa pun yang menemukan anak (bayi) zina tersebut wajib mengambilnya untuk menyelamatkan jiwanya. Keluarga yang menemukan bayi terlantar akibatdari pada hubungan gelap orang – orang yang tidak bertanggung jawab, wajib mengasuhnya dan mendidik baik – baik, dan untuk mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut, bisa atau harta pribadi keluarga tersebut dan bisa juga atas bantuan Baitul Mal. Dan bisa juga anak tersebut diserahkan oleh keluarga tersebut kepada Panti Asuhan Anak Yatim. Hanya perlu dicatat tidak baik cara mengasuh dan mendidiknya, atau tidak dpat dipercaya dalam penggunaan bantuan keuangan dari Baitul Mal dan dari masyarakat Islam, maka wajib dicabut hak perwaliannya atas anak itu, dan pemerintah wajib mengurusi, mengawasi, dan mencukupi kebutuhan hidupnya.
Perlu ditambahkan, bahwa anak yang lahir sebelum 6 bulan dari peerkawinan, maka “sang ayah” berhak menolak keabsahan anak itu menjadi anaknya, sebab masa hamil yang paling sedikit berdasarkan Al – Qur’an surat Al – Baqarah ayat 233 dan surat Al- Ahqaf ayat 15 adalah 6 bulan. Sedangkan masa hamil yang terlama dari seorang wanita tiada nash yang jelas dalam Al – Qur’an dan Sunah. Pendapat fuqaha tentang masalah ini berbeda – beda mulai dari 9 bulan menurut mazhab Dzahiri, setahun menurut Muhammad bin Abdul hakam al – Maliki, dua tahun menurut mazhab hanafi, emapt tahun menurut mazhab Syafi’I, dan lima tahun menurut mazhab Maliki. Perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena hanya didasarkan atas informasi dari sebagian wanita yang dijadikan responden, yang belum tentu mengerti ilmu kesehatan, khusunya tentang ilmu kandungan. Maka karena itu di Mesir berdasarkan UU. No. 25 Tahun 1929 pasal 15 menetapkan masa hamil paling lama satu tahun syamsiyah (365 hari)setelah mendengarkan pertimbangan dari para dokter yang juga ahli hukum dengarkan pertimbangan dari para dokter yang juga ahli hukum Islam. Menurut hemat penulis, pendapat Dzahiri adalah yang paling mendekati kebiasaan/ pengalaman wanita hamil (berdasarkan realitas dan empirik), sedangkan hukum positif di Mesir (1 tahun) adalah untuk bersikap hati – hati atas kemungkinan adanya kehamilan yang cukup lama sekalipun langka. Kiranya sekedar untuk bersikap hati – hati, cukuplah kiranya masa hamil menurut mazhab Dzahiri itu diatambah sebulan menjadi 10 bulan tahun syamsiyah, demi menjaga kepastian hukum. Sebab norma hukum itu hanya mengatur dan menetapkan hal – hal yang umum, bukan kejadian – kejadian yang jarang / langka adanya.

1 komentar:

  1. bagus.....semoga masyarakat luas membaca dan menghayati bahaya zina

    BalasHapus