Jumat, 13 Januari 2012

MAHABBAH



A. Pengertian Mahabbah 
Mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam. Dalam mu’jam al-falsafi, Jamil Shaliba mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci. Al mahabbah dapat pula berarti al wadud yakni yang sangat kasih atau penyayang.
Dalam kajian tasawuf, mahabbah berarti mencintai Allah dan mengandung arti patuh kepada-Nya dan membenci sikap yang melawan kepada-Nya, mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali Allah SWT serta menyerahkan seluruh diri kepada-Nya.
Kaum Sufi menganggap mahabbah sebagai modal utama sekaligus mauhibah dari Allah SWT, untuk menuju kejenjang ahwal yang lebih tinggi.
Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat ruhaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang Mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan.
B. Dasar Mahabbah
1. Dasar Syara’
Ajaran mahabbah memiliki dasar dan landasan, baik di dalam Al-quran maupun Sunah Nabi SAW.  Hal ini juga menunjukkan bahwa ajaran tentang cinta khususnya dan tasawuf umumnya, dalam Islam tidaklah mengadopsi dari unsur-unsur kebudayaan asing atau agama lain seperti yang sering ditudingkan oleh kalangan orientalis.

 a. Dalil-dalil dalam al-Qur’an, misalnya sebagai berikut: 
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”[1]
  
“Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[2]
b. Dalil-dalil dalam hadis Nabi Muhammad SAW, misalnya sebagai berikut:

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ اْلإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّاسِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ ِللهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُأَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
Tiga hal yang barang siapa mampu melakukannya, maka ia akan merasakan manisnya iman, yaitu: pertama Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya; kedua: tidak mencintai seseorang kecuali hanya karena Allah; ketiga benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci dilemparkan ke neraka.[3] 
C. Kiat Menggapai Mahabbah Allah SWT.
1   Membaca Al-Qur’an dengan mencerna dan memahami kandungan dan maksudnya.
2 Melakukan shalat sunnah serta shalat fardhu. Sebab hal ini menghantarkan kepada tingkatan mahbub (tercinta) setelah fase mahabbah (kecintaan).
3  melanggengkan dzikrullah dalam segala kondisi; baik dengan lisan, hati ataupun tindakan. Maka ia akan mendapatkan mahabbah sebesar kadar dzikirnya.
4  Lebih mendahulukan apa yang dicintai Allah daripada cinta hawa nafsunya walau hal itu amat berat.
5   Menghayati sifat dan asma Allah, meyakininya dan mengetahuinya.
6  Bersaksi dan mengakui kebaikan Allah, anugerah dan segala nikmat-Nya; baik yang jelas atau yang tersamar. Sungguh hal ini akan mendatangkan mahabbah kepada-Nya
     kekhusyu’an hati secara keseluruhan di hadapan Allah.
8 Suka berkumpul dengan para pendamba mahabbah yang jujur, hingga dapat memetik ucapan baik mereka. Lalu menjadikan kita tidak berbicara kecuali dengan yang berguna bagi diri kita dan orang lain.
9Menajuhi segala faktor yang menghalangi hati dengan Allah. Sebab, jika hati seseorang rusak maka ia tak akan dapat memetik manfaat dari kehidupan dunia dan akhiratnya.
D. Dasar Filosofis[4]
Dalam mengelaborasi dasar-dasar filosofis ajaran tentang cinta (mahabbah) ini, al-Ghazali merupakan ulama tasawuf yang pernah melakukannya dengan cukup bagus. Menurut beliau, ada tiga hal yang mendasari tumbuhnya cinta dan bagaimana kualitasnya, yaitu sebagai berikut:
a.  Cinta tidak akan terjadi tanpa proses pengenalan (ma’rifat) dan pengetahuan (idrak)
     Manusia hanya akan mencintai sesuatu atau seseorang yang telah ia kenal. Karena itulah, benda mati tidak memiliki rasa cinta. Dengan kata lain, cinta merupakan salah satu keistimewaan makhluk hidup. Jika sesuatu atau seseorang telah dikenal dan diketahui dengan jelas oleh seorang manusia, lantas sesuatu itu menimbulkan kenikmatan dan kebahagiaan bagi dirinya, maka akhirnya akan timbul rasa cinta. Jika sebaliknya, sesuatu atau seseorang itu menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan, maka tentu ia akan dibenci oleh manusia.
b. Cinta terwujud sesuai dengan tingkat pengenalan dan pengetahuan
Semakin intens pengenalan dan semakin dalam pengetahuan seseorang terhadap suatu obyek, maka semakin besar peluang obyek itu untuk dicintai. Selanjutnya, jika semakin besar kenikmatan dan kebahagiaan yang diperoleh dari obyek yang dicintai, maka semakin besar pula cinta terhadap obyek yang dicintai tersebut.
     Kenikmatan dan kebahagiaan itu bisa dirasakan manusia melalui pancaindranya. Kenikmatan dan kebahagiaan seperti ini juga dirasakan oleh binatang. Namun ada lagi kenikmatan dan kebahagiaan yang dirasakan bukan melalui pancaindra, namun melalui mata hati. Kenikmatan rohaniah seperti inilah yang jauh lebih kuat daripada kenikmatan lahiriah yang dirasakan oleh pancaindra. Dalam konteks inilah, cinta terhadap Tuhan terwujud. 
c. Manusia tentu mencintai dirinya
Hal pertama yang dicintai oleh makhluk hidup adalah dirinya sendiri dan eksistensi dirinya. Cinta kepada diri sendiri berarti kecenderungan jiwa untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menghindari hal-hal yang bisa menghancurkan dan membinasakan kelangsungan hidupnya.
E. Rabi’ah Al-Adawiyah : Perintis Tasawuf Cinta
Sosok sufi perempuan ini sangat dikenal dalam dunia tasawuf. Ia hidup di abad kedua Hijriah, dan meninggal pada tahun 185 H. Meski ia hidup di Bashrah sebagai seorang hamba sahaya dari keluarga Atiq, hal itu tidak menghalanginya tumbuh menjadi seorang sufi yang disegani di zamannya, bahkan hingga di zaman modern sekarang ini.
Corak tasawuf Rabi’ah yang begitu menonjolkan cinta kepada Tuhan tanpa pamrih apapun merupakan suatu corak tasawuf yang baru di zamannya. Pada saat itu, tasawuf lebih didominasi corak kehidupan zuhud (asketisme) yang sebelumnya dikembangkan oleh Hasan al-Bashri yang mendasarkan ajarannya pada rasa takut (khauf) kepada Allah. Corak tasawuf yang dikembangkan oleh Rabi’ah tersebut kelak membuatnya begitu dikenal dan menduduki posisi penting dalam dunia tasawuf.
Sedemikian tulusnya cinta kepada Allah yang dikembangkan oleh Rabi’ah, bisa dilihat, misalnya, dalam sebuah munajat yang ia panjatkan:“Tuhanku, sekiranya aku beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu, biarlah diriku terbakar api jahanam. Dan sekiranya aku beribadah kepada-Mu karena mengharap surga-Mu, jauhkan aku darinya. Tapi, sekiranya aku beribadah kepada-Mu hanya semata cinta kepada-Mu, Tuhanku, janganlah Kau halangi aku melihat keindahan-Mu yang abadi.”
Saking besar dan tulusnya cinta Rabi’ah kepada Allah, maka seolah cintanya telah memenuhi seluruh kalbunya. Tak ada lagi tersisa ruang di hatinya untuk mencintai selain Allah, bahkan kepada Nabi Muhammad sekalipun. Tak ada ruang lagi di kalbunya untuk membenci apapun, bahkan kepada setan sekalipun. Seluruh hatinya telah penuh dengan cinta kepada Tuhan semata. Hal ini juga Rabi’ah tunjukkan dengan memutuskan untuk tidak menikah sepanjang hidupnya, karena ia menganggap seluruh diri dan hidupnya hanya untuk Allah semata.[5]
F. Doktrin-Doktrin Mahabbah
1.      Makna Cinta di Kalangan Sufi
Dalam tasawuf, konsep cinta (mahabbah) lebih dimaksudkan sebagai bentuk cinta kepada Tuhan. Meski demikian, cinta kepada Tuhan juga akan melahirkan bentuk kasih sayang kepada sesama, bahkan kepada seluruh alam semesta. Hal ini bisa dilacak pada dalil-dalil syara’, baik dalam Al-quran maupun hadis yang menunjukkan tentang persoalan cinta. Sebagian dalil tersebut telah disebutkan pada bagian sebelumnya dalam makalah ini.
Secara terminologis, sebagaimana dikatakan al-Ghazali, cinta adalah suatu kecenderungan terhadap sesuatu yang memberikan manfaat. Apabila kecenderungan itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan rindu. Sedangkan sebaliknya, benci adalah kecenderungan untuk menghindari sesuatu yang menyakiti. Apabila kecenderungan untuk menghindari itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan dendam.[6]
Menurut Abu Yazid al-Busthami mengatakan bahwa cinta adalah menganggap sedikit milikmu yang sedikit dan menganggap banyak milik Dzat yang kau cintai. Sementara Sahl bin Abdullah al-Tustari menyatakan bahwa cinta adalah melakukan tindak-tanduk ketaatan dan menghindari tindak-tanduk kedurhakaan. Bagi al-Junaid, cinta adalah kecenderungan hati. Artinya, kecenderungan hati seseorang kepada Allah dan segala milik-Nya tanpa rasa beban.[7]
2.      Cinta Sejati adalah Cinta kepada Allah[8]
Bagi al-Ghazali, orang yang mencintai selain Allah, tapi cintanya tidak disandarkan kepada Allah, maka hal itu karena kebodohan dan kepicikan orang tersebut dalam mengenal Allah. Cinta kepada Rasulullah SAW, misalnya, adalah sesuatu yang terpuji karena cinta tersebut merupakan manifestasi cinta kepada Allah. Hal itu karena Rasulullah adalah orang yang dicintai Allah. Dengan demikian, mencintai orang yang dicintai oleh Allah, berarti juga mencintai Allah itu sendiri. Begitu pula semua bentuk cinta yang ada. Semuanya berpulang kepada cinta terhadap Allah.
Jika sudah dipahami dan disadari dengan baik lima sebab timbulnya cinta yang telah diuraikan al-Ghazali sebelumnya, maka juga bisa disadari bahwa hanya Allah yang mampu mengumpulkan sekaligus kelima faktor penyebab cinta tersebut. Kelima faktor penyebab tersebut terjadi pada diri manusia hanyalah bersifat metaforis (majazi), dan bukanlah hakiki. Hanya Allah Yang Maha Sempurna. Ia tidak bergantung kepada apapun dan siapa pun. Kesempurnaan itulah yang akan mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta terhadap Allah.

3.      Mahabbah: antara Maqam dan Hal
Sebagaimana diketahui, dalam terminologi tasawuf ada istilah maqam (tingkatan) dan hal (keadaan, kondisi kejiwaan). Menurut as-Sarraj ath-Thusi dalam kitabnya al-Luma’, maqam merujuk kepada tingkatan seorang hamba di depan Tuhan pada suatu tingkat yang ia ditempatkan di dalamnya, berupa ibadah, mujahadah, riyadhah, dan keterputusan (inqitha’) kepada Allah. Sedangkan hal adalah apa yang terdapat di dalam jiwa atau sesuatu keadaan yang ditempati oleh hati. Sementara menurut al-Junaid, hal adalah suatu “tempat” yang berada di dalam jiwa dan tidak statis.
Menurut al-Ghazali, cinta kepada Allah (mahabbah) merupakan tingkatan (maqam) puncak dari rangkaian tingkatan dalam tasawuf. Tak ada lagi tingkatan setelah mahabbah selain hanya sekedar efek sampingnya saja, seperti rindu (syauq), mesra (uns), rela (ridla), dan sifat-sifat lain yang serupa. Di samping itu, tidak ada satu tingkatan pun sebelum mahabbah selain hanya sekedar pendahuluan atau pengantar menuju ke arah mahabbah, seperti taubat, sabar, zuhud, dan lain-lain. Cinta sebagai maqam ini juga diamini oleh Ibn Arabi. Menurutnya, cinta merupakan maqam ilahi.
Berbeda dengan al-Ghazali, menurut al-Qusyairi, mahabbah merupakan termasuk hal. Bagi al-Qusyairi, cinta kepada Tuhan (mahabbah) merupakan suatu keadaan yang mulia saat Tuhan bersaksi untuk sang hamba atas keadaannya tersebut. Tuhan memberitahukan tentang cinta-Nya kepada sang hamba. Dengan demikian, Tuhan disifati sebagai yang mencintai sang hamba. Selanjutnya, sang hamba pun disifati sebagai yang mencintai Tuhan.


4.      Tingkatan Cinta[9]
Dilihat dari segi orangnya, menurut Abu Nashr ath-Thusi, cinta kepada Tuhan terbagi menjadi tiga macam cinta, yaitu :
Pertama : Cinta orang-orang awam.
Cina seperti ini muncul karena kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Ciri-ciri cinta ini adalah ketulusan dan keteringatan (zikir) yang terus-menerus. Karena jika orang mencintai sesuatu, maka ia pun akan sering mengingat dan menyebutnya.
Kedua : Cinta orang-orang yang shadiq dan mutahaqqiq.
Cinta mereka ini timbul karena penglihatan mata hati mereka terhadap kekayaan, keagungan, kebesaran, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan. Ciri-ciri cinta ini adalah “terkoyaknya tabir” dan “tersingkapnya rahasia” Tuhan. Selain itu, ciri lain adalah lenyapnya kehendak serta hilangnya semua sifat (kemanusiaan dan keinginan duniawi).
Ketiga : Cinta orang-orang shiddiq dan arif.
Cinta macam ini timbul dari penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an Cinta Tuhan tanpa sebab (illat) apapun. Menurut Zunnun al-Mishri, sifat cinta ini adalah terputusnya cinta dari hati dan tubuh sehingga cinta tidak lagi bersemayam di dalamnya, namun yang bersemayam hanyalah segala sesuatu dengan dan untuk Allah. Sedangkan menurut Abu Ya’qub as-Susi, cirinya adalah berpaling dari cinta menuju kepada Yang Dicintai. Sementara al-Junaid menambahkan bahwa ciri cinta macam ini adalah meleburnya sifat-sifat Yang Dicintai kepada yang mencintai sebagai pengganti sifat-sifatnya.


DAFTAR PUSTAKA
+    Abdurrasyid Ridha, Memasuki Makna Cinta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,  2003).
+    Al-Qur’an Departemen Agama, CV J-ART. 2005
+    Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ as-Shahih al-Mukhtashar, ed. Mushtafa Dib al-Biqha, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987).
+    Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulumiddin,(Beirut, Dar al-Ma’rifah).
+    Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973),
+    Abu Bakr Muhammad al-Kalabadzi, at-Ta’arruf li Mazhab Ahl at-Tashawwuf, (tk.: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyyah, 1969).
+    Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi, al-Luma’, (Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1960).


[1] (Q.S. Al Maidah 5 : 54). Al-Qur’an Departemen Agama, CV J-ART. 2005
[2] (Q.S. Ali Imran 3 : 31). Al-Qur’an Departemen Agama, CV J-ART. 2005
[3] Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ as-Shahih al-Mukhtashar, ed. Mushtafa Dib  al-Biqha, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987), juz 1, hal. 14.
[4] Penjelasan al-Ghazali pada Kitab al-Mahabbah wa asy-Syauq wa ar-Ridha,dalam al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, juz 4, hal. 296-300.
[5] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 74.
[6] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 70.
[7] Abu Bakr Muhammad al-Kalabadzi, at-Ta’arruf li Mazhab Ahl at-Tashawwuf, (tk.: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyyah, 1969), hal. 130.
[8] Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi, al-Luma’, (Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1960), hal. 65-66.
[9] Abdurrasyid Ridha, Memasuki Makna Cinta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 160.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar