Selasa, 22 Mei 2012

KEPEDULIAN SOSIAL


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Islam mengajarakan kepada penganutnya segala sesuatu tentang kebaikan, baik untuk menempuh kehidupan duniawi maupun ukhrawi. Tidak hanya mengajarkan bagaimana harus berakhlaq kepada Allah SWT. tapi Islam juga mengajarkan bagaimana kita harus berakhlaq kepada sesama ciptaan-Nya.
Manusia diciptakan oleh Allah SWT. diantaranya adalah sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang senantiasa mengadakan hubungan dengan sesamanya. Kerjasama dengan orang lain dapat terbina dengan baik apabila masing-masing pihak memiliki kepedulian sosial. Oleh karena itu sikap ini sangat di anjurkan dalam Islam. Kebalikan dari sikap peduli sosial ialah egois.
Kepedulian berarti sikap memerhatikan sesuatu. Dengan demikian kepedulian sosial berarti sikap memerhatikan urusan orang lain (sesama anggota masyarakat). Kepedulian sosial yang di maksud bukanlah untuk mencampuri urusan orang lain, tetapi lebih pada membantu menyelesaikan permasalahan yang di hadapi orang lain dengan tujuan kebaikan dan perdamaian.
Namun, seiring berjalannya waktu kepedulian dengan sesama makhluk ciptaan Allah SWT. sedikit demi sedikit sudah hampir luntur dikalangan orang-orang yang mencukupi akan hartanya.  Padahal, telah diterangkan oleh Allah SWT. Dalam firmannya bahwa orang yang mengabaikan sesamanya adalah pendusta agama, terutama pengabaian terhadap anak yatim dan fakir miskin. Pada mulanya sikap pengabaian terhadap anak yatim dan fakir miskin adalah dimikili orang orang munafik. Mereka menunjukkan keangkuhannya dengan harta yang dimikilinya seakan akan anak yatim dan orang orang miskin itu tak akan dapat hidup tanpa mendapat bantuan mereka.
Dalam situasi kemiskinan yang makin bertambah dewasa ini, orang yang dilimpahi rezeki seyogyanya turut membantu kaum fakir miskin dan anak yatim. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah Al-Hadid [57]: 7, ''Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telahmenjadikan kamu menguasainya”. Sesuai dengan anjuran al-Quran itu kini semakin jelas bahwa ketidak pedulian kaum kaya terhadap penderitaan kaum miskin merupakan bahaya terbesar yang telah mengancam kehidupan masyarakat. Dan kaum kaya sendirilah yang akan menjadi korban ancaman ini. Sedangkan bagi kehidupan bernegara, semakin melebarnya kesenjangan sosial antara kaya dan miskin merupakan ancaman paling utama stabilitas nasional. Agar hal-hal yang tidak diinginkan itu terjadi, Islam sejak awal dari 14 abad lalu telah mengantisipasi ancaman ini dengan mewajibkan mereka yang dilimpahkan rezeki lebih oleh Allah SWT. diwajibkan untuk berzakat. Tak hanya itu, mereka juga dituntut menginfakkan hartanya guna meringankan kehidupan kaum fakir miskin.
Menurut ajaran Islam, setiap orang miskin patut memperoleh pertolongan, dan tentu saja merupakan tanggung jawab pemerintah dan orang yang diberi kelimpahan rezeki untuk memberikan pertolongan itu. ''Manusia yang terbaik adalah yang paling berguna bagi masyarakatnya,'' demikian sabda Nabi Muhammad SAW. dalam sebuah hadis. Untuk menciptakan kehidupan yang demikian Islam mengingatkan agar setiap individu saling membantu. Dengan kehidupan yang demikian, setiap individu dalam masyarakat akan saling memperoleh manfaat dari upaya masing-masing untuk memenuhi kebutuhan bersama mereka. Nabi SAW mengibaratkan masyarakat yang demikian seperti satu tubuh, yang apabila satu bagian merasa sakit, bagian lainnya turut menderita. Islam yang mengakui dan menjunjung tinggi hak milik seseorang tidak membenarkan umatnya mengabaikan mengumpulkan harta. Tapi, Allah SWT. juga mengingatkan bahwa harta benda itu merupakan ujian. Semoga hati tergerak untuk menaati anjuran Allah SWT. untuk memiliki kepedulian sosial membantu mereka anak yatim dan fakir miskin.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Tidak punya kepedulian adalah pendusta agama (QS. Al-Ma’un[107]:1-7)
|M÷ƒuäur& Ï%©!$# Ü>Éjs3ムÉúïÏe$!$$Î/ ÇÊÈ   šÏ9ºxsù Ï%©!$# íßtƒ zOŠÏKuŠø9$# ÇËÈ   Ÿwur Ùçts 4n?tã ÏQ$yèsÛ ÈûüÅ3ó¡ÏJø9$# ÇÌÈ   ×@÷ƒuqsù šú,Íj#|ÁßJù=Ïj9 ÇÍÈ   tûïÏ%©!$# öNèd `tã öNÍkÍEŸx|¹ tbqèd$y ÇÎÈ   tûïÏ%©!$# öNèd šcrâä!#tãƒ ÇÏÈ   tbqãèuZôJtƒur tbqãã$yJø9$# ÇÐÈ  

1. Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?
2. Itulah orang yang menghardik anak yatim,
3. Dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin.
4. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,
5. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,
6. Orang-orang yang berbuat riya[1]
7. Dan enggan (menolong dengan) barang berguna[2]

Dilihat dari setiap ayat yang terdapat didalam surat Al-Maa’uun ini yang menjelaskan isi pokok dari surat ini, yang secara garis besar adalah menjelaskan tentang beberapa sifat manusia yang di pandang mendustakan agama Allah SWT. dan sekaligus merupakan ancaman yang ditunjukan Allah SWT. kepada orang-orang yang melalaikan sholat dan berbuat riya atau sifat seseorang yang melakukan amal perbuatan bukan karena Allah SWT. dan ingin mendapatkan pujian dari masyarakat.
Sifat-sifat yang di pandang mendustakan agama Allah SWT. ada 5 antara lain :
+    Orang yang menghardik anak yatim
+    Orang yang tidak menganjurkan memberi makan orang miskin
+    Orang yang melalaikan sholat
+    Orang yang berbuat riya
+    Orang yang tidak mau memberikan barang-barang yang berguna, yang dimilikinya (tidak mau untuk mengeluarkan zakat )[3]
Kelima sifat ini merupakan sifat-sifat buruk yang seharusnya dihindari oleh kita semua karena sifat seperti ini akan membawa kita kedalam kesengsaraan.
Dalam tafsir Ibnu Katsir dikatakan bahwa Allah SWT. menjelaskan tentang sifat, corat orang yang mendustakan agama dan pembalasan Allah SWT. terhadap amal perbuatan manusia kelak di hari kiamat.
Di antara orang-orang yang mendustakan agama adalah :
1.      Orang yang membentak, menghardik anak yatim.
2.      Tidak suka membantu memberi makan kepada orang miskin.
3.      Riya dalam shalatnya.
4.      Tidak suka membantu kepada sesama meskipun sekedar meminjami keperluan rumah tangga.[4]
Dalam hadits yang di riwayatkan oleh Ibn Abbas ra. Yang artinya : “Sesungguhnya didalam jahanam ada sebuah lembah (kawah) yang mana jahanam itu sendiri berlindung kepada Allah dari bahayanya kawah itu tiap hari empat ratus kali, kawah itu disediakan untuk orang-orang yang riya dalam amal perbuatannya dari umat Muhammad SAW.   Yaitu : 1. Orang yang membawa kitab Allah karena riya, 2. Orang yang membenarkan sesuatu tidak karena Allah, 3. Orang yang melakukan haji kebaitullah karena riya, 4. Orang yang berjihad fisabilillah riya. Maka semua amal riya tidak ikhlas kepada Allah akan disiksa dalam lembah kawah itu”. (HR. Atthabarani).[5]
Pada bagian pertama surat ini, pertama-tama Nabi SAW disapa dengan sejumlah cerminan tidak menyenangkan dari pengingkaran manusia terhadap akhirat melalui perbuatan-perbuatan mereka diungkapkan oleh ayat, “Sudahkah kamu melihat orang yang mendustakan hari perhitungan? Dialah orang yang menghardik anak yatim (dengan kasar). Dan tidak menganjurkan orang lain memberi makan orang miskin”.
Kata yadu’uu berakar dari da’a mengandung arti mendorong; mengusir dengan kekerasan. Sedangkan kata yahudhdh yang diturunkan dari hadhdha berarti mendorong, mendesak. Raghib menukil dalam bukunya, al-Mufrodat, bahwa hass berarti : suatu dorongan dalam gerakan dan perjalanan, tapi hadhdh tidaklah demikian.
Bagaimanapun juga, karena dua kata ini digunakan dalam pola masa depan, di isyaratkan kedawaman dalam perbuatan menyangkut anak yatim dan kaum miskin.
Sekali lagi perlu diingatkan, bahwa butir penting disini adalah ketika berhubungan dengan anak yatim, perlakuan cinta dan manusiawi lebih signifikan ketimbang memberikan makanan. Karena seorang anak yatim harus menahan kurangnya cinta dan makanan spiritual ketimbang makanan jasmani. Tentu saja memberi makan orang miskin  seperti disebut dalam ayat-ayat ini merupakan salah satu amal saleh yang paling penting, sehingga kalaupun tidak bisa memberi makan seorang miskin, haruslah menganjurkan kepada orang lain untuk berbuat demikian.[6]
Dalam penafsiran lain dikatan bahwa pemakaian kata Yadu’uu yang diartikan dengan menolakkan itu adalam membayangkan kebencian yang sangat. Rasa tidak senang, rasa jijik, dan tidak boleh mendekat. Kalau memcoba mendekat maka ditolakkan, biar jatuh tersungkur. Nampaklah maksud ayat bahwa orang yang membenci anak yatim adalah orang yang mendustakan agama, walaupun dia beribadah. Karena rasa benci, rasa sombong, dan bakhil tidak boleh ada didalam jiwa seseorang yang mengaku beragama.[7]
Kata sahun yang diturunkan dari sahw, semula memiliki arti suatu kesalahan yang dilalukan tanpa sengaja atau secara lalai, baik orang itu bersalah dalam persiapannya maupun tidak. Dalam hal pertama tidak dimaafkan, namun pada kasus kedua bisa dimaafkan. Dalam hal ini yang dimaksaud adalah pengabaian dengan kesalahan.[8]
Sedangkan dalam penafsiran lain kata sahun asal arti katanya ialah lupa. Artinya dilupakannya apa maksud sembahyang itu, sehingga meskipun ia mengerjakan sembahyang, namun sembahyangnya itu tidaklah dari kesadaran akan maksud dan hikmatnya.
Pernah suatu ketika Nabi SAW. Melihat seorang sahabatnya yang terlambat datang kemesjid sehingga ketinggalan dari sembahyang berjamaah, lalu diapun sembahyang sendiri. Setelah dia selesai sembahyang, Nabi SAW. menyuruhnya mengulang sembahyangnya kembali. Karena yang tadi itu dia belum sembahyang. Dia belum mengerjakan dengan sesungguhnya.[9]
Himpuanan sifat-sifat rendah yang tengah dibahas dalam surat ini merupakan tanda-tanda kekufuran dan kesia-siaan pada siapapun yang memilikinya. Semua sifat atau karakteristik itu merupakan cabang dari penolakan pada (kebenaran) hari kiamat, yaitu hari perhitungan atau hari pembalasan.
Sifat-sifat membenci anak yatim, menolak untuk memberi makan orang miskin, mengabaikan dalam mendirikan solat yang ditetapkan, kemunafikan, tidak bekerjasama dengan orang-orang bahkan dalam hal pemberian benda-benda sepele, membentuk himpunan sifat tersebut. Ia melukiskan orang-orang yang bakhil, menipu diri dan riya, yang tidak punya hubungan apa-apa dengan manusia ataupun Sang Pencipta. Mereka tidak membawa cahaya iman dan tanggung jawab dalam entitas mereka. Mereka tidak merindukan pahala-pahala Ilahi atau takut akan siksa-Nya.
Surat yang pendek ini, berisi dengan 7 ayat, diturunkan di Madinah, untuk menghardik orang-orang munafik yang ada pada masa itu, yang sorak-sorainya keras. Tetapi surat ini telah menjadi cemeti terus menerus bagi umat Nabi Muhammad SAW. Sebab kian lama kian nampaklah orang yang seperti ini dalam pergaulan dimasyarakat islam. Mereka mengaku islam tetapi dengan tidak disadari mereka telah menjadi orang munafik. Sebagaimana yang diaktakan oleh ibnu jarir dalam tafsirnya :
“begitulah orang-orang munafik, kalau diahadapan banyak orang banyak sembahyangnya dan serupa sangat khusyu’, tetapi kalau orang sudah tidak ada lagi, sembahyangnya itu pun sudah tidak dikerjakan lagi. Tidak ada ingatan didalam hatinya buat menyambungkan budi dengan orang lain, yaitu memberikan pertolongan apa yang perlu bagi yang memerlukannya”.[10]
Az-Zamakhsyari menulis dalam tafsirnya, tentang penyebab orang-orang yang menolak anak yatim dan tidak mengajak memberi makan fakir miskin dikatakan mendustakan agama.
Kata beliau: “Orang ini nyata mendustakan agama, karena dalam sikap dan tingkah lakunya mempertunjukan bahwa dia tidak percaya inti agama yang sejati, yaitu bahwa orang-orang yang menolong sesamanya yang lemah akan diberi pahala dan ganjaran yang mulia dari Allah SWT. Sebab itu dia tidak berbuat ma’ruf dan sampai hati menyakiti orang yang lemah.
Kalau dia percaya akan adanya pahala dari Tuhan dan yakin akan balasan Ilahi, tentu dia takut akan Tuhan dan  takut akan siksaan dan azab Tuhan, dan tidaklah dia akan berani berbuat begitu kepada anak yatim dan fakir miskin. Kalau telah ditolak dan didiamkan anak yatim dan fakir miskin jelaslah bahwa perbuatan itu mendustakan agama. Oleh sebab itu maka kata-kata Allah SWT. di ayat ini sangatlah tajam dan orang itu telah didudukan Allah SWT. pada suatu tempat yang dimurkai-Nya. Ini adalah satu peringatan yang keras untuk menjauhi perbuatan yang dipandang Allah SWT. sudah durhaka. Maka layaklah diambil kesimpulan bahwa orang yang bersifat seperti ini lemah imannya dan keyakinannya amat kendor.[11]





B.     Zakat sebagai salah satu bentuk kepedulian sosial (QS. Al-Taubah[9]:60)
$yJ¯RÎ) àM»s%y¢Á9$# Ïä!#ts)àÿù=Ï9 ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur tû,Î#ÏJ»yèø9$#ur $pköŽn=tæ Ïpxÿ©9xsßJø9$#ur öNåkæ5qè=è% Îûur É>$s%Ìh9$# tûüÏB̍»tóø9$#ur Îûur È@Î6y «!$# Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ( ZpŸÒƒÌsù šÆÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒOÅ6ym ÇÏÉÈ  
Artinya :
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”

Penafsiran Kata :
As-Sadaqah               : Ialah zakat yang diwajibkan atas uang, binatang ternak, tanaman, dan perniagaan.
Al-Faqir                     :Orang yang mempunyai harta sedikit, tidak mencapai nishab (kurang dari 12 pound).
Al-Miskin                   :Orang tidak punya, sehingga dia perlu meminta-minta sandang dan pangannya.
Al-Amil 'alaiha           :Orang yang diserahi tugas oleh sultan atau wakilnya untuk mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya.
Al-Mu'allafatu qulubuhum :Orang-orang yang dikehendaki agar hatinya cenderung atau tetap kepada Islam.
Fir-Riqab                   :Untuk berinfaq dalam menolong budak-budak, guna membebaskan mereka dari perbudakan.
Al-Gharimin              :Orang-orang yang mempunyai hutang dan tidak sanggup membayarnya.
Fi Sabilillah               :Di jalan untuk mencapai keridaan dan pahala Allah SWT. Yang dimaksud ialah: setiap orang yang berjalan di dalam ketaatan kepada Allah dan di jalan kebaikan, seperti orang-orang yang berperang, jama'ah haji yang terputus perjalanannya, dan mereka tidak mempunyai sumber harta lagi, dan para penuntut ilmu yang fakir.
Ibnus-Sabil                 :Musafir yang jauh dari negerinya dan sulit baginya untuk mendatangkan sebagian dari hartanya, sedangkan dia kaya di negerinya tetapi fakir di dalam perjalanan.
Faridlatun minallah :Allah mewajibkan hal itu secara mutlaq, tanpa seorang pun yang ikut serta dalam mewajibkannya.[12]
Kata shadaqah (zakat) dan shidaq (maskawin) adalah turunan dari kata shidq (kejujuran). Memberikan zakat adalah tanda kejujuran dalam keimanan kepada Allah SWT, dan maskawin adalah sebagai  tanda cinta kepada istri.
Istilah “fakir”  dalam bahasa Arab adalah turunan dari kata faqr  (kemiskinan). Sebutan ini di sandang oleh orang yang kemiskinannya hendak menghancurkan tulang-tulangnya. Istilah miskin dalam al-Quran menunjukan kepada orang yang karena kemiskinan, duduk (tinggal) di rumah, dan di sebut ‘orang yang tak mampu ke luar rumah’.
Sebuah hadits yang dikutip dalam Wasa’ilusySyi’ah menyatakan, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan, di dalam kekayaan orang itu, ada sejumlah tertentu yang wajib di berikan kepada orang miskin untuk mengatasi kesulitan-kesulitan mereka. Dan jika Allah mengetahui pemberian itu tidak cukup buat mereka, Allah akan menambahnya, dan kalau saja orang-orang membayarkan hak fakir miskin tersebut, maka fakir miskin tersebut akan hidup dengan baik”.[13]
Delapan mustahiq yang berhak menerima zakat adalah sebagai berikut :
1)      Orang fakir: orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya.
2)      Orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam Keadaan kekurangan.
3)      Pengurus zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat.
4)      Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah.
5)      Memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir.
6)      Orang berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya.
7)      Pada jalan Allah (sabilillah): yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. di antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain.
8)      Orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.[14]
Para ulama berselisih pendapat tentang kedelapan mustahiq ini apakah zakat itu wajib menjangkau kedelapan golongan ini wajib menjangkau semuanya atau cukup dengan diberikan kepada salah satu dari kedelapan itu atau hanya beberapa golongan saja. Pendapat pertama adalah dari Imam Syafi’I dan beberapa jamaah, sedang pendapat yang kedua adalah pendapat Imam Maliki dan beberapa jamaah seperti Umar, Hudzaifah, Ibnu Abbas, Abul Aliah, Said Bin Jubair, Dan Maimun bin Muhram. Mereka berpendapat bahwa disebutnya delapan golongan ini hanyalah untuk menentukan siapa yang berhak dan patut menerima zakat, tetapi tidak berarti harus semua golongan delapan itu dijangkaunya.
            Mengenai kata-kata “fakir” dan “miskin” dan siapakah patut dimasukan kedalam salah satu dari kedua golongan itu, terdapat perbedaan penafsiran dikalangan mufasirin dan ulama. Abu Hanifah berpendapat bahwa yang disebut “miskin” itu ialah yang keadaannya itu lebih payah dan lebih melarat dari yang disebut “fakir”. Dan pendapat Ibnu Jarir, yang disebut “fakir”, ialah orang yang tidak berharta, tetapi belum sampai ketingkat pengemis, sedang yang disebut “miskin” ialah orang yang sudah terpaksa karena kebutuhannya untuk meminta-minta, keliling dari rumah kerumah. Lain lagi dengan Qatadah yang berpendapat bahwa yang disebut “fakir” ialah yang cacat dan tidak berharta, sedang yang disebut “miskin” ialah yang masih bertubuh sehat.  
Dampak Positif Zakat dalam Masyarakat
1.      Zakat adalah faktor penting dalam pengaturan kekayaan.
2.      Zakat adalah sebuah praktik syukur atas sesuatu yang Allah Swt  telah berikan kepada seseorang
3.      Zakat menyempitkan jurang pemisah dalam masyarakat dan menghilangkan kedengkian antara si miskin dan si kaya.
4.      Zakat melanggengkan semangat kedermawanan dan murah hatipada manusia, dan mengurangi sifat selalu mengejar kekayaan dan ketergantungan pada materi dalam diri manusia.
5.      Selain menghapuskankekurangan, zakat mempunyai berbagai ganjaran lebih. Yaitu menambah pesona islam, ataupaling tidak, membuat orang-orang tidak ingin lagi bekerja sama dengan musuh-musuh islam.
6.      Perintah untuk mengeluarkan zakat di Mekah, namun karena kemelaratan kaum Muslimin maka uang zakatnya di bayarkan kepada mereka sendiri.[15]
Tetapi kemudian, setelah pemerintahan islam di Madinah, mempunyai ide untuk mengumpulkan zakat dari masyarakat dengan maksud membayar (membersihkan) perbendaharaan kaum muslimin, di mana pelaksanaanya dikordinasi oleh pemerintah islam menjadi kenyataan. Salah satu dari buktinya sebagai mana di sebutkan dalam al-Quran, Surat al-Taubah ayat  103 yang artinya : “ambillah zakat dari harta milik mereka”.
Ada beberapa hikmah yang terkandung dari kewajiban berzakat, di antaranya:
a)      Sebagai sarana untuk membersihkan harta.
b)      Sebagai ungkapan syukur atas nikmat yang Allah SWT. berikan.
c)      Menghindari kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin.
d)     Mewujudkan keseimbangan dalam distribusi harta, dan keseimbangan tanggung jawab individu dalam masyarakat.
e)      Mewujudukan solidaritas sosial, rasa kemanusian dan keadilan, ukhuwah islamiyah, persatuan umat, dan pengikat batin antara yang kaya dengan yang miskin.[16]
Hukum zakat yang menggambarkan suatu sketsa dari sistem islam memberikan rancangan sebagai berikut: Keadilan sosial, penghapusan kemiskinan, penyediaan peersonil dan tenaga kerja, popularitas internasional, pembebasan budak dan tahanan, mengokohkan kekuatan dan potensi yang dimiliki, melindungi agama dan kemuliaan kaum muslimin penyebar luasan pelayanan sosial.[17]
Hadits Tenteng Zakat
+    Iman Ja’far ash-shadiq as. meriwayatkan dari kakenya, mengatakan bahwa Rasulullah SAW. pernah bersabda, “yang paling mulia (di antara manusia) adalah dia yang membayar zakat atas kekayaannya dan yang paling kikir (di antara manusia) adalah dia yang pelit akan apa yang ia nikmati dari pemberian Allah”. (Biharul Anwar  vol. 93 h.13).
+    Imam Ja’far ash-shadiq as mengatakan, “jika orang-orang mengeluarkan zakat dari harta miliknya, maka tidak akan tersisa muslim faqir dan miskin”. (al-Imam asha-shadiq as, Asad Heydar, vol. 4 h.360).[18]
Ayat 60 surat al-Taubah ini merupakan dasar pokok yang menyangkut kelompok-kelompok yang berhak mendapatkan zakat. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami masing-masing kelompok. Secara singkat dapat di temukan sebagai berikut.
Imam Makik berpendapak bahwa ulama-ulama dari kalangan sahabat sepakat memperbolehkan memberikan zakat walau hanya kepada salah satu dari kelompok yang di sebutkan oleh ayat ini.
Imam Syafi’I berpendapat bahwa huruf lam mengandung makna kepemilikan sehingga semua yang disebut harus mendapat bagian yang sama. Ini menurutnya dikuatkan juga oleh kata innamaa/banya yang mengandung makna pengkhususan. Sementara para ulama pengikut Imam Syafi’i berpendapat kalau di bagikan ke tiga kelompok saja maka hal itu sudah cukup.[19]

 C.    Analisis
a.       Didalam surat al-Ma’un ini Allah SWT. menjelaskan tentang sifat-sifat orang yang diapandang mendustakan agama Allah SWT. sekaligus merupakan ancaman kepada orang-orang yang melalaikan sholat dan berbuat riya atau sifat seseorang yang melakukan amal perbuatan bukan karena Allah SWT. dan hanya ingin dipandang baik di masyarakat.
b.      Sangat setuju dengan apa yang dikatakan Az-Zamakhsyari yang ditulis dalam tafsirnya, tentang penyebab orang-orang yang menolak anak yatim dan tidak mengajak memberi makan fakir miskin dikatakan mendustakan agama.
c.       “Sesungguhnya Allah telah menetapkan, di dalam kekayaan orang itu, ada sejumlah tertentu yang wajib di berikan kepada orang miskin untuk mengatasi kesulitan-kesulitan mereka. Dan jika Allah mengetahui pemberian itu tidak cukup buat mereka, Allah akan menambahnya, dan kalau saja orang-orang membayarkan hak fakir miskin tersebut, maka fakir miskin tersebut akan hidup dengan baik”. Itulah sebuah hadits yang dikutif dari Wasa’ilusySyi’ah tentang kepedulian sosial terhadap sesama makhluk ciptaan Allah SWT.
d.      Ada delapan mustahiq yang berhak menerima zakat yaitu: Orang fakir, Orang miskin, Pengurus zakat, Muallaf, Memerdekakan budak, Orang berhutang, Pada jalan Allah (sabilillah), Orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
e.       Banyak perbedaan pendapat diantara para mufasir mengenai kata-kata “fakir” dan “miskin” dan siapakah patut dimasukan kedalam salah satu dari kedua golongan itu. Abu Hanifah berpendapat bahwa yang disebut “miskin” itu ialah yang keadaannya itu lebih payah dan lebih melarat dari yang disebut “fakir”.
Ibnu Jarir, yang disebut “fakir” ialah orang yang tidak berharta, tetapi belum sampai ketingkat pengemis, sedang yang disebut “miskin” ialah orang yang sudah terpaksa karena kebutuhannya untuk meminta-minta, keliling dari rumah kerumah.
Qatadah yang berpendapat bahwa yang disebut “fakir” ialah yang cacat dan tidak berharta, sedang yang disebut “miskin” ialah yang masih bertubuh sehat.
Penulis lebih condong kepada pendapat yang dikemukakan oleh Abu Hanifah yang mengatan bahwa yang disebut “miskin” itu keadaannya lebih payah dan lebih melarat dari yang disebut “fakir”.



BAB III
KESIMPULAN
A.    Kesimpulan
1.      Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain.
2.      Orang yang tidak peduli dengan sesama makhluk ciptaan Allah SWT. terutama anak yatim dan fakir miskin dikatakan sebagai pendusta agama Allah SWT.
3.      Lima sifat yang di pandang sebagai mendustakan agama Allah, yaitu: Orang yang menghardik anak yatim, Orang yang tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, Orang yang melalaikan sholat, Orang yang berbuat riya, Orang yang tidak mau memberikan barang-barang yang berguna yang dimilikinya (tidak mau untuk mengeluarkan zakat )
4.      Az-Zamakhsyari menulis dalam tafsirnya, tentang penyebab orang-orang yang menolak anak yatim dan tidak mengajak memberi makan fakir miskin dikatakan mendustakan agama. Kata beliau: “Orang ini nyata mendustakan agama, karena dalam sikap dan tingkah lakunya mempertunjukan bahwa dia tidak percaya inti agama yang sejati, yaitu bahwa orang-orang yang menolong sesamanya yang lemah akan diberi pahala dan ganjaran yang mulia dari Allah SWT. Sebab itu dia tidak berbuat ma’ruf dan sampai hati menyakiti orang yang lemah.
5.      Delapan mustahiq yang berhak menerima zakat yaitu: Orang fakir, Orang miskin, Pengurus zakat, Muallaf, Memerdekakan budak, Orang berhutang, Pada jalan Allah (sabilillah), Orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
6.      Dampak positif zakat dalam masyarakat diantaranya: Zakat adalah faktor penting dalam pengaturan kekayaan, zakat adalah sebuah praktik syukuran, zakat menyempitkan jurang pemisah dalam masyarakat dan menghilangkan kedengkian antara si miskin dan si kaya, zakat melanggengkan semangat kedermawanan dan murah hati pada manusia, zakat mempunyai berbagai ganjaran lebih, yaitu menambah pesona islam, atau paling tidak, membuat orang-orang tidak ingin lagi bekerja sama dengan musuh-musuh islam.
7.      Beberapa hikmah yang terkandung dari kewajiban berzakat, yaitu: Sebagai sarana untuk membersihkan harta, sebagai ungkapan syukur atas nikmat yang Allah SWT berikan, menghindari kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin, mewujudkan keseimbangan dalam distribusi harta, dan keseimbangan tanggung jawab individu dalam masyarakat.
8.      Mewujudukan solidaritas sosial, rasa kemanusian dan keadilan, ukhuwah islamiyah, persatuan umat, dan pengikat batin antara yang kaya dengan yang miskin.


[1] Riya ialah melakukan sesuatu amal perbuatan tidak untuk mencari keridhaan Allah akan tetapi untuk mencari pujian atau kemasyhuran di masyarakat.
[2] Sebagian mufassirin mengartikan: enggan membayar zakat.
[3] http://thuvix.blogspot.com/2010/04/azbabun-nuzul-surat-al-maun.html?zx=6c1862db3868d8f2
[4] Terjemah tafsir Ibn Katsir. Hal 445
[5] Ibid. hal 446
[6] Allamah kamil dan tim ulama, tafsir nurul qur’an, juz. 30 (Jakarta: Al-Huda, 2004), hal. 352-353
[7] Hamka, tafsir Al-Azhar, juz. 30 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), 280
[8] Allamah kamil dan tim ulama, tafsir nurul qur’an, juz 30 (Jakarta: Al-Huda, 2004), hal. 353
[9] Hamka, tafsir Al-Azhar, juz. 30 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), hal. 281-282
[10] Ibid, hal. 282
[11] Hamka, tafsir Al-Azhar, juz. 30 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), hal. 281
[12] http://sholehhadi.blogspot.com/2009/03/ayat-ayat-tentang-zakat-dan-infaq.html
[13] Allamah kamil dan tim ulama, tafsir nurul qur’an, Juz. 10 (Jakarta: Al-Huda, 2004), hal. 486-487
[14] Daparteman Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. (Jakarta : Cv  J-Art, 2005).
[15] Allamah kamil dan tim ulama, tafsir nurul qur’an, Juz 10 (Jakarta: Al-Huda, 2004), hal. 490
[16] http://www.infozakat.com
[17] Ibid. hal. 492
[18] Ibid. hal. 493
[19] Quraish shihab, al-Misbah, Juz. 10 (Jakarta: Lentera hati, 2002),  hal 629-630

Tidak ada komentar:

Posting Komentar