BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Hubungan sosial
dalam dunia islam mencermirkan pula taraf perkembangan ekonomi negara yang
bersangkutan, dan dengan majunya perkembangan ekonomi negara-neara tersebut
beransur-angsur akan dipengaruhi oleh sikap dan perilaku dunia barat dan
berubahnya apa yang disebut masyarakat modern. Rupanya terdapat anggapan bahwa
adanya pertentangan antara perkembangan atau kemajuan dengan nilai-nilai tradisional,
dan nilai ini menjadi kuno dengan berlangsungannya kemajuan. Dikalangan umat
islam terdapat perbedaan pendapat mengenai pemahaman benar atau tidaknya
pertentangan tersebut. Ada pihak yang beranggapan bahwa kemajuan ekonomi
memupuk paham materialisme yang merusak hakikat kerohanian masyarakat islam.
Karena itu, mereka berpendapat bahwa gaya hidup sederhana lah yang lebih baik[1].
Padahal
sesungguhnya tidak, islam mengatur urusan dunia dan akhirat. Di sisi lain islam
mengurus masalah ibadah, bagaimana mencari pahala dan amaliah-amaliah yang
harus dilakukan untuk melaksanakan kewajiban kepada Allah swt. Tetapi, di sisi
lain juga islam mengurus masalah keduniaan yaitu mengenai cara memeproleh
rezeki, cara bertransaksi dengan baik dan hukum perniagaan yang sesuai dengan
syariat islam yang tetunya dapat memberikan keuntungan dan kepuasan bagi semua
pihak.
Namun,
masyarakat luas masih merasa asing dengan wacana ini, karena anggapan mereka
yang melihat islam dari satu sisi saja yaitu dalam aspek ibadah hablum
minallah, padahal manusia juga harus memerhatikan aspek hablum minannas,
dimana salah satunya manusia harus melakukan transaksi dan perniagaan yang
dapat mendukung sarana peribadatan mereka, bahkan didalam beberapa surat
didalam ayat Al-qur’an, mencari rezeki merupakan sebuah kewajiban dan
diperintah secara langsung oleh Allah swt.
B.
Rumusan Masalah
Adapun beberapa rumusan masalah yang tedapat
didalam makalah ini adalah:
-
Apa itu Bisnis?
-
Bagaimana islam memandang persoalan bisnis?
-
Ayat-ayat Al-Qur’an mana sajakah yang membahsa mengenai
bisnis?
-
Bagaiman etika dalam bisnis menurut islam?
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
-
Akademis, untuk memenuhi kewajiban sebagai mahsiswa yaitu
melaksanakan tugas yang telah diberikan oleh bpk/ibu dosen mata kuliah Tafsir
IV
-
Praktis, untuk mengetahui bagaiman konsep islam mengnai
al-qur’an dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Bisnis secara umum
Secara umum
bisnis diartikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh manusia untuk
memperoleh pendapatan atau penghasilan atau rezeki dalam rangka memenuhi
kebutuhan dan keinginan hidupnya dengan cara mengelola sumber daya ekonomi
secara efektif dan efisien[2]. Skinner mendefinisikan bisnis sebagai
pertukaran barang, jasa, atau uang yang saling menguntungkan atau memberi
manfaat. Menurut Anoraga dan Soegiastuti, bisnis memiliki makna
dasar sebagai ”the buying and selling of goods and services”. Adapun dalam pandangan Straub dan
Attner, bisnis taka lain adalah suatu organisasi yang
menjalankan aktivitas produksi dan penjualan barang-barang
dan jasa-jasa yang diinginkan oleh konsumen untuk memperoleh profit.
2.
Pengertian
bisnis dalam Al-qur’an
Kata bisnis dalam Al-Qur’an yaitu al-tijarah dan dalam
bahasa arab tijaraha, berawal dari kata dasar t-j-r, tajara, tajran wa
tijarata, yang bermakna berdagang atau berniaga. At-tijaratun walmutjar yaitu
perdagangan, perniagaan (menurut kamus al-munawwir).
Menurut ar-Raghib al-Asfahani dalam al-mufradat fi gharib al-Qur’an
, at-Tijarah bermakna pengelolaan harta benda untuk mencari keuntungan.
Menurut Ibnu Farabi, yang dikutip ar-Raghib , fulanun
tajirun bi kadza, berarti seseorang yang mahir dan cakap yang mengetahui arah
dan tujuan yang diupayakan dalam usahanya.
Al-Qur’an dalam mengajak manusia untuk mempercayai dan
mengamalkan tuntutan-tuntutannya dalam segala aspek kehidupan seringkali
menggunakan istilahistilah yang dikenal dalam dunia bisnis, seperti jual-beli,
untung-rugi dan sebagainya. Dalam surat at-Taubah ayat 111 ditegaskan bahwa,
”Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin harta dan jiwa mereka...
Siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) Allah maka bergembiralah dengan
jual-beli yang kamu lakukan. Dan itulah kemenangan yang besar.
Pada ayat ini orang yang hanya bertujuan keuntungan
semata dalam hidupnya, ditantang dengan tawaran suatu bursa yang tidak mengenal
kerugian dan penipuan[3]. Dijelaskan pula bahwa
al-Qur’an tidak memberi peluang sedikitpun untuk menganggur dalam kehidupan
dunia.
Dalam surah Al-insyirah ayat 5 dan 6 ditegaskan “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu
ada kemudahan” yang disebut dua kali. Hal ini merupakan prinsip usaha tanpa
adanya keputusasaan. Selain itu dalam diri manusia terdapat fitrah yang
dihiaskan kepada manusia yaitu, hubb asy-syahawat QS. Ali-Imran ayat 14 yang
merupakan bahan bakar yang melahirkan dorongan bekerja, tetapi bekerja asal
bekerja tetapi bekerja yang serius sehingga melahirkan keletihan. Penggunaan
kata asy-syahawat, mengandung pengertian bahwa, segala aktivitas manusia
memerlukan daya, melangkahkan kaki atau menunjuk dengan jaripun memerlukan daya[4].
Dengan demikian prinsip dasar hidup yang ditekankan
al-Qur’an adalah kerja dan kerja keras[5]. Dalam surah An-najm ayat
39 dijelaskan “Dan bahwasanya seorang
manusia tiada yang akan memperoleh kecuali selain apa (hasil) yang diusahakannya
sendiri”. Selain itu bekerja oleh al-Qur’an dikaitkan dengan iman. Hal ini
menunjukkan bahwa hubungan antara iman dan kegiatan bagaikan hubungan antara
akar tumbuhan dan buahnya. Ditegaskan al-Qur’an bahwa, amal-amal yang tidak
disertai iman tidak akan berarti di sisi-Nya. Karena itu dalam surat al-Jumu’ah
ayat 9-10, al-Qur’an memerintahkan; yang artinya,
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk
menunaikan sembahyang pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat
Allah dan tinggalkanlah jual-beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan sembahyang maka bertebaranlah di muka
bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
Ayat ini memberi
pengertian agar berbisnis (mencari kelebihan karunia Allah) dilakukan setelah
melakukan shalat dan dalam pengertian tidak mengesampingkan dan tujuan
keuntungan yang hakiki yaitu keuntungan yang dijanjikan Allah. Karena itu
walaupun mendorong melakukan kerja keras atau bisnis, al-Qur’an menggarisbawahi
bahwa dorongan yang seharusnya lebih besar adalah memperoleh apa yang berada di
sisi Allah. Atas dasar hal ini maka, pandangan orang yang bekerja dan berbisnis
harus melampaui masa kini, dan masa depannya yang dekat. Dengan demikian visi
masa depan dalam berbisnis merupakan etika pertama dan utama yang digariskan
al-Qur’an, sehingga pelaku-pelakunya tidak sekedar mengejar keuntungan
sementara yang akan segera habis tetapi selalu berorientasi masa depan[6].
Dari sudut pandang terminologis tentang bisnis, al-Qur’an
mempunyai terma-Rekonstruksi Etika Bisnis: Perspektif Al-Qur’an terma yang
mewakili apa yang dimaksud dengan bisnis. Terma-terma itu adalah altijarah,
al-bai’u, tadayantum, dan isytara. Selain terma-terma ini bila ditelusuri lebih
lanjut masih terdapat pula terma-terma lain yang dapat dianggap mempunyai
persesuaian maksud dengan bisnis, seperti ta’kulu, infaq, al-ghard. Hanya sama
dalam tulisan ini membatasi pada empat terma di atas. Terma tijarah, berawal
dari kata dasar t-j-r, tajara, tajran wa tijaratan, yang bermakna berdagang,
berniaga. At-tijaratun walmutjar; perdagangan, perniagaan, attijariyy wal
mutjariyy; mengenai perdaganganatau perniagaaan[7].
Menurut ar-Raghib al-Asfahani dalam alMufradat fi gharib
al-Qur’an, at-tijarah bermakna pengelolaan harta benda untuk mencari
keuntungan. Demikian pula menurut Ibnu Arabi, yang dikutip ar-Raghib; fulanun
tajirun bi kadza, berarti seseorang yang mahir dan cakap yang mengetahui arah dan
tujuan yang diupayakan dalam usahanya[8].
3.
Konsep Bisnis dalam Islam
Islam
memberikan konsep bisnis ialah sebuah amaliah yang dipahami sebagai serangkaian
aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah
(kuantitas) kepemilikan hartanya (barang/jasa) termasuk profitnya, namun
dibatasi dalam cara perolehan dan pendayagunaan hartanya (ada aturan halal dan
haram).
Pengertian di atas dapat dijelaskan
bahwa Islam mewajibkan setiap muslim, khususnya yang memiliki
tanggungan untuk bekerja. Bekerja merupakan salah satu sebab pokok
yang memungkinkan manusia memiliki harta kekayaan. Untuk memungkinkan
manusia berusaha mencari nafkah, Allah Swt melapangkan bumi serta
menyediakan berbagai fasilitas yang dapat dimanfaatkan untuk mencari
rizki.
Ada beberapa terma dalam al-Qur’an
yang berkaitan dengan konsep bisnis. Diantaranya adalah kata : al
Tijarah, al-bai’u, tadayantum, dan isytara.
Term tijarah, berawal dari
kata dasar t-j-r, tajara, tajran wa tijaratan, yang bermakna berdagang, berniaga. At-tijaratun
walmutjar; perdagangan atau perniagaan, attijariyyu wal
mutjariyyu; yang berarti mengenai perdagangan atau
perniagaan.
Dalam al-Qur’an terma tijarah ditemui
sebanyak delapan kali dan tijaratuhum sebanyak satu kali. Bentuk tijarah
terdapat dalam surat al-Baqarah (2): 282, an-Nisa (4): 29, at-Taubah (9):
24, an-Nur (24): 37, Fatir (35): 29, as-Shaff (61): 10, pada surat
al-Jum’ah (62): 11 (disebut dua kali).
Adapun Tijaratuhum pada surat
al-Baqarah (2): 16 dan 27 Dalam penggunaan kata tijarah pada
ayat-ayat di atas terdapat dua macam pemahaman. Pertama, dipahami
dengan perdagangan yaitu pada surat al-Baqarah (2): 282. Kedua,
dipahami dengan perniagaan dalam pengertian umum, dihubungkan dengan konteksnya
masing-masing adalah pengertian perniagaan tidak hanya berhubungan
dengan hal-hal yang bersifat material atau kuantitas, tetapi perniagaan
juga ditujukan kepada hal yang bersifat immaterial.
4.
Ayat-Ayat Al-Qur’an
Yang Membahas Mengenai Bisnis
Berikut adalah beberapa ayat-ayat yang
menjelaskan mengenai segala jenis bisnis dan perniagaan:
1.
QS. Al-Baqarah : 282
Yang Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah[9] tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa
yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu
orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang
seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik
kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih
adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
(menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah
itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa
bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika
kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.”
2.
QS. An-Nisaa : 29
Yang Artinya :“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh
dirimu[10];
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. “
Allah SWT melarang hamba-hamba-Nya yang mukmin memakan
harta sesamanya dengan cara yang bathil dan cara mencari keuntungan yang tidak
sah dan melanggar syari'at seperti riba, perjudian dan yang serupa dengan itu
dari macam-macam tipu daya yang tampak seakan-akan sesuai dengan hukum syari'at
tetapi Allah mengetahui bahwa apa yang dilakukan itu hanya suatu tipu muslihat
dari sipelaku untuk menghindari ketentuan hokum yang telah digariskan oleh
syari'at Allah. Allah mengecualikan dari larangan ini pencaharian harta dengan
jalan perdagangan (perniagaan) yang dilakukan atas dasar suka sama suka oleh
kedua belah pihak yang bersangkutan.
3. QS At-Taubah : 24
Yang Artinya :“ Katakanlah: "Jika bapa-bapa , anak-anak ,
saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu
usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang
kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad
di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan NYA". dan
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. “
Allah SWT
memerintahkan orang-orang mukmin menjauhi orang-orang kafir, walaupun mereka
itu bapak-bapak, anak-anak, atau saudara-saudara mereka sendiri, dan melarang
untuk berkasih saying kepada mereka yang masih lebih mengutamakan kekafiran
mereka daripada beriman.
4.
QS An-Nur : 37
Yang Artinya :“ Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak
(pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang,
dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu)
hati dan penglihatan menjadi goncang. “
Allah SWT berfirman menceritakan tentang hamba-hamba-Nya
dan memperoleh pancaran nur iman dan takwa di dada mereka, bahwa mereka itu
tekun dalam ibadahnya, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan selalu
beri'tikaf di dalam masjidbertasbih, bertahmid dan bertahlil. Mereka
sekali-kali tidak tergoda dan tidak akan dilalaikan dari ibadah itu, kegiatan
yang mereka lakukan untuk mencari nafkah, berusaha dan berdagang (berniaga).
Mereka itu benar-benar cakap membagi waktu di antara kewajiban ukhrawi dan
kewajiban duniawi, sehingga tidak sedikitpun tergesr amal dan kewajiban ukhrawi
mereka oleh usaha duniawi mereka.
5.
QS Fatir : 29
Yang Artinya :“ Sesungguhnya
orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah dan mendirikan shalat dan
menafkahkan sebahagian dari rezki yang kami anuge- rahkan kepada mereka dengan
diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak
akan merugi, “
Allah SWT berfirman tentang hamba-hamba-Nya yang mukmin
yang selalu membaca kitab Allah dengan tekunnya, beriman bahwasanya kitab itu
adalah wahyu dari sisi-Nya kepada Rasul-Nya dan mengerjakan apa yang terkandung
di dalamnya seperti perintah shalat dan menafkahkan sebagian rezeki yang Allah
karuniakan kepadanya untuk tujuan-tujuan yang baik yang membawa ridha Allah dan
restu-Nya, menafkahkan secara diam-diam tidak diketahui orang lain atau secara
terang-terangan, mereka itulah dapat mengharapkan perdagangan (perniagaan) yang
tidak akan merugi dan akan disempurnakanlah oleh Allah pahala mereka serta akan
ditambah bagi mereka karunia-Nya berlipat ganda. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Mensyukuri amal-amal baik hamba-hamba-Nya yang sekecil-kecilnya
pun.
6.
QS As-Shaff : 10
Yang Artinya : “ Hai
orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang
dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? “
7.
QS Al-Jumu’ah : 11
Yang Artinya : “ Dan apabila
mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya
dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: "Apa
yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan", dan
Allah sebaik-baik pemberi rezeki. “
5.
Etika Bisnis dalam Islam
Ø
Definisi Etika
Etika merupakan salah satu disiplin pokok dalam filsafat, ia
merefleksikan bagaimana manusia harus hidup agar berhasil menjadi sebagai
manusia. Etika (ethics) yang berasal dari
bahasa Yunani ethikos mempunyai beragam arti : petama, sebagai analisis
konsep-konsep mengenai apa yang harus, mesti, ugas, aturan-aturan moral, benar,
salah, wajib, tanggung jawab dan lain-lain. Kedua, pencairan ke dalam watak
moralitas atau tindakan-tindakan moral. Ketiga, pencairan kehidupan yang baik
secara moral.
Menurut K. Bertens dalam buku Etika, merumuskan
pengertian etika kepada tiga pengertian juga; Pertama, etika digunakan dalam
pengertian nilai-niai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika dalam pengertian
kumpulan asas atau nilai-nilai moral atau kode etik. Ketiga, etika sebagai ilmu
tentang baik dan buruk Menurut Ahmad Amin memberikan batasan bahwa etika atau
akhlak adalah ilmu yang menjelaskan arti yang baik dan buruk, menerangkan apa
yang seharusnya dilakukan oleh manusia kepada lainnya, menyatakan tujuan yang
harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk
melakukan apa yang harus diperbuat.
Ø Etika Bisnis Islami
Etika bisnis
lahir di Amerika pada tahun 1970 an kemudian meluas ke Eropa tahun 1980 an dan menjadi fenomena global di tahun 1990 an
jika sebelumnya hanya para teolog dan agamawan yang
membicarakan masalah-masalah moral dari bisnis, sejumlah filsuf mulai terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etis
disekitar bisnis, dan etika bisnis dianggap sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral
yang meliputi dunia bisnis di Amerika Serikat, akan
tetapi ironisnya justru negara Amerika yang paling gigih menolak kesepakatan Bali pada pertemuan negara-negara
dunia tahun 2007 di Bali. Ketika sebagian besar negara-negara peserta mempermasalahkan
etika industri negara-negara maju yang menjadi sumber
penyebab global warming agar dibatasi, Amerika menolaknya. Jika kita menelusuri sejarah, dalam agama Islam
tampak pandangan positif terhadap perdagangan dan
kegiatan ekonomis.
Nabi Muhammad
SAW adalah seorang pedagang, dan agama Islam
disebarluaskan terutama melalui para pedagang muslim. Dalam Al Qur’an terdapat peringatan terhadap
penyalahgunaan kekayaan, tetapi tidak dilarang mencari kekayaan dengan cara halal seperti yang telah ditulis didalam Al-qur’an surah Al-baqarah ayat 275
Yang Artinya :“ Orang-orang yang makan (mengambil) riba[11]
tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila[12].
keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata
(berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil
riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu[13](sebelum
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali
(mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal
di dalamnya.”
Islam
menempatkan aktivitas perdagangan dalam posisi yang amat strategis di tengah kegiatan manusia mencari
rezeki dan penghidupan. Hal ini dapat dilihat pada sabda Rasulullah SAW: ”Perhatikan oleh
mu sekalian perdagangan, sesungguhnya di dunia perdagangan itu ada sembilan dari sepuluh
pintu rezeki”.
Dawam Rahardjo
justru mencurigai tesis Weber tentang etika
Protestantisme, yang menyitir kegiatan bisnis sebagai tanggungjawab manusia terhadap Tuhan
mengutipnya dari ajaran Islam. Kunci etis dan moral
bisnis sesungguhnya terletak pada pelakunya, itu sebabnya misi diutusnya
Rasulullah ke dunia adalah untuk memperbaiki akhlak manusia yang telah rusak. Seorang
pengusaha muslim berkewajiban untuk memegang teguh etika dan moral bisnis Islami yang mencakup Husnul Khuluq. Pada
derajat ini Allah akan melapangkan hatinya, dan akan membukakan pintu rezeki, dimana pintu
rezeki akan terbuka dengan akhlak mulia tersebut,
akhlak yang baik adalah modal dasar yang akan melahirkan praktik bisnis yang etis dan moralis. Salah satu dari akhlak
yang baik dalam bisnis Islam adalah kejujuran sesuai dengan Qur’an surah Al Ahzab ayat 70-71.
Yang Artinya :“ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah
dan Katakanlah perkataan yang benar, “
“ Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu
dosa-dosamu. dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, Maka Sesungguhnya ia
Telah mendapat kemenangan yang besar. “
Sebagian dari makna
kejujuran adalah seorang pengusaha senantiasa terbuka dan transparan dalam jual
belinya
”Tetapkanlah kejujuran karena sesungguhnya kejujuran mengantarkan kepada
kebaikan dan sesungguhnya kebaikan mengantarkan kepada surga”.
Akhlak yang lain adalah amanah, Islam menginginkan seorang pebisnis muslim
mempunyai hati yang tanggap, dengan menjaganya dengan memenuhi hak-hak Allah
dan manusia, serta menjaga muamalah nya dari unsur yang melampaui batas atau
sia-sia. Seorang pebisnis muslim adalah sosok yang dapat dipercaya, sehingga ia
tidak menzholimi kepercayaan yang diberikan kepadanya
”Tidak ada iman bagi orang
yang tidak punya amanat (tidak dapat dipercaya), dan tidak ada agama bagi orang
yang tidak menepati janji”, ”pedagang yang jujur dan amanah (tempatnya di
surga) bersama para nabi, Shiddiqin (orang yang jujur) dan para syuhada”
Sifat toleran
juga merupakan kunci sukses pebisnis muslim, toleran membuka kunci rezeki dan sarana hidup tenang. Manfaat
toleran adalah mempermudah pergaulan, mempermudah
urusan jual beli, dan mempercepat kembalinya modal
”Allah mengasihi orang yang lapang dada dalam menjual, dalam
membeli serta melunasi hutang” .
Konsekuen terhadap akad dan perjanjian merupakan kunci sukses yang lain
dalam hal apapun sesungguhnya Allah memerintah kita untuk hal itu, Allah
berfirman dalam surah Al-maidah ayat 1
Yang Artinya :“ Hai orang-orang yang
beriman, penuhilah aqad-aqad itu[14].
dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang
demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan
haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”
Yang Artinya : “ Dan janganlah
kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik
(bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti
diminta pertanggungan jawabnya. “
Menepati janji
mengeluarkan orang dari kemunafikan sebagaimana sabda Rasulullah
”Tanda-tanda munafik itu
tiga perkara, ketika berbicara ia dusta, ketika sumpah ia mengingkari, ketika
dipercaya ia khianat”.
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Sebagai akhir
dari makalah ini, akan diajukan sebuah persoalan bagaimanakah relevansi etika
bisnis dalam upaya membangun bisnis yang islami untuk menghadapi tantangan
bisnis di masa depan. Sebahagian besar wilayah kehidupan kita, telah sekian
lama didominasi oleh pandangan hidup Materialisme pada satu sisi dan pandangan
keterpisahan antara kehidupan dunia dan kehidupan agama. Kedua sisi ini harus
disadari telah membenamkan kesadaran kita kepada ‘keyakinan’ bahwa bisnis
merupakan aktivitas duniawi yang hanya diperuntukan bagi pemenuhan kebutuhan
hidup yang bersifat jasmaniah semata.
Karena itu
untuk melakukan suatu perubahan diperlukan pertama, suatu rekonstruksi
kesadaran baru tentang bisnis. Bisnis baik sebagai aktivitas yakni yang
dilakukan oleh perseorangan maupun entitas bisnis yang dilakukan melalui
organisasi atau perusahaan, kesemuanya bukanlah semata-mata bersifat duniawi
semata. Pandangan bahwa etika bisnis sebagai bagian tak terpisahkan atau
menyatu merupakan struktur fundamental sebagai perubah terhadap anggapan dan
pemahaman tentang “kesadaran system bisnis amoral” yang telah memasyarakat.
Dalam
al-Qur’an, bisnis disebut sebagai aktivitas manusia yang bersifat material juga
immaterial yang sekaligus dalamnya terdapat nilai-nilai etika bisnis. Dengan
demikian suatu bisnis dapat disebut bernilai, bila kedua tujuannya yaitu
pemenuhan kebutuhan material dan spiritual telah dapat terpenuhi secara
seimbang. Hakikat bisnis adalah semua bentuk-bentuk perilaku bisnis yang
terbebas dari kandungan prinsip kebatilan, kerusakan dan kezaliman. Sebaliknya
terisi dengan nilai kesatuan, kehendak bebas, pertanggung-jawaban,
kesetimbangan dan keadilan serta kebenaran (kebajikan dan kejujuran).
Dengan padangan
kesatuan bisnis dan etika, pemahaman atas prinsip-prinsip etika bisnis dan
pemahaman tentang prinsipprinsip yang melandasi praktek-praktek mal bisnis,
dengan demikian implementasi etika bisnis dapat mengejawantah oleh siapapun,
kapanpun, dimanapun serta tidak terbatasi oleh pergeseran dan perkembangan
mediamedia bisnis seperti, pasar bebas atau ebussiness, sekalipun. Bisnis pada
hakikatnya berada dalam suatu cakrawala bahwa semua jenis kegiatan bisnis pada
dasarnya dibolehkan, kecuali yang secara jelas bertentangan dengan nilai-nilai
etika bisnis atau yang secara tegas dilarang oleh Syari’at. Adapun batasan
wilayah bisnis yang bertentangan dengan etika bisnis atau larangan syari’at
dapat diketahui demi kebaikan Rekonstruksi Etika Bisnis para pelaku bisnis
maupun masyarakat. Pengguna dengan keadilan dan kejujuran serta untuk
menghilangkan kebathilan, kerusakan dan kezaliman. Dengan demikian ketiga
prinsip landasan praktek mal-bisnis, yaitu kebatilan, kerusakan dan kezaliman
dapat dijadikan tolok ukur apakah suatu bisnis termasuk ke dalam wilayah yang
bertentangan dengan etika bisnis atau tidak. Bisnis adalah baik dan benar
kecuali yang mengandung kebatilah, kerusakan atau kedzaliman. Hal kedua, yang
patut dipertimbangkan dalam upaya pengejawantahan etika bisnis untuk membangun
tatanan bisnis yang Islami yaitu diperlukan suatu cara pandang baru dalam melakukan
kajian-kajian keilmuan (bisnis dan ekonomi) yang lebih berpijak pada paradigma
pendekatan normatifetik sekaligus empirik induktif yang mengedepankan
penggalian dan pengembangan nilai-nilai al-Qur’an, agar dapat mengatasi
perubahan dan pergeseran zaman yang semakin cepat. Atau dalam kategori
pengembangan ilmu pengetahuan modern harus dikembangkan dalam pola pikir
abductive pluralistic (Abdullah, 2000: 88-94).
Dengan pola
pikir ini pengembangan ilmuilmu keislaman akan menjadi tajam dan proaktif
terhadap persoalan-persoalan kontemporer dan dapat mentransformasikan
norma-norma dan nilai-nilai agama ke dalam bingkai keilmuan sebagai cultural
force.
[1] Rodney Wilson, Bisnis menurut islam teori
dan praktek, (PT Intermassa, 1988), hal 8
[2] Adiwarman Karim, Ekonomi Islam, Suatu Kajian Ekonomi Makro,
(Jakarta: IIIT Indonesia, 2002), hlm.3.
[3]
Quraish Shihab, “Etika Bisnis dalam Wawasan
al-Qur’an”, Jurnal Ulumul Qur’an, No. 3/VII. Hal 4-5
[5]
Quraish Shihab, “Etika Bisnis dalam Wawasan
al-Qur’an”, Jurnal Ulumul Qur’an, No. 3/VII. Hal 5-6
[6]
Quraish Shihab, “Etika Bisnis dalam Wawasan
al-Qur’an”, Jurnal Ulumul Qur’an, No. 3/VII. Hal 4-5
[10] larangan membunuh diri sendiri mencakup juga
larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri
sendiri, Karena umat merupakan suatu kesatuan.
[11] Riba itu ada dua macam:
nasiah dan fadhl. riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh
orang yang meminjamkan. riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang
yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya Karena orang yang menukarkan
mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi,
dan sebagainya. riba yang dimaksud dalam ayat Ini riba nasiah yang berlipat
ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman Jahiliyah.
[14] Aqad (perjanjian)
mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh
manusia dalam pergaulan sesamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar