BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Islam
mengajarakan kepada penganutnya segala sesuatu tentang kebaikan, baik untuk
menempuh kehidupan duniawi maupun ukhrawi. Tidak hanya mengajarkan bagaimana
harus berakhlaq kepada Allah SWT. tapi Islam juga mengajarkan bagaimana kita
harus berakhlaq kepada sesama ciptaan-Nya.
Manusia
diciptakan oleh Allah SWT. diantaranya adalah sebagai makhluk sosial, yaitu
makhluk yang senantiasa mengadakan hubungan dengan sesamanya. Kerjasama dengan
orang lain dapat terbina dengan baik apabila masing-masing pihak memiliki
kepedulian sosial. Oleh karena itu sikap ini sangat di anjurkan dalam Islam.
Kebalikan dari sikap peduli sosial ialah egois.
Kepedulian
berarti sikap memerhatikan sesuatu. Dengan demikian kepedulian sosial berarti
sikap memerhatikan urusan orang lain (sesama anggota masyarakat). Kepedulian
sosial yang di maksud bukanlah untuk mencampuri urusan orang lain, tetapi lebih
pada membantu menyelesaikan permasalahan yang di hadapi orang lain dengan
tujuan kebaikan dan perdamaian.
Namun, seiring
berjalannya waktu kepedulian dengan sesama makhluk ciptaan Allah SWT. sedikit
demi sedikit sudah hampir luntur dikalangan orang-orang yang mencukupi akan
hartanya. Padahal, telah diterangkan
oleh Allah SWT. Dalam firmannya bahwa orang yang mengabaikan sesamanya adalah
pendusta agama, terutama pengabaian terhadap anak yatim dan fakir miskin. Pada
mulanya sikap pengabaian terhadap anak yatim dan fakir miskin adalah dimikili
orang orang munafik. Mereka menunjukkan keangkuhannya dengan harta yang
dimikilinya seakan akan anak yatim dan orang orang miskin itu tak akan dapat
hidup tanpa mendapat bantuan mereka.
Dalam situasi
kemiskinan yang makin bertambah dewasa ini, orang yang dilimpahi rezeki seyogyanya
turut membantu kaum fakir miskin dan anak yatim. Hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam surah Al-Hadid [57]: 7, ''Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu
yang Allah telahmenjadikan kamu menguasainya”. Sesuai dengan anjuran al-Quran
itu kini semakin jelas bahwa ketidak pedulian kaum kaya terhadap penderitaan
kaum miskin merupakan bahaya terbesar yang telah mengancam kehidupan masyarakat.
Dan kaum kaya sendirilah yang akan menjadi korban ancaman ini. Sedangkan bagi
kehidupan bernegara, semakin melebarnya kesenjangan sosial antara kaya dan
miskin merupakan ancaman paling utama stabilitas nasional. Agar hal-hal yang
tidak diinginkan itu terjadi, Islam sejak awal dari 14 abad lalu telah mengantisipasi
ancaman ini dengan mewajibkan mereka yang dilimpahkan rezeki lebih oleh Allah
SWT. diwajibkan untuk berzakat. Tak hanya itu, mereka juga dituntut
menginfakkan hartanya guna meringankan kehidupan kaum fakir miskin.
Menurut ajaran
Islam, setiap orang miskin patut memperoleh pertolongan, dan tentu saja merupakan
tanggung jawab pemerintah dan orang yang diberi kelimpahan rezeki untuk
memberikan pertolongan itu. ''Manusia yang terbaik adalah yang paling
berguna bagi masyarakatnya,'' demikian sabda Nabi Muhammad SAW. dalam
sebuah hadis. Untuk menciptakan kehidupan yang demikian Islam mengingatkan agar
setiap individu saling membantu. Dengan kehidupan yang demikian, setiap
individu dalam masyarakat akan saling memperoleh manfaat dari upaya
masing-masing untuk memenuhi kebutuhan bersama mereka. Nabi SAW mengibaratkan
masyarakat yang demikian seperti satu tubuh, yang apabila satu bagian merasa
sakit, bagian lainnya turut menderita. Islam yang mengakui dan menjunjung
tinggi hak milik seseorang tidak membenarkan umatnya mengabaikan mengumpulkan
harta. Tapi, Allah SWT. juga mengingatkan bahwa harta benda itu merupakan
ujian. Semoga hati tergerak untuk menaati anjuran Allah SWT. untuk memiliki kepedulian
sosial membantu mereka anak yatim dan fakir miskin.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tidak punya
kepedulian adalah pendusta agama (QS. Al-Ma’un[107]:1-7)
|M÷uäur& Ï%©!$# Ü>Éjs3ã ÉúïÏe$!$$Î/ ÇÊÈ Ï9ºxsù Ï%©!$# íßt zOÏKuø9$# ÇËÈ wur Ùçts 4n?tã ÏQ$yèsÛ ÈûüÅ3ó¡ÏJø9$# ÇÌÈ ×@÷uqsù ú,Íj#|ÁßJù=Ïj9 ÇÍÈ tûïÏ%©!$# öNèd `tã öNÍkÍEx|¹ tbqèd$y ÇÎÈ tûïÏ%©!$# öNèd crâä!#tã ÇÏÈ tbqãèuZôJtur tbqãã$yJø9$# ÇÐÈ
1. Tahukah
kamu (orang) yang mendustakan agama?
2. Itulah
orang yang menghardik anak yatim,
3. Dan tidak
menganjurkan memberi Makan orang miskin.
4. Maka
kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,
5. (yaitu)
orang-orang yang lalai dari shalatnya,
6. Orang-orang
yang berbuat riya[1]
7. Dan enggan
(menolong dengan) barang berguna[2]
Dilihat dari setiap ayat yang
terdapat didalam surat Al-Maa’uun ini yang menjelaskan isi pokok dari surat ini,
yang secara garis besar adalah menjelaskan tentang beberapa sifat manusia yang
di pandang mendustakan agama Allah SWT. dan sekaligus merupakan ancaman yang
ditunjukan Allah SWT. kepada orang-orang yang melalaikan sholat dan berbuat
riya atau sifat seseorang yang melakukan amal perbuatan bukan karena Allah SWT.
dan ingin mendapatkan pujian dari masyarakat.
Sifat-sifat yang di pandang mendustakan agama
Allah SWT. ada 5 antara lain :
+
Orang yang menghardik anak yatim
+
Orang yang tidak menganjurkan
memberi makan orang miskin
+
Orang yang melalaikan sholat
+
Orang yang berbuat riya
+
Orang yang tidak mau memberikan
barang-barang yang berguna, yang dimilikinya (tidak mau untuk mengeluarkan
zakat )[3]
Kelima sifat ini merupakan
sifat-sifat buruk yang seharusnya dihindari oleh kita semua karena sifat seperti
ini akan membawa kita kedalam kesengsaraan.
Dalam tafsir Ibnu Katsir dikatakan
bahwa Allah SWT. menjelaskan tentang sifat, corat orang yang mendustakan agama
dan pembalasan Allah SWT. terhadap amal perbuatan manusia kelak di hari kiamat.
Di antara orang-orang yang mendustakan agama
adalah :
1.
Orang yang membentak, menghardik
anak yatim.
2.
Tidak suka membantu memberi makan
kepada orang miskin.
3.
Riya dalam shalatnya.
4.
Tidak suka membantu kepada sesama
meskipun sekedar meminjami keperluan rumah tangga.[4]
Dalam hadits yang di riwayatkan
oleh Ibn Abbas ra. Yang artinya : “Sesungguhnya didalam jahanam ada sebuah
lembah (kawah) yang mana jahanam itu sendiri berlindung kepada Allah dari
bahayanya kawah itu tiap hari empat ratus kali, kawah itu disediakan untuk
orang-orang yang riya dalam amal perbuatannya dari umat Muhammad SAW. Yaitu : 1. Orang yang membawa kitab Allah
karena riya, 2. Orang yang membenarkan sesuatu tidak karena Allah, 3. Orang
yang melakukan haji kebaitullah karena riya, 4. Orang yang berjihad
fisabilillah riya. Maka semua amal riya tidak ikhlas kepada Allah akan disiksa
dalam lembah kawah itu”. (HR. Atthabarani).[5]
Pada bagian pertama surat ini,
pertama-tama Nabi SAW disapa dengan sejumlah cerminan tidak menyenangkan dari
pengingkaran manusia terhadap akhirat melalui perbuatan-perbuatan mereka diungkapkan
oleh ayat, “Sudahkah kamu melihat orang yang mendustakan hari perhitungan?
Dialah orang yang menghardik anak yatim (dengan kasar). Dan tidak menganjurkan
orang lain memberi makan orang miskin”.
Kata yadu’uu berakar dari da’a
mengandung arti mendorong; mengusir dengan kekerasan. Sedangkan kata yahudhdh
yang diturunkan dari hadhdha berarti mendorong, mendesak. Raghib
menukil dalam bukunya, al-Mufrodat, bahwa hass berarti : suatu
dorongan dalam gerakan dan perjalanan, tapi hadhdh tidaklah demikian.
Bagaimanapun juga, karena dua kata
ini digunakan dalam pola masa depan, di isyaratkan kedawaman dalam perbuatan
menyangkut anak yatim dan kaum miskin.
Sekali lagi perlu diingatkan, bahwa
butir penting disini adalah ketika berhubungan dengan anak yatim, perlakuan
cinta dan manusiawi lebih signifikan ketimbang memberikan makanan. Karena
seorang anak yatim harus menahan kurangnya cinta dan makanan spiritual
ketimbang makanan jasmani. Tentu saja memberi makan orang miskin seperti disebut dalam ayat-ayat ini merupakan
salah satu amal saleh yang paling penting, sehingga kalaupun tidak bisa memberi
makan seorang miskin, haruslah menganjurkan kepada
orang lain untuk berbuat demikian.[6]
Dalam penafsiran lain dikatan bahwa pemakaian kata Yadu’uu yang
diartikan dengan menolakkan itu adalam membayangkan kebencian yang sangat. Rasa
tidak senang, rasa jijik, dan tidak boleh mendekat. Kalau memcoba mendekat maka
ditolakkan, biar jatuh tersungkur. Nampaklah maksud ayat bahwa orang yang membenci anak yatim adalah orang yang mendustakan agama, walaupun dia
beribadah. Karena rasa benci, rasa sombong, dan bakhil tidak boleh ada didalam
jiwa seseorang yang mengaku beragama.[7]
Kata sahun yang diturunkan dari sahw, semula memiliki arti
suatu kesalahan yang dilalukan tanpa sengaja atau secara lalai, baik orang itu
bersalah dalam persiapannya maupun tidak. Dalam hal pertama tidak dimaafkan,
namun pada kasus kedua bisa dimaafkan. Dalam hal ini yang dimaksaud adalah pengabaian
dengan kesalahan.[8]
Sedangkan dalam penafsiran lain kata sahun asal arti katanya ialah
lupa. Artinya dilupakannya apa maksud sembahyang itu, sehingga meskipun ia
mengerjakan sembahyang, namun sembahyangnya itu tidaklah dari kesadaran akan
maksud dan hikmatnya.
Pernah suatu ketika Nabi SAW. Melihat seorang sahabatnya yang terlambat
datang kemesjid sehingga ketinggalan dari sembahyang berjamaah, lalu diapun
sembahyang sendiri. Setelah dia selesai sembahyang, Nabi SAW. menyuruhnya mengulang sembahyangnya kembali. Karena yang tadi itu dia
belum sembahyang. Dia belum mengerjakan dengan sesungguhnya.[9]
Himpuanan sifat-sifat rendah yang tengah dibahas dalam surat ini merupakan
tanda-tanda kekufuran dan kesia-siaan pada siapapun yang memilikinya. Semua
sifat atau karakteristik itu merupakan cabang dari penolakan pada (kebenaran)
hari kiamat, yaitu hari perhitungan atau hari pembalasan.
Sifat-sifat membenci anak yatim, menolak untuk memberi makan orang miskin,
mengabaikan dalam mendirikan solat yang ditetapkan, kemunafikan, tidak
bekerjasama dengan orang-orang bahkan dalam hal pemberian benda-benda sepele,
membentuk himpunan sifat tersebut. Ia melukiskan orang-orang yang bakhil,
menipu diri dan riya, yang tidak punya hubungan apa-apa dengan manusia ataupun
Sang Pencipta. Mereka tidak membawa cahaya iman dan tanggung jawab dalam
entitas mereka. Mereka tidak merindukan pahala-pahala Ilahi atau takut akan siksa-Nya.
Surat yang pendek ini, berisi dengan 7 ayat, diturunkan di Madinah, untuk
menghardik orang-orang munafik yang ada pada masa itu, yang sorak-sorainya
keras. Tetapi surat ini telah menjadi cemeti terus menerus bagi umat Nabi
Muhammad SAW. Sebab kian lama kian nampaklah orang yang seperti ini dalam pergaulan
dimasyarakat islam. Mereka mengaku islam tetapi dengan tidak disadari mereka
telah menjadi orang munafik. Sebagaimana yang diaktakan oleh ibnu jarir dalam
tafsirnya :
“begitulah orang-orang munafik, kalau diahadapan banyak orang banyak
sembahyangnya dan serupa sangat khusyu’, tetapi kalau orang sudah tidak ada
lagi, sembahyangnya itu pun sudah tidak dikerjakan lagi. Tidak ada ingatan
didalam hatinya buat menyambungkan budi dengan orang lain, yaitu memberikan
pertolongan apa yang perlu bagi yang memerlukannya”.[10]
Az-Zamakhsyari menulis dalam
tafsirnya, tentang penyebab orang-orang yang menolak anak yatim dan tidak
mengajak memberi makan fakir miskin dikatakan mendustakan agama.
Kata beliau: “Orang ini nyata
mendustakan agama, karena dalam sikap dan tingkah lakunya mempertunjukan bahwa
dia tidak percaya inti agama yang sejati, yaitu bahwa orang-orang yang menolong
sesamanya yang lemah akan diberi pahala dan ganjaran yang mulia dari Allah SWT.
Sebab itu dia tidak berbuat ma’ruf dan sampai hati menyakiti orang yang lemah.
Kalau dia percaya akan adanya
pahala dari Tuhan dan yakin akan balasan Ilahi, tentu dia takut akan Tuhan
dan takut akan siksaan dan azab Tuhan,
dan tidaklah dia akan berani berbuat begitu kepada anak yatim dan fakir miskin.
Kalau telah ditolak dan didiamkan anak yatim dan fakir miskin jelaslah bahwa
perbuatan itu mendustakan agama. Oleh sebab itu maka kata-kata Allah SWT. di
ayat ini sangatlah tajam dan orang itu telah didudukan Allah SWT. pada suatu
tempat yang dimurkai-Nya. Ini adalah satu peringatan yang keras untuk menjauhi
perbuatan yang dipandang Allah SWT. sudah durhaka. Maka layaklah diambil
kesimpulan bahwa orang yang bersifat seperti ini lemah imannya dan keyakinannya
amat kendor.[11]
B.
Zakat sebagai salah satu bentuk kepedulian sosial (QS.
Al-Taubah[9]:60)
$yJ¯RÎ) àM»s%y¢Á9$# Ïä!#ts)àÿù=Ï9 ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur tû,Î#ÏJ»yèø9$#ur $pkön=tæ Ïpxÿ©9xsßJø9$#ur öNåkæ5qè=è% Îûur É>$s%Ìh9$# tûüÏBÌ»tóø9$#ur Îûur È@Î6y «!$# Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ( ZpÒÌsù ÆÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOÎ=tæ ÒOÅ6ym ÇÏÉÈ
Artinya :
“Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”
Penafsiran Kata :
As-Sadaqah :
Ialah zakat yang diwajibkan atas uang, binatang ternak, tanaman, dan
perniagaan.
Al-Faqir :Orang
yang mempunyai harta sedikit, tidak mencapai nishab (kurang dari 12 pound).
Al-Miskin :Orang
tidak punya, sehingga dia perlu meminta-minta sandang dan pangannya.
Al-Amil 'alaiha :Orang yang
diserahi tugas oleh sultan atau wakilnya untuk mengumpulkan zakat dari
orang-orang kaya.
Al-Mu'allafatu qulubuhum :Orang-orang yang dikehendaki agar
hatinya cenderung atau tetap kepada Islam.
Fir-Riqab :Untuk
berinfaq dalam menolong budak-budak, guna membebaskan mereka dari perbudakan.
Al-Gharimin :Orang-orang
yang mempunyai hutang dan tidak sanggup membayarnya.
Fi Sabilillah :Di
jalan untuk mencapai keridaan dan pahala Allah SWT. Yang dimaksud ialah: setiap
orang yang berjalan di dalam ketaatan kepada Allah dan di jalan kebaikan,
seperti orang-orang yang berperang, jama'ah haji yang terputus perjalanannya,
dan mereka tidak mempunyai sumber harta lagi, dan para penuntut ilmu yang fakir.
Ibnus-Sabil :Musafir
yang jauh dari negerinya dan sulit baginya untuk mendatangkan sebagian dari
hartanya, sedangkan dia kaya di negerinya tetapi fakir di dalam perjalanan.
Faridlatun minallah :Allah mewajibkan hal itu secara
mutlaq, tanpa seorang pun yang ikut serta dalam mewajibkannya.[12]
Kata shadaqah (zakat) dan shidaq
(maskawin) adalah turunan dari kata shidq (kejujuran). Memberikan zakat
adalah tanda kejujuran dalam keimanan kepada Allah SWT, dan maskawin adalah
sebagai tanda cinta kepada istri.
Istilah “fakir” dalam bahasa Arab adalah turunan dari kata
faqr (kemiskinan). Sebutan ini di
sandang oleh orang yang kemiskinannya hendak menghancurkan tulang-tulangnya.
Istilah miskin dalam al-Quran menunjukan kepada orang yang karena kemiskinan,
duduk (tinggal) di rumah, dan di sebut ‘orang yang tak mampu ke luar rumah’.
Sebuah hadits yang dikutip dalam Wasa’ilusySyi’ah
menyatakan, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan, di dalam kekayaan orang
itu, ada sejumlah tertentu yang wajib di berikan kepada orang miskin untuk
mengatasi kesulitan-kesulitan mereka. Dan jika Allah mengetahui pemberian itu
tidak cukup buat mereka, Allah akan menambahnya, dan kalau saja orang-orang
membayarkan hak fakir miskin tersebut, maka fakir miskin tersebut akan hidup
dengan baik”.[13]
Delapan mustahiq yang berhak menerima zakat adalah
sebagai berikut :
1)
Orang fakir: orang yang amat
sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi
penghidupannya.
2)
Orang miskin: orang yang tidak
cukup penghidupannya dan dalam Keadaan kekurangan.
3)
Pengurus zakat: orang yang diberi
tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat.
4)
Muallaf: orang kafir yang ada
harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah.
5)
Memerdekakan budak: mencakup juga
untuk melepaskan muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir.
6)
Orang berhutang: orang yang
berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup
membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam
dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya.
7)
Pada jalan Allah (sabilillah): yaitu
untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. di antara mufasirin ada
yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan
umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain.
8)
Orang yang sedang dalam perjalanan
yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.[14]
Para ulama berselisih pendapat
tentang kedelapan mustahiq ini apakah zakat itu wajib menjangkau kedelapan
golongan ini wajib menjangkau semuanya atau cukup dengan diberikan kepada salah
satu dari kedelapan itu atau hanya beberapa golongan saja. Pendapat pertama
adalah dari Imam Syafi’I dan beberapa jamaah, sedang pendapat yang kedua adalah
pendapat Imam Maliki dan beberapa jamaah seperti Umar, Hudzaifah, Ibnu Abbas,
Abul Aliah, Said Bin Jubair, Dan Maimun bin Muhram. Mereka berpendapat bahwa
disebutnya delapan golongan ini hanyalah untuk menentukan siapa yang berhak dan
patut menerima zakat, tetapi tidak berarti harus semua golongan delapan itu
dijangkaunya.
Mengenai
kata-kata “fakir” dan “miskin” dan siapakah patut dimasukan kedalam salah satu
dari kedua golongan itu, terdapat perbedaan penafsiran dikalangan mufasirin dan
ulama. Abu Hanifah berpendapat bahwa yang disebut “miskin” itu ialah yang
keadaannya itu lebih payah dan lebih melarat dari yang disebut “fakir”. Dan
pendapat Ibnu Jarir, yang disebut “fakir”, ialah orang yang tidak berharta,
tetapi belum sampai ketingkat pengemis, sedang yang disebut “miskin” ialah
orang yang sudah terpaksa karena kebutuhannya untuk meminta-minta, keliling
dari rumah kerumah. Lain lagi dengan Qatadah yang berpendapat bahwa yang
disebut “fakir” ialah yang cacat dan tidak berharta, sedang yang disebut
“miskin” ialah yang masih bertubuh sehat.
Dampak Positif Zakat dalam Masyarakat
1.
Zakat adalah faktor penting dalam
pengaturan kekayaan.
2.
Zakat adalah sebuah praktik syukur
atas sesuatu yang Allah Swt telah
berikan kepada seseorang
3.
Zakat menyempitkan jurang pemisah
dalam masyarakat dan menghilangkan kedengkian antara si miskin dan si kaya.
4.
Zakat melanggengkan semangat
kedermawanan dan murah hatipada manusia, dan mengurangi sifat selalu mengejar
kekayaan dan ketergantungan pada materi dalam diri manusia.
5.
Selain menghapuskankekurangan,
zakat mempunyai berbagai ganjaran lebih. Yaitu menambah pesona islam,
ataupaling tidak, membuat orang-orang tidak ingin lagi bekerja sama dengan
musuh-musuh islam.
6.
Perintah untuk mengeluarkan zakat
di Mekah, namun karena kemelaratan kaum Muslimin maka uang zakatnya di bayarkan
kepada mereka sendiri.[15]
Tetapi kemudian, setelah
pemerintahan islam di Madinah, mempunyai ide untuk mengumpulkan zakat dari
masyarakat dengan maksud membayar (membersihkan) perbendaharaan kaum muslimin,
di mana pelaksanaanya dikordinasi oleh pemerintah islam menjadi kenyataan.
Salah satu dari buktinya sebagai mana di sebutkan dalam al-Quran, Surat
al-Taubah ayat 103 yang artinya : “ambillah
zakat dari harta milik mereka”.
Ada beberapa hikmah yang terkandung dari
kewajiban berzakat, di antaranya:
a)
Sebagai sarana untuk membersihkan
harta.
b)
Sebagai ungkapan syukur atas nikmat
yang Allah SWT. berikan.
c)
Menghindari kesenjangan sosial
antara si kaya dan si miskin.
d)
Mewujudkan keseimbangan dalam
distribusi harta, dan keseimbangan tanggung jawab individu dalam masyarakat.
e)
Mewujudukan solidaritas sosial,
rasa kemanusian dan keadilan, ukhuwah islamiyah, persatuan umat, dan pengikat
batin antara yang kaya dengan yang miskin.[16]
Hukum zakat yang menggambarkan
suatu sketsa dari sistem islam memberikan rancangan sebagai berikut: Keadilan
sosial, penghapusan kemiskinan, penyediaan peersonil dan tenaga kerja, popularitas
internasional, pembebasan budak dan tahanan, mengokohkan kekuatan dan potensi
yang dimiliki, melindungi agama dan kemuliaan kaum muslimin penyebar luasan
pelayanan sosial.[17]
Hadits Tenteng Zakat
+
Iman Ja’far ash-shadiq as.
meriwayatkan dari kakenya, mengatakan bahwa Rasulullah SAW. pernah bersabda, “yang
paling mulia (di antara manusia) adalah dia yang membayar zakat atas
kekayaannya dan yang paling kikir (di antara manusia) adalah dia yang pelit
akan apa yang ia nikmati dari pemberian Allah”. (Biharul Anwar vol. 93 h.13).
+
Imam Ja’far ash-shadiq as
mengatakan, “jika orang-orang mengeluarkan zakat dari harta miliknya, maka
tidak akan tersisa muslim faqir dan miskin”. (al-Imam asha-shadiq as, Asad
Heydar, vol. 4 h.360).[18]
Ayat 60 surat al-Taubah ini
merupakan dasar pokok yang menyangkut kelompok-kelompok yang berhak mendapatkan
zakat. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami masing-masing kelompok.
Secara singkat dapat di temukan sebagai berikut.
Imam Makik berpendapak bahwa ulama-ulama dari
kalangan sahabat sepakat memperbolehkan memberikan zakat walau hanya kepada
salah satu dari kelompok yang di sebutkan oleh ayat ini.
Imam Syafi’I berpendapat bahwa huruf lam
mengandung makna kepemilikan sehingga semua yang disebut harus mendapat bagian
yang sama. Ini menurutnya dikuatkan juga oleh kata innamaa/banya yang
mengandung makna pengkhususan. Sementara para ulama pengikut Imam Syafi’i
berpendapat kalau di bagikan ke tiga kelompok saja maka hal itu sudah cukup.[19]
C.
Analisis
a.
Didalam surat al-Ma’un ini Allah
SWT. menjelaskan tentang sifat-sifat orang yang diapandang mendustakan agama
Allah SWT. sekaligus merupakan ancaman kepada orang-orang yang melalaikan
sholat dan berbuat riya atau sifat seseorang yang melakukan amal perbuatan
bukan karena Allah SWT. dan hanya ingin dipandang baik di masyarakat.
b.
Sangat setuju dengan apa yang
dikatakan Az-Zamakhsyari yang ditulis dalam tafsirnya, tentang penyebab
orang-orang yang menolak anak yatim dan tidak mengajak memberi makan fakir
miskin dikatakan mendustakan agama.
c.
“Sesungguhnya Allah telah
menetapkan, di dalam kekayaan orang itu, ada sejumlah tertentu yang wajib di
berikan kepada orang miskin untuk mengatasi kesulitan-kesulitan mereka. Dan
jika Allah mengetahui pemberian itu tidak cukup buat mereka, Allah akan menambahnya,
dan kalau saja orang-orang membayarkan hak fakir miskin tersebut, maka fakir
miskin tersebut akan hidup dengan baik”. Itulah sebuah hadits yang dikutif
dari Wasa’ilusySyi’ah tentang kepedulian sosial terhadap sesama makhluk
ciptaan Allah SWT.
d.
Ada delapan mustahiq yang berhak
menerima zakat yaitu: Orang fakir, Orang miskin, Pengurus zakat, Muallaf,
Memerdekakan budak, Orang berhutang, Pada jalan Allah (sabilillah), Orang yang
sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
e.
Banyak perbedaan pendapat diantara
para mufasir mengenai kata-kata “fakir” dan “miskin” dan siapakah patut
dimasukan kedalam salah satu dari kedua golongan itu. Abu Hanifah berpendapat
bahwa yang disebut “miskin” itu ialah yang keadaannya itu lebih payah dan lebih
melarat dari yang disebut “fakir”.
Ibnu Jarir, yang disebut “fakir”
ialah orang yang tidak berharta, tetapi belum sampai ketingkat pengemis, sedang
yang disebut “miskin” ialah orang yang sudah terpaksa karena kebutuhannya untuk
meminta-minta, keliling dari rumah kerumah.
Qatadah yang berpendapat bahwa yang
disebut “fakir” ialah yang cacat dan tidak berharta, sedang yang disebut
“miskin” ialah yang masih bertubuh sehat.
Penulis lebih condong kepada
pendapat yang dikemukakan oleh Abu Hanifah yang mengatan bahwa yang disebut
“miskin” itu keadaannya lebih payah dan lebih melarat dari yang disebut “fakir”.
BAB III
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
1.
Manusia adalah makhluk sosial yang
saling membutuhkan satu sama lain.
2.
Orang yang tidak peduli dengan
sesama makhluk ciptaan Allah SWT. terutama anak yatim dan fakir miskin
dikatakan sebagai pendusta agama Allah SWT.
3.
Lima sifat yang di pandang sebagai
mendustakan agama Allah, yaitu: Orang yang menghardik anak yatim, Orang yang
tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, Orang yang melalaikan sholat, Orang
yang berbuat riya, Orang yang tidak mau memberikan barang-barang yang berguna
yang dimilikinya (tidak mau untuk mengeluarkan zakat )
4.
Az-Zamakhsyari menulis dalam
tafsirnya, tentang penyebab orang-orang yang menolak anak yatim dan tidak
mengajak memberi makan fakir miskin dikatakan mendustakan agama. Kata beliau:
“Orang ini nyata mendustakan agama, karena dalam sikap dan tingkah lakunya
mempertunjukan bahwa dia tidak percaya inti agama yang sejati, yaitu bahwa
orang-orang yang menolong sesamanya yang lemah akan diberi pahala dan ganjaran
yang mulia dari Allah SWT. Sebab itu dia tidak berbuat ma’ruf dan sampai hati
menyakiti orang yang lemah.
5.
Delapan mustahiq yang berhak
menerima zakat yaitu: Orang fakir, Orang miskin, Pengurus zakat, Muallaf,
Memerdekakan budak, Orang berhutang, Pada jalan Allah (sabilillah), Orang yang
sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam
perjalanannya.
6.
Dampak positif zakat dalam
masyarakat diantaranya: Zakat adalah faktor penting dalam pengaturan kekayaan, zakat
adalah sebuah praktik syukuran, zakat menyempitkan jurang pemisah dalam
masyarakat dan menghilangkan kedengkian antara si miskin dan si kaya, zakat
melanggengkan semangat kedermawanan dan murah hati pada manusia, zakat mempunyai
berbagai ganjaran lebih, yaitu menambah pesona islam, atau paling tidak,
membuat orang-orang tidak ingin lagi bekerja sama dengan musuh-musuh islam.
7.
Beberapa hikmah yang terkandung
dari kewajiban berzakat, yaitu: Sebagai sarana untuk membersihkan harta,
sebagai ungkapan syukur atas nikmat yang Allah SWT berikan, menghindari
kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin, mewujudkan keseimbangan dalam distribusi
harta, dan keseimbangan tanggung jawab individu dalam masyarakat.
8.
Mewujudukan solidaritas sosial,
rasa kemanusian dan keadilan, ukhuwah islamiyah, persatuan umat, dan pengikat
batin antara yang kaya dengan yang miskin.
[1] Riya ialah melakukan sesuatu amal perbuatan
tidak untuk mencari keridhaan Allah akan tetapi untuk mencari pujian atau
kemasyhuran di masyarakat.
[2] Sebagian mufassirin mengartikan: enggan
membayar zakat.
[3]
http://thuvix.blogspot.com/2010/04/azbabun-nuzul-surat-al-maun.html?zx=6c1862db3868d8f2
[4] Terjemah tafsir Ibn Katsir. Hal 445
[5] Ibid. hal 446
[6] Allamah kamil dan tim ulama, tafsir nurul
qur’an, juz. 30 (Jakarta: Al-Huda, 2004), hal. 352-353
[7] Hamka, tafsir Al-Azhar, juz. 30 (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1983), 280
[8] Allamah kamil dan tim ulama, tafsir nurul
qur’an, juz 30 (Jakarta: Al-Huda, 2004), hal. 353
[9]
Hamka, tafsir Al-Azhar, juz. 30 (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1983), hal. 281-282
[11]
Hamka, tafsir Al-Azhar, juz. 30 (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1983), hal. 281
[12]
http://sholehhadi.blogspot.com/2009/03/ayat-ayat-tentang-zakat-dan-infaq.html
[13]
Allamah kamil dan tim ulama, tafsir nurul
qur’an, Juz. 10 (Jakarta: Al-Huda, 2004), hal. 486-487
[14]
Daparteman Agama RI. Al-Qur’an dan
Terjemahnya. (Jakarta : Cv J-Art,
2005).
[15] Allamah kamil dan tim ulama, tafsir nurul
qur’an, Juz 10 (Jakarta: Al-Huda, 2004), hal. 490
[16]
http://www.infozakat.com
[17] Ibid. hal. 492
[18] Ibid. hal. 493
[19] Quraish shihab, al-Misbah, Juz. 10 (Jakarta:
Lentera hati, 2002), hal 629-630
Tidak ada komentar:
Posting Komentar