BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang
Masalah
Ketika berbicara mengenai ayat-ayat
yang terkandung di dalam Al-Qur’an, sebenarnya dari semua ayat yang ada didalam
Al-Qur’an tersebut tidak semuanya memberikan arti/pemahaman yang jelas. Jika ditelusuri,
ternyata banyak sekali ayat-ayat yang masih butuh penjelasan yang lebih
mendalam mengenai hukum yang tersimpan dalam ayat tersebut.
Ini menunjukkan bahwa ternyata
ayat-ayat Al-Qur’an itu tidak hanya memberikan pemahaman secara langsung dan
jelas, tetapi ada ayat yang maknanya tersirat didalam ayat tersebut. Begitu
juga dengan ayat Mujmal, yang mana ayat ini belum jelas maksudnya, apabila
tidak ada keterangan lain yang menjelaskannya. Dan ayat ini berlawanan dengan
ayat mubayyan.
Oleh karena itu, agar semua dapat
memahami dan mengetahui hukum/makna yang terdapat didalam ayat-ayat Al-Qur’an,
penulis akan memaparkan sedikit penjelasan guna menambah pemahaman pembaca
mengenai ilmu Al-qur’an. Sebagian aspek tersebut yaitu mengenai Mantuq dan
Mafhum, meliputi pengertian serta pembagian-pembagiannya.
BAB II
PEMBAHASAN
I.
Pengertian
Mantuq
Kata mantuq secara bahasa berarti
sesuatu yang ditunjukkan oleh lafal ketika diucapkan. Secara istilah dilalah
mantuq adalah:
دلالة المنطوق هي دلالة اللفظ على حكم شيئ مذ
كور في الكلم
“Dilalah
mantuq adalah penunjukkan lafal terhadap hukum sesuatu yang disebutkan dalam
pembicaraan (lafal)”.
Dari definisi ini diketahui bahwa
apabila suatu hukum dipahami langsung lafal yang tertulis, maka cara seperti
ini disebut pemahaman secara mantuq. Misalnya, hukum yang dipahami langsung
dari teks firman Allah pada surat Al-Isra’ ayat 23 yang berbunyi :
فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا
وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Artinya: “Maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah kamu membentak mereka”.
Dalam ayat tersebut terdapat
pengertian mantuq dan mafhum, pengertian mantuq yaitu ucapan lafadz itu sendiri
(yang nyata = uffin) jangan kamu katakan perkataan “ah” atau perkataan yang
keji kepada kedua orang tuamu. Sedangkan mafhum yang tidak disebutkan yaitu
memukul dan menyiksanya (juga dilarang) karena lafadz-lafadz yang mengandung
kepada arti, diambil dari segi pembicaraan yang nyata dinamakan mantuq dan
tidak nyata disebut mafhum. Hal tersebut langsung tertulis dan ditunjukkan
dalam ayat ini.
Para ahli
ushul fiqh membagi mantuq kepada dua macam yaitu:
1)
Mantuq sharih secara bahasa
berarti sesuatu yang diucapkan secara tegas. Adapun definisi mantuq sharih
secara istilah adalah:
المنطوق الصريح هوما وضغ اللفظ له فيد ل عليه
بالمطابقة او بالتضمن
“Mantuq
sharih adalah makna yang secara tegas yang ditunjukkan suatu lafal sesuai
dengan penciptaannya, baik secara penuh atau berupa bagiannya”
Untuk
memahami definisi ini dengan baik perlu dikemukakan contoh penggunaandilalah
mantuq sharih pada firman Allah surat Al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi :
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya:
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Ayat ini menunjukkan secara jelas
dan tegas melalui mantuq sharih tentang kehalalan jual beli dan keharaman riba.
2)
Mantuq ghairu sharih secara
istilah adalah:
المنطوق غير صريح هو مالم يوضع اللفظ له بل هولا
زم لما وضع
“Mantuq
ghairu sharih adalah pengertian yang ditarik bukan dari makna asli dari suatu
lafal, sebagai konsekuensi dari suatu ucapan”
Dari definisi ini jelas bahwa apabila
penunjukkan suatu hukum didasarkan pada konsekuensi dari suatu ucapan (lafal),
bukan ditunjukkan secara tegas oleh suatu lafal sejak penciptaannya, baik
secara penuh atau bagiannya disebut dilalah mantuq ghairu sharih. Misalnya dalam firman Allah surat Al-Baqarah
ayat 233 yang berbunyi :
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ
وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya:
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara
yang ma’ruf”.
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa
nasab seorang anak dihubungkan kepada ayah bukan kepada ibu karena tanggung
jawab nafkah anak berada di tangan seorang ayah. Kesimpulan seperti ini diambil
dengan cara mantuq ghairu sharih dari ayat di atas.
A.
Pembagian
Mantuq
Pada dasarnya mantuq ini terbagi menjadi
dua bagian, akan tetapi dalam buku yang dikarang oleh Manna’khalil al-qattan
ditambah dengan Mu’awwal.
Diantaranya
yaitu:
1.
Nash, yaitu suatu
perkataan yang jelas dan tidak mungkin di ta’wilkan lagi,
dan lafaz yang
bentuknya sendiri telah dapat menunjukkan makna yang dimaksud secara tegas
(sarih ), tidak mengandung kemungkinan makna lain. Seperti firman Allah dan Al-qur’an surat Al-Baqarah
ayat 196 :
“….Maka
wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu
telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna…”
Dalam ayat
diatas ada kata penyipatan yaitu “sepuluh” dengan “sempurna” telah mematahkan
kemungkinan “sepuluh” ini diartikan lain secara majaz (metafora).inilah yang dimaksud dengan nash.
Telah dinukil
dari suatu kaum yang mengatakan ,jarang sekali terdapat mantuq nash dalam kitab dan sunnah. Disini imam Haramain
telah berpendapat bahwa mereka yang berlebihan tersebut.ia berkata: tujuan
utama dari mantuq nash ialah kemandirian dalam menujukkan makna secara pasti
dengan mematahkan segala ta’wil dan kemungkinan. Sekalipun jarang dilihat dari
bentuk lafaz yang mengacu kepada bahasa. Akan tetapi, betapa banyak lafaz yang
disertai qarimah haliyah dan maqaliyah.
2.
Zhahir, yaitu suatu
perkataan yang menunjukkan suatu makna, bukan yang dimaksud dan menghendaki
kepada pentakwilan atau lafaz yang menunjukkan sesuatu makna yang segera
dipahami ketika ia diucapkan tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah (marjuh).
seperti firman
Allah SWT dalam surat Ar-Rahman ayat 27 :
وَيَبْقَىٰ
وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
Artinya: “Dan
tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan”.
Wajah dalam
ayat diartikan dengan dzat, karena mustahil bagi Allah mempunyai wajah yang
menyerupai seperti manusia.
3.
Mu’awwal adalah lafaz
yang diartikan dengan makna marjuh karena ada sesuatu dalil yang menghalangi
dimaksudkannya makna yang rajih. Mu’awwal berbeda dengan zahir; zahir diartikan
dengan makna yang rajih sebab tidak ada dalil yang memalingkannya kepada yang
marjuh karena ada dalil yang memalingkannya dari makna rajih. Akan tetapi
masing-masing kedua makna itu ditunjukan oleh lafaz menurut bunyi ucapanya.
Misalnya
firman Allah SWT dalam Al-qur’an surat Al-isra’
ayat 24 :
Artinya : “Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan
ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua telah mendidik aku waktu kecil”.[1]
Lafaz janaah
az-zulli diartikan dengan “tunduk, tawadu’ dan bergaul secara baik” dengan
orang tua, tidak diartikan “sayap”,karena mustahil manusia mempunyai sayap.
II.
Pengertian Mafhum
Pengertian Mafhum secara bahasa adalah
sesuatu yang ditunjuk oleh lafadz, tetapi bukan dari ucapan lafadz itu sendiri.
Para ahli ushul fiqh mendefinisikan mafhum sebagai berikut.
“Mafhum adalah
penunjukkan lafal yang tidak diucapkan atau dengan kata lain penunjukkan lafal
terhadap suatu hukum yang tidak disebutkan atau menetapkan pengertian kebalikan
dari pengertian lafal yang diucapkan (bagi sesuatu yang tidak diucapkan)”
Seperti firman Allah SWT.
فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا
وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Secara mantuq, hukum yang dapat
ditarik dari ayat ini adalah haramnya mengucapkan kata “ah” dan menghardik
orang tua. Dari ayat ini dapat juga digunakan mafhum, dimana melaluinya dapat
diketahui haram hukumnya memukul orang tua dan segala bentuk perbuatan yang
menyakiti keduanya.
A.
Pembagian
Mafhum
Mafhum juga
dapat dibedakan kepada 2 bagian yaitu:
a.
Mafhum Muwafaqah, yaitu
pengertian yang dipahami sesuatu menurut ucapan lafadz yang disebutkan. Menurut
para ahli usul fiqh mafhum muwafaqah adalah penunjukan hukum yang tidak
disebutkan untuk memperkuat hukumnya karena terdapat kesamaan antara keduanya
dalam meniadakan atau menetapkan. Mafhum Muwafaqah dapat dibagi kepada 2 bagian
yaitu:
1)
Fahwal Khitab, yaitu apabila
yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti memukul
orang tua lebih tidak boleh hukumnya, firman Allah yang berbunyi :
فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا
وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Sedangkan kata-kata
yang keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi memukulnya.
Dari ayat ini dapat
dipahami bahwa haramnya mengatakan “ah”, oleh karena itu, keharaman mencaci
maki dan memukul lebih pantas diambil karena keduanya lebih berat.
2)
Lahnal Khitab, yaitu apabila
yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan, seperti firman Allah
SWT dalam Al-qur’an surat An-Nisa ayat 10 :
إِنَّ
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ
ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya
mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka).
Membakar atau
setiap cara yang menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya dengan memakan
harta anak tersebut yang berarti dilarang (haram).
b.
Mafhum Mukhalafah, yaitu
pengertian yang dipahami berbeda daripada ucapan, baik dalam istinbat
(menetapkan) maupun nafi (meniadakkan). Oleh sebab hal itu yang diucapkan.
Seperti dalam firman Allah SWT surat Al-Jumuah
ayat 9 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ
لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ
ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
Artinya: Wahai
orang-orang yang beriman apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli
dari ayat ini
dipahami bahwa boleh jual beli dihari Jum’at sebelum azan dikumandangkan dan
sesudah mengerjakan shalat Jum’at. Dalil Khitab ini dinamakan juga mafhum
mukhalafah.
III.
Mafhum Mukhalafah
Mafhum
mukhalafah adalah makna yang berbeda hukumnya dengan mantuq. Mafhum ini terbagi
kedalam 6 macam. Ialah :
a.
Mafhum Shifat
Yaitu yang menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya.
Seperti firman Allah SWT dalam surat An-Nisaa ayat 92
وَمَن قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ
رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ
Artinya:
barangsiapa membunuh seorang mu'min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan
seorang hamba sahaya yang beriman
b.
Mafhum ’illat
Yaitu
yang menghubungkan hukum sesuatu menurut ‘illatnya. Seperti mengharamkan
minuman keras karena memabukkan.
c.
Mafhum ’adad
Yaitu memperhubungkan hukum sesuatu kepada bilangan tertentu. Firman
Allah SWT dalam surat An-Nur ayat 4.
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ
لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً
Artinya: Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera,
d.
Mafhum ghayah
Yaitu
lafaz yang menunjukkan hukum sampai kepada ghayah(batasan, hinggaan), hingga
lafaz ghayah ini adakalnya ”ilaa”seperti firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah
ayat 6.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا
وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى
الْمَرَافِقِ
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.
وَلَا
تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ
يَطْهُرْنَ
Artinya: dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci
e.
Mafhum had
Yaitu menentukan hukum dengan disebutkan suatu ’adad diantara
adat-adatnya. Seperti firman Allah SWT dalam surat Al-An’am ayat 145
قُل
لَّا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ
طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ
لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ
أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
Artinya: Katakanlah,
tidak saya peroleh di dalam wahyu yang diturunkan kepada saya, akan suatu
makanan yang haram atas orang memakannya, kecuali bangkai, darah yang mengalir
dan daging babi; karena ia barang yang keji atau fasiq, yaitu binatang yang
disembelih dengan tidak atas nama Allah
f.
Mafhum al-Laqab
Yaitu meniadakan berlakunya suatu hukum yang terkait dengan suatu lafal
terhadap orang lain dan menetapkan hukum itu berlaku untuk nama atau sebutan
tertentu. Misalnya, firman Allah dalam surat Yusuf ayat 4 yang berbunyi:
إِذْ
قَالَ يُوسُفُ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ إِنِّي رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا
وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِي سَاجِدِينَ
Artinya: (Ingatlah),
ketika Yusuf berkata kepada ayahnya : Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi
melihat sebelas bintang, matahari dan bulan kulihat semuanya sujud padaku.
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa ucapan tersebut hanya terkait
dengan Nabi Yusuf karena tidak ada kaitannya dengan orang lain.
A.
Syarat-Syarat
Mafhum Mukhalafah
Syarat-syaraf Mafhum Mukhalafah, adalah
seperti yang dikemukakan oleh A.Hanafie dalam bukunya Ushul Fiqh, sebagai berikut.
Untuk syahnya mafhum mukhalafah, diperlukan empat syarat, yaitu :
a.
Mafhum mukhalafah tidak berlawanan
dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhum muwafaqah. Contoh
yang berlawanan dengan dalil mantuq: (Q.S. Al-Isra’ Ayat 31)
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ
إِمْلَاقٍ
Artinya: Jangan
kamu bunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan
Mafhumnya,
kalu bukan karena takut kemiskinan dibunuh, tetapimafhum mukhalafah ini
berlawanan dengan dalil mantuq yaitu:
(QS. Al-Isra’ 33)
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ
اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
Artinya: “Jangan
kamu membunuh manusia yang dilarang Allah kecuali dengan kebenaran”
b.
Yang disebutkan (mantuq) bukan
suatu hal yang biasanya terjadi. Contoh dalam firman Allah SWT dalam surat
An-Nisaa ayat 23.
“Dan
anak tirimu yang ada dalam pemeliharaanmu” .
Dari
perkataan “yang ada dalam pemeliharaanmu” tidak boleh dipahamkan bahwa yang
tidak ada dalam peme¬liharaanmu boleh dikawini. Perkataan itu disebutkan,
se-bab memang biasanya anak tiri dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya.
c.
Yang disebutkan (manthuq) bukan
dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan seperti yang ada dalam hadits
Rasul SAW.
“Orang Islam
ialah orang yang tidak mengganggu orang-¬orang Islam lainnya, baik dengan
tangan ataupun dengan lisannya (Hadits)”.
Dengan perkataan “orang-orang Islam (Muslimin)” tidak dipahamkan bahwa
orang-orang yang bukan Islam boleh diganggu. Sebab dengan perkataan tersebut
dimaksudkan, alangkah pentingnya hidup rukun dan damai di antara orang-orang
Islam sendiri.
d.
Yang disebutkan (manthuq) harus
berdiri sendiri, tidak mengikuti kepada yang lain. Contohnya firman Allah SWT
dalam surat Al-Baqarah ayat 187.
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي
الْمَسَاجِدِ
Artinya: Janganlah
kamu campuri mereka (isteri-isterimu) padahal kamu sedang beritikaf di mesjid
Tidak dapat
dipahamkan, kalau tidak beritikaf dimasjid, boleh mencampuri.
IV.
Berhujjah dengan
Mafhum
Menjadikan
mafhum sebagai dasar hukum pada dasarnya dibedakan sebagai berikut :
a.
Para Ulama’ sepakat membolehkan
berhujjah dengan mafhum muwafaqah.
b.
Jumhur Ulama’ berpendapat bahwa
berhujjah dengan mafhum mukhalafah diperbolehkan kecuali mafhum laqab.
c.
Ulama’ Hanafiyah, ibnu Hazm, dan
golongan Zahiriyah berpendapat bahwa semua mafhum mukhalafah tidak dapat
dijadikan hujjah/alasan.
Berhujjah dengan
mafhum masih diperselisihkan. Menurut
pendapat paling sahih, mafhum-mafhum tersebut boleh dijadikan hujjah (dalil, argumentasi)
dengan beberapa syarat,antara lain:
1.
Apa yang disebutkan bukan dalam
kerangka “kebiasaan” yang umum. Maka
kata-kata “yang ada dalam pemeliharaanmu” dalam surat an-nisa ayat 23:
“dan anak-anak perempuan dari
istri-istrimu yang ada dalam pemeliharaanmu”.
Ayat ini tidak ada mafhumnya, (maksudnya,
ayat ini tidak dapat di pahami bahwa anak tiri tidak dalam pemeliharaan ayah
tirinya boleh dinikahi) sebab pada umumnya anak perempuan istri itu berda dalam
pemeliharaan suami.
2.
Apa yang disebutkan itu tidak untuk
menjelaskan suatu realita. Maka tidak ada mafhum bagi firman Allah surat al-mu’minun ayat 117:
“dan barang siapa menyembah tuhan
yang lain di samping Allah, padahal tidak ada satu dalil pun baginya tentang
itu”.
dalam kenyataannya tuhan manapun
selain dari Allah tidak ada dalilnya. Jadi kata-kata “padahal” tidak ada satu
dalil pun baginya tentang itu” adalah
suatu sifat yang pasti yang di datangkan untuk memperkuat realita dan untuk
menghinakan orang yang menyembah tuhan disamping Allah, bukan untuk pengertian
bahwa menyembah tuhan –tuhan itu boleh asal dapat ditegakkan dalilnya.
V. Pendapat Para Ulama
A. Ulama
Hanafiyah tidak memandang mafhum mukhalafah sebagai salah satu metode pe
nafsiran nash-nash syara’. Tegasnya menurut mereka, mafhum mukhalafah itu bukan
suatu metode untuk penetapan hukum. Alasannya :
1.
Sesungguhnya banyak nash syara’
yang apabila diambil mafhum mukhalafah akan rusak pengertiannya, antara lain
seperti ayat mengatakan bahwa berbuat zalim diharamkan hanya pada empat bulan
tersebut saja, sedangkan diluar itu tidak haram. Padahal berbuat zalim itu
diharamkan pada setiap saat.
2.
Sifat- sifat yang terdapat pada
nash syara’, dalam banyak hal bukan untuk pembatasan hukum, melainkan untuk
targib dan tarhib. Misalnya ayat yang mengatakan Sifat anak tiri, adalah anak
tiri yang ada dalam pemeliharaan. Apabila diambil mafhum mukhalafah-nya, hal
itu berarti mengawini anak tiri yang diluar pemeliharaan adalah halal. Padahal
syara’ tetap mengharamkan.
3.
Seandainya mafhum mukhalafahnya itu
dapat dijadikan hujjah syara’ maka suatu nash yang telah menyebut suatu sifat
tidak perlu lagi disebut nash yang menerangkan hukum kebalikan hukum dari sifat
tersebut. Pada kenyataannya penyebutan seperti itu banyak ditemukan.
B. Menurut jumhur ushuliyyin, mafhum
mukhalafah dapat dijadikan sebagai hujjah syara’. Alasannya antara lain :
1.
Berdasarkan logika, setiap syarat
atau sifat tidak mungkin dicantumkan tanpa tujuan dan sebab. Sebabnya itu tidak
lain adalah untuk qayyid (pembatasan) hukum selama tidak ada dalil yang
menunjukkan bahwa dicantumkannya suatu sifat itu untuk tarqib, tarhib, dan
tanfir.
2.
Sikap Rasulullah yang tidak
menyalahkan Umar Ibnu Khathab dalam memahami mafhum mukhalafah dari ayat 101
An-Nisa’ Namun, Rasulullah menjelaskan bahwa qasar shalat dalam perjalanan
diperbolehkan sekalipun dalam keadaan aman.
Dengan sayarat
:
i.
Mafhum mukhalafah-nya itu tidak
bertentangan dengan dalil yang lebih kuat, seperti Mantuq atau mafhum
muwafaqah.
ii.
Qayid atau pembatasan yang terdapat
pada suatu nash tidak berfungsi yang lain.
iii.
Tidak ada dalil khusus yang membatalkan
mafhum mukhalafah itu.
Apabila
qayid dalam hukum mantuq berlaku pada mafhum mukhalafah maka mafhum mukhalafah
ini bisa terdiri atas bermacam-macam qayid. Al-Amidi menghitung jumlah mafhum
itu sebanyak sepuluh macam, yaitu: mafhum sifat, mafhum illat, mafhum syarat,
mafhum a’dad, mafhum gayah, mafhum hasr, mafhum hal, mafhum zaman, dan mafhum
makna. Asy-Syaukani juga menyebutkan mafhum mukhalafah seperti itu, namun ia
memasukkan ketiga mafhum yang disebut terakhir pada mafhum sifat.
(Asy-Syaukani, 1973: 181-183).
BAB III
PENUTUP
A.
Penutup /
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas, dapat kita
ambil kesimpulan bahwa dalil-dalil yang terkandung didalam Al-Qur’an tidak
semuanya memberikan pemahaman/penjelasan yang jelas dan secara langsung. Akan
tetapi banyak ayat yang maknanya tersirat dan membutuhkan ayat yang lain untuk
memahamkannya. Skema dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an.
Mantuq terbagi
kepada tiga bagian :
1.
Nash
2.
Zhahir
3.
Mu’awwal
Mafhum terbagi
kepada dua bagian :
1.
Mafhum Muwafaqah
a.
Fahwal Khitab
b.
Lahnal Khitab
2.
Mafhum Mukhalafah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar