BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebuah kajian atau kritikan terhadap
teologi yang berkembang bukanlah usaha untuk menghilangkan subtansi atau
membongkar total terhadap pemikiran-pemikiran yang sudah dibangun oleh para
teologi yang berkembangdi zamannya, namun untuk melihat kembali apakah
pemikiran tersebut masih relevan di kembangkan padazaman sekarang yang penuh
dengan berbagai macamkrakteristik dan dinamika pemikiran atau pemikirantersebut
perlu dikonstruksi sehingga mampu berdaptasidengan kehidupan modern, disamping
itu dapatmengkomparasikan antara beberapa pemikiran para teologyang berbeda
dalam metodelogi objektifitas dan kemampuan dalam memahami kebenaran /hakekat.
Kajian terhadap teologi Al-Asy’ariyah dan Al-Maturidiyah disini tidak
dimaksudkan untuk meninggalan aspek-aspek positifdalam teologi Asy’ariyah dan
Maturidiyah dari praktek keagamaan umatIslam seluruhnya atau sebagiannya, namun
yangdiinginkan dalam wacana ini adalah mencoba mengkajikebenaran dan keabsahan
konsepteologi ini sebagai landasan berfikir dan beramal umat Islam di masa kini
dan mendatang.
1.2 Rumusan Masalah
A. Apa itu aliran asy’ariyah?
B. Apa itu liran ma’turidiyah?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah
yang kami susun ini khususnya agar memenuhi salah satu tugas yang telah
diberikan kepada kami oleh dosen bidang studi ilmu kalam khususnya menambah
ilmu pengetahuan, pengalaman dan juga wawasan terutama bagi kami anggota
kelompok 4 dan juga bagi seluruh teman-teman kami.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 ASY’ARIYAH
A. Sejarah Timbulnya Aliran
Asy’ariyah
Pada masa imam empat banyak bermunculan bid’ah dan ideologi yang
didasari hawa nafsu (tidak berdasarkan dalil syar’ie maupun dalil
aqli). Hanya saja belum begitu meluas dan pengaruhnya pun tidak
terlalu besar. Setelah mereka wafat, bid’ah-bid’ah yang disebarkan semakin
bertambah kuat dan tersebar luas. Fenomena ini memotifasi para tokoh agama dari
golongan madzahibul arba’ah untuk mencegah tersebarnya bid’ah dan berusaha
mempertahankan aqidah para Ulama Salaf. Hingga akhirnya pada abad ke-3
Hijriyah, hampir bersamaan dengan masa berkuasanya Khalifah Al-Mutawakkil,
muncul dua orang tokoh yang menonjol waktu itu, yaitu Abu Hasan al-Asy’arie
(260 H – + 330 H) di Bashrah dan Abu Mansur al-Maturidi di Samarkand dalam
memperjuangkan dan mempertahankan keabadian aqidah-aqidah yang sesuai dengan
sunnah Nabi dan Thoriqoh para Sahabat
al-Mahdiyyin.
Abu Hasan Ali bin Ismail bin Ishaq
bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi burdah bin Abi
Musa Al-Asy’ari (260 H- 324 H ), penganut paham Mu’tazilah. Namun, sekitar
tahun 300 H al-asy’ari keluar dari golongan Mu’tazilah, dan selanjutnya
membentuk aliran teologi yang dikenal dengan namanya sendiri, yaitu Asy’ariyah.
Menurut suatu riwayat bahwa pada
suatu malam al-Asy’ari bermimpi. Dalam mimpinya itu Nabi Muhammad mengatakan
bahwa madzhab Ahli Sunnahlah yang benar, dan madzhab Mutazilah (yang sedang ia
anut) itu salah, mimpi bertemu dengan
Rasulullah SAW itu datang sebanyak 3
kali yaitu pada malam ke 10, 20, dan 30 bulan Ramadhan. Selain itu, Al-Asy’ari
mengkhawatirkan akan sikap umat Islam yang menganggap rendah Al-Qur’an dan
Al-Hadits sebagai korban dari sikap Mu’tazilah yang terlalu memuja kekuatan
akal pikiran.
Setelah keluar dari golongan
Mu’tazilah, Al-Asy’ariyah membentuk teologi baru yang dipandang sesuai dengan
aliran orang-orang yang berpegang kuat pada sunnah (Hadits). Aliran ini
kemudian berkembang pesat sampai mengalahkan aliran Mu’tazilah.
Selain Al-Asy’ari sebagai
pencetusnya, aliran Asy’ariyah memiliki beberapa orang tokoh kenamaan yang
sangat tekun menyiarkan dan menjelaskan ajaran-ajaran aliran Al-Asy’ariyah,
mereka itu antara lain Al-Baqilani; yang bernama lengkap Muhammad Tayib bin
Muhammad Abu Bakar Al-Baqilani; Abdul
Malik Al-Juwaini yang dilahirkan di Khurasan tahun 419 H dan wafat pada 478 H;
Abu Hamid Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali; Alauddin Al-Iji; dan Abdillah bin
Yusuf.
B. Term Ahlussunnah dan Term salaf untuk Al-Asy’ariyah
Term ahlussunnah wal jamaah lebih banyak dipakai setelah timbulnya
aliran Asy’ariyah. Doktrin bahwa wahyu harus diterima secara penuh. Akal harus berperan mentakwilkan
wahyu. Ayat-ayat tajsim (Allah bertubuh) atau Tasybih
(Allah serupa dengan makhluk) harus di tafsirkan secara majazi
(kiasan) bukan literal.
Konklusi Asy’ariyah inilah yang
kemudian berkembang baik dan mendiaspora menjadi panutan. Tidak hanya kalangan
awam, melainkan pula para ahli hadits, fiqih dan tauhid. Pengikutnya kemudian
diberi label Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah
oleh az-Zabidi (w.1205M), seratus tahun kemudian. Suatu label yang pernah juga
digunakan oleh Hasan al-Bashri untuk merujuk komunitas “ahli ilmu dan ibadah”
yang tidak memihak Mu’awiyyah, Syi’ah dan khawarij.
Abu Hasan Al-Asy’arie dikenal
berhasil mengambil jalan tengah (tawasuth, moderat) dari pertikaian
teologis pada zamannya Jalan tengah yang ditawarkan adalah pengakuan terhadap
rasionalis, tapi pada tingkat tertentu harus tunduk kepada wahyu. Fungsi
rasionalitas digunakan untuk menterjemahkan, menjelaskan dan menafsirkan wahyu.
Bukan mempertanyakan wahyu itu sendiri. Karena itu bila akal tidak mampu
menjelaskan wahyu, dengan kata lain akal mempunyai keterbatasan, sedangkan
wahyu tidak, karena termasuk bagian dari sifat Allah yang qadim.Asy’ari juga
mengakui “otoritas salaf”. Dalam pandangannya, gagasan-gagasan dan kesepakatan
dalam masyarakat salaf (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in) dapat dijadikan
pijakan hukum melalui metode ijma’ dan qiyas.
Suatu metode yang menyerupai gagasan yang pernah ditelorkan Imam Syafi’i dalam
ilmu ushul fiqih. Dan memang Abu Hasan Al-Asy’arie adalah tokoh ahli tauhid
penganut madzhab Imam Syafi’i.
Pikiran Asy’ari yang kebanyakan
merupakan jalan tengah ini menjadikan Al-Asy’ari sebagai orang yang berpengaruh
dan berkedudukan tinggi, mempunyai banyak pengikut, mendapat dukungan dari para
penguasa. Lebih dari itu, pendapat-pendapatnya menjadi pendapat ahlussunnah wal
jamaah atau ahlussunnah ( tanpa jamaah), yang sebutan itu tidak asing bagi kaum
muslimin ketika itu.
Pada waktu aliran Mu’tazilah muncul
dengan pendapat-pendapatnya dalam bidang aqidah yang bercorak rasionalis dan
tidak segan-segan menolak hadits yang berlawanan dengan ketentuan akal pikiran
atau mena’wilkan ayat-ayat mutasyabihat, maka dilain pihak muncul aliran-aliran
yang tetap dengan kuat memegangi hadits-hadits yang ditolak kaum Mu’tazilah,
aliran tersebut terkenal dengan nama “Ahlussunnah” dan aliran yang ingin
mengikuti jejak ulama salaf dalam menghadapi nas-nas yang mutasyabihat.
Al-Asy’ari setelah mengadakan
perdebatan yang panjang dengan gurunya tampil dengan pendapatnya bercorak jalan
tengah atau melengkapi. Ia memperkuat paham-paham yang dikemukakan golongan
salaf dengan alasan-alasan ilmu kalam dalam bentuk yang lebih nyata.
Pikiran-pikiran tersebut oleh pengikutnya disebut paham “Ahlussunnah wal
Jamaah”. Jadi aliran Al-Asy’ariyah identik dengan aliran Ahlussunnah wal
Jamaah, artinya kepercayaan aliran Asy’ariyah menjadi kepercayaan Ahlussunnah
wal Jamaah.
Ahlussunnah terkenal dikalangan
ulama mutaqoddimin (terdahulu) dengan istilah yng berlawanan dengan ahlul ahwa’
wal bida’. Ahlus Sunnah tetap berpegang pada ushul yang pernah diajarkan
Rasulullah dan sahabat. Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah istilah yang digunakan
untuk menamakan pengikut madzhab as-Salafus Shalih dalam Itiqad. Ada yang
berpendapat bahwa madzhab ahlus sunnah wal jamaah itu Asy’ariyah, Ma’turidiyah
dan Madzhab Salaf ada pula yang mengatakan bahwa madzhab salaf “ahlus sunnah
wal jamaah” adalah apa yang dikatakan Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur
Al-Ma’turidi.
Az-Zubaidi menyatakan bahwa jika
dikatakan Ahlus Sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy’ariyah
dan Ma’turidiyah.
C. Doktrin-Doktrin Teologi Al-Asy’ariyah
Corak pemikiran yang sintetsis ini
menurut Watt, barangkali dipenuhi teologi kullabiah (teologi Sunni yang
dipelopori Ibn Kullab (w 854 M) berikut pemaparan doktrin atau pemikiran Al-
Asy’ari:
1) Tuhan dan sifat -sifatnya
Al- asy’ari di hadapkan pada dua
pandangan ekstrim. Dengan kelompok mujasimiah (antropomorfis) dan kelompok musyabbihah
yang bependapat, Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur’an
dan sunnah, dan sifat-sifat itu harus di fahami menurut harfiahnya. Kelompok
mutazilah berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain adalah
esensi-esensinya. Al-asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat
itu, seperti mempunyai tangan dan kaki dan ini tidak boleh diartikan secara harfiah,
sifat -sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat
manusia yang tampaknya mirip.
2) Kebebasan dalam berkehendak(free will)
Dari dua pendapat yang ekstrim,
yakni jabariah dan fatalistic dan penganut faham pradterminisme semata-mata dan
mutazilah yang menganut faham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia
menciptakan perbuatannya sendiri. Al-asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb.
Menurutnya Allah adalah pencipta perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri
yang mengupayakan, hanya Allah lah yang mampu menciptakan segala sesuatu.
3) Akal dan wahyu kriteria baik dan buruk
Walaupun Al-asy’ari dan orang-orang
mutazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi
persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-asy’ari
mengutamakan wahyu, sementara mutazilah mengutamakan akal.
4) Qadimnya Al-Qur’an
Mutazilah mengatakan bahwa Al-Qur’an
diciptakan ( makhluk) sehingga tidak qadim serta pandangan mazhab Hambali dan
Zahiriah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah (yang qadim dan
tidak diciptakan). Zahiriah bahkan berpendapat semua huruf, kata dan bunyi Al-Qur’an
adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan
itu Al-asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur’an terdiri atas kata-kata,
huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak
qadim. Nasution mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi Al-asy’ari tidaklah diciptakan
sebab kalau ia diciptakan, sesuai dengan ayat: Artinya” Jika kamu menghendaki
sesuatu, Kami bersabda,”terjadilah”maka ia pun terjadi”.
5) Melihat Allah
Al-asy’ari tidak sependapat dengan
kelompok ortodoks ekstrim, terutama zahiriyah yang mengatakan bahwa Alllah
dapat dilihat di akhirat. Al-asy’ari yakin bahawa Allah dapat dilihat atau
bilamana ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihatnya.
6) Keadilan
Pada dasarnya Al-asy’ari dan
mutazilah setuju bahwa Allah itu adil. Al-asy’ari tidak sependapat dengan
mutazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang
yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah
tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah peguasa mutlak.
7) Kedudukan orang berdosa
Menurut Al- asy’ari mukmin yang
berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang
karena dosa selain kufur.
2.2 MA’TURIDIYAH
A. Munculnya aliran Maturidiyah
Aliran maturidiyah juga muncul
sebagai reaksi terhadap aliran mu’tazilah. Oleh sebab itu, pendapat-pendapat
Maturidiah memiliki kesamaan ajaran prinsip dengan aliran Al-Asya’riah, karena
munculnya kedua aliran tersebut dengan latar belakang yang sama. Sungguhpun
demikian, antara teologi Maturidiah dengan teologi Asy’ariah memiliki
perbedaan-perbedaan.
Aliran Maturidiah diambil dari nama
pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad Al-Maturidi. Ia dilahirkan
disebuah kota kecil, yaitu Maturid , Samarkand pada pertengahan abad ketiga
hijriyah,dan wafat di Samarkand pada tahun 333 H. Karir pendidikan Al-Ma’turidi
lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi daripada fiqh.
Riwayat hidup Abu Mansu r(Al-Maturidi)
tidak banyak diketahui oleh orang. Begitu juga halnya ajaran-ajaran Abu Mansur
dan aliran Maturidiah tidak banyak di bukukan atau ditulis orang. Diantara
sekian banyak buku yang membahas aliran- aliran keagamaan, seperti buku
karangan Al-Ashyahrastani, Ibn Hazm, Al-Baghdadi, dan lainnya tidak memuat
keterangan-keterangan tentang Al-Maturidi atau pengikut- pengikutnya. Sedangkan
karangan-karangan Al-Maturidi masih belum dicetak dan tetap dalam bentuk
naskah. Diantara naskah itu adalah Kitab Al-Tauhid dan Kitab Ta’wil al-Qur’an.
Selain itu ada lagi karangan-karangan yang kabarnya disusun oleh Maturidi,
yaitu Risalah fi al-Aqaid dan Syarh al-Fiqh al-Akbar. Adapun keterangan- keterangan
mengenai pendapat Al-Maturidi dapat diperoleh lebih lanjut dari buku- buku yang
dikarang oleh para pengikutnya, seperti: Isyarat Al-Maram oleh Al- Bayadi, dan
Ushul al-Din oleh Al-Bazdawi.
Al-Maturidi dikenal sebagai
pengikut Abu Hanifah. Sebagai paengikut Abu Hanifah, ia banyak menggunakan rasio
dalam pandangan keagamaan, disamping itu ia banyak pula menggunakan akal dalam
sisterm teologinya. Menurut para ulama Hanafi hasil pemikiran Maturidi,
khususnya dalam bidang aqidah mirip dengan pendapat Abu Hanifah. Dapat
dikatakan bahwa pikiran-pikiran Al-Maturidi dalam hal ini merupakan penguraian
yang lebih luas dari pikiran-pikiran Abu Hanifah.
Tokoh-tokoh aliran Maturidiah
terdiri dari para pengikut aliran fiqh Hanafiah. Mereka tidak sekuat para tokoh
aliran Asy’ariah. Para tokoh aliran Maturidiah antara lain: Al-Bazdawi, At-Taftazani,
An Nasafi, dan Ibnul Hammam. Diantara mereka yang paling terkenal adalah Al –
bazdawi, sehingga dalam aliran Maturidiah terdapat dua golongan, yaitu golongan
Maturidiah Samarkand yang dipelopori oleh Abu Mansur Al-Maturidi dan golongan
Maturidiah Bukhara oleh Abu Yusuf Muhammad Al-Bazdawi.
B. Ajaran-Ajaran Aliran Al-Maturidiah
Sebagaimana telah disinggung di
atas, bahwa aliran Maturidiah dan aliran Asy’ariaah muncul dalam suasana yang
sama, yakni dalam rangka membendung laju berkembangnya aliran Mutazilah. Oleh
sebab itu untuk mengetahui ajaran-ajaran aliran Maturidiah, tidak begitu saja
melupakan ajaran-ajaran Asy’ariah dan aliran Mutazilah.
Meskipun aliran Maturidiah dan
Asy’ariah timbul sebagai reaksi dari aliran Mutazilah, namun teologi yang
ditimbulkan oleh Al-Maturidi ada perbedaanya dengan teologi Asy’ariah. Berikut
ini dikemukakan beberapa pemikiran atau ajaran Maturidiah.
Mengenai sifat-sifat Tuhan terdapat
persamaan antara ajaran Maturidiah dan ajaran Asy’ariah. Bagi mereka, Tuhan
memiliki sifat-sifat. Tuhan mengetahui bukan dengan zat, melainkan dengan sifat-Nya
( pengetahuan-Nya), begitu juga Tuhan berkuasa bukan dengan zat-Nya, melainkan
dengan kekuasaan-Nya.
Mengenai perbuatan manusia, aliran
Maturidiyah sependapat dengan aliran Mutazilah.
Mutazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan bebas . menurut aliran ini, manusia yang menciptakan
perbuatan-perbuatannya. Mu’tazilah dengan tegas menyatakan bahwa daya juga
berasal dari manusia. Daya yang terdapat pada diri manusia adalah tempat
terciptanya perbuatan. Jadi tuhan tedak dilibatkan dalam perbuatan manusia. Ini
merupakan ajaran Qadariyah dimana posisi manusia menentukan gerak laku dan
perbuatan.
Mereka mengatakan bahwa manusialah yang sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Dengan demikian, maka paham Maturidiah dalam hal ini sejalan dengan paham
Qadariah atau Mutazilah bukan paham Jabariah atau Kasb Asy’ariah.
Mengenai kedudukan Al-Qur’an,
Maturidiah tidak sepaham dengan Mutazilah. Aliran Maturidiah sebagaimana aliran
Asy’ariah berpendapat bahwa Al- Quran (Kalamullah) itu diciptakan, tetapi
bersifat qadim. Begitu pula mengenai kewajiban Tuhan mewujudkan perbuatan yang
baik dan yang terbaik sebagaimana pendapat Mutazilah, ditolak oleh Al-Maturidi.
Menurut Al-Maturidi, perbuatan Tuhan itu tidak bisa dikatakan wajib, karena
perbuatan wajib itu mengandung unsur paksaan, sedangkan perbuatan Tuhan itu tidak
bisa dikatakan wajib, karena perbuatan wajib itu mengandung unsur paksaan,
sedangkan perbuatan Tuhan itu jika karena terpaksa bertentangan dengan sifat Irad-Nya.
Namun demikian, Al-Maturidi percaya bahwa Tuhan berbuat tidak sia-sia.
Perbuatan Tuhan itu ada tujuannya.
Dalam soal dosa besar, Al-Maturidi
sepaham dengan Asy’ari, bahwa yaitu orang yang berdosa besar masih tetap
mukmin. Mengenai balasan tentang dosa besar itu akan ditentukan Tuhan diakhirat
kelak. Al-Maturidi juga menolak paham posisi diantara dua posisi seperti ajaran
Mutazilah.
Mengenai janji dan ancaman( al
wa’ad wal wa’id ), aliran ini sepaham dengan aliran Mutazilah. Janji dan
ancaman Tuhan kelak akan terjadi. Demikian juga dalam antrhomorfisme(tajassum)
Maturidiah sependapat Mutazilah. Aliran Maturidah tidak sependapat dengan
Asy’ariah yang mengatakan bahawa ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan yang
mempunyai bentuk tidak dapat diberi interpretasi atau ta’wil. Menurut pendapat
Al-Maturidi tangan Tuhan, wajah Tuhan, dan sebagainya mesti diberi arti majazi
atau kiasan bukan dalam ari ta’wil.
Kebaikan dan keburukan menurut akal
bagi kaum Maturidiah ada tiga bagian. Sebagian adalah suatu perbuatan yang
kebaikannya dapat diketahui oleh akal. Sebagian yaitu perbuatan yang
keburukannya dapat diketahui oleh akal. Dan sebagian lagi adalah perbuatan yang
tidak jelas kebaikan dan keburukannya bagi akal. Kebaikan dan keburukan
terakhir ini hanya dapat diketahui melalui syara’. Menurut aliran Mutazilah
bahwa apa yang diketahui kebaikannya oleh akal, maka harus ditinggalkan menurut
keharusan akal. Al-Maturidi tidak mengikuti aliran Mutazilah, tetapi mengikuti
pendapat Abu Hanifah mengatakan, bahwa meskipun akal sanggup mengetahui,
datangnya perintah yang mewajibkan itu dari syara’, karena akal tidak dapat
bertindak sendiri dalam kewajiban-kewajiban agama, dan yeng mengeluarkan
perintah agama hanyalah Tuhan.
Masih dalam kaitan soal kebaikan
dan keburukan, aliran Maturidiah tidak sejalan dengan aliran Asy’ariah yang
mengatakan bahwa sesuatu tidak mempunyai kebaikan atau keburukan. Kebaikan ada
karena adanya perintah syara’ dan keburukan juga ada karena adanya larangan
syara’. Kebaikan dan keburukan itu tergantung pada Tuhan. Jadi, paham
Maturidiah dalam hal ini berada ditengah-tengah antara paham Mutazilah dan
paham Asy’ariah.
C. Antara Maturidiyah Samarkand dan
Maturidiyah Bukhara
Sebelumnya telah diutarakan bahwa maturidiyah terbagi kedalam
2 bagian, berdasar atas siapa tokoh
pembangunnya, ada maturidiyah Samarkand dan maturidiyah Bukhara. Disini kami
akan memaparkan perbedaan pandangan antara 2 kubu paham maturidiyah ini.
Misalnya pertama,mengenai perbuatan tuhan, aliran Maturidiyah
Samarkand memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, mereka
berpendapat bahwa perbuatan tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja,
dengan demikian tuhan berkewajiban melakukan yang baik bagi manusia. Demikian
halnya dengan pengiriman Rasul, Maturidiyah Samarkand menilai hal itu sebagai
kewajiban Tuhan. Adapun menurut ma’turidiyah Bukhara yang sependapat dengan
Asy’ariyah
mengenai paham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana
dijelaskan oleh al-Bazdawi, bahwa Tuhan pasti menepati janji-Nya, seperti
member upah orang yang telah berbuat kebaikan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Aliran Asy’ariyah dan aliran Ma’turidiyah adalah aliran yang
muncul sebagai reaksi terhadap aliran Mu’tazilah, sehingga bila ingin
mengetahui perbedaan pandangan dengan aliran-aliran lainnya, tidak bisa
dipisahkan dengan aliran Mu’tazilah.
Abu Hasan Al-Asy’arie adalah tokoh ahli tauhid penganut madzhab Imam Syafi’i, Sedangkan Abu Mansur Al-Maturidi adalah pengikut madzhab
Imam Hanafi. Meskipun keduanya menganut madzhab yang berbeda, namun keduanya
sama-sama mempunyai charisma yang tinggi serta mendapat simpati dari berbagai
kalangan umat, sehingga mereka memposisikan kedua imam ini sebagai tokoh
madzhab pilihan dalam permasalahan ushuluddin, yang kemudian madzhab ini lebih
dikenal dengan Asy’ariyyah (setiap pengikut Abu Hasan aL–Asy’arie) dan
Maturidiyyah (setiap pengikut Abu Mansur aL-Maturidi)
dan untuk membedakan kedua golongan ini dengan golongan Mu’tazilah.
Pandangan Asy’ariyah dengan Ma’turidiyah
memiliki perbedaan apalagi bila membandingkan asy’ariyah dengan paham
Mu’tazilah.
Akidah Asy’ariyah adalah akidah yang
paling popular dan tersebar diseluruh dunia. Awal menyebar luas pada zaman
Wazir Nidzamul Muluk pada dinasti bani Saljuk dan seolah menjadi akidah resmi
Negara. Ulama besar yang mendukung adalah Asy-Syafi’I, Al-Malikiyyah,
Al-Ghazali.
3.2 Saran
Aliran-aliran dalam ilmu kalam yang
beragam ini membuka memori berpikir kita untuk lebih mempelajari aturan transcendental baik secara teks maupun
konteks. Perbedaan yang begitu beragam tidak lantas membuat kita menyalahkan
paham orang lain. Karena setiap orang memiliki kemampuan untuk mengoptimalkan aset
pribadinya dalam berfikir.