Selasa, 22 Mei 2012

MANTUQ DAN MAFHUM


BAB I
PENDAHULUAN
I.      Latar Belakang Masalah    
            Ketika berbicara mengenai ayat-ayat yang terkandung di dalam Al-Qur’an, sebenarnya dari semua ayat yang ada didalam Al-Qur’an tersebut tidak semuanya memberikan arti/pemahaman yang jelas. Jika ditelusuri, ternyata banyak sekali ayat-ayat yang masih butuh penjelasan yang lebih mendalam mengenai hukum yang tersimpan dalam ayat tersebut.      
            Ini menunjukkan bahwa ternyata ayat-ayat Al-Qur’an itu tidak hanya memberikan pemahaman secara langsung dan jelas, tetapi ada ayat yang maknanya tersirat didalam ayat tersebut. Begitu juga dengan ayat Mujmal, yang mana ayat ini belum jelas maksudnya, apabila tidak ada keterangan lain yang menjelaskannya. Dan ayat ini berlawanan dengan ayat mubayyan.
            Oleh karena itu, agar semua dapat memahami dan mengetahui hukum/makna yang terdapat didalam ayat-ayat Al-Qur’an, penulis akan memaparkan sedikit penjelasan guna menambah pemahaman pembaca mengenai ilmu Al-qur’an. Sebagian aspek tersebut yaitu mengenai Mantuq dan Mafhum, meliputi pengertian serta pembagian-pembagiannya.

 BAB II
PEMBAHASAN
I.       Pengertian Mantuq
            Kata mantuq secara bahasa berarti sesuatu yang ditunjukkan oleh lafal ketika diucapkan. Secara istilah dilalah mantuq adalah:
دلالة المنطوق هي دلالة اللفظ على حكم شيئ مذ كور في الكلم
“Dilalah mantuq adalah penunjukkan lafal terhadap hukum sesuatu yang disebutkan dalam pembicaraan (lafal)”.
            Dari definisi ini diketahui bahwa apabila suatu hukum dipahami langsung lafal yang tertulis, maka cara seperti ini disebut pemahaman secara mantuq. Misalnya, hukum yang dipahami langsung dari teks firman Allah pada surat Al-Isra’ ayat 23 yang berbunyi :
فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Artinya: “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka”.
            Dalam ayat tersebut terdapat pengertian mantuq dan mafhum, pengertian mantuq yaitu ucapan lafadz itu sendiri (yang nyata = uffin) jangan kamu katakan perkataan “ah” atau perkataan yang keji kepada kedua orang tuamu. Sedangkan mafhum yang tidak disebutkan yaitu memukul dan menyiksanya (juga dilarang) karena lafadz-lafadz yang mengandung kepada arti, diambil dari segi pembicaraan yang nyata dinamakan mantuq dan tidak nyata disebut mafhum. Hal tersebut langsung tertulis dan ditunjukkan dalam ayat ini.
Para ahli ushul fiqh membagi mantuq kepada dua macam yaitu:
1)      Mantuq sharih secara bahasa berarti sesuatu yang diucapkan secara tegas. Adapun definisi mantuq sharih secara istilah adalah:
المنطوق الصريح هوما وضغ اللفظ له فيد ل عليه بالمطابقة او بالتضمن
      “Mantuq sharih adalah makna yang secara tegas yang ditunjukkan suatu lafal sesuai dengan penciptaannya, baik secara penuh atau berupa bagiannya”
      Untuk memahami definisi ini dengan baik perlu dikemukakan contoh penggunaandilalah mantuq sharih pada firman Allah surat Al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi :
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
      Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
            Ayat ini menunjukkan secara jelas dan tegas melalui mantuq sharih tentang kehalalan jual beli dan keharaman riba.
2)      Mantuq ghairu sharih secara istilah adalah:
المنطوق غير صريح هو مالم يوضع اللفظ له بل هولا زم لما وضع
      “Mantuq ghairu sharih adalah pengertian yang ditarik bukan dari makna asli dari suatu lafal, sebagai konsekuensi dari suatu ucapan”
            Dari definisi ini jelas bahwa apabila penunjukkan suatu hukum didasarkan pada konsekuensi dari suatu ucapan (lafal), bukan ditunjukkan secara tegas oleh suatu lafal sejak penciptaannya, baik secara penuh atau bagiannya disebut dilalah mantuq ghairu sharih.  Misalnya dalam firman Allah surat Al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi :
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
      Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf”.
            Dari ayat ini dapat dipahami bahwa nasab seorang anak dihubungkan kepada ayah bukan kepada ibu karena tanggung jawab nafkah anak berada di tangan seorang ayah. Kesimpulan seperti ini diambil dengan cara mantuq ghairu sharih dari ayat di atas.
A.    Pembagian Mantuq
     Pada dasarnya mantuq ini terbagi menjadi dua bagian, akan tetapi dalam buku yang dikarang oleh Manna’khalil al-qattan ditambah dengan Mu’awwal.


Diantaranya yaitu:
1.      Nash, yaitu suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin di ta’wilkan lagi,
dan lafaz yang bentuknya sendiri telah dapat menunjukkan makna yang dimaksud secara tegas (sarih ), tidak mengandung kemungkinan makna lain. Seperti  firman Allah dan Al-qur’an surat Al-Baqarah ayat 196 :

“….Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna…”
Dalam ayat diatas ada kata penyipatan yaitu “sepuluh” dengan “sempurna” telah mematahkan kemungkinan “sepuluh” ini diartikan lain secara majaz  (metafora).inilah yang dimaksud dengan nash.
Telah dinukil dari suatu kaum yang mengatakan ,jarang sekali terdapat mantuq nash  dalam kitab dan sunnah. Disini imam Haramain telah berpendapat bahwa mereka yang berlebihan tersebut.ia berkata: tujuan utama dari mantuq nash ialah kemandirian dalam menujukkan makna secara pasti dengan mematahkan segala ta’wil dan kemungkinan. Sekalipun jarang dilihat dari bentuk lafaz yang mengacu kepada bahasa. Akan tetapi, betapa banyak lafaz yang disertai qarimah haliyah dan maqaliyah.
2.      Zhahir, yaitu suatu perkataan yang menunjukkan suatu makna, bukan yang dimaksud dan menghendaki kepada pentakwilan atau lafaz yang menunjukkan sesuatu makna yang segera dipahami ketika ia diucapkan tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah (marjuh).
seperti firman Allah SWT dalam surat Ar-Rahman ayat 27 :
وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
Artinya: “Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan”.
Wajah dalam ayat diartikan dengan dzat, karena mustahil bagi Allah mempunyai wajah yang menyerupai seperti manusia.
3.      Mu’awwal adalah lafaz yang diartikan dengan makna marjuh karena ada sesuatu dalil yang menghalangi dimaksudkannya makna yang rajih. Mu’awwal berbeda dengan zahir; zahir diartikan dengan makna yang rajih sebab tidak ada dalil yang memalingkannya kepada yang marjuh karena ada dalil yang memalingkannya dari makna rajih. Akan tetapi masing-masing kedua makna itu ditunjukan oleh lafaz menurut bunyi ucapanya.
Misalnya firman Allah SWT dalam Al-qur’an surat  Al-isra’ ayat 24 :

Artinya : “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.[1]
Lafaz janaah az-zulli diartikan dengan “tunduk, tawadu’ dan bergaul secara baik” dengan orang tua, tidak diartikan “sayap”,karena mustahil manusia mempunyai sayap.
II.    Pengertian Mafhum
            Pengertian Mafhum secara bahasa adalah sesuatu yang ditunjuk oleh lafadz, tetapi bukan dari ucapan lafadz itu sendiri. Para ahli ushul fiqh mendefinisikan mafhum sebagai berikut.
“Mafhum adalah penunjukkan lafal yang tidak diucapkan atau dengan kata lain penunjukkan lafal terhadap suatu hukum yang tidak disebutkan atau menetapkan pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (bagi sesuatu yang tidak diucapkan)” Seperti firman Allah SWT.
فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
            Secara mantuq, hukum yang dapat ditarik dari ayat ini adalah haramnya mengucapkan kata “ah” dan menghardik orang tua. Dari ayat ini dapat juga digunakan mafhum, dimana melaluinya dapat diketahui haram hukumnya memukul orang tua dan segala bentuk perbuatan yang menyakiti keduanya.
A.    Pembagian Mafhum
Mafhum juga dapat dibedakan kepada 2 bagian yaitu:
a.       Mafhum Muwafaqah, yaitu pengertian yang dipahami sesuatu menurut ucapan lafadz yang disebutkan. Menurut para ahli usul fiqh mafhum muwafaqah adalah penunjukan hukum yang tidak disebutkan untuk memperkuat hukumnya karena terdapat kesamaan antara keduanya dalam meniadakan atau menetapkan. Mafhum Muwafaqah dapat dibagi kepada 2 bagian yaitu:
1)      Fahwal Khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti memukul orang tua lebih tidak boleh hukumnya, firman Allah yang berbunyi :
فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Sedangkan kata-kata yang keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi memukulnya.
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa haramnya mengatakan “ah”, oleh karena itu, keharaman mencaci maki dan memukul lebih pantas diambil karena keduanya lebih berat.
2)      Lahnal Khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan, seperti firman Allah SWT dalam Al-qur’an surat An-Nisa ayat 10 :
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Membakar atau setiap cara yang menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya dengan memakan harta anak tersebut yang berarti dilarang (haram).
b.      Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda daripada ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun nafi (meniadakkan). Oleh sebab hal itu yang diucapkan.
Seperti dalam firman Allah SWT surat Al-Jumuah ayat 9 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli
dari ayat ini dipahami bahwa boleh jual beli dihari Jum’at sebelum azan dikumandangkan dan sesudah mengerjakan shalat Jum’at. Dalil Khitab ini dinamakan juga mafhum mukhalafah.
III.    Mafhum Mukhalafah
Mafhum mukhalafah adalah makna yang berbeda hukumnya dengan mantuq. Mafhum ini terbagi kedalam 6 macam. Ialah :
a.       Mafhum Shifat
      Yaitu yang menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya. Seperti firman Allah SWT dalam surat An-Nisaa ayat 92
وَمَن قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ
Artinya: barangsiapa membunuh seorang mu'min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman
b.      Mafhum ’illat
       Yaitu yang menghubungkan hukum sesuatu menurut ‘illatnya. Seperti mengharamkan minuman keras karena memabukkan.
c.       Mafhum ’adad
      Yaitu memperhubungkan hukum sesuatu kepada bilangan tertentu. Firman Allah SWT dalam surat An-Nur ayat 4.
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً
Artinya: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,
d.      Mafhum ghayah
     Yaitu lafaz yang menunjukkan hukum sampai kepada ghayah(batasan, hinggaan), hingga lafaz ghayah ini adakalnya ”ilaa”seperti firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 6.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.
وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ
Artinya: dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci
e.       Mafhum had
      Yaitu menentukan hukum dengan disebutkan suatu ’adad diantara adat-adatnya. Seperti firman Allah SWT dalam surat Al-An’am ayat 145
قُل لَّا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
Artinya: Katakanlah, tidak saya peroleh di dalam wahyu yang diturunkan kepada saya, akan suatu makanan yang haram atas orang memakannya, kecuali bangkai, darah yang mengalir dan daging babi; karena ia barang yang keji atau fasiq, yaitu binatang yang disembelih dengan tidak atas nama Allah
f.       Mafhum al-Laqab
      Yaitu meniadakan berlakunya suatu hukum yang terkait dengan suatu lafal terhadap orang lain dan menetapkan hukum itu berlaku untuk nama atau sebutan tertentu. Misalnya, firman Allah dalam surat Yusuf ayat 4 yang berbunyi:
إِذْ قَالَ يُوسُفُ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ إِنِّي رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِي سَاجِدِينَ
Artinya: (Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya : Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan kulihat semuanya sujud padaku.
      Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa ucapan tersebut hanya terkait dengan Nabi Yusuf karena tidak ada kaitannya dengan orang lain.
A.    Syarat-Syarat Mafhum Mukhalafah
       Syarat-syaraf Mafhum Mukhalafah, adalah seperti yang dikemukakan oleh A.Hanafie dalam bukunya Ushul Fiqh, sebagai berikut. Untuk syahnya mafhum mukhalafah, diperlukan empat syarat, yaitu :
a.    Mafhum mukhalafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhum muwafaqah. Contoh yang berlawanan dengan dalil mantuq: (Q.S. Al-Isra’ Ayat 31)
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ
Artinya: Jangan kamu bunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan
Mafhumnya, kalu bukan karena takut kemiskinan dibunuh, tetapimafhum mukhalafah ini berlawanan dengan dalil mantuq  yaitu: (QS. Al-Isra’ 33)
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
Artinya: “Jangan kamu membunuh manusia yang dilarang Allah kecuali dengan kebenaran”
b.   Yang disebutkan (mantuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi. Contoh dalam firman Allah SWT dalam surat An-Nisaa ayat 23.
   “Dan anak tirimu yang ada dalam pemeliharaanmu” .
    Dari perkataan “yang ada dalam pemeliharaanmu” tidak boleh dipahamkan bahwa yang tidak ada dalam peme¬liharaanmu boleh dikawini. Perkataan itu disebutkan, se-bab memang biasanya anak tiri dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya.
c.    Yang disebutkan (manthuq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan seperti yang ada dalam hadits Rasul SAW.
“Orang Islam ialah orang yang tidak mengganggu orang-¬orang Islam lainnya, baik dengan tangan ataupun dengan lisannya (Hadits)”.
      Dengan perkataan “orang-orang Islam (Muslimin)” tidak dipahamkan bahwa orang-orang yang bukan Islam boleh diganggu. Sebab dengan perkataan tersebut dimaksudkan, alangkah pentingnya hidup rukun dan damai di antara orang-orang Islam sendiri.
d.   Yang disebutkan (manthuq) harus berdiri sendiri, tidak mengikuti kepada yang lain. Contohnya firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 187.
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
Artinya: Janganlah kamu campuri mereka (isteri-isterimu) padahal kamu sedang beritikaf di mesjid
Tidak dapat dipahamkan, kalau tidak beritikaf dimasjid, boleh mencampuri.
IV.    Berhujjah dengan Mafhum
Menjadikan mafhum sebagai dasar hukum pada dasarnya dibedakan sebagai berikut :
a.    Para Ulama’ sepakat membolehkan berhujjah dengan mafhum muwafaqah.
b.   Jumhur Ulama’ berpendapat bahwa berhujjah dengan mafhum mukhalafah diperbolehkan kecuali mafhum laqab.
c.    Ulama’ Hanafiyah, ibnu Hazm, dan golongan Zahiriyah berpendapat bahwa semua mafhum mukhalafah tidak dapat dijadikan hujjah/alasan.
Berhujjah dengan mafhum masih diperselisihkan.  Menurut pendapat paling sahih, mafhum-mafhum tersebut boleh dijadikan hujjah (dalil, argumentasi) dengan beberapa syarat,antara lain:
1.      Apa yang disebutkan bukan dalam kerangka  “kebiasaan” yang umum. Maka kata-kata “yang ada dalam pemeliharaanmu” dalam surat an-nisa ayat 23:
“dan anak-anak perempuan dari istri-istrimu yang ada dalam pemeliharaanmu”.
Ayat ini tidak ada mafhumnya, (maksudnya, ayat ini tidak dapat di pahami bahwa anak tiri tidak dalam pemeliharaan ayah tirinya boleh dinikahi) sebab pada umumnya anak perempuan istri itu berda dalam pemeliharaan suami.


2.      Apa yang disebutkan itu tidak untuk menjelaskan suatu realita. Maka tidak ada mafhum bagi  firman Allah surat al-mu’minun ayat 117:
“dan barang siapa menyembah tuhan yang lain di samping Allah, padahal tidak ada satu dalil pun baginya tentang itu”.
dalam kenyataannya tuhan manapun selain dari Allah tidak ada dalilnya. Jadi kata-kata “padahal” tidak ada satu dalil pun baginya tentang  itu” adalah suatu sifat yang pasti yang di datangkan untuk memperkuat realita dan untuk menghinakan orang yang menyembah tuhan disamping Allah, bukan untuk pengertian bahwa menyembah tuhan –tuhan itu boleh asal dapat  ditegakkan dalilnya.

V.  Pendapat Para Ulama
A.  Ulama Hanafiyah tidak memandang mafhum mukhalafah sebagai salah satu metode pe nafsiran nash-nash syara’. Tegasnya menurut mereka, mafhum mukhalafah itu bukan suatu metode untuk penetapan hukum. Alasannya :
1.         Sesungguhnya banyak nash syara’ yang apabila diambil mafhum mukhalafah akan rusak pengertiannya, antara lain seperti ayat mengatakan bahwa berbuat zalim diharamkan hanya pada empat bulan tersebut saja, sedangkan diluar itu tidak haram. Padahal berbuat zalim itu diharamkan pada setiap saat.
2.         Sifat- sifat yang terdapat pada nash syara’, dalam banyak hal bukan untuk pembatasan hukum, melainkan untuk targib dan tarhib. Misalnya ayat yang mengatakan Sifat anak tiri, adalah anak tiri yang ada dalam pemeliharaan. Apabila diambil mafhum mukhalafah-nya, hal itu berarti mengawini anak tiri yang diluar pemeliharaan adalah halal. Padahal syara’ tetap mengharamkan.
3.         Seandainya mafhum mukhalafahnya itu dapat dijadikan hujjah syara’ maka suatu nash yang telah menyebut suatu sifat tidak perlu lagi disebut nash yang menerangkan hukum kebalikan hukum dari sifat tersebut. Pada kenyataannya penyebutan seperti itu banyak ditemukan.
B. Menurut jumhur ushuliyyin, mafhum mukhalafah dapat dijadikan sebagai hujjah syara’. Alasannya antara lain :
1.         Berdasarkan logika, setiap syarat atau sifat tidak mungkin dicantumkan tanpa tujuan dan sebab. Sebabnya itu tidak lain adalah untuk qayyid (pembatasan) hukum selama tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa dicantumkannya suatu sifat itu untuk tarqib, tarhib, dan tanfir.
2.         Sikap Rasulullah yang tidak menyalahkan Umar Ibnu Khathab dalam memahami mafhum mukhalafah dari ayat 101 An-Nisa’ Namun, Rasulullah menjelaskan bahwa qasar shalat dalam perjalanan diperbolehkan sekalipun dalam keadaan aman.
Dengan sayarat :
                                i.      Mafhum mukhalafah-nya itu tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat, seperti Mantuq atau mafhum muwafaqah.
                              ii.      Qayid atau pembatasan yang terdapat pada suatu nash tidak berfungsi yang lain.
                            iii.      Tidak ada dalil khusus yang membatalkan mafhum mukhalafah itu.     

 Apabila qayid dalam hukum mantuq berlaku pada mafhum mukhalafah maka mafhum mukhalafah ini bisa terdiri atas bermacam-macam qayid. Al-Amidi menghitung jumlah mafhum itu sebanyak sepuluh macam, yaitu: mafhum sifat, mafhum illat, mafhum syarat, mafhum a’dad, mafhum gayah, mafhum hasr, mafhum hal, mafhum zaman, dan mafhum makna. Asy-Syaukani juga menyebutkan mafhum mukhalafah seperti itu, namun ia memasukkan ketiga mafhum yang disebut terakhir pada mafhum sifat. (Asy-Syaukani, 1973: 181-183).


 

BAB III
PENUTUP
A.    Penutup / Kesimpulan
            Dari penjelasan diatas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa dalil-dalil yang terkandung didalam Al-Qur’an tidak semuanya memberikan pemahaman/penjelasan yang jelas dan secara langsung. Akan tetapi banyak ayat yang maknanya tersirat dan membutuhkan ayat yang lain untuk memahamkannya. Skema dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an.
Mantuq terbagi kepada tiga bagian :
1.      Nash
2.      Zhahir
3.      Mu’awwal
Mafhum terbagi kepada dua bagian :
1.      Mafhum Muwafaqah
a.       Fahwal Khitab
b.      Lahnal Khitab
2.      Mafhum Mukhalafah



[1] Mana’ul Quthan, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta : Rineka Cipta, 1995), 58-59

Tidak ada komentar:

Posting Komentar